Salah satu topik yang menjadi bagian tema debat terakhir Pilpres 2019 adalah soal kesejahteraan sosial. Isu pengangguran dan kemiskinan ada di antaranya. Mana kandidat yang lebih realistis program kerjanya sehingga pantas dipilih?
DEBAT pemungkas calon presiden dan wakil presiden Indonesia digelar pada 13 April 2019. Debat kelima ini merupakan debat terakhir yang diselenggarakan sebelum para pemilik hak suara menentukan pilihannya pada 17 April 2019.
Debat kali ini mengangkat tema ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan, investasi, serta industri. Salah satu topik yang patut disimak adalah mengenai kesejahteraan sosial.
Isu kesejahteraan merupakan isu yang sangat menarik diikuti, karena hal ini bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak.
Baca juga: Jejak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa
Apa saja yang perlu dicermati dari isu ini dan patut diharapkan mencuat dalam debat terakhir Pilpres 2019 untuk mendapatkan harapan baik?
Dari semua paparan yang akan dirunut berikut ini, kira-kira pasangan mana yang paling realistis programnya dan yang paling menyentuh akar persoalan?
PADA awal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK), indikator kesejahteraan masyarakat—di antaranya pengangguran dan kemiskinan—menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan.
Setahun setelah menjabat, angka kemiskinan dan pengangguran naik, meskipun rasio ketimpangan turun. Kondisi ini membuat pemerintahan yang dipimpin oleh Joko Widodo dianggap kurang berhasil menangani masalah kesejahteraan sosial.
Benarkah demikian? Atau ini hanya sebuah hallo effect yang kemudian memunculkan stigma bahwa pemerintahan Jokowi-JK kurang berhasil mengatasi persoalan ini? Berikut ini faktanya.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran pada masa awal pemerintahan Jokowi-JK memang naik. Yaitu, dari 5,94 persen pada akhir 2014 menjadi 6,18 persen pada 2015.
Di sepanjang 2015, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga menyebabkan jumlah pengangguran mengalami kenaikan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2015 mengalami penurunan pula, dari 5,01 persen pada pengujung 2014 menjadi 4,88 persen pada akhir 2015. Kondisi ini lantas berkorelasi dengan dinamika perekonomian nasional.
Namun, di tahun-tahun selanjutnya, perekonomian Indonesia mulai bangkit. Angka pengangguran juga turun. Hal ini terkait pula dengan proyek infrastruktur yang mulai digulirkan pemerintah.
Pada 2016, misalnya, angka pengangguran susut menjadi 5,61 persen, berlanjut turun pada 2017 menjadi 5,5 persen dan pada akhir 2018 menjadi 5,34 persen.
Angka kemiskinan juga naik pada akhir tahun pertama Jokowi menjadi presiden. Pada akhir 2015, rasio penduduk miskin naik menjadi 11,13 persen dari 10,96 persen pada akhir 2014.
Secara gradual, angka tersebut turun pada 2016 dan 2017, berturut-turut menjadi 10,7 persen dan 10,12 persen. Bahkan pada akhir 2018, rasio penduduk miskin berada di bawah 10 persen, yaitu 9,66 persen.
Atas pencapaian ini, pemerintahan Jokowi diapresiasi karena bisa menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Namun demikian ada juga yang mengkritisinya, karena BPS dianggap mengubah metodologi penghitungan.
SEBAGAI negara berkembang, kemiskinan dan pengangguran menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika perekonomian Indonesia.
Karena itu, peran pemerintah begitu signifikan dalam membantu masyarakat meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kompetensi adalah melalui pendidikan dan kesehatan.
Bagaimana pun, masalah kesejahteraan adalah problem struktural. Berbagai program untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran serta ketimpangan, sangat diperlukan untuk bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Baca juga: Rezim Soekarno, Soeharto, dan 20 Tahun Reformasi, dalam Hal Ekonomi
Di Indonesia ada orang-orang kreatif dan memiliki modal sosial untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa harus bergantung kepada pemerintah. Namun jumlahnya tidak massif. Selebihnya adalah masyarakat yang masih memerlukan bantuan dari pemerintah untuk bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Terlebih lagi, dalam kondisi perekonomian dunia yang sedang kurang menguntungkan saat ini, berbagai program serta keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat sangat dibutuhkan.
Program-program yang realistis dan menyentuh akar persoalan publik, bisa jadi merupakan kunci keberhasilan para kontenstan dalam Pemilu 2019 memikat pemilih untuk menetapkan pilihannya pada 17 April 2019.
Lantas, seperti apa program-program dari Capres-Cawapres yang akan bertanding dalam Pemilu 2019 ini?
MENJADI kontestan dalam Pemilu 2019, pasangan Jokowi-Ma'ruf terlihat ingin menjawab berbagai isu seputar kesejahteraan sosial dengan menyusun sejumlah program.
Indikator pengukur ketimpangan ini adalah rasio Gini. Hingga akhir 2018, rasio gini Indonesia ada di level 0,384. Rasio tersebut sudah sedikit membaik dibandingkan setahun sebelumnya yang ada di posisi 0,391.
Bagi pasangan ini, upaya memperkecil ketimpangan antardaerah juga menjadi fokus perhatian pada periode pertama pemerintahan dan hendak dilanjutkan ke periode kedua.
Dalam visi misi pasangan calon nomor urut 01, upaya memperkecil ketimpangan masuk dalam tujuh program aksi. Ketujuh program itu adalah:
Selain program mengurangi ketimpangan, pasangan ini masih mengandalkan jurus kartu sakti. Setidaknya ada tiga kartu yang akan disiapkan terkait penguatan program kesejahteraan sosial.
Ketiga kartu itu adalah Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang berlanjut hingga dapat membiayai kuliah, Kartu Sembako Murah, dan Kartu Pra Kerja.
1. KIP Kuliah
KIP Kuliah ditujukan untuk lulusan SMA/SMK sederajat agar dapat mengenyam bangku kuliah, baik di luar maupun dalam negeri.
2. Kartu Pra Kerja
Penerima kartu ini akan mendapatkan pelatihan dari kementerian, BUMN, atau swasta dalam rangka peningkatan keterampilan. Pelatihan dapat dilakukan di dalam maupun luar negeri.
Setelah itu, penerima manfaat akan disalurkan ke dunia kerja sesuai dengan keterampilannya. Apabila penerima manfaat belum mendapatkan kerja dalam kurun waktu tertentu, pemerintah akan memberikan insentif hingga ia mendapatkan pekerjaan.
3. Kartu Sembako Murah
Kartu ini disiapkan untuk melengkapi program bantuan sosial lain yang sudah diterapkan saat ini. Program Keluarga Harapan dan rastra (beras sejahtera) misalnya.
Jokowi menjanjikan akan memperkuat program-program tersebut dengan adanya kartu sembako murah. Dengan kartu tersebut masyarakat dapat membeli bahan pokok seperti gula, beras, dan minyak dengan harga yang murah.
MERESPONS berbagai isu seputar kesejahteraan sosial, pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga juga merancang berbagai program. Cakupannya, mulai dari peningkatan kapasitas pendidikan untuk masyarakat, ekonomi, sosial, ketahanan energi, hingga lingkungan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, angka pengangguran di Indonesia telah turun di bawah 10 persen, tepatnya di 9,66 persen. Namun, bagi pasangan Prabowo-Sandi, angka tersebut masih tinggi dan belum mencerminkan kondisi sebenarnya.
Untuk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia, pasangan Prabowo-Sandiaga menawarkan program One Kecamatan, One Center of Entrepreneurship (OK OCE). Program itu pernah digagas Sandiaga saat menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Sandiaga meyakini program OK OCE yang pernah digagasnya dulu akan menghasilkan para pengusaha baru yang akan menopang perekonomian Indonesia.
Selain itu, pasangan capres-cawapres ini juga menggagas program Rumah Siap Kerja hingga tingkat kecamatan atau desa. Program tersebut bertujuan mencocokkan kemampuan tenaga kerja dengan kebutuhan penyedia lapangan kerja.
Dengan dua program tersebut, mereka berkeyakinan dapat mengurangi dua juta pengangguran dalam 5 tahun, jika terpilih pada Pemilihan Presiden 2019.
Program Rumah Siap Kerja yang diluncurkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga diharapkan akan meningkatkan keterampilan anak-anak muda. Selain itu, program tersebut akan mensinergikan keterampilan yang akan diberikan dengan kebutuhan di lapangan.
Di bidang pendidikan, guru di Indonesia berjumlah kurang lebih tiga juta orang. Dari jumlah itu, sekitar setengahnya masih berstatus sebagai honorer.
Bagi Prabowo-Sandi, angka tersebut terlalu memprihatinkan karena tidak menjamin kesejahteraan guru. Padahal, kesejahteraan guru diyakini menjadi salah satu kunci bagi peningkatan kualitas pendidikan.
Untuk itu, pasangan ini menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dengan mengangkat status para guru honorer kategori 2 (K2) menjadi pegawai negeri sipil (PNS) jika keduanya terpilih pada Pilpres 2019.
Selain itu, Prabowo-Sandiaga akan membuat aturan khusus terkait upah guru honorer kategori 2, jika terpilih pada Pilpres 2019. Pasangan ini juga menginginkan agar para guru honorer harus mendapatkan upah yang layak.
Meskipun tren tenaga kerja outsourcing dan freelancer semakin naik seiring dengan perubahan pola industri, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berjanji akan menghapus sistem outsourcing atau sistem kerja kontrak jika terpilih di Pilpres 2019.
Komitmen menghapuskan sistem outsourcing merupakan salah satu poin dalam kontrak politik yang ditandatangani Prabowo pada 2018. Penandatangangan itu menjadi bagian dari janji keberpihakan pasangan Prabowo-Sandiaga terhadap kelompok buruh.