MEMUTAR balik waktu kembali ke 1995, saat cikal bakal Kompas.com lahir, tak terbayangkan dinamika teknologi dan media digital yang saat ini rasanya sudah menjadi bagian hidup sehari-hari.
Sebaliknya, bagi generasi millenial yang lahir setelah 2000, barangkali sulit pula membayangkan bahwa internet adalah barang teramat mewah pada 1995 itu.
Jangankan mengakses internet lewat ponsel pintar, warung internet (warnet) yang jadi andalan utama untuk aktivitas itu pun tak selalu ada di setiap tempat, belum lagi urusan biaya per jam yang tak terjangkau sembarang orang.
Pada 14 September 1995, misalnya, gawai tercanggih yang ada di Indonesia sedang diiklankan di halaman depan harian Kompas, di sisi kiri bawah.
"Telepon Genggam Paling Canggih di Kelasnya. Hanya Rp 1.945.000," adalah bunyi iklan dimaksud.
Ponsel "segede gaban" itu mereknya Alcatel, mendukung jaringan GSM, dengan bundle kartu SIM keluaran Satelindo. Siapa pun yang bisa menentengnya akan tampak gagah dan—tentu saja—mentereng.
Buat ukuran kantong orang Indonesia pada waktu itu, harga yang dibanderol lumayan bikin silau. Sebagai pembanding, nilai tukar rupiah pada hari itu terhadap dollar AS adalah Rp 2.300.
Jadi, kira-kira ponsel yang kalau beredar sekarang bisa keliru dikira batu bata itu berharga sekitar 846 dollar. Pakai kurs penutupan di pasar spot per Kamis (13/9/2018), Rp 14.840 per dollar AS seperti dilansir Bloomberg, harganya setara Rp 12,5 juta.
Dihitung-hitung, harga gawai itu setara dengan iPhone keluaran teranyar yang baru mulai bisa dipesan di sejumlah negara mulai 14 September 2018. Padahal, teknologinya masih GSM ya.
Bagaimana dengan komputer jinjing (laptop, netbook, ultrabook, dan sejenisnya)? Jawabannya ringkas saja, "Belum musim".
Komputer pribadi (personal computer/PC) berwujud desktop saja masih jarang ada di rumah-rumah—paling banter ya di perkantoran, sekolah, kampus, warung internet, dan rumah orang mapan.
Duh, kalau generasi millenial menggunakan PC tercanggih saat itu, mungkin ratapannya akan panjang, lebar, pendek, dalam, dan tinggi.
"Tercanggih" pada 1995 kurang lebih adalah memori (RAM) 8 MB, kapasitas penyimpanan (hardisk) 400 MB-1 GB, prosesor 33 MHz-66 MHz, monitor layar tabung ukuran 14-17 inci, dan modem berkecepatan 14,4 kbps-28,8 kbps. Harganya, kurang lebih 5.000 dollar AS.
Video arsip salah satu episode Computer Chronicle dari stasiun televisi PBS berikut ini memberikan gambaran cukup detail tentang komputer dan internet pada 1995. Latar video adalah Amerika Serikat dan wartawan The New York Times, John Markoff, sebagai narasumber utama.
Meski begitu, 1995 merupakan tahun penting dalam sejarah internet dan teknologi digital, sekalipun internet—yang aslinya adalah teknologi komputasi tetapi lalu berkembang luas juga sebagai teknologi telekomunikasi—bukan baru lahir pada tahun itu.
Seorang Jack Ma dengan Alibaba-nya pun mendapatkan "pencerahan" mengenai masa depan bisnis digital pada 1995 dan kini menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Cerita dia tentang itu pernah diunggah di laman Business Insider edisi 14 September 2014.
JEO ini adalah cerita soal Kompas.com mengarungi era digital sepanjang kurun 1995-2018. Pada hari ini, Jumat, 14 September 2018, Kompas.com memasuki usia 23 tahun.
Baca juga: Liputan Khusus Kompas.com dan 14 September 1995
Hadir pertama kali sebagai wajah dan wadah digital dari harian Kompas—dengan nama Kompas Online—, Kompas.com terus berdinamika dan kini menapaki era kolaborasi, babak tak terhindarkan dari transformasi digital yang telah bergulir melampaui prediksi ketika Netscape mengawali "ledakan" online pada 1995.
Begini kisahnya....
HARI itu, 23 tahun yang lalu, tepatnya Kamis 14 September 1995, harian Kompas halaman 1 memajang foto Presiden Soeharto sedang meneteskan vaksin polio kepada seorang anak. "Tahun 2000 Indonesia Bebas Polio", begitu judul berita di bawahnya.
Masih di halaman 1 harian Kompas, pebulu tangkis peringkat tiga dunia Ardy B Wiranata diberitakan menang melawan pemain Malaysia Ong Ewe Hock di Istora Senayan, Jakarta.
Pada hari yang sama itu pula, iklan soal gawai tercanggih—seperti diceritakan sebelumnya— terpajang.
Pembaca Kompas pada hari itu bisa jadi tak menyadari bahwa berita-berita yang ada di harian Kompas mulai dialihwujudkan ke bentuk digital.
Cikal bakal Kompas.com tayang pertama kali pada hari itu, lewat website kompas.co.id. Namanya, Kompas Online, disingkat KOL.
Tak ada pengumuman di koran Kompas yang mengabarkan kelahiran media baru ini. Ya, hari itu, 14 September 1995, lahir media digital bernama Kompas Online.
Namun, pada 22 Oktober 1995, pendiri Kompas Online, Rene L Pattiradjawane, menulis di harian Kompas dengan judul "Kompas Online: Informasi Masa Depan".
Kutipan pembuka tulisan tersebut, "...membawa pembaca surat kabar ke jenis informasi dan komunikasi perseorangan yang baru di masa depan..."
"...membawa pembaca surat kabar ke jenis informasi dan komunikasi perseorangan yang baru di masa depan..."
~Rene L Pattiradjawane~
Rasanya, kutipan tersebut memang mewakili tujuan dibentuknya Kompas Online yang sudah berada dalam jalur information superhighway sejak 14 September 1995.
Revolusi di bidang iptek dan telekomunikasi memang mengharuskan harian Kompas memilih untuk juga berada di dalam jalur internet.
Banyak pertimbangan yang bisa diberikan sebagai alasan harian Kompas berada di dalam jaringan internet, khususnya world wide web (www).
Misalnya, ada pertimbangan kecepatan mengakses berita-berita harian Kompas untuk para pembaca di luar Pulau Jawa, mengingat sistem transportasi tidak memungkinkan Kompas tiba pada pagi hari di wilayah-wilayah luar Pulau Jawa.
Ada juga pertimbangan globalisasi, karena koran akan menjadi mahal bagi para pembaca setia harian Kompas di Australia, Eropa, Jepang, atau AS untuk langsung berlangganan. Padahal, koran itu pun sulit diterima pada hari yang sama tersebab jarak. (Kompas, 22/10/1995)
Babak baru untuk mengarungi era digital sudah dimulai. Meski, internet baru disediakan beberapa provider, itu pun kecepatan modem maksimal 28,8 kbps.
Di Indonesia, penyedia layanan internet (Internet Service Provider/ISP) muncul pertama kali pada 1994, yaitu PT Indo Internet (Indonet). Sesudahnya, bermunculan PT Rahardjasa Internet (Radnet) (1995), Wasantara Network yang dikembangkan PT Pos Indonesia (1996), IndosatNet (1996), dan Telkomnet (1998).
Dengan gambaran harga komputer seperti pada bagian pertama tulisan ini, Asosiasi Jasa Penyelenggara Internet Indonesia (APJ2) pada 1998 menyebut pelanggan ISP hanya berjumlah 138.000. Asumsinya, pengguna internet tak lebih dari 512.000. Tentu, jumlah pengguna internet di Indonesia pada 1995 lebih sedikit lagi.
Rene dalam tulisan di harian Kompas edisi 22 Oktober 1995 menyebutkan, jumlah pembaca KOL dalam rentang 14 September 1995 hingga 21 Oktober 1995 mencapai 2.000 pengguna. Tentu, dibandingkan jumlah pengguna saat ini, jumlah itu tak seberapa.
Angka ini sejatinya mengejutkan, karena secara resmi memang belum pernah diumumkan bahwa harian Kompas sudah bisa diakses secara online.
Angka ini sejatinya mengejutkan, karena secara resmi memang belum pernah diumumkan bahwa harian Kompas sudah bisa diakses secara online.
Jangankan di Indonesia, di Amerika Serikat saja pada waktu itu dikatakan, pengakses terbanyak suatu situs "diramal" tak akan pernah lebih dari 20.000-30.000 per hari.
Tak adil membandingkannya dengan kenyataan hari ini, yang "real time" pengakses Kompas.com pada jam puncak atau peristiwa besar pun sudah jauh lebih banyak dari perkiraan maksimal itu.
Masih di artikel Rene, disebutkan bahwa koran cetak pasti lebih murah, mudah dibawa (portable), serta bagian-bagiannya bisa dipisah-pisahkan. Bahkan, ada lelucon, online melalui komputer tidak dapat dibawa ke kamar kecil seperti yang bisa dilakukan oleh surat kabar.
Tentu saja, lelucon di zaman itu sudah basi saat ini. Revolusi digital telah melompat melampaui prediksi siapa pun pada 1995, dengan dukungan teknologi perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang telah jauh berbeda.
Sebagaimana telah dipublikasikan di VIK "Kompas.com, Transformasi Digital Kompas", Kompas Online adalah generasi pertama media yang hadir di Internet Indonesia.
Seangkatan dengannya ada Republika Online (www.republika.co.id) yang paling pertama hadir pada 17 Agustus 1995 dan Tempo Interaktif (sekarang www.tempo.co) yang tayang perdana pada 6 Maret 1996.
Edisi pertama Kompas dalam wajah digital tampil dengan sangat sederhana jika dibanding dengan perkembangan teknologi web saat ini.
Edisi tertua yang masih dapat dilacak di laman web adalah edisi KOL yang terbit pada Jumat, 8 November 1996. KOL hadir dengan teknologi web 1.0 dalam format dua kolom.
Kolom paling kiri dengan latar berwarna biru menampilkan menu situs. Adapun kolom kedua menampilkan foto utama karya fotografer harian Kompas, mendiang JB Suratno, dengan judul “Undangan APEC”.
Foto itu menggambarkan Presiden Soeharto tengah menerima kunjungan kehormatan mantan Wakil Presiden Filipina Salvador H Laurel di ruang Jepara Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (8/11/2013).
Di era awal berkembangnya internet, Kompas Online harus mengandalkan beberapa staf "tukang html" untuk memublikasikan halaman statis Kompas secara online. Kerja manual dengan tools yang masih terbatas saat itu. Satu berita, satu halaman html.
Tahun lalu, 2017, pada saat Kompas.com berulang tahun ke-22, kisah para perintis tata wajah KOL atau lebih tepatnya kisah para "tukang html" generasi pertama diabadikan dalam video berikut ini:
VIK "Kompas.com, Transformasi Digital Kompas" juga memaparkan sejarah KOL yang kemudian menjelma menjadi perusahaan tersendiri, lepas dari harian Kompas pada 6 Agustus 1998. Nama yang digunakan adalah PT Kompas Cyber Media atau KCM.
KCM diluncurkan oleh Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama dalam sebuah acara di Hotel Santika, Jakarta, pada 6 Agustus 1998.
"KCM yang sudah muncul Internet tanggal 8 Juli (1998) lalu merupakan perluasan dan pengayaan Kompas Online atau Kompas di internet yang telah dimulai bulan September 1995," kata Direktur Utama KCM Ninok Leksono saat membuat acara peluncuran resmi KCM.
KCM lantas menambah kekuatan dengan merekrut tim editorial sendiri terpisah dari harian Kompas. Mereka adalah tim yang khusus mengerjakan berita-berita untuk online.
KCM adalah tahapan kedua tranformasi digital Kompas yang mulai memproduksi sendiri berita-berita yang khusus ditujukan untuk versi online-nya. Selain mencari pemasukan melalui iklan, bisnis lain yang dikembangkan adalah jasa pembuatan web dan pemeliharaannya.
Hadirnya KCM dengan berita-berita update yang diproduksi sendiri berhasil memperluas khalayak pembaca Kompas, utamanya pembaca-pembaca baru yang berkerumun di internet seiring dengan bertumbuhnya pengguna internet di Indonesia.
Baca selengkapnya sejarah Kompas.com secara multimedia di VIK "Sejarah Kompas.com".
Kini, 23 tahun usia Kompas.com. Era media telah banyak berubah wajah. Perbandingan pengguna peranti mobile, yang sebelumnya tak pernah dikenal di era 1995, kini sudah mencapai 80 persen. Pengguna desktop pun semakin susut, bahkan menjadi minoritas.
Laiknya anak manusia yang lahir, tumbuh, dan kembang, kini tantangan Kompas.com juga telah melampaui bayangan pada 1995.
Sempat berganti nama pada beberapa kurun masa dan berlabuh di nama Kompas.com, wujud tantangan itu tentu bukan lagi ponsel "segede gaban" atau prosesor berkecepatan 33 MHz.
Lalu apa?
MODEL bisnis yang teramat dinamis dan harus berhadapan dengan raksasa teknologi—termasuk media sosial dan mesin pencari—sudah merupakan tantangan yang bikin sakit kepala pengelola media berbasis digital seperti Kompas.com.
Serasa belum cukup, hoaks dan disinformasi—kerap disebut sebagai fake news meski sebenarnya tidak tepat terminologinya—pun menyerbu setiap sudut jelajah media online.
Anggapan salah kaprah bahwa media online hanya mampu menayangkan berita-berita pendek tak berbobot juga masih sesekali menjadi bayang-bayang gelap bagi langkah Kompas.com.
Berhadapan dengan ragam dan skala tantangan yang berasa berbatas langit, Kompas.com memilih jalan lempang tertib jurnalistik dan berjibaku dengan inovasi tiada henti.
Setelah menggulirkan Visual Interaktif Kompas (VIK) yang antara lain memenangi penghargaan dari asosiasi penerbit dan koran (WAN-IFRA), misalnya, Kompas.com menggagas lagi produk yang dilabeli JEO.
"Kami membuat JEO sebagai sebuah upaya jurnalistik untuk mengkurasi dan memberi makna atas peristiwa di tengah arus informasi yang deras membanjir," ungkap Pemimpin Redaksi Kompas.com, Wisnu Nugroho.
"Di tengah banjir informasi saat ini, kami hendak mengembalikan informasi sebagai sumber pengetahuan, bukan sumber kecemasan."
~Wisnu Nugroho~
Pemberian makna lewat produk baru itu, lanjut Wisnu, dilakukan secara utuh agar informasi yang dikurasi menjadi lebih jelas duduk perkaranya.
"Di tengah banjir informasi saat ini, kami hendak mengembalikan informasi sebagai sumber pengetahuan, bukan sumber kecemasan," tutur Wisnu.
Tentu, JEO bukan satu-satunya inovasi. Kolaborasi bersama sejumlah perupa Indonesia juga dilakoni. Wujudnya, Kompas.com menyediakan semacam katalog digital yang dapat menjadi tempat bagi para perupa memanggungkan karya yang dapat dinikmati banyak orang.
"Kami menyebut proyeknya, We Art Museum, dan proyek ini di tahap awal akan tampil secara digital di art.kompas.com," sebut Wisnu.
Secara organisasi, Kompas.com juga tak mampat di tempat. Jumlah personel, misalnya, masih terus tumbuh. Bahkan, Kompas.com kini menambah struktur jejaring organisasi di Solo, Jawa Tengah.
Dari sisi jurnalistik, tegas Wisnu, kualitas produk terus dikawal dan diasah. "Sejak 2016, kami menegaskan posisi Kompas.com sebagai popular, high quality, online journalism," sebut dia.
Di tengah semua tantangan yang sekali waktu tak dimungkiri terasa menyesakkan sekalipun juga mengalirkan deras adrenalin untuk tak henti berpacu, keyakinan yang terus dijaga bersama di Kompas.com adalah bahwa jurnalistik berkualitas akan selalu bertahan serta mendapat tempat di hati audiens dan mitra pengiklan.
"Good journalism is a good business," imbuh Wisnu.
Soal produk berkualitas tetapi tetap populer dan menjangkau audiens millenial, Kompas.com juga punya produk video yang sudah rutin bergulir di semua kanal dan produk. Bahkan, salah satu short movie besutan tim Kompas Tekno telah pula diakui dengan mendapat penghargaan di tingkat Asia.
Bertajuk "Bersama Lebih Lama", begini short movie itu:
Kompas.com tentu saja bukan produk media massa berbasis digital yang hidup di ruang hampa. Dalam artian, tantangan dan peluang yang membentang di depan akan senada dengan tren di banyak negara.
"Tren media massa di Indonesia tengah berubah dan tengah mencari bentuk keseimbangan yang baru karena hadirnya digital. Semua platform tengah menyesuaikan diri dan menemukan audiensnya," papar Wisnu.
Di tengah semua dinamika tersebut, kolaborasi menjadi pilihan yang menggenapi segala langkah Kompas.com. Sebagaimana hari-hari ini banyak diulas dan digaungkan para pemerhati dan pakar, kolaborasi adalah jalan untuk menapaki lajur terdepan di jalur transformasi digital.
Apakah masa depan sudah mendapatkan gambaran karenanya? Hanya waktu dan semesta yang dapat memberikan jawaban, tetapi langkah dan kerja-kerja nyata yang bertekun diupayakan pada hari ini tak akan pernah sia-sia.
Waktu dan semesta merupakan ruang dan medium. Semua personel di Kompas.com, pembaca, dan mitra kerja, sejatinya adalah para pemegang kunci akan seperti apa masa depan yang dijalani bersama ke depan.
Kini, waktunya kolaborasi....