Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) harus tumbuh dan berkembang di tengah arus deras stigma atas HIV dan AIDS serta minimnya pengetahuan publik tentang penyakit ini. Apa salah bayi dan anak-anak ini?
CITA-CITANYA mulia sekaligus sederhana. Jadi guru matematika. Biasa, matematika jadi pelajaran yang digemari, sebagai alasannya.
Umurnya 14 tahun. Inisial namanya M. Baru saja jadi ranking satu di kelas, salah satu kelas SMP Negeri di Solo, Jawa Tengah.
"Dulu waktu SD memang dapat peringkat dua atau empat. Terus kemarin pas kelas satu SMP, dapat ranking satu," ucap M sambil tertawa, Rabu (17/7/2019).
Secara perawakan dan penampakan, M seperti anak perawan seusianya. Dia pun mudah akrab, bahkan dengan orang yang baru kenal, sepanjang merasa nyaman.
Faktanya, M adalah anak dengan HIV/AIDS (ADHA).
Di usianya yang baru belasan ini, kejamnya stigma dan diskriminasi sudah menjadi bagian dari cerita hidupnya.
M lahir di Kediri, Jawa Timur. Ibu mereka meninggal karena HIV/AIDS. Sejak itulah M dan adiknya mengenal dan merasakan diskriminasi.
"(Waktu itu), mereka kemudian diberi ruang di kelurahan, sebelum kami bawa ke Lentera," ujar Yunus Prasetyo, salah satu pendiri Yayasan Lentera, Rabu (17/7/2019).
Bagi M, adiknya, dan 39 anak lain, Yayasan Lentera merupakan "rumah". M dan adiknya tinggal di sini sejak empat tahun lalu.
Yayasan Lentera merupakan salah satu lembaga yang menampung, menaungi, dan mengadvokasi ADHA.
M yang berprestasi, sayangnya bukanlah wajah mayoritas dari ADHA di Indonesia. Pemberitaan yang mencuat justru adalah tentang ADHA yang terdiskriminasi.
Bukan hanya dari satu kota, ADHA dikucilkan, dikeluarkan dari sekolah, bahkan sampai meninggal karena tak mendapat perawatan dan perlakuan tepat.
Padahal, mereka juga anak-anak Indonesia, yang seharusnya punya hak persis seperti semua anak-anak lain.
Tumbuh kembang, akses pendidikan, akses kesehatan, dan kesempatan-kesempatan mewujudkan impian, tak seharusnya begitu saja direngut dari mereka.
Stigma jadi arus deras yang menyambut kehidupan anak-anak ini. Padahal, sebagian besar dari mereka menjadi ADHA bukan karena perilaku apalagi kesalahannya.
Padahal lagi, HIV/AIDS bukanlah penyakit yang menular segampang flu apalagi dari berjabat tangan.
JEO ini merupakan tulisan pembuka tentang ADHA. Kompas.com bersama harian Kompas, Kompas TV, dan Kontan, menyajikan kisah ADHA secara bersama-sama mulai edisi 22 Juli 2019.
Bagi kami, ADHA merupakan bagian dari mereka yang termarjinalisasi. Kami menyebut kolaborasi kerja 4 K—empat huruf depan nama media kami—sebagai "Voice for Voiceless".
"Salah satu tugas jurnalisme, menyuarakan mereka yang suaranya tidak terdengar. Kami mencoba menyuarakannya dalam bentuk liputan khusus, Voice for Voiceless. Rangkul Anak dengan HIV/AIDS menjadi tema pekan ini," ungkap Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Sutta Dharmasaputra, selaku "dirigen" dari kerja bareng ini, Minggu (21/7/2019).
Kompas TV akan menyajikan pula rangkaian peliputan dan eksperimen sosial terkait ADHA dalam program Berkas Kompas yang akan tayang pada Selasa (23/7/2019), bertepatan dengan peringatan Hari Anak Se-Dunia.
Saatnya merangkul ADHA.
APA yang spontan terlintas di benak Anda, ketika disebutkan HIV/AIDS?
Maukah Anda merangkul anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA)? Akankah Anda mengizinkan anak-anak Anda bermain dan bersekolah bersama ADHA?
Kumpulan dari apa pun jawaban Anda atas pertanyaan-pertanyaan di atas, akan menjadi akumulasi dari apa yang akan dialami ADHA dalam kehidupan nyata.
Yang mana pun, tentu saja. Bisa baik atau sebaliknya buruk.
Inisiator Lentera Anak Pelangi (LAP) Prof Irwanto, PhD pernah mengungkapkan, 80 persen anak di lembaganya sudah tak lagi memiliki orangtua. Lalu, kerabat mereka cenderung menolak untuk merawat anak-anak ini.
"Karena keluarga takut," ujar Irwanto, saat diwawancara Kompas.com pada Sabtu (4/3/2017).
Itu jawaban dua tahun lalu. Bagaimana kondisi terkini?
"HIV/AIDS selalu dianggap penyakit kutukan sehingga dijauhi dan ada hukuman dari masyarakat. Padahal, orang baik-baik pun bisa tertular HIV," kata Komisioner bidang kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dr Sitti Hikmahwatty, ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (16/7/2019).
Stigma soal HIV/AIDS ini jadi simalakama. Fenomena orang dengan HIV/AIDS (ODHA), termasuk ADHA, menjadi bak gunung es. Hanya sejumlah kecil yang tampak di permukaan.
Hikmah, panggilan Sitti Hikmahwatty, menyebut masyarakat masih takut memeriksakan diri karena stigma yang ada. Perlakuan terhadap ADHA pun tak lepas dari stigma yang tumbuh subur karena ketidaktahuan atau minimnya pengetahuan masyarakat.
HIV tidak menular melalui penggunaan bersama toilet, gigitan nyamuk atau serangga, pemakaian bersama alat makan, bersalaman, berpelukan, tinggal serumah, apalagi sekadar bermain bersama secara wajar laiknya anak-anak seusia ADHA.
Soal penularan HIV/AIDS, misalnya. Dr Nia Kurniati SpA(K), dari Unit Pelayanan Terpadu HIV RSCM Jakarta mengatakan, hingga saat ini masih saja banyak orang yang mengira penularan HIV/AIDS semudah flu menyebar melalui udara.
Padahal, kata Nia, HIV tidak menular melalui penggunaan bersama toilet, gigitan nyamuk atau serangga, pemakaian bersama alat makan, bersalaman, berpelukan, tinggal serumah, apalagi sekadar bermain bersama secara wajar laiknya anak-anak seusia ADHA.
"Penularan HIV ada beberapa level. Kalau ADHA dalam kondisi sehat, risikonya rendah sekali (menularkan HIV) karena biasanya virusnya tidak ada di darah tepi. Jadi, penularan lewat luka gores sangat rendah kemungkinannya," papar Nia.
Kuncinya ada pada rutin mengonsumsi obat untuk HIV. Namun, namanya meminum obat tentu tidak menyenangkan. Bagi anak-anak, rasanya lebih-lebih lagi. Sudah begitu, harus seumur hidup.
M bertutur, sebulan sekali dia harus kontrol ke rumah sakit. Dari situ, obat akan didapat, yang lalu harus diminum dua kali sehari.
"Harus ikut kalau kontrol. Karena kalau anaknya (yang sakit) tidak ikut, obatnya tidak bisa diambil," tutur M.
Film pendek “Run Boy Run” karya Aji Aditya berikut ini menggambarkan bagaimana rasanya ADHA yang sudah kehilangan sang ibu, meski bapaknya masih ada, ketika harus rutin ke rumah sakit dan masih berhadapan dengan stigma masyarakat soal HIV/AIDS.
Menteri Kesehatan Prof Dr dr Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, SpM, menegaskan pula, HIV dapat diobati. Virus yang ada di dalam tubuh dapat ditekan jumlahnya, bahkan tidak aktif.
Ibu hamil yang sudah dinyatakan HIV pun punya kesempatan untuk melahirkan anak-anak yang tidak terkena HIV. Syaratnya, periksakan diri segera bila berisiko.
Bahkan, Kementerian Kesehatan telah menginiasi anjuran bagi setiap ibu hamil untuk menjalani pemeriksaan HIV.
"Inilah satu upaya yang harus kita lakukan. Tadi saya katakan, HIV ini bila tidak kita tekan virusnya ini, nanti akan masuk kepada anak yang ada dalam kandungan ibunya," tegas Nina, dalam wawancara khusus Kompas TV bersama Kompas.com, harian Kompas, dan Kontan, Selasa (16/7/2019).
Kementerian Kesehatan juga memastikan siapa pun—termasuk masyarakat umum—yang dinyatakan positif HIV akan mendapatkan fasilitas pengobatan yang didanai APBN dan bantuan.
Harus ada kesadaran diri dan kesadaran bersama untuk memeriksakan diri.
"Harus ada kesadaran diri dan kesadaran bersama untuk memeriksakan diri. Lalu (bagi mereka yang positif HIV) rutin minum obatnya agar jumlah virusnya tidak bertambah, tidak berkembang menjadi AIDS, dan yang terpenting tidak menular ke pasangan (bagi orang dewasa) dan anak dalam kandungan ibu hamil," tegas Nina.
Dengan tren penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seks tidak aman, penularan dari ibu kepada anak melalui plasenta dan atau air susu ibu (ASI), dan barulah transmisi lain seperti penggunaan bersama jarum suntik tidak steril dan transfusi darah, ungkap Nina, ADHA harus dilihat sebagai korban.
"Dalam tanda kutip, ADHA ini korban. Dia tidak bersalah kok. Tapi, kan, kasihan kalau harus kena stigma. Tapi, dia juga harus rutin minum obat," ujar Nina.
Meski bukan semata bidang tugasnya, Nina melihat stigma menjadi simalakama. Ibu hamil, ujar dia, cenderung enggan memeriksakan diri untuk kemungkinan HIV karena bisa jadi tidak merasa pernah berhubungan seks tidak sehat.
Ketika memeriksakan diri lalu kedapatan positif HIV, stigma yang ditanggung pun cenderung luar biasa.
"Itu berat, menurut saya. (Akan muncul pertanyaan pertama), ini dia dapat dari mana? Mulai deh dia ribut, berantem (dengan pasangan dan keluarga). Itu kan memang betul agak sensitifnya kan di sana," kata Nina.
Faktor edukasi publik terkait HIV/AIDS dan perilaku seks tidak aman, lanjut Nina, karenanya menjadi signifikan. Terkait perilaku seks tidak aman, misalnya, seharusnya juga jadi perhatian banyak kalangan, termasuk yang menangani bidang pendidikan dan keagamaan.
"Ini tugas bersama. Kita semua," tegas Nina.
MENANGKAL stigma, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui terlebih dahulu apa yang hendak ditangkal. Dalam hal ini, tentu saja, apa itu HIV/AIDS.
HIV merupakan kependekan dari human immunodeficiency virus. Ini merupakan virus penyebab AIDS, yang adalah kependekan dari acquired immune deficiency syndrome.
Masyarakat Indonesia kerap masih rancu dalam membedakan HIV dan AIDS. Kerancuan terkait pemahaman tersebut lalu menciptakan persepsi bahwa orang dengan HIV (ODHA) sudah pasti terkena AIDS. Atau, ODHA tinggal menunggu waktu untuk meninggal.
“Ini yang salah kaprah di masyarakat," kata dr Adyana Esti, tenaga medis Klinik Angsamerah, Jakarta, saat berbincang dengan Kompas.com, pada medio Agustus 2018.
Esti menegaskan, orang dengan HIV masih bisa hidup normal dan mengejar mimpi mereka, asal mendapat pengobatan yang cepat dan tepat.
"HIV tidak selalu berakhir dengan AIDS, namun orang dengan AIDS sudah pasti terserang virus HIV," ujar dia.
Esti menjelakan, HIV adalah jenis virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia. Virus tersebut menyerang T cell, yang merupakan salah satu bagian dari sel darah putih yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh.
Bila T cell rusak, tubuh akan kehilangan kemampuan mengenali virus dan bakteri yang masuk ke dalam tubuh.
Sementara, AIDS adalah kondisi yang timbul akibat rusaknya sistem pertahanan tubuh karena virus HIV.
"Sehingga, orang dengan AIDS adalah orang yang terserang HIV," sebut Esti.
Rentang waktu HIV berubah menjadi AIDS sangat relatif, tergantung perawatan dan kecepatan penanganannya.
"Harapan hidup orang yang terinfeksi HIV bisa selayaknya orang normal, bila ditangani dan mendapat pengobatan yang tepat," tegas Esti.
ARV (antiretroviral) adalah obat yang dipakai untuk menghambat aktivitas HIV agar tubuh ODHA memiliki kesempatan membangun sistem kekebalan.
Bila sistem kekebalan tubuh ODHA baik, tubuh mampu melawan infeksi yang datang, sehingga mereka memiliki kualitas hidup yang baik dan harapan hidup yang lebih panjang.
Dengan pengobatan dan kontrol yang baik dan benar maka sangat mungkin ODHA memiliki pasangan yang bukan ODHA, dan tidak menularkan. Begitu juga ibu dengan ODHA bisa melahirkan anak yang tidak terinfeksi HIV.
Akses ARV pun bisa sampai ke tingkat Puskesmas. Dalam wawancara khusus dengan Menteri Kesehatan, saat ini ada 7.000 puskesmas di Indonesia yang melayani pemeriksaan HIV dan pemberian ARV bagi mereka yang kedapatan positif ARV.
Nantikan artikel lain dari edisi Voice for Voiceless untuk tema Merangkul ADHA di Kompas.com, harian Kompas, dan Kontan. Simak juga tayangan Berkas Kompas di Kompas TV edisi 23 Juli 2019, untuk tema ini.
#RangkulADHA #VoiceForVoiceless #4K