JEO - News

Ahok Bebas

Kamis, 24 Januari 2019 | 10:11 WIB

Saya mohon maaf dan saya keluar dari sini dengan harapan, panggil saya BTP, bukan Ahok. Saya di sini belajar menguasai diri seumur hidup saya,”

~Basuki Tjahaja Purnama~
Lewat surat yang fotonya diunggah di akun twitter @basuki_btp

 

 

HARAPAN itu disampaikan Basuki Tjahaja Purnama dalam surat yang dia tulis tujuh hari menjelang kebebasannya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut berharap dipanggil BTP karena ingin menjadi sosok yang baru setelah belajar menguasai diri selama menjalani hukuman pidana.

Pria yang sebelumnya akrab disapa Ahok itu telah menjalani vonis dua tahun penjara dan bebas pada Kamis (24/1/2019). Vonis itu dia dapatkan karena dinyatakan terbukti melakukan penodaan agama.

KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO
Terdakwa kasus dugaan penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat mengikuti sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5/2017). Majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun penjara.

Selama menjalani masa hukuman, Ahok tidak mengajukan banding, menolak menggunakan peluang pembebasan bersyarat, dan tidak mengambil hak cuti. Namun, ia mengajukan upaya pengajuan kembali (PK) yang kemudian ditolak lewat putusan PK Mahkamah Agung (MA).

Selama menjalani hukuman, Ahok mendapatkan potongan masa hukuman dari tiga kali remisi. JEO ini merunut ulang perjalanan kasus yang menjerat Ahok hingga menjelang dia kembali menghirup udara bebas.

AWAL PERKARA


PADA 16 November 2016, Ahok ditetapkan menjadi tersangka dugaan penodaan agama. Pidatonya saat melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016, jadi pangkal persoalan.

Dalam salah satu pernyataannya di situ, Ahok mendebat pemahaman tentang salah satu ayat Al Quran. Pernyataan itu diartikan sebagai penghinaan. Sejumlah organisasi masyarakat melaporkannya ke Polda Metro Jaya dan Bareskrim Mabes Polri.

Pada 7 November 2016, polisi meminta keterangan Ahok terkait perkara ini untuk pertama kali. Diperiksa selama 22 jam, dia mendapatkan 22 pertanyaan. Bareskrim juga melakukan gelar perkara terbuka, termasuk  memanggil sejumlah saksi ahli dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama.

KOMPAS/LASTI KURNIA
Suasana gelar perkara kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama digelar di gedung Rupatama, Mabes Polri, Jakarta, Selasa (15/11/2016). Polri mengundang pihak pelapor dan terlapor serta menghadirkan sejumlah saksi ahli dari kedua belah pihak dan juga saksi yang dihadirkan pihak kepolisian. *** Local Caption *** Suasana gelar perkara kasus dugaan penistaan agama yang yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) digelar di gedung Rupatama, Mabes Polri, Jakarta, Selasa (15/11). Polri mengundang pihak pelapor dan terlapor dan menghadirkan sejumlah saksi ahli dari kedua belah pihak.

Hasilnya, Ahok ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)  juncto Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Meski ditetapkan sebagai tersangka, Ahok tidak ditahan. Polisi menilai Ahok bersikap kooperatif. Sebelumnya, Ahok juga meminta maaf kepada umat Islam terkait pidato yang dipersoalkan tersebut. 

"Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau apa," kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (10/10/2016).

Gelombang aksi

Perkara yang melibatkan gubernur aktif dan juga salah satu kandidat untuk pemilihan kepala deaerah (pilkada) periode berikutnya ini mengundang sejumlah aksi. 

Sebelum penetapan tersangka, beberapa organisasi kemasyarakatan dan keagamaan menggelar aksi unjuk rasa meminta Ahok diproses hukum. Salah satunya bertajuk Aksi Damai 411, karena digelar pada 4 November 2016. 

Aksi tersebut digelar di beberapa lokasi, seperti di Balai Kota DKI Jakarta, Istana Negara, Jalan Merdeka Barat, dan Jalan Merdeka Timur—yang semuanya ada di Jakarta Pusat. Sejumlah perwakilan menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla. 

Pertemuan dilakukan tertutup dengan dihadiri sejumlah pejabat negara seperti Menko Polhukam Wiranto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Dalam pertemuan, Kalla meminta kepolisian mempercepat pengusutan dugaan kasus yang menjerat Ahok. 

Keputusan kepolisian yang tidak langsung menahan Ahok begitu dia ditetapkan sebagai tersangka juga kembali memicu unjuk rasa. Aksi 212—karena digelar pada 2 Desember 2016—melibatkan peserta yang membludak, melebihi aksi-aksi lain sebelumnya terkait perkara ini. 

KOMPAS.com/ANDREAS LUKAS ALTOBELI
Ribuan pengunjuk rasa bersiap untuk melaksanakan ibadah shalat Jumat saat hujan turun pada Aksi 212 atau Doa Bersama pada 2 Desember 2016, di Jakarta, Jumat (2/12/2016). Selain mendoakan kesatuan Indonesia, massa juga mendesak pihak terkait agar segera menuntaskan kasus dugaan penistaan agama

Berpusat di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Aksi 212 diisi dengan doa bersama, tausiyah, dan shalat Jumat berjamaah di lokasi aksi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyambangi aksi ini meski di tengah guyuran hujan dan mengapresiasi unjuk rasa yang berlangsung damai tersebut.

"Terima kasih atas doa dan zikir yang dipanjatkan bagi negara kita. Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Saya ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya karena seluruh jemaah hadir tertib dalam ketertiban sehingga acaranya bisa berjalan baik," kata Jokowi.

PERSIDANGAN

 

SIDANG perkara Ahok bergulir sebanyak 22 kali selama kurang lebih lima bulan, yaitu dari Desember 2016 sampai Mei 2017—saat vonis dijatuhkan. 

Sidang berlangsung setiap Selasa di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan. Selain tak pernah sepi pengunjung, sidang juga tak jarang berlangsung hingga dini hari.

Beberapa saksi ahli, saksi fakta, saksi memberatkan, dan saksi meringankan dihadirkan selama persidangan kasus ini, baik dari jaksa maupun dari pembela. 

Dakwaan

Sidang dakwaan digelar pada 13 Desember 2016. Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum (JPU) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara mengenakan Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP tentang penodaan agama.

Setelah pembacaan dakwaan, Ahok langsung membacakan nota keberatan atau eksepsinya. Namun, eksepsinya ditolak majelis. 

Tuntutan

Sidang tuntutan digelar pada 20 April 2017. Ahok dituntut hukuman 1 tahun penjara dengan 2 tahun masa percobaan. 

KOMPAS/ALIF ICHWAN
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berdiskusi dengan penasehat hukumnya, saat mengikuti sidang lanjutan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (11/4/2017). Sidang lanjutan dengan agenda tuntutan tersebut ditunda hingga Kamis (20/4/2017) karena jaksa penuntut umum belum siap dengan surat tuntutan.

Jaksa mengenakan Pasal 156 KUHP karena Ahok pernah mengeluarkan buku dengan judul Merubah Indonesia. Di dalam buku itu 

Di dalam buku tersebut termuat penjelasan bahwa yang dimaksud Ahok dengan "membohongi pakai Al Maidah ayat 51" yang menjadi pangkal perkara ini adalah para oknum elite politik.

"Perbuatan saudara secara sah dan meyakinkan telah memenuhi unsur 156 KUHP. Oleh karena itu, terdakwa harus dijatuhi pidana 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun," kata jaksa Ali Mukartono saat membacakan tuntutannya.

Menurut JPU, hal yang memberatkan tuntutan adalah Ahok dinilai menimbulkan keresahan dan kesalahpahaman di kalangan masyarakat.

Adapun pertimbangan yang meringankan adalah video unggahan Buni Yani. Menurut JPU, video tersebut telah menyebabkan kegaduhan karena tidak utuh hingga akhirnya menimbulkan reaksi masyarakat. 

Hal lain yang meringankan tuntutan yakni perilaku Ahok yang bersedia mengikuti proses hukum.

Vonis

 

Sidang pembacaan vonis digelar pada 9 Mei 2017 di PN Jakarta Utara. Ahok dijatuhi vonis 2 tahun penjara. 

Ahok dinyatakan terbukti menodai agama dan melanggar Pasal 156a KUHP. Vonis hakim ini lebih berat dibandingkan tuntutan jaksa.

"Menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama dan menjatuhkan penjara selama 2 tahun," ujar Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto.

KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO
Massa pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menggelar acara Malam Solidaritas Matinya Keadilan di Tugu Proklamasi, Jakarta, Rabu (10/5/2017). Mereka menggelar doa bersama serta menyalakan lilin untuk menuntut keadilan mengenai kasus penodaan agama yang menimpa Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama.

Hal yang memberatkan hukuman, Ahok dinilai tidak merasa bersalah dan perbuatannya telah menimbulkan keresahan, mencederai umat Islam, serta dapat memecah kerukunan antar-umat beragama dan antar-golongan.

Adapun hal-hal yang meringankan yakni sikap kooperatif Ahok selama masa persidangan dan sebelumnya tidak pernah dihukum.

Masuk tahanan

Setelah pembacaan vonis, Ahok langsung ditahan. Penahanan ini merupakan bagian dari putusan majelis hakim.

Salah satu pertimbangan hakim yakni pada saat masa penyidikan hingga persidangan, Ahok tidak ditahan.

Majelis hakim dan pengadilan dapat memerintahkan Ahok untuk ditahan berdasarkan Pasal 193 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
Terpidana kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok melambaikan tangan saat tiba di rumah tahanan LP Cipinang, Jakarta, Selasa (9/5/2017). Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan menjatuhi hukuman Ahok selama dua tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 156 KUHP tentang penodaan agama.

Penahanan dilakukan karena dikhawatirkan selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana lainnya.

Ahok sempat ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang, Jakarta Timur. Namun, pada hari yang sama, dia dipindahkan ke Rutan Mako Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, dengan alasan keamanan.

DARI BATAL BANDING HINGGA UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI

 

AWALNYA, Ahok berencana mengajukan banding atas vonis hakim. Belakangan, niat itu batal dilakukan.

Dalam surat yang dia tulis di penjara dan dibacakan oleh—kini mantan istrinya—Veronica Tan, Ahok mengatakan, warga DKI mengalami kerugian baik dari sisi kemacetan maupun ekonomi akibat unjuk rasa yang terus terjadi, semenjak perkaranya mencuat.

Selain itu, Ahok juga khawatir ada pihak-pihak yang menunggangi aksi unjuk rasa para relawan pendukungnya. Belum lagi, kata dia, ada potensi benturan dengan pihak yang berseberangan.

AFP PHOTO / GOH CHAI HIN
Veronica Tan menangis saat membacakan tulisan tangan suaminya, Basuki Tjahaja Purnama, saat jumpa pers di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (23/5/2017). Keluarga Ahok telah memutuskan untuk membatalkan banding dalam kasus penodaan agama.

"Tetapi saya sudah belajar mengampuni dan menerima semua ini. Jika untuk kebaikan kita dalam berbangsa dan bernegara," ucap Veronica saat membacakan surat Ahok.

Jaksa juga awalnya mengajukan banding atas vonis Ahok. Namun, pengajuan banding dicabut setelah dipastikan Ahok batal banding.

Dengan tidak adanya pihak berperkara yang mengajukan banding, vonis PN Jakarta Utara atas Ahok otomatis berkekuatan hukum tetap dan status Ahok menjadi terpidana.

Meski demikian, Ahok tetap dititipkan di Rutan Mako Brimob. Hanya, secara administrasi dia terdaftar sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1 Cipinang.

Mundur dari Gubernur DKI

Dua pekan setelah sidang pembacaan vonis, Ahok mengundurkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tepatnya, surat pengunduran diri disampaikan kepada Presiden Jokowi pada 23 Mei 2017. 

Sebelumnyai, Ahok diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur terkait dengan kasus yang menjeratnya. Surat pengunduran diri tersebut menjadi salah satu dasar pemberhentian tetap dari kursi Gubernur DKI bagi Ahok. 

"Pemberhentian sementara dasarnya bukan pengajuan surat pengunduran diri, tapi karena vonis ditahan. Sedang surat pengunduran diri dari Pak Ahok untuk salah satu dasar pemberhentian tetapnya," ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono, Rabu (24/5/2017.

Surat keputusan pemberhentian tetap Ahok diproses setelah kasus yang menjeratnya dinyatakan berkekuatan hukum tetap.

Upaya Peninjauan Kembali

Ahok mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung pada 2 Februari 2018.

Kuasa hukum Ahok, Josefina Agatha Syukur mengatakan, tidak ada alasan khusus mengapa Ahok mengajukan PK setelah delapan bulan vonis penjara dijatuhkan hakim.

Pengajuan PK merupakan permintaan Ahok setelah berdiskusi dengan kuasa hukumnya.

"Soal PK masa permintaan dari orang lain, karena yang boleh mengajukan PK ya, Pak Ahok. Kami baru mengajukan PK, artinya baru dibicarakan," kata Josefina, Kamis (22/2/2018). 

Dalam memori PK yang diajukan, Ahok membandingkan putusan hakim terhadap Buni Yani di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, dengan putusan hakim PN Jakarta Utara untuk dirinya. Vonis terhadap Buni Yani itu diajukan sebagai bukti baru (novum) untuk PK. 

PK juga diajukan kuasa hukum Ahok dengan dasar dugaan majelis hakim khilaf atau keliru dalam mengambil keputusan lantaran saksi yang diajukan pihak Ahok ada yang tidak dipertimbangkan dan Ahok langsung ditahan.

Hakim Agung Artidjo Alkostar, Salman Luthan, dan Sumardijatmo ditunjuk menangani PK yang diajukan Ahok. MA menolak upaya PK ini pada 26 Maret 2018. Seluruh alasan yang diajukan untuk upaya PK tersebut ditolak. 

 

MASA HUKUMAN HINGGA JELANG PEMBEBASAN

 

SELAMA menjalani masa hukuman, Ahok menolak menggunakan hak pembebasan bersyarat. Meski demikian, total masa hukuman yang dia jalani juga berkurang dari vonis hakim karena remisi yang dia dapatkan. 

Tolak pembebasan bersyarat

Pada Agustus 2018, media sosial riuh dengan kabar pembebasan bersyarat Ahok. Keriuhan itu menggunakan dasar perhitungan waktu bagi Ahok untuk dapat memperoleh hak pembebasan bersyarat. 

Hitungannya, Ahok harus telah menjalani dua pertiga masa hukuman. Selain itu, pembebasan bersyaratnya juga tidak boleh lebih lama dari 9 bulan. Berdasarkan perhitungan tersebut, Ahok sudah dimungkinkan mengajukan pembebasan bersyarat pada Agustus 2018. 

"Jadi, posisinya Pak Ahok itu benar bahwa bulan Agustus (2018) jatuh tempo dua pertiga (masa hukuman). Itu artinya Agustus (2018) itu beliau sudah bisa mendapat pembebasan bersyarat apabila persyaratan administratif terpenuhi," ujar Kepala Lapas Klas 1 Cipinang Andika Dwi Prasetya kepada Kompas.com, Rabu (11/7/2018).

Andika mengatakan, pembebasan bersyarat merupakan hak semua narapidana. Namun, narapidana juga berhak untuk tidak mengikuti pembebasan bersyarat itu.

Menanggapi kabar tersebut, adik sekaligus pengacara Ahok, Fifi Lety Indra mengunggah foto dirinya bersama Ahok ke akun @fifiletytjahajapurnama di Instagram. Dalam keterangan foto, Fifi menulis bahwa Ahok tidak akan menggunakan hak pengajuan pembebasan bersyarat.

Berikut ini foto dengan keterangan yang menjelaskan soal penolakan penggunaan hak pengajuan pembebasan bersyarat dimaksud.

Remisi

Selama menjalani hukuman, Ahok mendapatkan tiga kali remisi. Pertama, remisi 15 hari pada Natal 2017. Kedua, remisi dua bulan pada HUT ke-73 RI pada 2018. Ketiga, remisi satu bulan pada Natal 2018.

Dari ketiga remisi tersebut, total pemotongan masa hukuman Ahok adalah tiga bulan 15 hari. Dengan perhitungan ini, Ahok bebas murni pada Kamis (24/1/2019), dengan menyelesaikan seluruh masa hukuman yang telah dipangkas remisi. Total masa hukuman yang dijalani Ahok adalah 1 tahun 8 bulan 15 hari. 

"Jika diperhitungkan sejak penahanan 9 Mei 2017, (Ahok) akan bebas pada Januari 2019," ujar Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Ade Kusmanto. 

Perjalanan Kasus Hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Kembali ke Lapas Cipinang

Ahok menjalani seluruh masa tahanannya di Rutan Mako Brimob sejak majelis hakim memerintahkan penahanan pada putusan di PN Jakarta Utara, meski dia sempat sejenak singgah di Rutan Cipinang.

Pada hari pembebasan, Kamis (24/1/2019), Ahok akan keluar dari Rutan Mako Brimob tetapi tidak langsung menghirup status warga negara bebas. Dia harus terlebih dahulu ke Lapas Klas 1 Cipinang, karena statusnya memang warga binaan lapas tersebut. 

Surat pembebasan Ahok akan ditandatangani Kepala Lapas Klas 1 Cipinang. Setelah mengenggam surat itu barulah Ahok dinyatakan bebas. 

Jajaran Ditjen PAS berencana menerapkan pengamanan ketat pada hari pembebasan Ahok. Tujuannya, mengantisipasi situasi tidak kondusif. 

"Kalau situasinya tidak memungkinkan dilakukan pengamanan biasa, ya dilakukan pengamanan yang super ketat saat masa pembebasannya," kata Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Ade Kusmanto, Rabu (19/12/2018).

Surat jelang bebas

Menjelang hari kebebasannya, Ahok menulis surat yang kemudian diunggah Tim BTP pada akun instagram @basuki_btp pada Kamis (17/1/2019).

Dalam surat itu, Ahok mengimbau seluruh pendukungnya untuk tidak perlu menyambut dia pada hari pembebasan, baik di Rutan Mako Brimob maupun di Lapas Klas 1 Cipinang. Menurut dia, penyambutan semacam itu akan mengganggu aktivitas warga. 

Melalui surat yang sama, Ahok menyatakan keinginannya untuk tidak lagi dipanggil Ahok tetapi berubah menjadi BTP, singkatan dari nama lengkapnya, setelah bebas. 

Dok. Tim BTP
Isi surat yang ditulis mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Kamis (17/1/2019).

Ahok juga mengimbau pendukungnya tidak golput pada pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) pada 17 April 2019. Ia meminta pendukungnya memilih calon-calon dari partai politik yang menegakkan empat pilar bernegara.

Di situ, Ahok mengutip pidato Presiden Soekarno tentang Pancasila dalam buku Revolusi Belum Selesai. Dia berharap, pemikiran Soekarno bisa diterima dan menjadi pemikiran seluruh pendukungnya. 

Berikut ini kutipan dimaksud:

"Saudara-saudara, Pancasila adalah jiwa kita, bukan hanya jiwaku, tetapi ialah jiwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Selama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berjiwa Pancasila, insya Allah, engkau akan tetap kuat dan sentosa. Tetap kuat dan sentosa menjadi tanduk daripada banteng Indonesia yang telah kita dirikan pada 17 Agustus 1945. Engkau adalah penegak daripada Pancasila dan setialah kepada Pancasila itu, pegang teguh kepada Pancasila, bela Pancasila itu. Sebagaimana aku pun berpegang teguh kepada Pancasila, membela Pancasila, bahkan sebagaimana kukatakan lagi tadi. Saudara-saudara, laksana panggilan yang aku dapat daripada alasan untuk memegang teguh kepada Pancasila ini."

~Soekarno~
Dalam buku Revolusi Belum Selesai,
Kumpulan Pidato Presiden Soekarno
30 September 1965 - Pelengkap Nawaksara (10 Januari 1967)