JEO - Peristiwa

Ancaman Tenggelamnya Wilayah di Pesisir Utara Jawa Tengah

Senin, 5 Desember 2022 | 21:58 WIB

Banjir rob bukan menjadi satu-satunya masalah bagi pesisir utara Jawa Tengah. Penurunan tanah juga terjadi bahkan hingga 10 sentimeter per tahun. Sejumlah wilayah terancam tenggelam.

GEMERCIK air terdengar kencang dari belakang rumah Amron (53), warga Tambak Lorok, Kelurahan Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah. Suara berisik yang muncul setiap lima detik itu berasal dari ombak yang menghantam bangunan, kemudian kembali mengempas laut.

Empasan ombak itu ikut menyebabkan getaran di dinding rumah Amron. Air laut yang naik menggulung bahkan bisa langsung mencapai rumahnya di pesisir pantai, lantaran tidak ada tanggul yang membatasi.

Bagi orang awam, tinggal di pesisir pantai tanpa adanya tanggul laut adalah sesuatu yang membahayakan, mungkin bisa dibilang di luar akal sehat. Namun, keadaan ini sudah dianggap biasa oleh penduduk Tambak Lorok.

Permasalahan baru kemudian muncul. Setiap tahun, rumah Amron semakin turun atau lebih rendah dari permukaan laut. Fenomena tersebut disebut land subsidence atau penurunan tanah.

KOMPAS.COM/MUCHAMAD DAFI YUSUF
Rumah Amron di Tambak Lorok, Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah

Data Pemerintah Kota Semarang menyebutkan, setiap tahunnya, permukaan tanah di kawasan Tambak Lorok mengalami penurunan hingga 10 sentimeter.

Kondisi itu menambah permasalahan Amron yang rumahnya terdampak banjir rob yang kerap datang. Berulang kali Amron mencoba meninggikan rumahnya agar banjir tidak masuk ke dalam rumah. Namun, usaha itu seperti sia-sia.

Padahal, biaya yang telah dikeluarkan Amron untuk meninggikan rumah tidak sedikit. Ia telah menghabiskan Rp 100 juta. Berutang pun pernah ia lakukan agar rumahnya tak tenggelam.

Amron mengaku sudah enam kali meninggikan rumahnya. Rumahnya yang sebelumnya bertingkat, kini hanya tersisa satu lantai.

"Kalau biaya membangun ke sini materialnya lebih mahal, karena jalan sempit. Jadi, harus diangkut dua kali," kata Amron, di rumahnya, pada 14 November 2022.

Amron hanya bisa pasrah. Selama 26 tahun dia tinggal di Tambak Lorok, rumahnya kini hanya tersisa lantai dua dan bagian atap.

"Rumah saya dulu yang lantai satu itu sekitar 6 meter tingginya dan sekarang hanya tinggal atapnya saja," ujar dia.

Meski sulit, Amron masih mempunyai keinginan untuk meninggikan rumahnya agar bisa hidup lebih tenang.

KOMPAS.com/Riska Farasonalia
Kampung Tambaklorok, Kota Semarang diterjang banjir rob.

Hal senada disampaikan Mustahil (34). Selama dia tinggal di Tambak Lorok, permasalahannya begitu kompleks.

"Mulai dari rob, sumur bor, dan kalau malam itu ada getaran yang sangat kencang. Sampai saat ini, kita tak tahu getaran apa itu," ujar dia.

Sudah banyak warga di sana, terutama yang mempunyai uang, memilih untuk pindah ke tempat yang lebih aman. Namun, banyak juga warga yang memilih tetap tinggal di Tambaklorok.

"Lah gimana lagi, ini adalah pilihan satu-satunya," tutur Mustahil.

Menurun dan Tenggelam

Sejak 10 tahun ke belakang, penurunan tanah memang terjadi di Kelurahan Tanjung Emas Semarang. Lurah Tanjung Emas Sony Yudha mengatakan, berdasarkan data yang dia terima, penurunan tanah di daerah pesisir Kota Semarang itu bisa mencapai 15 sentimeter.

"Kalau di wilayah Kelurahan Tanjung Emas memang berkurang sekarang wilayahnya," kata Sony.

Sony mengaku belum tahu secara pasti seberapa banyak wilayah Kelurahan Tanjung Emas yang terdampak penurunan tanah. Namun, secara kasat mata memang terlihat beberapa rumah penduduk, tempat penampungan ikan, pom bensin, dan permakaman yang tenggelam.

"Sekarang sudah kosong di sana, tak ada yang menghuni," ujar dia.

KOMPAS.COM/MUCHAMAD DAFI YUSUF
Kondisi permakaman yang tergenang rob di Tambak Lorok, Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah

Dia mengatakan, dulunya bagian wilayah tersebut masuk di RW 016 Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Emas, Kota Semarang.

"Lokasinya mungkin langsung berbatasan langsung dengan bibir pantai sehingga tak bisa diselamatkan," kata dia.

Sampai saat ini, total populasi warga Kelurahan Tanjung Emas sekitar 31.000 warga. Tak terhitung warga yang sudah menyampaikan keluhan kepadanya.

"Kebanyakan pada mengeluh soal rob. Padahal, rob itu juga berhubungan dengan penurunan tanah," kata dia.

Rob di Kelurahan Tanjung Emas, kata dia, hanya datang satu bulan satu kali. Namun, saat ini rob datang setiap hari.

Ketua RW 016 Kelurahan Tanjung Emas Slamet Riyadi menambahkan, warga sudah tak kuasa membendung air rob masuk ke dalam rumah. Padahal, rata-rata rumah warga sudah ditinggikan.

"Ya kami tahu adanya penurunan tanah juga makanya kami tinggikan. Warga rata-rata sudah meninggikan 50 sentimeter, tapi tetap kemasukan air," kata Slamet, beberapa waktu lalu.

Beberapa warganya juga lebih memilih meninggalkan rumahnya karena tak sanggup menanggung biaya meninggikan rumah.

"Jumlahnya saya tidak tahu pasti, tapi ada yang memilih kos atau kontrak rumah. Soalnya biaya meninggikan rumah itu mahal. Sudah ditinggikan saja masih terkena rob," ujar dia.

Pakar lingkungan dan tata kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila menyebutkan, pesisir Kota Semarang setiap tahunnya mengalami penurunan tanah sekitar 10 sentimeter.

"Penurunan tanah itu ada di daerah pesisir. Karena memang ini tanah muda," kata Mila, beberapa waktu lalu.

KOMPAS.COM/Muchamad Dafi Yusuf
Banjir rob di kawasan Tambaklorok, Kota Semarang

Meski tanpa adanya bangunan di pesisir Kota Semarang, dia memprediksi permukaan tanah di Kota Semarang tetap terjadi penurunan.

"Karena ada beban bangunan juga sekarang, jadi penurunannya tambah banyak," ujar Mila.

Selain kontur tanah pesisir yang masih muda, pengambilan air tanah secara masif juga menjadi penyebab penurunan tanah di Kota Semarang.

Soal pengambilan air tanah juga menjadi permasalahan yang lain. Sampai saat ini, banyak perusahaan yang masih menggunakan air tanah.

Menurut Mila, kawasan industri menguras air tanah dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan pekerja maupun operasional industrinya.

Penggunaan air tanah yang besar oleh industri jumlahnya tak sebanding dengan sumur bor milik masyarakat.

"Pemerintah harus menyediakan dulu air yang bisa menjadi pengganti air bawah tanah. Kalau airnya jelek, industri pasti tak mau (menghentikan penggunaan air tanah)," ujar dia.

Sekretaris Daerah Kota Semarang, Iswar Aminudin menyatakan, pihaknya melakukan pembangunan proyek sistem penyediaan air minum atau SPAM Semarang Barat untuk mengatasi itu.

Dengan SPAM, warga dan perusahaan di sekitar zona merah rawan penurunan tanah diharapkan tidak lagi menggunakan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.

"Semuanya bisa pakai air PDAM nanti kalau sudah jadi," ucapnya.

Pembangunan Tanggul hingga Rp 300 Miliar

Pemerintah Kota Semarang mulai membangun tanggul laut sebagai upaya mengatasi rob dan penurunan tanah di kawasan rawan Tambak Lorok, Kota Semarang.

Pelaksana Tugas Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu mengatakan, untuk proses lelang sudah selesai. "Sekarang ini sudah berjalan pembangunan tanggul laut di Tambak Lorok," kata Hevearita, saat dihubungi Kompas.com.

ANTARA FOTO/AJI STYAWAN
Foto udara kondisi banjir limpasan air laut ke daratan atau rob yang merendam kawasan Terminal Petikemas Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jawa Tengah, Senin (23/5/2022). Banjir rob dengan ketinggian bervariasi hingga mencapai 1,5 meter itu disebabkan oleh tingginya pasang air laut serta adanya tanggul yang jebol di kawasan tersebut.

Informasi yang dia dapatkan, tanggul laut yang sedang dibangun di kawasan Tambak Lorok tersebut panjangnya mencapai 1,2 kilometer.

"Pembangunan yang itu menghabiskan anggaran sebanyak Rp 300 miliar," ucapnya.

"Untuk anggarannya bukan dari pemerintah daerah tapi langsung dari PUPR (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) ," ujar dia.

Sekretaris Daerah Kota Semarang, Iswar Aminudin berharap dibangunnya tanggul laut di Tambak Lorok bisa menjadi solusi masalah rob di daerah tersebut.

"Kemarin banjir rob yang di pelabuhan juga sudah diperbaiki. Pintu-pintu sudah ditutup," ucap dia.

Selain itu, beberapa sungai seperti Sungai Semarang, Sungai Banger, Sungai Banjir Kanal Timur dan Sungai Tenggang juga sudah disiapkan pompa penyedot air.

"Beberapa sungai sudah kami normalisasi dan sudah kami sediakan pompa juga. Semoga persiapan ini bisa antisipasi ancaman banjir rob," ujar dia.

Ancaman bagi pesisir Jawa Tengah

Banjir rob dan penurunan tanah tidak hanya menjadi masalah bagi Kota Semarang. Sejumlah wilayah di pesisir utara Jawa Tengah terancam, bahkan ada desa yang sudah tenggelam.

KOMPAS.COM/ARI WIDODO
Rumah yang tenggelam karena rob di wilayah Demak, Jawa Tengah

Tenggelamnya Desa Kami

Dwi Listyowati (41) warga Perumahan Pondok Raden Patah, Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, hanya bisa mengenang masa kecilnya yang penuh sukacita,

Saat itu, lingkungan sekitar tempat tinggalnya masih hijau oleh hamparan sawah dan padang semak perdu.

"Dulu jika hendak ke Pantai Morosari, kami jalan kaki atau naik sepeda. Cuma 2 kilometer jaraknya," ucap Dwi dengan mata berkaca-kaca saat ditemui Kompas.com, Kamis (17/11/2022).

Namun, kenangan akan jalan kaki atau bersepeda ke pantai tidak mungkin dilakukan lagi. Sebab, akses menuju pantai itu kini sudah tenggelam.

"Sekarang jalannya sudah jadi laut semua," tuturnya.

Jangankan untuk berjalan-jalan atau bersenang-senang, akses menuju keluar dari permukiman saja sangat susah. Jalan kerap terendam air hampir setiap hari. Tingginya mencapai 30 hingga 40 sentimeter, bahkan pernah lebih tinggi lagi.

Rob yang makin "menggila" melanda pesisir Utara Demak sejak 2005 memang sudah menenggelamkan Dukuh Rejosari dan Dukuh Tambaksari di Desa Bedono, Kecamatan Sayung.

Ratusan keluarga mulai berangsur pindah, baik secara permanen maupun sementara. Hingga kemudian, pada 2010 semua warga pindah setelah desa mereka tertutup air laut.

Jika kita berkunjung ke rumah mereka yang terdampak rob, suguhan pemandangan utama adalah mayoritas tak lagi utuh sebab keropos terkikis air asin.

KOMPAS.COM/ARI WIDODO
Salah satu rumah yang tenggelam di wilayah Demak, Jawa Tengah

Dengan demikian, terlihat bahwa ancaman tenggelamnya sebuah wilayah di pesisir tidak hanya terjadi di Kota Semarang.

Belasan kilometer dari Tambak Lorok di Semarang, puluhan desa di empat kecamatan Kabupaten Demak juga terancam hilang ditelan laut.

Misalnya, Kecamatan Sayung yang menjadi tempat tinggal Dwi. Kecamatan itu memiliki 14 desa yang diterjang rob hampir tiap hari. Desa yang terancam adalah Bedono, Purwosari, Sriwulan, Sidogemah,Timbulsloko, Surodadi, Banjarsari,Sidorejo,Gemulak, Tugu, Loireng, Sayung, Tambakroto, dan Kalisari.

Sementara dari Kecamatan Karangtengah ada dua desa, yakni Tambakbulusan dan Wonoagung.

Kecamatan Bonang ada lima desa, yaitu Margolinduk, Morodemak, Purworejo, Tridonorejo dan Gebang. 

Kecamatan Wedung ada tiga desa, yakni Dukuh Siklenting dan Onggojoyo di Desa Wedung, Kedung Mutih dan Babalan.

KOMPAS.COM/ARI WIDODO
Rumah yang tenggelam karena rob di wilayah Demak, Jawa Tengah

Masyarakat pesisir di Demak masih menunggu realisasi tanggul laut sepanjang 15 kilometer yang digagas pemerintah melalui Kementerian PUPR. 

Tanggul laut tersebut rencananya akan melintasi empat kecamatan, yakni Kecamatan Sayung, Karangtengah, Bonang dan Wedung.

Dilansir dari situs web dinkominfo.demakkab.go.id, Bupati Demak Eistianah menyatakan, bahwa proyek tersebut akan menelan biaya sekitar RP 150 Miliar dan kemungkinan terealisasi pada tahun 2023.

Solusi jangka pendek yang dilakukan pemerintah daerah selama ini baru peninggian jalan untuk memudahkan akses warga. Namun, tidak sampai tidak tahun air kembali menutup jalan.

Meski menjadi solusi terdekat bagi penanganan rob, namun permukaan jalan yang terus menerus dinaikkan juga menjadi bumerang bagi masyarakat.

Sebab, makin makin tinggi permukaan jalan justru rumah mereka yang menjadi korban keganasan rob.

Bayang-bayang rob di Kendal

Sekitar dua jam perjalanan dari Kecamatan Sayungan, warga di wilayah Dusun Tawanglaut, di Kendal, Jawa Tengah, juga hidup dalam bayang-bayang rob.

Wilayah di pesisir utara Kendal yang selalu dihantui banjir rob di antaranya Mororejo, Kaliwungu, Karanganyar, dan Bandengan Kendal, serta Gempolsewu Rowosari.

Ketua RW 017 Dusun Tawanglaut , Kaswani, menuturkan bahwa rob menerjang daerahnya sudah sekitar 10 tahun lalu. Akibatnya, sekitar 200 meter tanah di daerahnya sudah menjadi rawa dan tidak bisa ditinggali.

“Sekarang rob, masih membayangi wilayah kami,” ujar Kaswani.

KOMPAS.COM/SLAMET PRIYATIN
Wilayah Dusun Tawanglaut, Kendal, yang terendam rob

Bupati Kendal, Dico M Ganinduto, sebelumnya juga pernah mengatakan, Pemerintah Kabupaten Kendal telah melakukan antisipasi untuk mengatasi naiknya air laut ke daratan.

“Bandengan dan Karangsari kecamatan Kendal yang menjadi langganan rob, kami revitalisasi dengan menggunakan anggaran pemerintah pusat,” kata Dico.

Antisipasinya, dengan cara menanggul bibir pantai dan menaikkan jalan.

Upaya yang dilakukan oleh Pemkab Kendal, untuk mencegah air laut naik ke daratan, sementara ini berhasil. Sebab, di kelurahan Karanganyar dan Bandengan, sudah beberapa bulan ini bebas air rob.

Hal ini diakui oleh perangkat Kelurahan Karanganyar, Jupri dan Lurah Bandengan, Sutarjo.

“Hanya sebagian di wilayah RW 004 yang masih tergenang rob. Sebab, daerah itu paling rendah. Tapi, tidak begitu parah,” kata Sutarjo.

Penurunan tanah di Kabupaten Kendal, menurut Sekda Kendal, Sugiono, setiap tahunnya sekitar  2,5 sentimeter hingga 3 sentimeter. Angka ini lebih rendah kalau dibandingkan dengan daerah lain, seperti Kota Semarang dan Pekalongan.

Menurut mantan kepala Dinas PUPR Kendal tersebut, penurunan tanah di antaranya terjadi karena penyedotan air bawah tanah, pemanasan global yang menyebabkan volume air di lautan bertambah karena es mencair, dan geologi pulau Jawa yang mengalami kemiringan ke utara pelan-pelan.

Hal ini disebabkan karena ada desakan lempeng patahan di Samudera Indonesia.

“Antisipasinya, dibuat tanggul pantai di pantai Bandengan Kendal hingga Kaliwungu,” ujar Sugiono.

Dipengaruhi Aktivitas Manusia

Faktor bangunan dan dampak dari aktivitas manusia disinyalir menjadi penyebab menurunnya permukaan tanah. Aturan ketat diperlukan

KEPALA Bidang Geologi dan Air Tanah (GAT) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jateng, Heru Sugihartono mengungkapkan penyebab wilayah di pesisir utara Jawa Tengah mengalami penurunan muka tanah.

“Penurunan tanah di Jateng, khususnya Pekalongan, Semarang, Demak, dan sekitarnya sebagian besar terjadi di daerah pesisir yang didominasi daerah peruntukan industri dan pusat perekonomian,” kata Heru, kepada Kompas.com, Rabu (16/11/2022).

Berdasarkan pengukuran laju penurunan muka tanah melalui metode InSAR, rata-rata Semarang, Demak, dan Pekalongan turun 6-10 sentimeter lebih. Angka terparah bisa mencapai 20 sentimeter per tahunnya.

Sementara, hasil monitoring land subsidence dengan menggunakan patok (benchmark) geodetik di Stadion Hoegeng Pekalongan pada Maret 2020 hingga September 2021, selama 1,5 tahun mengalami penurunan 8,4 sentimeter dan patok di Pekalongan Selatan dengan kurun waktu sama, menurun 1,57 sentimeter.

"Di Kota Semarang land subsidence paling parah Semarang Utara, bagian pesisir dari Semarang Barat sampai Sayung, Demak. Untuk Pekalongan berada di pesisir sampai tengah Kota Pekalongan hingga arah barat,” ujar dia.

KOMPAS.COM/Muchamad Dafi Yusuf
Banjir rob di Kawasan Tanjung Emas Semarang karena tanggul jebol. Senin (20/6/2022)

Heru mengatakan, beberapa faktor lain yang turut menyebabkan penurunan muka tanah misalnya kondisi batuan di pesisir utara Jawa Tengah yang lunak atau masih muda.

“Diperparah adanya pembebanan yang ada di atas batuan lunak seperti bangunan, aktivitas manusia, dan pengambilan air tanah berlebihan sehingga mengurangi daya dukung batuan,” ujar dia.

Sebanyak 38 persen penurunan tanah disebabkan pengambilan muka air tanah yang berlebihan. Sisanya, disebabkan aktivitas manusia dan infrastruktur yang membebani tanah lunak di sepanjang pesisir utara Jawa.

Pihaknya mengakui keberadaan industri dan kegiatan ekonomi tidak bisa dihentikan begitu saja, mengingat peran besarnya dalam hidup masyarakat.

“Industri bisa saja dipindah dan mendapat ganti rugi dari pemerintah, tapi bagaimana dengan ribuan pekerjanya yang tinggal di kawasan itu? Hidup mereka dipertaruhkan,” kata dia.


Aturan Ketat

Untuk mengatasi masalah tanpa mempertaruhkan aktivitas ekonomi, Dinas ESDM Jateng mengatur penggunaan air permukaan tanah lebih ketat ketimbang aturan yang dibuat pemerintah pusat. Ini tertuang dalam Perda Jateng Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Air Tanah.

Jateng telah memetakan kondisi muka air tanah di kawasan rawan rob dan land subsidence tersebut menjadi zona pemanfaatan aman, rawan, dan kritis.

Kawasan Semarang yang disebut Heru paling parah mengalami land subsidence juga tergolong zona pemanfaatan muka air tanah yang rawan dan kritis. Sehingga, penggunaan air di titik itu harus lebih diperhatikan.

"Kami telah melarang pengambilan air tanah baru untuk usaha pada zona pengambilan air tanah kritis dan rusak, mengurangi debit yang diizinkan saat perpanjangan izin air tanah di zona kritis dan rusak sebesar 15 persen dari debit izin sebelumnya, dan memperhatikan kondisi tata ruang khususnya daerah pesisir utara," ujar dia.

KOMPAS.COM/Muchamad Dafi Yusuf
Rumah yang sudah tenggelam akibat penurunan tanah di Tambaklorok, Kota Semarang.

Bila pemerintah pusat membatasi penggunaan air tanah maksimal 80 persen dari potensi air yang dihasilkan dari pengeboran, maka Jawa Tengah membatasi 60 persen.

Heru menerangkan, pemenuhan kebutuhan air di kawasan industri menjadi tanggung jawab pengelola kawasan industri. Sehingga, penyewa atau tenant dilarang keras mengebor sumur untuk mencari air tanah sendiri.

"Pengambilan air tanah dapat dilakukan oleh pengelola kawasan industri pada lapisan akuifer tertekan dengan debit air tanah tidak melebihi potensi yang ada," ujar dia.

Meski begitu diakui beberapa pihak pernah melanggar batasan itu. Pihak Dinas ESDM sesekali mengeluarkan teguran untuk menertibkan kembali.

Sementara, penggambilan air tanah oleh warga (bukan usaha) hanya boleh dilakukan pada akuifer bebas atau air dangkal dengan kedalaman maksimal 40 meter. Selebihnya tergolong air muka tanah untuk kebutuhan industri.

“Sehingga pengambilan air tanah antara kebutuhan usaha dengan bukan usaha dilakukan pada lapisan berbeda. Karena warga kalau harus mengebor terlalu dalam akan kesulitan dan memakan biaya besar,” ujar Heru.

Solusinya, ia berharap Perusahaan Umum Daerah (Perumda) di kota lainnya dapat menambah SPAM dan menyediakan kebutuhan air industri tanpa mengambil air muka tanah yang sudah terbilang kritis.

“Di Semarang, saat ini Perumda telah menyanggupi penyediaan kebutuhan air bersih dari Sungai Kaligarang, Kedungombo, dan Waduk Jatibarang, kami harap kota lainnya dapat mengikuti,” kata dia.

Di samping memasang patok, pihaknya juga memiliki sumur pantau yang tersebar di banyak titik untuk monitoring kondisi air muka tanah di dearah tertentu.

“Untuk pengguna air tanah yang memiliki 5 sumur di area kurang dari 10 hektare atau pengambilan air tanah dengan debit lebih dari 50 liter per detik, maka kami wajibkan membangun 1 sumur pantau,” ucap Heru.

Dia juga mengimbau pembangunan sumur resapan untuk memulihkan kondisi tanah yang telah diambil air muka tanahnya.

“Pengurangan pengambilan air tanah tidak dapat menghentikan land subsidence selama aktivitas manusia di atasnya masih berlangsung. Namun, upaya ini bisa memperlambatnya,” kata dia.

***