Banyak korban takut melapor karena khawatir justru akan terkena delik pidana karena pembuatan konten porno, selain stigma masyarakat dan minimnya perlindungan hukum.
MAHASISWA perguruan tinggi negeri asal Yogyakarta, JA (26), nekat menyebarkan video dan foto intim dengan kekasihnya di media sosial.
Rasa sakit hati karena hubungan yang sudah berjalan sejak 2017 tak direstui orangtua kekasih menjadi pemicunya.
Dunia maya geger. Orangtua kekasih murka dan melaporkan JA ke polisi. Hubungan dengan kekasih tetap tak berlanjut.
Kasus lain serupa dilakukan Aldoni. Dia menyebarkan video hubungan intimnya dengan pacarnya, RV, gara-gara permintaannya untuk melakukan hubungan seks lanjutan ditolak.
Aksi Aldoni menyebabkan RV trauma, takut keluar rumah, dan bahkan mengalami gangguan kejiwaan. Keluarga pun melaporkan kasus ini ke polisi.
Publik juga mungkin masih mengingat kasus Kriss Hatta yang membeberkan kehidupan ranjangnya dengan Hilda, mantan istrinya. Ini dia lakukan setelah hakim meluluskan permohonan pembatalan pernikahan mereka.
Tindakan JA, Aldoni, dan Kriss Hatta ini sudah masuk kategori revenge porn. Ada banyak kasus serupa di luar sana. Waspadalah!
KOMISI Nasional (Komnas) Perempuan dalam Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018 mendefinisikan revenge porn sebagai bentuk khusus malicious distribution yang dilakukan dengan menggunakan konten-konten pornografi korban atas dasar balas dendam.
Revenge porn masuk kategori kekerasan seksual berbasis siber karena dilakukan di dunia maya tetapi memiliki dampak di dunia nyata terhadap korban.
Malicious distribution merupakan istilah bagi penggunaan teknologi untuk menyebarkan konten yang merusak reputasi korban atau organisasi pembela hak-hak perempuan terlepas dari kebenarannya.
Revenge porn masuk kategori kekerasan seksual berbasis siber karena dilakukan di dunia maya tetapi memiliki dampak di dunia nyata terhadap korban.
Kepala Departemen Kriminologi Universitas Indonesia Iqrak Sulhin mengungkapkan, konten dengan unsur privat memang rentan disalahgunakan dalam sebuah relasi.
Saat foto atau video diproduksi, tujuannya mungkin untuk dokumentasi pribadi. Namun, tak ada yang bisa menjamin keamanan konten tetap tersimpan.
"Jika dilihat ada orang dalam relasi yang mereka jalin lalu broke up (putus), kemudian muncul unsur sakit hati, konten itu bisa dimanfaatkan untuk macam-macam," ujar Iqrak.
Revenge porn, tegas Iqrak, adalah pembalasan. Motif penyebaran konten yang dimiliki pelaku adalah menyakiti.
Kasus-kasus semacam itu sudah sering diungkap media. Namun, yang diketahui publik bagaikan fenomena gunung es. Karena, korban biasanya tidak berani melapor.
Data Komnas Perempuan menyebut, kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang diadukan sepanjang 2018 kebanyakan merupakan bentuk intimate partner violence, baik dalam bentuk pacaran maupun rumah tangga. Ada 61 persen kejadian.
Dari 97 jumlah aduan kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang dilaporkan ke Komnas Perempuan, kasus revenge porn mendominasi, dengan 41 kasus (33 persen).
Jenis kekerasan dengan jumlah aduan terbanyak kedua adalah malicious distribution atau penyebaran materi-materi digital yang berpotensi merusak reputasi korban (20 persen). Lalu, di peringkat ketiga ada cyber harassment, bullying, dan spamming (15 persen).
Mayoritas korban adalah perempuan dan pelaku terbanyak merupakan pasangan dari korban.
Mayoritas korban adalah perempuan dan pelaku terbanyak merupakan pasangan dari korban. Namun, ada juga yang dilakukan oleh orang lain yang mencuri laptop atau gadget korban.
Tuntutannya pun bermacam-macam. Kebanyakan adalah meminta hubungan seksual lagi atau meminta uang agar video dan gambar tidak disebar.
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan, angka kasus revenge porn yang lebih tinggi dibandingkan kategori lainnya disebabkan dampaknya yang hebat terhadap korban, dalam hal ini perempuan.
"Dampaknya pada korban luar biasa mengerikan. Kalau bullying dan segala macam tidak terlalu banyak karena kita cenderung bisa mengatasi sendiri," kata Mariana saat dihubungi Kompas Lifestyle.
Faktor lainnya adalah kondisi kultur masyarakat yang juga cenderung tidak berpihak pada korban. Sehingga, pada banyak kasus, korban malah kerap dihakimi oleh masyarakat dan dianggap telah melakukan kesalahan.
Aktivis gender, Tunggal Pawestri, juga mengomentari kasus revenge porn JA lewat akun Twitternya, @tunggalp. Dalam sebuah kicauan, Tunggal menyarankan para korban revenge porn untuk berani meminta bantuan hukum.
"Orang-orang semacam ini buanyak banget. Mengancam untuk sebar foto atau video privat karena sakit hati diputus, atau memeras cari uang," tulis Tunggal.
Ketika dihubungi lewat telepon, Tunggal mengatakan dia bahkan sudah dihubungi dua orang korban revenge porn lewat fitur pesan di Twitter.
Korban pertama takut mantan kekasihnya menyebarluaskan video intim mereka. Sementara korban kedua merasa stres karena video intim bersama mantan kekasihnya sudah disebar ke kalangan teman-temannya.
Kedua korban sama-sama stres karena merasa tidak tahu jalan keluarnya. Tunggal berkeyakinan, kasus revenge porn yang belum terungkap sebetulnya lebih banyak lagi.
"Saya yakin sekali banyak di luar sana yang mengalami namun tidak melapor ke polisi karena memilih untuk mencari jalan keluar alternatif," ujarnya.
Selain itu, daerah asal korban juga dianggap menjadi faktor para korban memilih diam.
"Kalau di Jakarta dan beberapa kota besar, kita bisa mudah meminta mereka untuk datang ke lembaga-lembaga hukum yang terbiasa menangani kasus seperti itu. Tapi untuk daerah-daerah, saya sudah lempar ke grup perempuan, belum ada," ucapnya.
PENINGKATAN kasus-kasus revenge porn terkiat erat dengan kemajuan teknologi.
Di satu sisi, teknologi makin maju dan penggunaan gawai (gadget) semakin banyak, tetapi kesadaran tentang konsekuensi penggunaannya masih minim.
Banyak orang tidak menyadari bahwa apa yang direkam atau foto dan disebar di dunia maya akan bisa dilihat secara luas.
Bahkan, banyak perempuan juga tidak menyadari ancaman yang mengintai dari pengambilan gambar atau video privat.
"Apalagi saat lagi berbunga-bunga, penuh cinta, mereka tidak tahu ada bahaya yang mengintai. Ketika kejadian, mencoba putus, biasanya pacar menolak dan mengancam akan menyebarkan video itu," kata Tunggal.
Di samping literasi yang masih kurang, imbuh Mariana, banyak perempuan cenderung terlalu percaya pada pasangannya.
Kondisi itu sering membuat mereka lupa bahwa dokumentasi di ponsel tidak akan lagi bersifat pribadi dan berubah menjadi publik ketika telah menyebar ke dunia maya.
"Jadi, berhati-hatilah jika berpose. Walaupun itu hak mereka, tapi bisa dimanfaatkan oleh orang lain yang tidak bertanggung jawab atau punya niat jahat terhadap perempuan terutama soal tubuh. (Itu) bisa dijadikan alat ancaman dan intimidasi," kata Mariana.
Iqrak Sulhin mengatakan, dari sudut pandang kriminologi, kejahatan secara ontologi dilihat sebagai hal yang menyakiti dan merugikan orang lain.
Memakai sudut pandang ini, kata dia, revenge porn dapat dengan tegas dikategorikan sebagai kejahatan. Namun, untuk memastikan pidana, Iqrak menyerahkan itu kepada polisi yang dapat melihat dari masing-masing pihak.
Revenge porn pun bisa dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gambar.
"Kalau dulu orang kekerasan pakai tongkat kayu fisik, nah sekarang visual. Di sana tetap ada intensi menyakiti orang kan," kata Iqrak.
Pergeseran itu dimaknai pula sebagai transisi ruang di wilayah pidana. Yaitu, ungkap Iqrak, balas dendam yang dulu dilakukan lewat kekerasan langsung kini bisa terjadi hanya dengan menjentikkan jari di atas ponsel.
Sudah jadi korban, ada pula delik hukum yang bisa-bisa malah menjerat perempuan terkait video dan atau foto privat yang tersebar.
Dalam kasus video dan atau foto privat, Tunggal membaginya menjadi dua kejadian.
Kejadian pertama adalah ketika video atau foto intim diambil secara diam-diam.
Bila video atau foto ini kemudian juga menyebar, pelaku sudah jelas terkena delik perekaman dan penyebaran.
Namun, ada model kejadian kedua, yaitu pengambilan video dan atau foto intim dilakukan justru untuk kenikmatan saat berhubungan.
Umumnya, pengambilan gambar pada model kejadian kedua ini terjadi atas kesadaran kedua belah pihak tetapi tidak untuk penyebarannya.
Kita perlu penegasan juga dari aparat penegak hukum bahwa korban-korban tidak bisa dikriminalisasi.
Kejahatan pada model kejadian kedua adalah untuk tindakan penyebaran sepihak. Namun, ada juga masalah di pada model ini terkait korban.
Model kejadian kedua ini yang seringkali menjadi alasan korban takut melapor karena saat pembuatan video dilakukan atas kesepakatan bersama.
Kesepakatan saat membuat itu dikhawatirkan justru malah akan menjerat diri mereka sendiri.
Pada kasus ini, Tunggal mengatakan payung hukum terkait perlindungan korban juga masih belum cukup kuat.
"Ini memang sangat tricky. Jadi kita perlu penegasan juga dari aparat penegak hukum bahwa korban-korban tidak bisa dikriminalisasi," tegas Tunggal.
Seharusnya, lanjut Tunggal, ketika korban dapat membuktikan bahwa pembuatan video tidak ada intensi untuk disebarluaskan maka dia lolos dari jerat hukum.
Dari sudut pandang kriminologi, kejahatan dapat dilihat sebagai peristiwa. Konsep ini mengintreprasikan pula bahwa setiap peristiwa memiliki latar belakang dan penyebab berbeda.
"Itu pula yang menyebabkan penyelidikan dan analisis persoalan tidak bisa serta merta langsung simpulkan apabila si B (korban, perempuan) ada dalam video itu (maka) B harus tersangka karena UU Pornografi," kata Iqrak.
Menurut Iqrak, harus dilihat juga alasan pembuatan video apakah untuk dokumentasi pribadi atau memang hendak disebarkan.
"(Kalau) untuk konsumsi sendiri ya bukan unsur pidana. Tapi dianjurkan jangan rekamlah," tegas Iqrak.
Pasal-pasal terkait revenge porn cenderung dianggap multiintreptasi, termasuk definisi penyebaran di dalamnya.
Pengamat hukum dari Universitas Al-Azhar Jakarta, Prof Suparji Ahmad menilai, konstruksi pasal 29 UU Pornografi bagai pedang bermata dua. Delik ini dapat menjerat pelaku sekaligus korban revenge porn.
"Mestinya undang-undang tersebut merupakan upaya melindungi, tapi justru (sering) menjadikan korban dalam konteks yang dipidana," ujar Supardi lewat pembicaraan telepon dengan Kompas.com.
Oleh karena itu, pasal-pasal terkait revenge porn cenderung dianggap multiintreptasi, termasuk definisi penyebaran di dalamnya.
Supardi mempertanyakan, yang dimaksud penyebaran apakah harus masif atau hanya komunikasi di antara dua orang saja sudah tercakup.
Belum lagi posisi korban yang bisa jatuh secara moril karena penyebaran tersebut.
Suparji pun berpendapat, efektivitas pasal UU ITE untuk kasus revenge porn belum terlalu signifikan.
"Makanya, banyak aspirasi mendesak agar UU ITE direvisi, sehingga tidak salah tangkap dan korban, serta pengenaan pasal dan intrepretasi tidak meinumbulkan berbagai tafsir," ungkap dia.
DARI perspektif psikologis pelaku, kasus revenge porn bisa terjadi salah satunya karena adanya rasa sakit hati.
Pada kasus JA, misalnya, alasan sakit hati karena hubungan tak direstui orangtua pasangan menjadi alasan ia menyebarkan video dan foto intim pasangan.
Psikolog dari Citra Ardhita Psychological Services, Ayoe Sutomo, MPsi mengatakan, dalam sebuah relasi yang rentan terhadap kekerasan ada individu dengan konsep diri yang tidak kuat dan tidak mampu menilai dirinya secara positif.
Individu dengan konsep diri seperti itu, kata Ayoe, cenderung berada pada posisi yang membiarkan pasangan menguasai dirinya.
“Ada salah satu pihak yang sangat dominan dan individu itu merasa bahwa diperlakukan seperti itu baik-baik saja, akhirnya terjadi yang seperti itu,” ujar Ayoe.
Revenge porn sebagai bagian dari perilaku kekerasan terhadap perempuan sebetulnya tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah bisa dilihat gejalanya dari awal.
Perempuan sebagai pihak yang sering ada di posisi korban dalam hal ini sebenarnya bisa melakukan observasi dari perilaku pasangannya sehari-hari.
Misalnya, bagaimana emosi si pasangan mungkin mudah meledak-ledak hanya karena hal kecil atau pasangan sering mengatur, memaksa, dan mengancam.
"Kadang kala cinta menguasai semuanya. Itulah mengapa perlu objektivitas untuk melihat perilaku pasangan."
Beberapa perilaku tersebut sebetulnya sudah mengindikasikan bahwa pasangan tidak sehat secara emosi sehingga berpotensi melakukan hal-hal lain yang bersifat kekerasan.
Namun, dalam konteks neurosains, hormon pada otak orang yang sedang dimabuk cinta cenderung tidak seimbang. Akibatnya, aspek emosi cenderung lebih berperan dibandingkan aspek logika.
Menurut Ayoe, itulah yang membuat banyak orang seolah rela menjadi “bucin” alias budak cinta. Jika seseorang memiliki konsep diri yang kuat setidaknya efek tersebut bisa diminimalisasi.
“Kadang kala cinta menguasai semuanya. Itulah mengapa perlu objektivitas untuk melihat perilaku pasangan,” ujar Ayoe.
TIDAK sedikit perempuan yang menjadi korban revenge porn takut mencari bantuan. Selain stigma masyarakat, korban biasanya juga khawatir dikriminalisasi balik karena melaporkan kejadian yang dia alami.
Lalu, ketika menjadi korban, langkah apa yang perlu ditempuh?
Menghindari hubungan pacaran tidak sehat adalah langkah awal mencegah kekerasan terhadap perempuan, termasuk kejahatan berbentuk revenge porn.
Psikolog Ayoe menyebutkan, poin dari pacaran sehat sebetulnya adalah hubungan ketika kedua individu bisa berkembang menjad versi yang jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Jika salah satu pihak merasa terbatasi atau bahkan hidupnya menjadi jauh lebih susah daripada sebelumnya, ujar Ayoe, itu adalah sinyal yang harus diperhatikan.
“Apakah karena pasangan mengekang? Apakah karena tidak satu visi-misi? Apakah hidup jadi lebih ribet? Itu semua harus aware,” katanya.
Ketika konsep diri dan keberhargaan diri lemah, seseorang akan rentan terjebak pada hubungan yang salah.
Konsep ini juga harus tetap diterapkan meskipun kedua belah pihak sudah berencana membawa hubungan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.
Maka ketika menghadapi satu kondisi yang bersebrangan, keduanya harus mendiskusikan masalah tersebut dan mencari jalan tengahnya.
Menyudahi hubungan dan melanjutkan dengan kondisi permasalahan yang ada seringkali menjadi pilihan yang sulit.
“Hal-hal itu kadang luput dalam pembicaraan pacaran sehingga kasusnya kadang masuk saat mau proses pernikahan,” ucap Ayoe.
Terakhir, Ayoe mengingatkan agar perempuan memiliki konsep diri yang kuat dan membangun kepercayaan diri.
Sebab, ketika konsep diri dan keberhargaan diri lemah, seseorang akan rentan terjebak pada hubungan yang salah.
Konsep diri rendah menjadi salah satu alasan beberapa korban revenge porn rentan terhadap ancaman pasangannya.
Bentuk ancaman itu mulai dari video atau foto intimnya disebut akan disebar hingga ancaman pemutusan hubungan jika tidak mau berhubungan intim lagi.
“Yang harus diingat adalah kenapa sih mau kasih foto, video kayak gitu? Itu biasanya kembali lagi ke perasaan keberhargaan diri yang rendah," kata Ayoe.
Orang dengan konsep diri yang rendah, ungkap Ayoe, kerap muncul pikiran semacam, "Kalau enggak dia yang sayang sama saya lalu siapa lagi?", “Siapa lagi yang mau menerima saya?”, atau, “Cuma dia doang yang mau sama saya, jadi kalau dia minta ini itu akan saya berikan daripada tidak ada orang yang mengasihi saya”.
"Konsep itu salah,” tegas Ayoe.
Di sini, lanjut Ayoe, peran keluarga sangat penting dalam membangun rasa keberhargaan diri pada setiap individu.
Bila kita tidak memiliki keluarga yang cukup mendukung, saran Ayoe, temukan dukungan tersebut dari lingkungan sosial terdekat.
“Keberhargaan diri muncul dari lingkungan yang tepat. Bisa juga cari bahan bacaan di media sosial yang mengajak orang untuk membuat mereka jauh merasa lebih berharga,” ujar Ayoe.
KASUS revenge porn dapat dijerat sejumlah pasal, mulai dari Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga Pasal 29 UU Pornografi.
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000.
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).