JEO - Insight




Banjir Bekasi:
Ironi Rawa yang Jadi Kota Penuh Beton

Senin, 15 Februari 2021 | 13:43 WIB

Dari gedung bertingkat, deretan kompleks elite model superblok, sampai kawasan industri yang sangat sibuk, itulah wajah Kota Bekasi kini, menyisakan hanya sedikit kesan sebuah wilayah yang dulu didominasi rawa dan sungai.

Ratusan tahun berlalu, ruang hijau itu hanya samar terlihat, ditelan kejayaan Bekasi secara ekonomi. Namun, alam tak pernah tidur dan punya cara tersendiri. Di malam pergantian tahun 2020, petaka itu datang.

Adakah yang bisa kita pelajari biar tak terulang lagi? Adakah alternatif solusi untuk keterlanjuran ini?

 

*klik poin fakta untuk langsung menuju bagian yang dikehendaki

ERLINA (47), warga RT 001/RW 008, Pondok Gede Permai, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat air Kali Bekasi lambat-laun melahap rumahnya yang persis berhadapan dengan tanggul.

Air seakan tak mau memberi waktu barang semenit pun kepada suami dan seorang anaknya menyelamatkan barang-barang ke lantai dua rumah warisan orangtuanya itu.

Ketinggian air cepat sekali bertambah. Mereka kemudian bergegas lari ke atap rumah karena di lantai dua, yang mereka pikir aman, banjir sudah merendam paha mereka.

“Air mulai meluap dari sekitar jam 11.00. Saya lihat dari atas (atap) itu sudah deras banget," kenangnya ketika ditemui Kompas.com tengah berjibaku membersihkan lumpur yang masih menggenangi rumahnya sepekan setelah banjir ketika itu.

Waktu seperti melambat di sekeliling keluarga Erlina yang hanya sanggup duduk mencangkung di atap rumah, seraya menyaksikan betapa rakusnya banjir melahap rumah mereka.

Yang ada waktu itu hanya gusar, khawatir mereka ikut lumat bila air terus meninggi, cemas seandainya atap yang mereka tempati jebol, dan resah apabila banjir tak kunjung surut.

Sembari bayangan-bayangan buruk itu berseliweran di depan mata Erlina, mereka pun mesti menahan diri dari dinginnya baju basah serta lapar yang menyodok-nyodok perut.

Di tempat lain, Umay Saman (50) dan istrinya Rani (43) tak kalah panik.

Jika Erlina dan keluarga masih bisa mencari selamat di atap, Umay dan Rani sepenuhnya bergantung—dalam arti sesungguhnya—pada pohon ceri di depan rumah mereka di Jalan Pangkalan I, Bantargebang, sekitar satu kilometer dari Pondok Gede Permai.

Rabu itu, satu per satu sisi rumah Umay yang hanya terpaut lima meter dari pertemuan Sungai Cileungsi dan Cikeas roboh diterjang arus banjir yang membawa lumpur. Arus air menyerang membabi-buta.

"Bini sudah bilang, 'Ayo, pergi', saya bilang masih aman. Saya enggak ngira air sebegitu cepat masuk, terus naik lagi," ujar Umay.

Tak berselang lama, tembok sisi kanan rumahnya ambruk. Umay gelantungan di kusen besi pintu depan, segera menggaet istrinya yang kelabakan mencari pegangan.

"Tahu-tahu, baja ringan rumah rubuh. Nimpa saya," kata Umay menunjukkan jejak luka sobek di pundaknya akibat tertimpa rangka baja ringan.

Rani panik setengah mati lantaran tak bisa berenang. Terlebih lagi, beberapa hari sebelumnya, bidan sempat bilang bahwa Rani sedang hamil.

Umay berupaya menenangkan istri ketiganya itu. Kata dia, "Kalau Allah bilang selamat, selamat kita."

Tak yakin pegangan besi kusen masih sanggup menahan bobot tubuh mereka, keduanya menggapai pohon ceri yang tingginya sejajar atap rumah, lalu bergelayut di sana.

Di bawah, amuk banjir menghajar sana-sini. Kata Umay, istrinya itu sudah berkali-kali meronta-ronta seperti "orang kemasukan".

"Kalau ini pohon ceri rubuh,” kata Umay, “Saya sudah ikhlas. Yang penting, (kalau) dia mati, gua mati, paling anak kami nyariin.”

Dalam fragmen lain, ganasnya banjir pada 2020 meluluhlantakkan harta benda warga terekam di video amatir yang memperlihatkan derasnya arus menghanyutkan puluhan mobil warga.

Sembari merekam peristiwa itu, warga berbondong-bondong menyelamatkan diri dari sapuan banjir di jembatan penghubung antara Perumahan Pondok Gede Permai dan Villa Nusa Indah yang masuk wilayah Kabupaten Bogor.

Jembatan itu senantiasa jadi titik evakuasi warga Pondok Gede Permai, sejak banjir melanda berepisode-episode sebelumnya. Pada banjir besar terakhir pada 21 April 2016, titik itu masih aman dari sapuan banjir. Namun, tidak pada kali ini. Banjir terlampau digdaya.

Keesokan harinya, Kamis (2/1/2020), banjir pelahan surut. Mobil-mobil yang kemarin diseret arus banjir, posisi dan kondisinya kini sudah tak keruan.

Kebanyakan mobil saling menindih. Beberapa lainnya terguling dengan posisi roda menghadap langit. Lumuran lumpur membalur interior mobil.

Kaca-kacanya yang berubah jadi tampak kusam kecokelatan pun banyak yang jebol. Bodi penyok di sana-sini. Ringsek.

Komunitas offroader bantu mengembalikan mobil-mobil nahas itu kembali ke posisi yang layak. Jeep-jeep para pecinta offroad, dengan dobel gardan, menarik mobil-mobil yang bertumpukan itu dengan tambang. Deru mesin menggerung nyaring.

Brak! Mobil-mobil itu kembali menjejak tanah.

Adegan-adegan itu seolah menjelma tontonan pelipur lara sejak pagi hingga tengah hari. Raungan mesin, disusul bunyi bantingan mobil, memicu sorak warga.

Di tengah pemandangan itu, Jamil (56), warga Pondok Gede Permai, menatap mobil Toyota Corona Absolute miliknya yang tertindih Toyota Avanza tetangganya. Kaki Jamil masih terbenam di lumpur banjir setinggi mata kaki.

Jamil mengaku, ia dan tetangga-tetangganya telah mengantisipasi banjir yang diprediksi datang lantaran hujan lebat tak kunjung berhenti sejak malam pergantian tahun.

Ramai-ramai mereka memboyong mobil ke jembatan Villa Nusa Indah yang selama ini dianggap aman.

"Biasanya jembatan Villa Nusa Indah enggak sampai luber airnya. Tapi, kemarin akhirnya bisa sampai tembus," ucap Jamil ketika ditemui wartawan.

Bekasi porak-poranda dilanda banjir awal 2020 - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

HUJAN 14,5 JAM
NONSTOP

 Ketinggian sungai naik 560 persen 

DOK KITLV VIA UNIVERSITAS LEIDEN/WOODBURY & PAGE
Penampakan Kali Bekasi di foto yang dipublikasikan sebelum 1880, dengan posisi rumah warga di tepiannya. Foto merupakan koleksi digital Universitas Leiden, Belanda, bersumber dari The Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies atau KITLV).

LUAPAN Kali Bekasi yang meluber masuk ke Perumahan Pondok Gede Permai salah satunya berasal dari kiriman air berlimpah dari hulunya di Sungai Cileungsi, Kabupaten Bogor.

Tak tanggung-tanggung, kiriman air pada hari pertama tahun 2020 itu melonjak 560 persen dari biasanya.

“Rabu (1/1/2020) pagi, sekitar pukul 07.30, kenaikan muka air di hulu Sungai Cileungsi luar biasa. Dari 250 cm, naik, naik, naik terus sampai puncaknya 560 cm. Padahal, normalnya kalau diguyur hujan pun hanya 100 cm,” ujar Puarman, Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi-Cikeas (KP2C) kepada Kompas.com.

Puarman menjelaskan, debit air sebanyak itu tercipta dari gelontoran hujan lebat yang tak kenal reda sejak Selasa (31/12/2019) pukul 17.00. Baru pada Rabu (1/1/2020) sekitar pukul 07.30, hujan berhenti.

Itu berarti, hujan deras turun selama 14,5 jam nonstop—lebih dari setengah hari.

Selain durasinya yang begitu lama, hujan lebat juga mengguyur secara merata selama pergantian tahun itu. Baik Kota Bekasi sebagai wilayah hilir maupun Kabupaten Bogor sebagai daerah hulu, sama-sama diterpa hujan lebat.

Akibatnya mudah ditebak. Tinggi muka air Sungai Cileungsi melonjak 560 persen.

Pagi pertama di 2020, usai menghitung pelbagai kemungkinan, Puarman dan jajaran di KP2C langsung menyiarkan peringatan dini banjir kepada warga di sekitar pertemuan Sungai Cileungsi-Cikeas (keduanya induk Kali Bekasi), seperti warga Kemang Ifi Graha Jatiasih, Pondok Mitra Lestari, termasuk warga Villa Nusa Indah dan Pondok Gede Permai.

“Peringatan dini pukul 07.30, bahwa sekitar jam 11.00 mohon ditingkatkan kewaspadaan. Kami melihat masyarakat masih belum tanggap, akhirnya kami merilis bahwa jam 10.00 lewat akan ada banjir besar,” kata Puarman.

Pukul 10.40, petaka tiba. Pelahan namun pasti, Kali Bekasi yang kedapatan kiriman air sebanyak itu luber.

Airnya tak lagi menjebol tanggul, tetapi mudal di atas tanggul setinggi 3-5 meter yang sengaja dibangun buat membendung banjir.

“Kami tidak bisa menghitung tinggi muka air di sekitar Pondok Gede Permai, tapi perkiraan kami di angka 840 cm," kata Puarman.

Ketinggian air saat itu tak bisa dihitung, ungkap dia, karena sudah jauh melewati ambang. Alat pemantau yang mereka pasang pun sudah hanyut.

"Jadi, perkiraan 840 itu karena melebihi tanggul yang tingginya dari dasar Kali Bekasi sekitar 660 sampai 800 cm,” ujar dia.

Jalanan di kompleks perumahan itu, lanjut Puarman, punya ketinggian sejajar dengan muka Kali Bekasi di kondisi normal yang berkedalaman 365 cm. 

"Jadi, kalau (tinggi muka air) Kali Bekasi sampai 840, berarti banjir di Pondok Gede Permai sekitar lima meter,” ia menambahkan.

Kenaikan muka air Kali Bekasi terekam dengan baik di stasiun pemantau Bendung Bekasi.

Tak tanggung-tanggung, dari data yang diterima Kompas.com, selama hujan lebat melanda pada pergantian tahun itu, debit Kali Bekasi naik hampir 30 kali lipat alias nyaris 3.000 persen!

Lonjakan itu mulai tercatat pada Selasa (31/12/2019) siang.

Apa yang terjadi di Bekasi dan Pondok Gede Permai saat Banjir Tahun Baru 2020 - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

 “Sejak 1986 saya kerja di sini, belum pernah air sebesar itu. Terakhir banjir besar paling debit Kali Bekasi ‘hanya’ 700,” ujar Sugiarto (41), operator Bendung Bekasi kepada Kompas.com.

Di luar perkiraan sains

Torehan debit Kali Bekasi ini, selain di luar perkiraan Sugiarto yang sudah 24 tahun bertugas mengoperasikan Bendung Bekasi, juga melampaui prediksi para ilmuwan.

Penelitian Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum-Ciliwung, Kementerian Kehutanan mengungkapkan, debit maksimal rata-rata Kali Bekasi baru mencapai 254,9 meter kubik per detik (m3/detik) pada saat riset itu dilakukan pada 2005-2006.

Kala itu, angka tersebut pun sudah dianggap buruk sebab menggambarkan kerusakan daerah aliran sungai (DAS) Bekasi.

Dua tahun berselang, peneliti Universitas Trisakti, T Kadri, pernah memprediksi bahwa pada tahun 2020, debit air yang mengalir di Kali Bekasi bisa mencapai 789,6 m3/detik bila tak ada intervensi yang tepat atas persoalan di DAS-nya. 

Dalam risetnya bertajuk  “Flood Defense in Bekasi City, Indonesia” yang terbit 2008 itu, prakiraan tadi muncul dari hasil kalkulasi Kadri terhadap peningkatan debit Sungai Cileungsi dan Cikeas dalam kurun 1998-2003.

Toh, dua hasil penelitian di atas ternyata tak ada apa-apanya ketimbang kenyataan pada Tahun Baru 2020, ketika debit Kali Bekasi tembus 927 m3/detik.

Akselerasi alih fungsi wilayah tangkapan air di hulu Kali Bekasi kelewat cepat.

Mengapa petaka di luar perhitungan sains ini terjadi?

Puarman menaksir, akselerasi alih fungsi wilayah tangkapan air di hulu Kali Bekasi kelewat cepat.

“Saya melihat lima tahun belakangan, alih fungsi di hulu Sungai Cikeas dan Cileungsi makin masif,” ujar Puarman.

Banyak kawasan yang tadinya merupakan daerah resapan, ungkap dia, berubah menjadi perumahan dan kawasan industri.

"Semuanya mengambil jarak tidak jauh dari sempadan sungai," kata dia.

Puarman mencontohkan Babakan Madang dan Sentul sebagai kawasan yang terpantau mengalami perubahan alih fungsi secara masif itu. 

"Itu baru di hulu Sungai Cileungsi,” imbuh dia. 

Penelitian Aris Poniman, dkk pada 2013 berjudul “Survei Cepat Terintegrasi untuk Pemantauan dan Pengambilan Keputusan Mengatasi Banjir di Sungai Bekasi” melengkapi pernyataan Puarman. 

Poniman dkk memusatkan perhatian di hulu Sungai Cikeas. Mereka menegaskan ulang bahwa bahwa wajah lahan di kawasan tersebut sudah banyak berubah.

“Curah hujan tinggi dan bertambahnya penutup lahan nonvegetasi menyebabkan peningkatan aliran permukaan (Sungai Cikeas). Kondisi tersebut menyebabkan debit air sungai meningkat, sehingga banjir lebih sering terjadi dengan frekuensi, keluasan, dan ketinggian yang semakin parah di hilir (Kali Bekasi),” tulis mereka. 

 

AIR TERUSIR BETON

 Bekasi, kota rawa habitat air 

 

KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto aerial menunjukkan banjir yang menyisakan lumpur di salah satu kawasan hunian elite di Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/1/2020). Hujan deras dan luapan Kali Bekasi merendam sebagian besar kawasan tersebut.

BUKAN hanya paling parah se-Jabodetabek, banjir di Kota Bekasi pada Tahun Baru 2020 pun ditaksir sebagai tragedi paling parah sepanjang sejarah peradaban modern di Bekasi.

"Kita hampir merata. Dalam sejarahnya, banjir Bekasi belum pernah separah itu," kata Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi sehari setelah banjir melanda, 2 Januari 2020.

Sejarawan Bekasi, Ali Anwar, membenarkan anggapan Rahmat. Sejauh catatannya, belum pernah Kota Bekasi direndam banjir hingga lebih dari 70 persen wilayahnya.

Bahkan, beberapa kawasan yang dulunya tak pernah kebanjiran, akhirnya ikut terendam pada Tahun Baru 2020 itu.

"Banjir paling besar terakhir (di Kota Bekasi) tahun 2002, berbarengan dengan Jakarta yang saat itu kena banjir parah juga. Tapi, tahun (2020) ini paling parah," ungkap Ali.

Jauh sebelum peradaban modern, riwayat banjir di Bekasi sudah terjadi berabad-abad lampau. Akan tetapi, banjir kala itu tidak dimaknai sebagai petaka tetapi peristiwa keseharian semata.

Bekasi yang terletak di dataran rendah dekat pesisir memang "dirancang" secara alamiah sebagai kota rawa.

Riset A Damayanti dan NA Dwiputra yang dipublikasikan dalam International Conference of SMART CITY 2018 memaparkan, wilayah Bekasi yang rata-rata berketinggian 12,5-25 meter di atas permukaan laut (mdpl) tak punya banyak variasi ketinggian muka tanah.

Kemiringan medan di Bekasi sangat landai, yaitu 0-2 persen, membuatnya secara alamiah menjelma sebagai tempat parkir air.

Hikayat banjir Bekasi

Ali mengisahkan, jejak banjir di Bekasi dapat ditelusuri pada abad 5 Masehi, waktu Raja Tarumanagara, Purnawarman membangun sodetan Kali Candrabhaga dan Kali Gomati.

"Sodetan ini untuk mencegah banjir ke arah keraton dan pertanian," tuturnya.

Dampak banjir pun tak pernah begitu hebat. Masyarakat waktu itu punya cara hidup yang selaras dengan ketentuan semesta. Mereka beradaptasi, bukan membangun secara sembrono.

"Selama berabad-abad masyarakat Bekasi hidup dengan mengandalkan Kali Bekasi menggunakan perahu. Jalan dan rumah yang berjejer dari Bogor sampai muara Bekasi menghadap ke sungai. Rumah dibangun di lokasi tinggi yang tak terjamah banjir. Kalau kena banjir, mereka membangun rumah panggung," tutur Ali.

DOK KITLV VIA UNIVERSITAS LEIDEN/WOODBURY & PAGE
Penampakan Kali Bekasi di foto yang dipublikasikan sebelum 1880, dengan perahu sebagai sarana transportasi dan posisi rumah warga di tepiannya. Foto merupakan koleksi digital Universitas Leiden, Belanda, bersumber dari The Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies atau KITLV).

Memasuki era Kolonial, lanjut Ali, peradaban modern mulai menjamah Bekasi. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, HW Daendels, membabat lahan guna membentangkan jalan raya Pantura Bekasi-Cirebon di awal 1800.

Akhir abad 19, dibangun rel kereta api dari Manggarai ke Kedunggedeh.

"Moda transportasi mulai bergeser dari air ke jalan raya dan rel. Rumah mulai berpindah ke pinggir jalan. Jalan raya dan rel membuat jalan air terganggu, sehingga mulai banjir di sisi selatannya," Ali menguraikan.

Sejak pembangunan modern mengacak-acak Bekasi, Kali Bekasi dan Sungai Citarum mulai kerap meluap. Lahan pertanian selalu jadi sasaran banjir.

"Tahun 1920-an, Sungai Citarum ditanggul dan berhasil mengurangi banjir waktu itu. Tapi, pada 1924, 1926, dan 1933, banjir menenggelamkan rumah, jalan raya di Batavia, Bekasi, Tambun, Cibitung, Cikarang, Lemahabang, Kedunggedeh. Rel bergeser sampai bentuknya mengombak, jembatan rusak, rumah tenggelam," Ali berkisah.

Belanda mewariskan tradisi baru bernama banjir itu kepada Bekasi hingga saat Indonesia merdeka. Banjir nyaris selalu melahap sawah warga karena memang Bekasi waktu itu didominasi persawahan.

Banjir besar perdana di Bekasi modern terjadi pada 1961. Warga Bekasi banyak terserang demam berdarah dan malaria. Wilayah Rawalumbu, yang merupakan kawasan rawa, jadi lokasi epidemi malaria setelah banjir surut.

"Sampai 200.000 warga Bekasi mengungsi. Jumlah itu mungkin separuh dari jumlah warga Bekasi kala itu," ujar Ali.

Banjir yang makin kerap menerpa Bekasi—saat itu belum terbagi dengan wilayah kota—mendorong Pemerintah Kabupaten Bekasi membangun Kanal Cikarang-Bekasi-Laut (CBL). Proyek ini dimulai pada 1973 dan rampung 1984.

"Setelah Kanal CBL dibangun, air langsung surut, Bekasi bebas banjir. Persawahan yang tadinya setiap musim hujan tenggelam, langsung surut setelah ada Kanal CBL, termasuk di (wilayah yang kini) Kota Bekasi. Karena CBL menyelesaikan banjir, pemerintah pede (percaya diri) bebas banjir," kata Ali.

Merasa Bekasi tak akan banjir lagi sejak dibangunnya Kanal CBL, pintu pun dibuka lebar-lebar bagi pengusaha properti mengembangkan kawasan perumahan. Tak sedikit yang menjual embel-embel “perumahan bebas banjir”.

Loading...

Zaman Presiden Soeharto, pembangunan terjadi besar-besaran di Jawa, terutama Jakarta. Hal itu lantas menular ke Bekasi sebagai tetangga Ibu Kota.

Ali mengatakan, dekade 1980-1990 adalah klimaks pembangunan besar-besaran ini. Eksesnya, ekspansi penduduk dari Ibu Kota ke Kota Bekasi tak terelakkan.

Pada 1995, tingkat migrasi dari Jakarta ke Bekasi mencapai 4,4 persen.

"Ada kerja sama pembangunan Jabodetabek untuk mengurangi beban Jakarta, sehingga dibangunlah perumahan, seperti Perumnas 1, 2 ,3," ujar Ali.

Para taipan properti tentu sudah ambil ancang-ancang. Dekade 1980-an, menyongsong migrasi yang bakal terjadi, rawa-rawa yang mayoritas berada di tepi Kali Bekasi ramai-ramai disulap jadi kawasan perumahan.

Bahkan, di antara perumahan itu bercokol nama-nama kompleks semielite, sebut saja Pondok Gede Permai, Kemang IFI Graha, Pondok Mitra Lestari, sampai Kemang Pratama.

Selain menjual eksotisme sungai yang titik nolnya berada di wilayah Jatiasih dan berbatasan dengan Kabupaten Bogor, banyak lokasi perumahan dipilih karena berdampingan dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang diresmikan pada 1988.

Alasan lain, rawa-rawa di bantaran Kali Bekasi seakan tak ada gunanya lagi sejak Kanal CBL beroperasi. Rawa-rawa itu sering mengering, sebab aliran air dari hulu kebanyakan langsung menggelontor ke Kanal CBL tanpa mampir ke rawa.

Tambah lagi, tanah rawa di pinggir Kali Bekasi mayoritas tak bertuan sehingga dikuasai negara. Para pengusaha properti dan Pemerintah Kabupaten Bekasi tak perlu keluar duit banyak baik buat pembebasan lahan maupun pemindahan warga.

Lanskap Kota Bekasi berubah begitu pesat, melupakan romantisme kota rawa. Perumnas Tahap III di Rawa Lumbu, misalnya, dibangun di atas urukan Rawa Roko yang semula merupakan tempat parkir air alami, seperti diberitakan harian Kompas edisi 25 November 1994.

Namun, alam kadung mengenal Bekasi sebagai kota rawa. Pengurukan Rawa Roko berdampak langsung pada warga Perumnas Bumi Bekasi Baru yang kompleksnya sudah dibangun lebih dulu untuk tahap I dan II.

Setelah hujan deras selama 1,5 jam, ratusan rumah di kompleks itu terendam banjir setinggi 60 cm. Padahal, sebelumnya wilayah tersebut bebas banjir.

Riset yang dikerjakan Trihono Kadri dkk dari Universitas Trisakti dan dipublikasikan pada 2008 memperlihatkan perubahan fungsi lahan di DAS Kali Bekasi itu dalam rupa peta, dari semula hijau menjadi dominan kelabu.

Kurun 1998-2008, luas lahan untuk permukiman bertambah dari 1.715,2 hektar pada 1998 menjadi 7.142,9 pada 2003 dan 9.232,8 hektar pada 2008. Tren ini dibarengi dengan merosotnya area lahan basah. 

Loading...

Pada 2007, alih fungsi lahan bantaran Kali Bekasi telah mencapai 31 persen, berdasarkan riset Poniman dkk dari Universitas Islam 45.

“Sungai Bekasi bagian hilir dengan meander dan rawa belakang (backswamp) yang rawan banjir dan erosi mulai dimanfaatkan untuk permukiman, yang sebenarnya lebih cocok untuk lahan pertanian,” tulis Poniman dkk.

Riset Poniman dkk yang dipublikasikan pada 2013 menyebutkan pula, perumahan telah menggunakan 41.740 hektar dari total 134.568 hektar luas daerah aliran sungai (DAS) Bekasi. 

Pada 2013, luas lahan terbangun di Kota Bekasi sudah menyentuh angka 59,6 persen, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bekasi. Nyaris setengahnya adalah perumahan.

Dengan laju pembetonan sedemikian ganasnya, penerbitan Izin Mendirikan Bangunan oleh Pemerintah Kota Bekasi pun konsisten di atas 7.000 lembar per tahun.

Jelas, hal ini membuat kian mungilnya cakupan lahan basah yang berperan sebagai wilayah tangkapan air di Kota Bekasi.

Bekasi, Kota Rawa yang Tergilas Beton - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

PONDOK GEDE PERMAI, EPISENTRUM BANJIR 2020

KOMPAS.com/VITORIO MANTALEAN
Perumahan Pondok Gede Permai, Jatiasih, Kota Bekasi, Jumat (3/1/2020), usai digempur banjir sejak Rabu (1/1/2020).

DUA tahun kemudian, banjir tahun baru 2020 memukul jatuh Kota Bekasi. Kota di timur Jakarta ini merupakan wilayah terdampak banjir paling parah di Jabodetabek.

Keadaan ini kerap tak tersadari, sebab perhatian publik dan media massa cenderung mengarah dan tumpah ke Jakarta dan gubernurnya, Anies Baswedan. Padahal, banjir pada pergantian tahun 2020 tak hanya menggenangi Ibu Kota. 

Dalam angka, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengidentifikasi, terdapat 169 titik banjir di Jabodetabek hingga 3 Januari 2020. Jawa Barat menyumbang jumlah terbesar dengan 97 titik banjir, DKI Jakarta 63 titik, dan Banten 9 titik.

Di Kota Bekasi, berdasarkan data BPBD, terdapat 68 titik banjir pada hari itu. Versi Pemerintah Kota Bekasi lebih parah, dengan data 100 titik banjir.

Dengan menyandingkan data BPBD dan BNPB saja, pada hari itu terlihat bahwa tiga dari empat titik banjir di Jawa Barat ada di Kota Bekasi.

Dalam perjalanannya, puncak jumlah pengungsi mencapai 34.683 keluarga, dengan rincian 149.357 orang, merujuk rekapitulasi BNPB pada 4 Januari 2020. Tiada wilayah lain di Jabodetabek, selain Kota Bekasi, yang jumlah pengungsinya semembeludak ini.

Kabar buruknya, sembilan nyawa melayang di Kota Bekasi akibat banjir tersebut. Catatan ini membuat Kota Bekasi sejajar dengan Lebak, Banten dalam hal korban jiwa akibat banjir; dan satu peringkat di bawah Kabupaten Bogor yang mencatat 16 korban jiwa.

Meneropong lebih detail, Pemerintah Kota Bekasi mengumumkan bahwa lokasi 41 dari 56 kelurahan (73 persen) di wilayah itu berada di bawah air. Banjir merendam 12 dari 13 kecamatan yang ada.

Kecamatan Jatiasih yang menoreh rekor penerbitan IMB perumahan terbanyak pada 2018, kini menyandang predikat lokasi terparah terdampak banjir.

Hanya di Jatiasih, banjir sedalam lebih dari dua meter menenggelamkan banyak perumahan sekaligus.

Kompleks seperti Perumahan Dosen IKIP, Perumahan Nasio, Perumahan Villa Jatirasa, Pondok Mitra Lestari—semuanya di bantaran Kali Bekasi—tenggelam.

Yang menyimpan nestapa paling pahit adalah warga Pondok Gede Permai. Permukiman itu terendam lebih dari lima meter (perkiraan KP2C) hingga enam meter lebih (perkiraan BPBD Kota Bekasi).

KOMPAS.com/VITORIO MANTALEAN
Perumahan Pondok Gede Permai (kanan) berada tepat di samping tanggul yang membatasi Kali Bekasi. Gambar diambil pada Januari 2020.

Kedalaman banjir di Villa Nusa Indah tak jauh beda dengan Pondok Gede Permai, namun Villa Nusa Indah masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Kedua perumahan itu jadi tapal batas wilayah Kota Bekasi-Kabupaten Bogor.

Entah penjelasan apa yang mampu menerangkan bagaimana bisa Perumahan Pondok Gede Permai dibangun di mulut pertemuan Sungai Cileungsi-Cikeas. Kompleks ini dibangun pada 1980-an 

Siapa saja Anda, jika menuju perumahan itu akan merasakan betul bahwa lokasi Pondok Gede Permai berada di wilayah cekungan.

Dari rumah Erlina di hadapan tanggul yang notabene titik terendah di kompleks itu, jalan akan menanjak landai menuju gerbang perumahan. Keluar dari gerbang, jalan kian terasa mendaki sebelum bertemu pertigaan.

Dua ratus meter belok kanan dari pertigaan itu ke jalan raya, pengendara akan melintasi Jembatan Cipendawa yang melintasi Kali Bekasi, dengan posisi tanggul Pondok Gede Permai terlihat jauh ada di bawah jembatan itu.

Dari profil aksesnya saja, memasuki perumahan ini ibarat menghampiri bantaran Kali Bekasi dari ketinggian.

Seperti yang dijelaskan Puarman, jalan raya Perumahan Pondok Gede Permai hanya terpaut 3,65 meter dari dasar Kali Bekasi.

“Di sini rumah harus punya lantai dua. Saya di lantai dua saja airnya masih setinggi perut. Dataran ini memang kayak jenis kolam, kayak penggorengan,” ucap Dudung, Ketua RT 001/RW 001.

“Khawatir (banjir) enggak di akhir tahun saja. Khawatir itu kalau hujan di sana (hulu Kali Bekasi) gede, di sini gede, itu sudah khawatir. Enggak perlu nunggu akhir tahun buat khawatir banjir.”

Sekilas Pondok Gede Permai - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Warga pernah menggugat

Kondisi geomorfologis ini tak pelak menjadikan Pondok Gede Permai, baik dulu sebagai rawa maupun kini sebagai permukiman, senantiasa jadi lokasi persemayaman banjir.

Telanjur menghuni wilayah habitat air, bukan berarti warga Pondok Gede Permai pasrah atas banjir yang terus-menerus mampir mengacak-acak tempat tinggal mereka.

Sebagian warga merasa diperdaya atas promosi “perumahan bebas banjir” dari pengembang.

"Ternyata dalam setahun, sedikitnya tiga kali kami kebanjiran," keluh warga Pondok Gede Permai, sebagaimana dikutip harian Kompas edisi 11 Desember 1993.

Mereka pun pernah meminta pertanggungjawaban lewat unjuk rasa, menuntut PT Kentanix Supra Internasional—pengembang Pondok Gede Permai—memugar tujuh tanggul yang jebol akibat banjir Bekasi pada 1993. Saat itu, banjir menenggelamkan rumah warga hingga 3,5 meter. 

"Tanggung jawab developer bukan hanya memberikan bantuan supermi dan beras tapi jauh lebih dari itu," kata Basir Lubis, salah seorang warga, dalam pemberitaan yang sama.

Perwakilan PT Kentanix Supra International balik melempar masalah ini. Mereka mengklaim, pembangunan Pondok Gede Permai dilakukan oleh “manajemen lama”, yaitu PT Upaya Bumi Makmur, sebelum Kentanix membeli 60 persen sahamnya saat sudah dikelola “manajemen baru”.

Direktur Kentanix saat itu, Husin Suwito, mengemukakan, Kentanix mau membeli perumahan yang dibangun PT Upaya Bumi Permai karena sudah ada jaminan bahwa daerah tersebut bebas banjir.

Jaminan itu disebut berasal dari Divisi Tarum Barat Perum Otorita Jatiluhur (sekarang Perum Jasa Tirta II) di Bekasi, berupa surat peil banjir bertanggal 13 Juli 1993.

Peil Banjir adalah pengaturan ketinggian minimal lantai bangunan yang ditentukan berdasarkan lokasi bangunan tersebut, yang bertujuan mencegah air banjir meluap dan masuk ke dalam bangunan jika lantai terlalu rendah.

Dalam surat keterangan peil banjir yang ditandatangani Wiwoho, Kepala Divisi Tarum Barat POJ di Bekas pada saat itu, peil tanah tertinggi disebutkan sebesar + 22,6, sedangkan peil terendah -18,40, dan peil banjir +20.

Ia menilai, warga salah kaprah jika menggugat Kentanix ke pengadilan, karena keterangan bebas banjir dan izin lokasi justru diterbitkan lembaga pemerintah.

"Kalau kami tidak percaya terhadap lembaga pemerintah itu, ya kami harus percaya pada siapa lagi? Karena lembaga itulah yang mengeluarkan keterangan bahwa daerah itu memang bebas banjir," kata Husin, seperti dikutip harian Kompas edisi 14 Desember 1993.

Buntu, polemik ini dibawa ke meja hijau. Sebanyak 134 warga Pondok Gede Permai menggugat pengembang, Bupati Bekasi, Bank Tabungan Negara (BTN), dan Perum Otorita Jatiluhur, pada Selasa (19/4/1994).

Gugatan pada keempat tergugat tersebut didasari oleh argumen:

  1. Pengembang telah melancarkan promosi bodong dengan mengklaim Pondok Gede Permai “bebas banjir”;
  2. Perum Otorita Jatiluhur lalai membuka pintu air Kali Bekasi;
  3. BTN disebut mengingkari perjanjian asuransi; dan
  4. Bupati Bekasi beserta jajarannya lepas tanggung jawab menanggulangi dampak banjir 1993.

Mereka meminta ganti rugi Rp 16,7 miliar atas banjir tahunan yang melanda rumah  mereka. Akan tetapi, dalam sidang lanjutan Selasa (17/5/1994), keempat tergugat itu justru balik menggugat 134 warga Pondok Gede Permai Rp 37,5 miliar.

Saat itu, pengembang beralasan, banjir “merupakan musibah” yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban kepada siapa pun.

Lalu, Perum Otorita Jatiluhur mengklaim tak membuka pintu air Kali Bekasi demi menjaga pasokan air baku Jakarta.

Adapun BTN mendaku tak bertanggung jawab atas polemik ini, sementara Pemerintah Kabupaten Bekasi mengaku tak paham tujuan warga menggugat.

Penangan pascabanjir yang menyedihkan

Tak ada pihak yang mau bertanggung jawab atas nasib rutin nan mengenaskan warga Pondok Gede Permai, meski sebagian warga mengaku sudah bersahabat dengan banjir.

Banjir, bagi mereka, akhirnya dianggap sebagai momok yang rajin menyambangi. Malah, pengalaman banjir pada pergantian tahun 2020 dimaknai sebagai sebentuk satire pencapaian.

"PGP (Pondok Gede Permai) bukan tahun ini pertama kali banjir. Saya di sini sejak 1989, tahun 1993 sudah banjir besar yang pertama," ujar Oonk (52) warga RT 007/RW 008 PGP ketika ditemui wartawan di kediamannya yang persis di depan tanggul Kali Bekasi, Kamis (9/1/2020).

KOMPAS.com/VITORIO MANTALEAN
Perumahan Pondok Gede Permai, Jatiasih, Kota Bekasi, Jumat (3/1/2020), usai digempur banjir sejak Rabu (1/1/2020).

"Setelah itu, banjir terus naik, naik, naik, naik, sampai sekarang sudah segenteng," ujar dia, sebagai saksi mata bencana lingkungan yang terus memburuk dari waktu ke waktu, dari jarak yang sangat dekat.

Jejak-jejak banjir pada tahun baru 2020 masih membekas di Pondok Gede Permai sepekan sesudah air surut. Atap rumah warga, bahkan rumah dua  lantai pun, lapuk dan bergelombang. Dindingnya coreng-moreng menyimpan sisa-sisa basah.

Dahan-dahan pohon tinggi bukan hanya didominasi warna hijau, melainkan juga warna-warni sampah plastik yang terseret arus banjir dan tersangkut di dedaunan.

Pohon-pohon di sempadan Kali Bekasi yang bersisian dengan Pondok Gede Permai rebah seluruhnya. Begitu dahsyat arus banjir tersebut.

Lebih dari itu semua, aspal jalan perumahan yang terletak persis di tepi Kali Bekasi itu telah berganti lumpur, menghampar sampai ke sudut-sudut kamar tidur.

Di RW 008, misalnya, yang terletak persis di sisi tanggul, lumpur masih berkedalaman sebetis orang dewasa, sepekan setelah banjir surut. Nahasnya, lumpur-lumpur itu berbau busuk.

Aroma menyengat itu bersumber dari sampah warga yang belum diangkut. Selang sepekan setelah jadi rongsokan, barang-barang seperti kasur, sofa, lemari, dan berbagai benda lain yang lembab karena banjir itu sudah berjamur dan jadi sarang bakteri.

"Orang-orang kan malas lewat sini, masuk pun susah kalau kayak begini. Sudah pada gatal-gatal," ujar Erlina.

Mungkin juga, di endapan lumpur itu terselip bangkai hewan. Warga yang sudah nelangsa diterpa banjir, praktis makin kepayahan.

"Capek banget, dari hari pertama surut enggak sudah-sudah (bersih-bersihnya)," kata seorang pria paruh baya di RT 004/RW 008, yang menolak diwawancarai lebih jauh karena mengaku sangat letih.

Di kejauhan, seorang pria menumpuk rongsokan dan menyulutnya dengan api. Membakar sampah jadi jalan pintas di tengah lambannya gerak pemerintah menangani sampah sisa banjir.

Dalam sepekan pertama setelah banjir itu, upaya rehabilitasi pascabanjir yang didengung-dengungkan Pemerintah Kota Bekasi bagaikan lelucon bagi warga Pondok Gede Permai, wabilkhusus warga RW 008 seperti Erlina.

Padahal, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyebut bakal mengerahkan sekitar 300 truk sampah plus menyewa 20 ekskavator untuk menangani masalah pascabanjir.

Ketua RW 008, Syaikhu pasrah sekaligus jengkel. Leletnya penanganan lumpur membuat warga yang baru kebanjiran itu justru berharap hujan sering-sering turun, supaya lumpur tak mengering.

"Kalau manual begini, untuk lumpur saja mungkin sebulan," kata Syaikhu.

Serba salah

Lamanya pemulihan pascabanjir membuat sebagian rumah warga di RW 008 Pondok Gede Permai ditinggalkan penghuninya.

Selain mereka yang menanti penyelesaian perbaikan rumah setelah banjir, sebagian warga memilih meninggalkan permukiman ini secara permanen. 

Jejak persoalan karena banjir ini tak hanya rumah yang hancur dan terbenam lumpur. Listrik pun padam karena alat token listrik juga rusak terendam air. 

Namun, menjual rumah di daerah yang terkenal sebagai kawasan banjir bukanlah perkara mudah.

Dion (52) mengaku pernah hendak melego rumahnya seharga Rp 650 juta. Waktu itu, ia ingin menghabiskan masa tua di kawasan bebas banjir.

Pada November 2019, tutur dia, ada calon pembeli yang menawar rumahnya seharga Rp 450 juta. Saat itu, Dion yang sudah tinggal di PGP sejak 1991 itu masih menahan harga jual dan bertahan di angka akhir Rp 500 juta.

"Dia tidak menyanggupi, ya sudah. Sekarang saya menyesal, karena harga rumah pasti jatuh lagi (usai banjir) ,” kata Dion kepada wartawan, Selasa (14/1/2020). 

 

RELOKASI CUMA WACANA, NORMALISASI TAK JUA TERLAKSANA

 

MASA tanggap darurat bencana Banjir Tahun Baru 2020 di Kota Bekasi selama 13 hari sejak 2-14 Januari 2020 rupanya tak cukup memulihkan dampak banjir.

Waktu itu, Pemerintah Kota Bekasi pun menetapkan status baru, satu tingkat di bawah masa tanggap darurat, yakni masa transisi darurat bencana pemulihan untuk penanggulangan DAS (Daerah Aliran Sungai) Kali Bekasi hingga April 2020.  

Kawasan Jatiasih jadi prioritas, termasuk di dalamnya Pondok Gede Permai.

Di sisi lain, nasib getir sebagai penyintas banjir yang harus dijalani warga Pondok Gede Permai membuat Wali Kota Rahmat Effendi menimbang-nimbang opsi relokasi, agar kompleks tersebut dapat disulap jadi kawasan tangkapan air.

Opsi ini pun ia sampaikan kepada Presiden Joko Widodo dalam Rapat Pencegahan dan Penanganan Banjir di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (8/1/2020).

"Tinggal tergantung warganya, tergantung kementerian. Ini persoalan safety, (wilayah Pondok Gede Permai) memang harus ada tandon," ujar pria yang akrab disapa Pepen itu.

Tandon tersebut, menurut Pepen, harus dibangun berkesinambungan dari arah hulu di Bukit Hambalang hingga Kali Bekasi.

Dengan begitu, wilayah tangkapan air banjir kiriman makin banyak, sehingga debit air dari hulu ke hilir lewat Kali Bekasi dapat diatur dengan bendungan.

Jika opsi ini disetujui pemerintah pusat, Pemerintah Kota Bekasi bertugas mendata warga. Masalah appraisal atau ganti rugi pembebasan lahan jadi urusan pemerintah pusat lewat Kementerian PUPR setelah warga seluruhnya sepakat direlokasi.

Ini tentu urusan alot. Hingga sekarang, wacana itu masih belum tampak gelagatnya. Banjir sudah datang berkali-kali lagi, meski beda skala.

KOMPAS/RIZA FATHONI
Tim SAR mengevakuasi korban banjir di perumahan Villa Jatirasa, Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat, Minggu (25/10/2020). Banjir akibat luapan Kali Cikeas dan Kali Cileungsi--induk Kali Bekasi--, dengan ketinggian 60 sentimeter hingga dua meter ini melanda sejumlah perumahan pada Sabtu (24/10/2020) pukul 23.00 WIB.

Intervensi pemerintah untuk lebih sigap mengantisipasi banjir yang datangnya tak dapat diterka juga menguap entah ke mana.

“Belum ada pemanggilan atau pertemuan dengan pemilik rumah di sini. Kalau ngukur-ngukur,  itu (ada) dari BBWSCC tapi kurang jelas," kata Dudung, Ketua RT 001/RW 008 PGP kepada Kompas.com, Jumat (18/12/2020).

Menurut Dudung, petugas yang datang itu tidak memberitahu warga tentang detail keperluan dan peruntukan pengukuran lahan tersebut. 

“Kemarin ada (garapan tanggul) di RW 009, kami urunan saja bersama warga, patungan Rp 20.000 buat bahan material. Kami kerjain bareng-bareng,” imbuhnya.

Macet

Pemerintah akhirnya mengakui bahwa memang belum ada yang dikerjakan di lapangan walau tragedi banjir telah berlalu setahun. Proyek normalisasi Kali Bekasi masih berkutat soal desain dan lelang proyek.

Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto bilang, mereka masih menunggu desain terbaru proyek normalisasi Kali Bekasi dari BBWSCC yang dianggarkan senilai Rp 4,7 triliun. Sebab, seiring waktu, kerusakan di wilayah sempadan terus bertambah.

 “Prioritas pertama, dari pintu Bendung Bekasi sampai PGP. Kami sendiri juga belum dapat petanya. Yang jelas pasti akan ada sedikit gesekan dari masyarakat. Warga kan mau tahu pastinya, titiknya di mana? Ini yang kami masih tunggu, review terakhirnya, re-design dari BBWSCC,” ujar Tri.

Kepala BBWSCC Bambang Heri Mulyono menyampaikan, proyek normalisasi Kali Bekasi terbagi jadi 7 paket. Paket 1—atau fase 1 dalam istilah Tri— sudah dilelang, dengan panjang sempadan enam kilometer yang akan dinormalisasi.

“Itu enam kilometer baru satu sisi, ya,” ujar Bambang.

Kerumitan berikutnya ialah soal pembebasan lahan untuk proyek normalisasi ini. Semua pihak saling lempar bola sementara kerjanya lambat sekali.

Bambang mengatakan, lama pengerjaan normalisasi ini kelak bergantung pada seberapa cepat Pemerintah Kota Bekasi menyediakan lahan. Sebaliknya, Tri mengaku belum bisa bergerak karena BBWSCC masih sibuk dengan desain ulang proyek.

“Menunggu review akhir dari BBWSCC dulu,” jawab Tri begitu ditanya soal jumlah warga yang telah didata pemerintah untuk proses relokasi.

Warga ingin ganti rugi setimpal

Masalah kian pelik karena warga Pondok Gede Permai menginginkan ganti rugi yang setimpal jika rumah mereka harus dibuldoser.

“Kami harap dapat rumah lagi, jangan melihat NJOP kalau di sini. Di sini NJOP cuma Rp 1.250.000. Kalau dijual segitu, ya kami keluar paling ngontrak, lama-lama jadi gembel,” kata Dudung.

Alasan lain penolakan relokasi dikemukakan Erick Timor (43), warga RT 004/RW 008. Senada dengan Irvan, ia menganggap relokasi bukan solusi menghindarkan mereka dari banjir. Biang masalah, menurut mereka, ada pada pemerintah yang tak becus mengurus Kali Bekasi.

"Kalau hanya relokasi mah, (pemerintah) mau cara gampang saja. Dari dulu yang kami minta adalah normalisasi Kali Bekasi. Dikeruk, karena kan makin dangkal," kata Erick kepada Kompas.com, Rabu (15/1/2020) siang.

Menurut Erick, penanggulan banjir di Bekasi harus dimulai dari Kali Bekasi.

"Kalau kali dinormalisasi dengan baik, kemungkinan debit air yang meluap ke sini kan berkurang. Kalau dijadikan tandon tidak efektif," ujar dia.

Berjubelnya pabrik-pabrik di tepi Kali Bekasi yang berseberangan dengan Pondok Gede Permai juga jadi bukti bagi Erick dan Irvan bahwa pemerintah memang tak becus mengurus tata ruang kota.

KOMPAS.com/VITORIO MANTALEAN
Kali Bekasi berwarna gelap akibat pencemaran di hulu, yakni Kali Cileungsi. Gambar diambil pada Sabtu (20/7/2019).

"Mereka membangun (tanggul) lebih tinggi di seberang. Jadi ketika Kali Bekasi banjir, air ngebuang ke sini semua," kata Irvan.

Irvan bertutur, dulu sisi seberang kali dari perumahan mereka adalah lahan kosong. Namun, itu berubah pada 2014 ketika bangunan pabrik menempati lahan itu. 

"Dulu kalau banjir (air sungai) terbagi ke kanan dan kiri. Harusnya mereka (pemerintah) kalau mau membangun, dihitung dong buangan airnya. Di sini kan perumahan padat," ungkap dia.

Erick yakin, pendapatnya diamini sebagian besar warga Pondok Gede Permai yang sudah sejak dulu meminta pemerintah mengeruk Kali Bekasi, tetapi tak kunjung terjadi. 

Air mencari tempat

Sejak dekade 1970-an, Kali Bekasi tak pernah lagi dikeruk. Janji terakhir, normalisasi Kali Bekasi akan mulai digarap pada akhir 2020. Namun, janji itu terakhir diungkap di tengah pandemi Covid-19 menerjang Indonesia.

Baca juga: Tak Pernah Dikeruk, Kali Bekasi Disebut Lebih Mudah Meluap Ketimbang Ciliwung

Wacana relokasi pun selalu diapungkan ketika tampuk kepemimpinan berganti dari wali kota satu ke wali kota lain. Intinya, tak pernah terealisasi. 

Pengamat tata kota, Yayat Supriatna, memprediksi bahwa warga lagi-lagi akan jadi korban, baik dari wacana relokasi maupun normalisasi kali yang tak pernah terlaksana. Terlebih lagi, musim penghujan pun lagi lebat-lebatnya menurunkan hujan. 

Ia berharap, pemerintah segera mengurai benang kusut ini dengan melakukan langkah awal yakni memetakan masalah di balik macetnya proyek yang memang kompleks ini.

Ada masalah tanah, ganti rugi, hingga kerumitan penyesuaian anggaran di masa pandemi Covid-19, yang harus dicari jalan keluarnya baik oleh Pemerintah Kota Bekasi maupun pemerintah pusat sebelum proyek ini dapat dieksekusi.

"Harus dipetakan apa masalahnya proyek ini tak berjalan. Karena bagaimanapun, ketika sekarang sudah masuk musim penghujan, ya enggak ada artinya kalau proyek enggak diapa-apakan," kata Yayat kepada Kompas.com, Jumat (15/1/2021).

Baca juga: Setelah Terkendala Pembebasan Lahan, Normalisasi Kali Bekasi Mulai Dikerjakan Akhir 2020

Namun, Yayat pun tak menampik kenyataan bahwa pandemi Covid-19 mengubah banyak rencana, termasuk soal normalisasi Kali Bekasi ini. 

"Kita enggak bisa berbuat apa-apa, masyarakat pun tidak bisa apa-apa. Kalau terjadi sesuatu dengan Kali Bekasi, ya masyarakat harus pasrah karena tak punya pilihan," tambah Yayat. 

Kepasrahan semacam ini sudah hidup di benak warga Pondok Gede Permai sejak lama.

"Makanya dibilang ini perumahan bebas banjir. (Maksudnya), banjir terus saking bebasnya dia," begitu ucap Erick, berseloroh.

Seandainya wacana relokasi ini terlaksana lalu di tempat ini dibangun tandon sebagai tempat parkir air, relokasi itu hanya menabalkan fakta bahwasanya Pondok Gede Permai memang habitat air sejak semula.

Yang terjadi, banjir dari Kali Bekasi sudah menyapa warga lagi setidaknya pada Oktober 2020 dan Februari 2021. Katakanlah skalanya berbeda, mereka masih tetap basah, dihantui ketakutan arus limpasan air kembali datang dari waktu ke waktu.

Air hanya meminta tempatnya kembali....