APA yang membuat sebuah perusahaan bertahan dan tumbuh menjadi perusahaan terkemuka? Inovasi terus-menerus sesuai perubahan zaman, menghadirkan makna untuk setiap capaian, dan memberikan kebaikan bagi masyarakat dunia adalah tiga pijakan. Selama 88 tahun, Fujifilm berpijak pada tiga hal ini dan terus melangkah ke depan.
Dalam perjalanannya, Fujifilm memperkenalkan beragam produk, mulai dari photographic product, kosmetik, farmasi, hingga alat kesehatan. Produk dikembangkan sesuai filosofi perusahaan asal Negeri Sakura itu: berkontribusi pada kebudayaan, sains, teknologi dan industri, serta kesehatan.
Yuk, mengenal Fujifilm lebih dekat.
Fujifilm didirikan atas rencana pemerintah Jepang membangun industri photographic film domestik pada Januari 1934. Nama yang dipilih Fuji Photo Film Co Ltd.
Sebulan berselang, Fujifilm mendirikan pabrik pertama di Ashigara, sekitar 80-kilometer dari Tokyo. Pabrik ini memproduksi rol film, kertas foto, dry plate, dan material untuk keperluan fotografi.
Selepas Perang Dunia II, Fujifilm melakukan diversifikasi produk. Penetrasi di pasar alat kesehatan dengan memproduksi alat rontgen dilakukan. Jangkauan produk ke lini cetak, pencitraan elektronik, dan material magnetis diluaskan.
Perlahan tapi pasti, Fujifilm mulai melebarkan sayap bisnis ke mancanegara. Sepanjang tahun 1958 hingga 2010, Fujifilm gencar melirik bisnis dalam skala global. Perusahaan mendirikan kantor, pabrik, dan entitas penjualan di luar negeri di berbagai belahan dunia, yaitu di Brasil, Amerika Serikat, Jerman, Cina, India, Rusia, dan Timur Tengah.
Pada dekade 1990-2000, kamera analog mencapai puncak popularitasnya. Saat itu, gerai pencucian film—istilah yang barangkali sudah terlupakan saat ini—ramai dikunjungi untuk mencetak foto atau membeli film dan album.
Pada saat itu, 60 persen penjualan Fujifilm dan 70 persen profit perusahaan disumbang dari berjualan photographic product. Bisa dibayangkan betapa penting photographic product sebagai tulang punggung perusahaan.
Namun, selepas milenium baru, bisnis photographic film turun drastis. Sebabnya, teknologi digital yang pada medio 1990-an masih mahal mulai terjangkau dan sudah diaplikasikan pada banyak peralatan elektronik.
Pada 2003, industri photographic film dan kamera analog memasuki senjakala. Seperti dilansir dari crm.org, Kamis (17/9/2020), gerai pencucian film mengalami penurunan omzet secara drastis, dari memproses 5.000 rol film per hari menjadi 1.000, bahkan lebih rendah lagi jika dibandingkan pada tahun 2000.
Hal tersebut berdampak pada penjualan photographic film Fujifilm. Saat ini, photographic film menyusut hingga hanya satu persen dari total penjualan keseluruhan produk perusahaan.
***
Awal 2000-an adalah masa krisis perusahaan-perusahaan yang mengandalkan penjualan teknologi analog. Tidak sedikit perusahaan harus gulung tikar karena tak bisa beradaptasi dengan perubahan teknologi dan kebiasaan konsumen.
Kala itu, mantan Chief Executive Officer (CEO) Fujifilm, Shigetaka Komori, langsung mengaktifkan mode krisis. Dalam bukunya Innovating Out of Crisis: How Fujifilm Survived (and Thrived) As Its Core Business was Vanishing (2015), ia menceritakan, perusahaan sebenarnya sudah memprediksi dampak yang dibawa akibat digitalisasi.
Pada 1980-an, Fujifilm telah melakukan sejumlah riset untuk mengantisipasi perkembangan digitalisasi. Pada periode tersebut, Fujifilm mengembangkan kamera kompak digital pertama, DS-1P.
Fujifilm juga tak berhenti berinovasi pada kamera saja. Guna menyambut teknologi serba digital, perusahaan juga melakukan riset terhadap printer inkjet dan diska optik. Printer inkjet disiapkan sebagai pengganti cetak menggunakan pelat.
Sementara, diska optik sebagai antisipasi ketika perangkat komputer sudah digunakan banyak orang. Bila hal ini terjadi, Fujifilm telah menyiapkan media penyimpanan data di perangkat komputer.
Perusahaan juga memperkuat riset material fotosensitif serta merambah industri farmasi. Meski terlihat berseberangan, sebenarnya industri photographic film dan farmasi memiliki kemiripan, yakni sama-sama berkaitan dengan senyawa kimia.
Kendati demikian, upaya menyambut digitalisasi dua dekade lebih awal ternyata belum membuahkan hasil memuaskan. Kualitas foto dari kamera digital saat itu belum bisa menyaingi kamera analog. Ditambah lagi, kamera digital merupakan barang mahal saat itu. Alhasil, kamera analog masih jadi primadona dan penjualan rol film semakin meroket pada penghujung abad ke-20.
Komori menulis, semua orang percaya diri bahwa kinerja penjualan rol film yang bagus tidak akan terganggu oleh kehadiran digitalisasi. Di sisi lain, bisnis baru, seperti print inkjet, diska optik, serta produk farmasi, ditangguhkan untuk sementara waktu pada saat itu. Alhasil, fokus perusahaan masih tertuju pada penjualan photographic film pada 1980-2000.
Lalu, selepas tahun 2000, teknologi digital meluluhlantakkan bisnis photographic film. Di masa sulit, sejumlah manufaktur photographic film terpaksa ditutup. Fujifilm juga harus mengambil keputusan berat untuk mengurangi 5.000 karyawan yang berhubungan dengan bisnis film secara global.
Secara bersamaan, perusahaan berjuang untuk menyelamatkan sebanyak mungkin pekerjaan dengan memindahkan karyawan lain ke lini bisnis yang berbeda agar bisnis photographic film terus berjalan.
Fujifilm kemudian kembali fokus pada core dan fundamental technology yang mereka miliki untuk melakukan diversifikasi. Riset-riset pengembangan film fotografi diimplementasikan pada industri kosmetik dan farmasi.
Contohnya adalah produk Astalift. Skincare anti-aging ini dikembangkan dari teknologi yang diciptakan dalam riset photographic film, yakni antioksidasi yang sebelumnya diaplikasikan pada konversi warna film, teknologi nano untuk mengontrol partikel kecil di film, dan teknologi kolagen.
Sebagai bahan dasar dalam photographic film, Fujifilm melakukan riset terhadap kolagen (gelatin) sejak lama. Pada 2011, Fujifilm menandatangani kontrak pengembangan dan pembuatan biofarmasi yang memanfaatkan teknologi produksi dan rekayasa yang dikembangkan melalui photographic film.
Bisnis sistem medis, termasuk alat radiologi, juga sudah menjadi salah satu bisnis penting Fujifilm. Saat ini, bisnis tersebut telah berkembang dan menawarkan beragam produk peralatan medis, seperti alat radiologi, endoskopi, ultrasuara, alat diagnostik in-vitro, serta sistem teknologi informasi (TI) medis yang dipimpin oleh CEO Fujifilm saat ini, Teiichi Goto.
Terbaru, perusahaan berhasil menciptakan alat radiologi portabel. Alat ini memudahkan tenaga medis mengambil dan memeriksa hasil rontgen dengan mudah di tempat-tempat dengan ruang terbatas, seperti di rumah. Inovasi yang bermanfaat luas bagi kemanusiaan.
Lini bisnis sistem medis menyumbang 32 persen dari total pendapatan Fujifilm pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2022, yakni 801,7 miliar yen. Menariknya, perusahaan tidak meninggalkan inti bisnis di bidang pencitraan. Saat perusahaan lain memutuskan meninggalkan bisnis photographic film, Fujifilm justru menegaskan komitmennya untuk mempertahankan lini bisnis tersebut.
Foto merupakan aspek yang sangat penting dalam kebudayaan manusia. Foto mengingatkan pada sejumlah momen istimewa di kehidupan manusia. Salah satu misi Fujifilm adalah mendukung keajaiban yang diciptakan fotografi.
Kamera mirrorless seri X dan seri GFX, serta kamera instan “instax” disambut baik pencinta fotografi. Lewat inovasi secara konsisten, pendapatan Fujifilm secara total mengalami peningkatan 15 persen dari tahun-ke-tahun pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2022 menjadi 2.525,8 miliar yen. Perusahaan juga mencatatkan rekor pendapatan operasional tertinggi sebesar 229,7 miliar yen.
Selain itu, segmen perawatan kesehatan tumbuh menjadi segmen terbesar, baik dari segi pendapatan kotor maupun pendapatan operasional untuk pertama kali.
Kemampuan Fujifilm lepas dari masa krisis, bahkan tumbuh berkembang di era digital bisa terjadi berkat peran manajemen perusahaan. Respons cepat menghadapi krisis menjadi kunci Fujifilm bisa berbalik.
Manajemen perusahaan fokus pada apa yang dimiliki dan mengembangkan peluang dari hal itu. Dari bisnis utama photographic film, Fujifilm menjelajah ke bisnis perawatan kesehatan dan sukses.
Semangat perusahaan selalu berinovasi atau never stop innovating merupakan fondasi Fujifilm. Inovasi dan solusi yang diciptakan perusahaan berkontribusi untuk menciptakan dunia baru yang lebih baik.
Fujifilm juga menciptakan budaya perusahaan yang mampu mendorong inovasi. Visi perusahaan, yakni keterbukaan, keadilan, dan kejelasan, memungkinkan budaya perusahaan ini tumbuh pada semua karyawan.
Karena terbuka, disrupsi di sektor industri film negatif tidak menumbangkan Fujifilm. Selain bertahan, Fujifilm bahkan berkembang merambah ke sektor kesehatan dan kecantikan. Dua sektor yang tidak mungkin dilihat peluangnya jika tidak ada sikap terbuka berdialog dengan perubahan yang sedang terjadi.
Selain terbuka, sikap adil dan tidak memihak juga menjadi pijakan bersama di Fujifilm. Pijakan ini kian kuat dengan kebiasaan orang-orang di dalamnya yang selalu jelas ketika memberikan instruksi atau arahan. Terbuka, adil, dan jelas menjadi kultur di Fujifilm.
Dalam artikelnya di Forbes, Kamis (25/6/2020), pakar manajemen sumber daya manusia Paul McDonald menyebutkan, kultur perusahaan yang positif adalah lem yang merekatkan organisasi dan karyawan.
“Kultur positif membuat karyawan yakin bahwa perusahaan tempatnya bekerja adalah lingkungan yang baik untuk meniti karier. Moral, kepercayaan diri, dan keinginan bekerja sama mencapai tujuan dapat terbangun,” tulis McDonald.
Sikap terbuka dipraktikkan tidak hanya ketika menghadapi tantangan dari luar. Di Fujifilm Indonesia (FFID), sikap ini ditunjukkan langsung oleh pucuk pimpinan perusahaan, yakni Presiden Direktur (Presdir) FFID Masato Yamamoto.
Dalam Teori Dimensi Budaya Hofstede–sebuah kerangka kerja yang digunakan untuk memahami perbedaan budaya antarnegara, Indonesia termasuk dalam budaya dengan jarak kekuasaan yang tinggi dan senioritas.
Selain itu, status atau pangkat kerap jadi ganjalan dalam masyarakat. Karena itu, Masato melakukan sederet pendekatan agar gap akibat perbedaan budaya ataupun jabatan tidak ada di FFID. Masato tak pernah segan membuka ruang dialog dengan karyawan untuk semua hal, termasuk ketika perusahaan menghadapi isu-isu kritis yang kerap tidak menyenangkan.
Ia juga membiarkan pintu ruangannya terbuka sebagai pesan bahwa dirinya mudah diajak bicara. Tidak pasif menunggu, Masato memangkas jarak dengan menghampiri karyawan untuk sekadar bercengkerama atau ngobrol hal-hal ringan untuk saling memahami. Hierarki lebur karena sikap terbuka ini. Terbuka untuk membangun dialog dan saling memahami juga menjadi pintu masuk ketika bisnis berada di masa-masa sulit.
Saat FFID melakukan berbagai efisiensi agar tetap bertahan menghadapi dampak pandemi Covid-19, sikap terbuka itu menyelamatkan. Keputusan efisiensi yang didialogkan secara terbuka bisa diterima karyawan dengan lapang dada. Pemahaman yang sama karena dialog terbuka ini membuahkan sejumlah inisiatif untuk mencari solusi bersama.
Sikap terbuka Masato dicontoh para manajer dan seluruh staf. Sikap baik yang menular ini menjadi iklim dan kemudian menjadi kultur. Karyawan nyaman karena merasa tidak ada yang ditutup-tutupi oleh manajemen.
***
Meskipun perusahaan asal Jepang, sebagian besar karyawan FFID adalah orang Indonesia. Di FFID, hanya Masato dan beberapa saja yang merupakan orang Jepang. Kenyataan ini memunculkan peran-peran “corporate culture translator” dari Jepang ke Indonesia. Peran-peran general manager (GM) sebagai penyerap kultur perusahaan Fujifilm Tokyo untuk diinternalisasikan di FFID nyata di sini.
Teladan pimpinan tertinggi, peran-peran GM sebagai “corporate culture translator”, dan kegigihan bersama menerapkan nilai membuat kultur yang dihidupi di Fujifilm Tokyo dan FFID sama. Selain mengikuti teladan pimpinan, keterbukaan di FFID juga tumbuh karena aturan khusus dalam penerimaan karyawan baru.
Sejak awal masuk, karyawan sudah diinformasikan dan diajari beragam hal terkait perseroan, mulai dari peraturan, performa bisnis, hingga target ke depan.
GM Finance, Accounting, Logistics, and IT FFID Rochadian Maulana menuturkan, transparansi menjaga FFID terhindar dari konflik internal, baik vertikal maupun horizontal.
Metode dengan fokus pada solusi di FFID, iklim kerja terbuka, adil, dan jelas dijalankan dengan metode kerja unik nan inovatif yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, omzet, dan profit. Peningkatan profit sendiri berpengaruh pada kepuasan karyawan selama bekerja.
Perlu diketahui, kebanyakan perusahaan memilih metode kerja berbasis plan, do, check, and act (PDCA). Metode ini diciptakan oleh ahli fisika dan statistik asal AS Walter Shewhart pada 1920 dan dikembangkan oleh William Edwards Deming dengan tujuan untuk perbaikan perusahaan ataupun individu.
Sementara, cara kerja di Fujifilm lebih ditekankan pada see, think, plan, and do (STPD). Metode yang berfokus pada problem solving ini merupakan inovasi Fujifilm pada 2005. Pembuatannya merujuk pada cara kerja karyawan berprestasi yang mampu mengatasi sejumlah persoalan saat itu. Metode STPD, misalnya, memudahkan perusahaan dan karyawan merancang target tahunan atau management by objective (MBO).
“STPD bisa juga (dijadikan) sebagai tool untuk problem solving,” ujar GM Corporate Affairs Fujifilm Indonesia (FFID) Rudy Handojo kepada Kompas.com, Jumat (5/8/2022).
Efektivitas metode STPD sebagai problem solving terlihat ketika tim keuangan FFID melakukan penagihan. Rochadian mengatakan, penagihan merupakan tugas berat, misalnya menghadapi pihak tertagih yang telat membayar.
Menghadapi situasi itu, tim keuangan FFID tidak lantas menyalahkan pihak yang ditagih atas kendala yang terjadi. Tim keuangan FFID justru mencari tahu penyebabnya.
“Misalnya, customer A belum bayar. Kami see (lihat) dulu penyebabnya. Mungkin saja ia punya masalah. Jadi, fokusnya bukan pada masalah, melainkan solusi,” ungkap Dian, sapaan akrab Rochadian.
Metode kerja STPD, lanjut Dian, juga diterapkan dalam pekerjaan reguler. Ketika ada karyawan tidak mencapai target, atasan tidak akan langsung menghakimi, tapi mencari solusi dengan metode ini.
Pertama-tama, atasan akan menganalisis permasalahan yang ada (see), mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi (think), lalu bersama-sama mendiskusikan jalan keluar terbaik yang bisa diambil (plan), dan pada akhirnya mengeksekusi tindakan bersama-sama (do).
Fokus pada solusi dapat terbentuk di FFID karena metode STPD. Karena keinginan mencari solusi, ruang saling menyalahkan sirna. Tim juga tidak terlalu lama terkungkung pada permasalahan sehingga bisa bertumbuh dan berkembang.
***
Kultur perusahaan yang terbuka, adil, dan jelas, serta metode kerja STPD di FFID ditopang kuat kode etik. Sebagai profesional, kode etik adalah alat kontrol dalam bekerja dan bertindak. Ada sembilan kode etik FFID yang wajib dipatuhi.
Lima pertama adalah larangan penyuapan, pengadaan yang adil, patuh terhadap peraturan pengendalian perdagangan, pengungkapan informasi, dan persaingan yang adil. Empat berikutnya adalah aktivitas penjualan yang adil, pemasaran yang bertanggung jawab, jaminan mutu, dan pencegahan korupsi.
Kode etik yang dipahami dan diadopsi secara sukarela ini dijadikan panduan untuk menjaga profesionalitas. Karyawan sangat menghindari transaksi bisnis di luar jalur resmi, seperti melayani pemesanan via WhatsApp pribadi, adalah turunan penerapan kode etik ini. Pemesanan diajukan lewat e-mail resmi perusahaan. Kode etik ini dijadikan panduan dan dijalankan bukan karena rasa takut, melainkan alasan kebaikan yang dihadirkan.
Kode etik sebagai panduan dan bukan aturan yang kaku mengantar karyawan mampu menjaga integritas. Pada akhirnya, hal ini menciptakan iklim kerja yang nyaman untuk semua.
***
Kultur perusahaan, metode kerja, dan kode etik yang diterapkan adalah untuk pencapaian tujuan perusahaan. Tujuan perusahaan dicapai bersama-sama dengan kerja sama dan inovasi. Ruang mengemukakan pendapat dan menyampaikan ide yang dibuka lebar memungkinkan kebaruan-kebaruan muncul tanpa henti sebagai implementasi kultur Never Stop.
Never Stop merupakan kampanye global Fujifilm pada 2022. Semua karyawan dari semua divisi diajak berkreasi dalam kultur perusahaan yang dihidupi untuk melahirkan inovasi. Manajemen membuka ruang dan mewadahi ide-ide yang masuk.
Atas inovasi yang muncul, proyek akan dibuatkan, mulai dari perencanaan hingga kelengkapan tim yang terlibat. Usaha FFID selama ini selaras dengan arahan presiden, CEO, dan direktur perwakilan perusahaan Fujifilm Holding Tokyo, Teiichi Goto, pada April 2022.
“Setiap individu di Fujifilm harus memiliki earning power. Untuk memiliki earning power, Fujifilm telah menyediakan ruang untuk setiap karyawan untuk mengemukakan ide dan gagasan baru. Dengan keterbukaan ini, diharapkan setiap karyawan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang,” kata Teiichi.
Dalam lingkup FFID, perusahaan telah menyediakan ruang bagi karyawan untuk mengemukakan ide. Dengan keterbukaan ini, setiap karyawan diharapkan memiliki kesempatan sama untuk berkembang. Perusahaan pun berpeluang untuk semakin bertumbuh, baik secara nilai ekonomi maupun sosial. Apresiasi FFID kepada karyawan dilakukan juga lewat program pelatihan. Tujuan pelatihan adalah untuk menggali potensi karyawan lebih dalam.
Semangat tanpa henti ini membuat Fujifilm selalu siap menghadapi perubahan. Sebagai contoh, pada 2019, perusahaan bekerja sama dengan MarkPlus mendesain program manajerial (manager development program). Kurikulum yang diajarkan mirip seperti Master in Business Administration (MBA).
Saat ini masih berlangsung pelatihan dari Microsoft Power BI yang diikuti divisi keuangan. Lewat program pelatihan ini, tim mendapat pengetahuan tentang laporan berbasis data science.
Berkat pelatihan itu, Dian mengungkapkan, tim keuangan FFID kini bisa membuat laporan yang lebih interaktif.
***
Kultur, metode, kode etik, dan apresiasi kepada karyawan FFID diterapkan juga di masa pandemi Covid-19 dengan sejumlah keterbatasannya. Work from home (WFH) membuat karyawan terpisah jarak dan tidak bisa berinteraksi secara nyata.
Seiring kasus Covid-19 yang mulai terkendali, FFID kembali menggelar Funesday dan Lunch with President Director untuk merekatkan kembali interaksi langsung dan menumbuhkan semangat setelah pandemi.
Funesday adalah kegiatan minum teh atau kopi bersama seluruh karyawan FFID yang digelar di kantor, tepatnya di Green Corner. Agenda rutin ini terhenti selama dua tahun terakhir akibat pandemi.
Green Corner adalah saksi keceriaan kerja-kerja di FFID. Di area tempat berkumpul ini, panggung bagi acara seru internal digelar rutin, seperti perkenalan karyawan baru dan perayaan ulang tahun di samping Funesday.
Ide-ide yang diutarakan, inovasi yang dirancang, atau sekadar keluh kesah karyawan FFID terjadi di Green Corner. Di sudut hijau ini, kultur keterbukaan dan kegamblangan FFID ditumbuhkan, dirawat, dan dikembangkan secara berkelanjutan.
Hijau, warna utama perusahaan yang membalut Green Corner, seolah menjadi simbol pertumbuhan dan keberlanjutan ide-ide dan inovasi di FFID.
Bagi FFID, Funesday sangat penting. Lewat Funesday, seluruh karyawan dari delapan unit bisnis yang jarang bertegur sapa bisa berkumpul. Karyawan FFID sangat antusias untuk hadir di acara Funesday yang bersifat informal dan kasual.
Rindu kebersamaan yang biasa terjalin sebelum pandemi Covid-19 dengan bercengkerama atau makan siang bersama terobati di Funesday. Untuk memberikan pengalaman lebih seru, Funesday akan dilaksanakan kembali di luar kantor setelah pandemi Covid-19 benar-benar berakhir.
Sementara itu, ada satu lagi keunikan FFID yang perlu dikemukakan, yaitu Lunch with President Director FFID Masato Yamamoto.
Kultur terbuka membuat agenda ini berjalan dengan rasa kekeluargaan penuh simpati dan empati. Simpati untuk saling mengenal lebih dalam. Empati untuk mendengar keluh kesah guna dicarikan solusinya bersama. Suasana hangat penuh penerimaan dimulai dari Masato.
Kultur, metode kerja, kode etik, reward, dan keseruan-keseruan yang terjadi di antaranya membuat karyawan FFID kerasan layaknya di “rumah”. Karena itu, turn over di FFID rendah. Di FFID, karyawan menemukan rumah.
Tak sekadar menjadi pemenang di dunia industri dan berhasil mengembangkan budaya perusahaan, Fujifilm juga ikut berkontribusi pada masyarakat dan lingkungan melalui kegiatan corporate social responsibility (CSR). Kegiatan CSR ini merupakan bagian dari Sustainable Value Plan 2030 (SVP 2030).
Masato mengatakan, SVP 2030 merupakan wujud komitmen Fujifilm terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). SVP 2030 menjadi peta jalan (roadmap) bagi perusahaan untuk berkontribusi pada pembentukan masyarakat berkelanjutan, penyelesaian isu sosial, serta pengurangan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan.
CSR merupakan salah satu implementasi SVP 2030. Kegiatan tersebut difokuskan di setiap kantor perwakilan Fujifilm, termasuk di Fujifilm Indonesia.
Masato menjelaskan, program CSR Fujifilm Indonesia tersebut terdiri dari tiga pilar. Pertama, menyelesaikan isu sosial melalui aktivitas bisnis. Kedua, mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan dalam berbagai proses bisnis. Ketiga, mengimplementasikan perilaku etis berdasarkan Piagam Perilaku Perusahaan yang jadi prinsip dalam menjalankan aktivitas bisnis. Menjaga integritas, misalnya.
Sesuai keunikan lokal, Fujifilm Indonesia mengimplementasikan kontribusi sosial dengan berbagi kebahagiaan pada Hari Raya Idul Fitri dan Natal. Dua agenda kontribusi sosial rutin digelar Fujifilm Indonesia dengan memberikan bantuan kepada masyarakat, khususnya anak-anak di panti asuhan yang tersebar di sekitar kantor.
“Kami ingin anak-anak di panti asuhan merasakan kebahagiaan pada momen hari raya,” ucap Masato.
Kegiatan tersebut juga mengimplementasikan pilar ketiga CSR Fujifilm Indonesia. Tidak hanya donasi dari komunitas eksternal, Fujifilm Indonesia, termasuk Masato, turut serta memberikan bingkisan kecil kepada panti asuhan.
Sejalan dengan semangat “Never Stop” yang dipegang Fujifilm, sejumlah program kontribusi sosial tidak hanya menyasar masyarakat sekitar, tetapi juga seluruh Indonesia, khususnya mereka yang membutuhkan.
Rudy Handojo menjelaskan, saat gempa bumi meluluhlantakkan puluhan ribu rumah di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), FFID mengumpulkan donasi. Gempa berkekuatan magnitudo 7 itu membuat 555 orang meninggal dan 390.529 orang mengungsi.
“Dari donasi yang terkumpul, sebagian disalurkan kepada keluarga karyawan yang terdampak bencana. Sebagian lainnya didonasikan melalui Palang Merah Indonesia,” ucap Rudy.
Kepedulian serupa dilakukan ketika gempa bumi mengguncang Palu, Sulawesi Tengah, sebulan kemudian. Kala itu, sejumlah gempa susulan memicu gelombang tsunami di bibir pantai Kota Palu, Donggala, dan Mamuju, serta likuefaksi di wilayah Petobo, Palu.
Rentetan bencana dalam waktu satu hari itu membuat 2.086 orang meninggal, 671 orang hilang, dan 10.679 orang luka berat. Tercatat 82.775 warga mengungsi di sejumlah titik. Tak hanya itu, tercatat 67.310 rumah dan 2.736 sekolah rusak. Terdapat 20 fasilitas kesehatan dan 12 titik jalan yang rusak berat.
Kebersamaan menghadapi situasi-situasi sulit mempererat persaudaraan dan menumbuhkan kesadaran tentang satunya kemanusiaan. Kebersamaan jadi kekuatan di masa-masa sulit untuk harapan kehidupan yang lebih baik.
***
Untuk kehidupan yang lebih baik, Fujifilm sadar bahwa kelestarian lingkungan merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan.
Kesadaran ini mewujud dalam aksi nyata Fujifilm Indonesia melakukan penanaman gambut dan koral di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Mengusung tema “Fujifilm Indonesia Friends with Environment”, acara tersebut dihadiri oleh 15 partisipan.
Pilihan aksi ini strategis. Gambut mampu menampung hingga 30 persen jumlah karbon dunia agar tidak terlepas ke atmosfer. Tanaman di lahan gambut juga mencegah dampak perubahan iklim makin parah, seperti bencana alam dan menunjang perekonomian masyarakat sekitar.
Sektor kesehatan juga tak luput dalam agenda SVP 2030. Program ini berkontribusi pada peningkatan pendidikan dan wawasan tentang industri kesehatan.
Salah satu tindak nyata adalah ketika perusahaan meresmikan Pusat Pembelajaran Radiologi di Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Jakarta II, Jakarta Selatan. Fasilitas ini merupakan Pusat Pembelajaran Radiologi Fujifilm pertama di Indonesia.
Selain itu, Fujifilm Indonesia juga menghibahkan perangkat pencitraan sinar x (x-ray) atau rontgen portabel dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Hibah diberikan melalui kemitraan dengan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) serta Japan International Cooperation Agency (JICA). Hibah dimaksudkan untuk mendukung program pelayanan dan pengembangan kesehatan di Indonesia.
Fujifilm memahami, Indonesia menghadapi tantangan berat di sektor kesehatan. Salah satunya, rasio dokter yang jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Berdasarkan data Badan Pusat Statisik (BPS), jumlah dokter di Indonesia mencapai 176.110 orang pada 2022. Jumlah ini merupakan gabungan dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter spesialis gigi.
Dengan jumlah tersebut, rasio dokter di Indonesia mencapai 0,65:1.000. Ini berarti, Indonesia hanya memiliki 6 hingga 7 dokter per 10.000 penduduk.
Kondisi ini membuat Indonesia berada di posisi dua terbawah di Asia Tenggara. Sebagai pembanding, Singapura memiliki dua dokter per 1.000 penduduknya.
Kehadiran rontgen portabel jadi solusi untuk tantangan berat di sektor kesehatan. Perangkat yang mudah dibawa ini membantu tugas dokter di wilayah terpencil yang jauh dari pusat layanan kesehatan.
“Umumnya, rontgen dilakukan dengan peralatan besar di ruangan khusus. Kondisi ini mengharuskan pasien dengan kerumitannya datang. Dengan perangkat portabel ini, (tindakan) rontgen bisa dilakukan di mana pun pasien berada,” ucap Rudy.
Untuk keunggulan teknologi ini, Fujifilm memiliki sejarah panjang dalam inovasi di bidang kesehatan. Berawal dari pembuatan film rontgen pada 1936, kini cakupan alat kesehatan yang dihadirkan telah menyentuh semua aspek, mulai pencegahan, diagnosis, hingga perawatan pasien.
Capaian dan keunggulan Fujifilm tidak berhenti untuk dirinya sendiri. Filosofi perusahaan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat seluruh dunia dipegang teguh. Ini terbukti dari kontribusi tanpa henti Fujifilm dalam menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik. Bukan menang yang berarti jika hanya menang sendiri. Keteguhan dan konsistensi Fujifilm membuktikan ini.