SERI KEBENCANAAN
Gelegak Gunung Merapi dan bentuk gunung yang dibilang menggembung, mengingatkan masyarakat kepada letusan besar gunung ini pada 2010.
Namun, letusan yang sama juga telah mengajari warga untuk belajar hidup berdampingan dengan Gunung Merapi. Apa saja pelajaran itu?
Simak juga catatan 10 tahun letusan besar Gunung Merapi pada 2010.
AWAL Juli 2020, Gunung Merapi dilaporkan menggembung akibat peningkatan aktivitas vulkanik. Bahkan, erupsi diperkirakan akan terjadi lagi dalam waktu dekat.
Ingatan publik pun terlempar ke erupsi 10 tahun silam. Gelagatnya sama.
Letusan besar yang terjadi pada 26 Oktober 2010 dan berlanjut lagi dengan letusan pada 3 November 2010 dan 5 November 2010 itu memang punya dampak parah.
Saat itu, lebih dari 300.000 orang terpaksa mengungsi. Sedikitnya, 353 orang tewas. Nilai kerugian materialnya pun ditaksir mencapai Rp 4,23 triliun.
Namun, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X meminta warganya tidak panik dengan menggembungnya badan Gunung Merapi.
Sultan HB X juga yakin warga lereng Merapi sudah tahu apa yang harus dilakukan jika sewaktu gunung itu kembali meletus.
“Warga masyarakat lereng Merapi itu tahu persis. Walaupun kita mengatakan bahaya tapi masyarakatnya tahu persis,” kata HB X di Kompleks Kepatihan, Kamis (9/7/2020).
Warga yang tinggal di kaki Gunung Merapi memang belajar banyak setelah musibah pada 2010.
Mereka pun terus mencoba hidup berdampingan dengan ancaman bencana yang bisa terjadi kapan saja.
Seperti apa cara mereka mencoba hidup berdampingan dengan Merapi ini? Adakah yang kita bisa ikut belajar dari situ?
SUKIMAN masih ingat momen meletusnya Gunung Merapi pada 2010.
Kala itu, sejumlah satwa penghuni gunung turun ke Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah.
Beberapa di antara gerombolan hewan yang turun gunung itu jarang dilihat warga. Semisal, jalak.
"(Di) satu pohon itu kalau sore (jalak) ngumpul bisa ratusan. Subuh itu jalaknya sudah naik lagi," kata Sukiman, Jumat (28/8/2020), mengenang saat-saat menjelang Gunung Merapi meletus pada 2010.
Dalam keadaan normal, ujar Sukiman, jalak liar itu cenderung menjauh dari manusia. Kebanyakan jalak hidup di tebing lereng Merapi yang jauh dari permukiman warga.
Binatang itu diduga meninggalkan habitatnya karena suhu gunung berubah. Perilaku yang sama juga ditunjukkan rusa dan lutung.
Namun, lanjut lelaki yang juga adalah Penasihat Radio Paguyuban Sabuk Gunung Merapi ini, situasi masih aman kalau yang turun ke kampung adalah kera ekor panjang.
"Kera ekor panjang bukan salah satu tanda (gunung akan meletus) karena kesehariannya sudah dekat dengan manusia. Kalau (yang turun) rusa, lutung, dan burung jalak, tandanya waspada," tegas Sukiman.
Tanda alam berbeda juga diyakini warga Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dusun ini ada di sisi lain lereng Gunung Merapi.
Mereka percaya jika suara kijang terdengar berarti letusan gunung sudah dekat. Biasanya, suara kijang tersebut berasal dari arah timur Bukit Plawangan, atau sisi barat daya Gunung Merapi dari Dusun Turgo.
"Suaranya itu kadang pagi, kadang sore, kadang juga malam. Terlepas benar atau tidak (bunyi ini tanda awal letusan), itu kuasa Yang Maha Kuasa," kata Indra Baskoro Adi, warga Dusun Turgo, Sabtu (29/8/2020).
Peneliti Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta ini mengaku telah pula beberapa kali mencermati fenomena tersebut.
Bahkan, dari beberapa kali erupsi Gunung Merapi yang akhir-akhir ini terjadi memang Indra mendengar suara kijang terlebih dahulu.
"Apakah itu benar atau tidak, selama ini kami mencoba menghitung, oh tanggal ini ada suara kidang, seminggu setelahnya ada erupsi. Itu saya titeni (cermati) hampir empat sampai lima kali," ungkap Indra.
Dia pun menyebut sejumlah tanggal suara kijang terdengar.
"(Dari sejak) suara itu ya dalam jangka waktu seminggu paling tidak pasti ada kejadian," ujar Indra.
Lain lagi pertanda yang dicermati warga Desa Srumbung, Kecamatan Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Mereka menjadikan kupu-kupu sebagai patokan.
Jika ada sekelompok kupu-kupu kuning terbang dari arah selatan (bawah) ke utara (atas/ Gunung Merapi) maka tidak lama lagi ada banjir lahar hujan atau lahar dingin.
Kepercayaan sebagian warga tentang pertanda tersebut diungkap oleh Ahmad Muslim, tokoh masyarakat Desa Srumbung.
Tidak hanya pertanda dari tingkah laku hewan, ujar Muslim, warga Desa Srumbung menjadikan juga pohon sebagai sinyal tanda bahaya.
Saat ada pohon tumbang dengan suara menyerupai petasan, warga desa itu akan segera mengungsi.
Pohon yang tumbang disertai suara keras dipercaya terjadi karena tidak kuat lagi menahan beban abu vulkanik yang turun.
"Sebelum erupsi biasanya akan terjadi peningkatan aktivitas, ditandai dengan hujan abu," kata Muslim, Sabtu (24/10/2020).
Kalau abu masih tipis tidak akan sampai merobohkan pohon. Karenanya, warga biasanya masih beraktivitas normal.
"Tapi kalau pohon sudah banyak yang roboh karena terlalu berat menahan abu, lalu ada suara seperti letusan mercon (petasan), warga akan bersiap evakuasi," papar Muslim.
PENGALAMAN dari letusan pada 2010 turut menyadarkan warga yang tinggal di lereng Merapi bahwa mereka terjebak dalam dua pilihan.
Pilihan pertama, bersedia direlokasi ke tempat yang lebih aman dari bencana. Adapun opsi kedua adalah hidup berdampingan dengan bencana sembari meningkatkan mitigasi.
Hingga kini, opsi kedua masih dipilih warga yang tinggal di kaki Gunung Merapi. Mereka lebih suka menyesuaikan cara hidup dan bersiap dengan kemungkinan terburuk ketimbang pindah dari kampung halaman.
Masyarakat di Dusun Turgo, misalnya. Mereka telah melakukan pemetaan risiko bencana, termasuk membuat jalur evakuasi, titik kumpul, beserta rambu-rambunya.
Bahkan, warga Dusun Turgo sudah membuat pos pengamatan Gunung Merapi secara mandiri.
"Ada pos pemantauan di RT 1 dan RT 4. Itu mandiri. Ya karena itu tadi sadar risiko, karena pernah mengalami kejadian. Beda kalau belum pernah mengalami," Indra.
Inisiatif masyarakat membangun pos pengamatan mandiri Gunung Merapi muncul pascaerupsi 1994, tepatnya pada 1997. Setiap warga yang bertugas di pos pemantauan juga bergantian.
"Ternyata masyarakat bisa berperan partisipatif. Ya bisa, wong rumahnya dekat dengan gunung, kok tanya orang yang jauh," kata Indra.
Di dusunnya, masyarakat bisa melihat secara visual.
"Oh ada suara gemuruh, oh asapnya tebal. Masyarakat bisa melihat asal tidak tertutup kabut. Kalau kabut ya hanya memantau suara seismik di HT," ujar Indra.
Masyarakat Turgo juga mengadakan iuran seikhlasnya. Uang yang terkumpul dari masyarakat tersebut digunakan untuk tabungan siaga bencana.
Jika sewaktu-waktu harus mengungsi, uang tersebut bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Uang itu juga dipakai untuk keperluan warga piket memantau aktivitas Gunung Merapi.
"Jadi tidak menunggu pemerintah. Saat di barak pengungsian tidak ketergantungan, tetapi mandiri. Makanya kami gerakkan namanya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas," beber Indra.
Selain itu, warga Turgo juga punya kesepakatan, mengungsi itu untuk mencari selamat. Mengungsi bukan untuk mencari makan.
"Mencari selamat itu kalau dimasukkan kearifan lokal juga bisa. Keyakinan tentang selamat itu tinggi. Selamat dari bahaya," sebut Indra.
Masyarakat Turgo juga telah mempersiapkan segala sesuatu ketika harus mengungsi.
Surat-surat penting, pakaian, mi instan, air mineral, dan beras disimpan dalam satu tempat yang mudah dibawa. Ketika harus mengungsi, barang-barang itu yang dibawa.
"Warga membawa beras per keluarga. Nanti saat di barak beras itu dijadikan satu untuk dimasak," urainya.
Saat ini, lanjut Indra status Gunung Merapi bisa saja masih waspada tetapi perilaku warga senantiasa sudah siaga.
"Kalau (status gunung) dinaikkan siaga, perilaku warga itu status awas. Mulai parkir motor tidak sembarangan, harus menghadap jalur evakuasi," tutur Indra.
Berbagai bentuk mitigasi bencana tersebut dilakukan karena inisiatif warga, karena pengalaman, terutama letusan Gunung Merapi pada 2010.
"Ancaman Merapi permanen, harus bisa mengerti makna perubahan status, makna erupsi Merapinya," ujar dia.
Sederhananya, Indra menganalogikan kesiagaan terhadap bencana ini bak permainan sepak bola.
"Di sepak bola, menang atau kalah tergantung sering latihan atau tidak. Sama halnya bencana. Tingkat korban tinggi, sedang, atau rendah tergantung kerentanan dan kapasitas warga, pengetahuan kegunungapian, kearifan lokal," ungkapnya.
Tabungan siaga bencana juga ada dalam masyarakat Dusun Deles di Klaten. Setiap bulan, warga menabung uang kemudian dicairkan ketika status Gunung Merapi siaga.
Bedanya dengan di Turgo, ketika status Gunung Merapi turun menjadi waspada maka warga berhenti menabung. Namun, warga Dusun Deles juga mempertahankan tradisi ronda secara bergantian.
Seandainya Gunung Merapi mau meletus, warga yang melaksanakan kegiatan ronda itu langsung menginformasikan kepada warga lain untuk segera mengungsi atau mencari lokasi aman.
Adapun warga Desa Dukun, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, terus membangun kesadaran dalam mitigasi bencana. Menurut Kepala Desa Dukun, Tanto Bumi, poin penting mitigasi ini adalah membangun kesadaran.
Tidak mudah, memang. Namun, kata Tanto, kesadaran diri menjadi pijakan awal seseorang untuk selanjutnya mengatur strategi dan melangkah menghadapi bencana.
"Dimulai dari diri sendiri. Misalnya kita paham dengan rumah kita sendiri, pintunya ada berapa, daun pintu dan jendela ketika dibuka dari dalam ke arah dalam atau keluar," sebut Tanto.
Logikanya, dalam keadaan darurat dan kita ada di dalam rumah maka lari keluar akan lebih mudah ketika daun pintu dibuka ke arah luar.
Dari hal sederhana seperti itu, Tanto membangun kesadaran serta mendorong kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana yang terarah, terencana, terpadu, terkoordinasi, dan tuntas (5T).
Kemudian, Tanto mendorong pula sinergi dan integrasi seluruh program desa yang dilaksanakan oleh lembaga/organisasi-organisasi non-pemerintahan dan lembaga usaha.
Walau begitu, kearifan lokal masih dijaga di desa ini. Misal, penggunaan kentongan sebagai sarana menyampaikan peringatan dini ketika terjadi keadaan darurat.
PERISTIWA letusan Gunung Merapi pada 2010 memang menggetarkan bagi banyak orang yang mengalami dan menyaksikannya.
Yanti, saat itu berusia 35 tahun, bertutur bahwa letusan pada 2010 sangat berbeda dengan letusan pada 2006.
Suara gemuruh dari arah puncak Merapi, diikuti hujan abu, pasir, dan kerikil, mengawali letusan pada 26 Oktober 2010 petang.
Pada 2006, tutur Yanti, letusan Merapi hanya ditandai hujan abu dan pasir.
"Saking takutnya, saya bahkan pergi tanpa mengunci pintu dan tidak membawa bekal apa pun," ujar Yanti, warga Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, dalam artikel yang dimuat harian Kompas edisi 28 Oktober 2010.
Berjudul Merapi: Erupsi yang Tidak Biasa, Kepanikan yang Luar Biasa, harian Kompas merekam kisah para penyintas letusan Merapi pada 2010.
Letusan pada 2010 disebut sebagai yang terbesar dalam 100 tahun terakhir, melebihi letusan besar sebelumnya pada 1872.
Padahal, letusan pada 1872 pun berlangsung selama 120 jam tanpa henti pada 15-20 April 1872. Seluruh permukiman di area hingga ketinggian 1.000 mdpl, musnah.
Meskipun, korban jiwa pada letusan 2010 juga tak sebanyak pada letusan 1930 dan 1672.
Sejarah letusan Gunung Merapi beserta segala dampaknya pada kurun 1768-1998 dirunut oleh B Voight dan kawan-kawan dalam artikel jurnal terbitan 2000, berjudul Historical eruption of Merapi Volcano, Central Java, Indonesia, 1768-1998.
Letusan pada 2010 merenggut nyawa sang juru kunci, Mbah Maridjan. Pemilik gelar Raden Mas Panewu Surakso Hargo dari Sultan Hamengku Buwono IX ini menolak mengungsi.
Dari setiap muntahan Merapi, awan panas adalah yang paling mematikan ketika indikatornya adalah waktu, kecepatan, dan daya rusak.
Wedhus gembel, orang Merapi menyebutnya. Sebutan ini merujuk bentuknya yang bak domba—wedhus gembel dalam bahasa Jawa—berbulu tebal.
Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DIY, tempat tinggal Mbah Maridjan jadi abu begitu saja karena dilintasi awan ini. Lokasi dusun hanya sekitar 4,5 kilometer dari puncak Merapi.
Korban jiwa teramat banyak pada letusan Merapi 1930 juga dipicu oleh awan panas. Saat itu, awan panas meluncur 20 kilometer dari puncak Merapi ke arah barat, mengubur 13 desa, dan merusak 23 desa. Sumber lain menyebut jangkauan awan panas pada tahun itu adalah 14 kilometer.
Awan panas Merapi pun menewaskan 64 orang pada 1994. Saat itu, Dusun Turgo dan kawasan Kaliurang yang terembus panas mematikan wedhus gembel.
Dalam bahasa akademis, awan panas bernama asli nuées ardentes atau pyroclastic flow di bahasa Inggris. Isinya, dari gas, debu vulkanik, sampai krakal berpijar.
Penyebabnya, kubah gunung yang runtuh ke kawah, lalu dimuntahkan ke udara oleh energi letusan dari gas yang tersumbat.
Edward Bryant, dalam Volcanoes as a Hazard, menyebut kecepatan awan panas bisa mencapai 10 meter per detik sampai 30 meter per detik untuk "batuk" kecil, sementara "batuk besar" bisa memunculkan awan panas berkecepatan hingga 200 meter per detik.
Buat gambaran, Usain Bolt yang hingga saat ini masih memegang rekor dunia untuk lari 100 meter, butuh waktu 9,58 detik untuk menyelesaikan jarak itu, alias berkecepatan 10,44 meter per detik saja.
Bryant menyebut letusan gunung yang menyertakan awan panas sebagai erupsi gunung berapi yang paling merusak.
Terlebih lagi, suhu awan panas di sumbernya bisa berkisar 1.075 sampai 3.500 derajat Celcius, dengan suhu di area permukaan di sekitarnya sekitar 50-200 derajat Celcius.
Jangkauan terjauh awan panas yang tercatat adalah 15.000 kilometer persegi, yaitu dari letusan Gunung Taupo di Selandia Baru pada 186 Masehi.
Selain awan panas, ancaman lain dari setiap letusan Merapi adalah lahar dingin, yaitu material vulkanik yang mengalir turun lewat jalur sungai.
Lahar yang masih membara mungkin tak sampai ke kaki gunung, meski tak tertutup kemungkinan. Namun, lahar dingin hampir pasti sampai.
Alur lahar dingin pun sangat mungkin meluber bahkan menyimpang dari sungai. Hujan deras di puncak Gunung Merapi hingga bertahun-tahun kemudian pun menyimpan ancaman banjir lahar dingin.
Letusan pada 2010 bahkan lebih besar dibanding letusan pada 1872.
Pada 26 Oktober 2010, Gunung Merapi meletus pertama kali dalam tiga waktu berturut-turut, yaitu pada pukul 18.10 WIB, 18.15 WIB, dan 18.25 WIB.
Letusan lebih besar kembali terjadi pada 3 November 2010 dan 5 November 2010.
Hujan kerikil sudah bak gerimis air saja pada saat itu di area sekitar Gunung Merapi. Pengguna jalan di Jalan Kaliurang pun hanya dapat melaju pelan karena pekatnya udara oleh abu vulkanik.
Sebelumnya, Merapi meletus pada 2006, tetapi tidak sebesar ini. Awan panas juga memakan korban pada letusan 2006—padahal dua korban jiwa di letusan itu sudah berlindung ke dalam bunker—tapi tak pula sedahsyat pada 2010.
Letusan kecil dan semburan awan panas juga hal yang jamak terjadi di Gunung Merapi, sebagai gunung api paling aktif di dunia. Namun, semua tak seperti yang terjadi pada 2010.
Pada 2010, status Gunung Merapi naik dari siaga menjadi awas pada 25 Oktober 2010. Warga sudah langsung dievakuasi segera.
Meski begitu, sebagian warga bersikukuh tak mau mengungsi, apalagi pada 2006 mereka selamat tanpa mengungsi.
Terlebih lagi, Mbah Maridjan juga menolak mengungsi. Namun, tak tepat bila dibilang juga bahwa Mbah Maridjan membiarkan warga tidak mengungsi. Dia bahkan tak berharap warga mengekorinya.
Dalam wawancara terakhir Mbah Maridjan yang tayang di harian Kompas edisi 27 Oktober 2010, Mbah Maridjan menyatakan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas keselamatannya sendiri dan tidak hanya mengikuti orang lain.
"Kalau memang mereka merasa sudah waktunya mengungsi, mereka harus mengungsi. Jangan hanya manut orang bodoh yang tidak sekolah seperti saya," ujar Mbah Maridjan, seperti dikutip harian Kompas, dari wawancara pada Selasa (26/10/2010) siang.
Tak disangka, awan panas berembus turun hingga 15 kilometer ke arah Kota Yogyakarta, sampai ke Cangkringan.
Mbah Maridjan dan sedikitnya 32 warga Dusun Kinahrejo ditemukan tewas, dari total setidaknya 353 orang meninggal karena letusan Merapi pada 2010.
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta pada saat itu, Subandriyo, menyebut letusan pada 2010 bahkan lebih besar dibanding letusan pada 1872.
Indikatornya, volume material vulkanik yang dilontarkan oleh letusan. Pada 1872, sebut Subandriyo, Merapi mengeluarkan 100 juta meter kubik material vulkanik.
Adapun pada 2010, dalam 20 hari pertama sejak letusan, material vulkanik yang terlontar diperkirakan sudah 140 juta meter kubik. Saat Subandriyo dikutip Kompas.com pada 9 November 2010, aktivitas seismik Gunung Merapi pun belum berhenti.
Abu erupsi Merapi pada 26 Oktober 2010 ini terbang jauh hingga Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Dusun Kinahrejo, tempat tinggal Mbah Maridjan, bahkan didapati menyatu dengan Dusun Kaliadem, karena terbenam material endapan vulkanik.
AHMAD Arif dalam buku Hidup Mati di Negeri Cincin Api terbitan Penerbit Buku Kompas pada 2013, menulis, Merapi bukan sekadar fenomena alam. Ada kebudayaan dan kepercayaan yang berimpit di sana.
Kepercayaan ini yang melatari pilihan keberserahan Mbah Maridjan untuk tetap tinggal di Kinahrejo meski tahu Merapi akan meletus.
Arif menulis, sikap Mbah Maridjan bertahan di Merapi bukan karena dia akan selalu hidup di sana, tetapi berangkat dari kerelaan untuk hidup dan mati di gunung.
"Inilah mengapa dalam kaitan dengan situasi kritis Merapi, Mbah Maridjan terang-terangan menolak disebut panutan. Bahkan, dia juga meminta keluarganya turut mengungsi," tulis Arif.
Namun, bagi sebagian masyarakat Merapi, tetap memilih tinggal di kawasan rawan bencana juga punya dimensi lain. Dimensi ini bernama rasionalitas ekonomi.
Masih dari buku yang sama, Arif mengutip data pakar geomorfologi terapan dari Fakultas Geografi UGM, Sutikno, bahwa nilai produksi dari sumber daya ekonomi di wilayah Merapi per tahun mencapai Rp 33,04 triliun.
Itu data pada 2007. Namun, yang hendak dikatakan adalah, nilai ekonomi dari kawasan tersebut memang besar.
Setidaknya, Merapi adalah penggerak ekonomi dari tujuh sektor, yaitu pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan, dan pariwisata.
Kawasan Gunung Merapi merupakan daerah tangkapan air yang baik. Abu vulkanik juga pupuk alami yang bermanfaat bagi aneka tanaman. Padi, misalnya, bisa panen tiga kali di sini.
Pasir Merapi juga diakui sebagai yang terbaik untuk bahan bangunan. Letusan Merapi pada 2010 bahkan memperpanjang "lumbung" pasir Merapi dari semula 10 kilometer dari puncak jadi 30 kilometer, yang diperkirakan tak habis hingga 20 tahun ke depan sejak letusan.
Bukan berarti tak ada upaya memindahkan pula warga dari kawasan rawan bencana Merapi. Pada 1961, misalnya, pemerintah menggelar program transmigrasi untuk warga di kawasan tersebut.
Setelah letusan pada 1961, pemerintah menetapkan Dukuh Gimbal di Desa Kaliurang, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sebagai kawasan terlarang untuk dihuni. Transmigrasi ke Way Jepara, Lampung Tengah, jadi solusi pemerintah.
Arif mengutip hasil penelitian antopolog UGM, Masri Singarimbun, upaya pemerintah itu gagal total karena "logika" sederhana.
Dalam penelitian yang digelar pada 1980 itu diungkap, letusan pada 1961 menghancurkan tiga desa dan menewaskan lima warga. Sementara, hanya dalam tiga minggu, 29 warga asal Dusun Gimbal meninggal karena Malaria di daerah transmigrasinya.
"Menakuti warga dengan paparan risiko bencana tidak akan membuat warga mau pindah ke permukiman yang lebih aman," tulis Arif.
Perbandingan risiko di Merapi dan daerah tujuan transmigrasi itu, lanjut Arif, membuat warga belajar bahwa tinggal di lereng Merapi tidak lebih berbahaya daripada tinggal di tempat lain.
"Bencana terjadi di mana-mana. Sama-sama mati, kenapa tidak di tanah kelahiran sendiri?" tulis Arif menggambarkan pemikiran warga.
Kembalinya warga ke tempat tinggal semula seusai bencana bukan peristiwa baru atau unik di Merapi. Arif mencatat, 8.217 korban letusan Gunung Galunggung pada 1982 ditransmigrasikan pula ke Sumatera.
Namun, sebagian dari mereka pun memilih kembali lagi ke tanah kelahiran. Sumatera memang tak lagi terancam letusan gunung seperti era lama ketika Toba masih berupa gunung super.
Meski gunung api bukan lagi ancaman utama di Sumatera, energi tumpukan lempeng bumi Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia menjadi penyebab pulau ini rawan digoyang gempa bumi yang bahkan berpotensi memicu tsunami.
Karenanya, sekali lagi, warga kembali ke kawasan rawan bencana adalah topik yang multidimensi. Bukan berarti juga mereka lalu hidup tanpa upaya memastikan keselamatan.
Kearifan-kearifan lokal bertumbuh. Solidaritas makin terbangun.
Warga Kinahrejo pun, misalnya, memilih melakukan relokasi mandiri setelah letusan 2010. Tidak jauh-jauh juga berpindahnya, memang, hanya sekitar tiga kilometer dari Kinahrejo.
Mereka saat ini tinggal di Dusun Karangkendal, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY yang berjarak sekitar 8 kilometer dari puncak Merapi.
Hasil penelitian yang diterbitkan oleh Supriati Dwi Andreastuti dkk pada 2006 dalam artikel jurnal berjudul Menelusuri kebenaran letusan Gunung Merapi 1006 pun menepis spekulasi migrasi warga Mataram ke Jawa Timur sebagai akibat letusan gunung ini.
Pada akhirnya, fakta juga yang bicara bahwa hingga saat ini kawasan di sekitar Gunung Merapi tetap saja padat penghuni....