JEO - Insight

Dalam Bayang-bayang Resesi Ekonomi Global...

Kamis, 18 Juni 2020 | 15:40 WIB

SERI EKONOMI

Resesi ekonomi global akibat wabah Covid-19 disebut yang terburuk sejak Perang Dunia II. Ekonomi Indonesia pada 2020 diproyeksi tumbuh 0 persen bahkan minus. Apakah resesi ekonomi itu?

 UPDATE 5 November 2020: 

 

Indonesia resesi

Badan Pusat Statistik (BPS), Kamis (5/11/2020), merilis ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 tumbuh minus 3,49 persen. 

Baca juga: Ekonomi Kuartal III-2020 Minus 3,49 Persen, Indonesia resmi resesi. 

Angka realisasi kinerja ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 lagi-lagi lebih buruk dibanding proyeksi yang pernah diungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 22 September 2020.

Saat itu, Sri Mulyani memproyeksi ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 tumbuh minus 2,9 persen hingga minus 1,1 persen. Proyeksi ini pun sudah lebih suram dibanding proyeksi sebelumnya.

Dengan pembaruan data ini, Indonesia resmi masuk ke jurang resesi ekonomi, setelah angka minus pertumbuhan ekonomi juga telah dicatatkan pada kuartal II-2020.

Resesi tersebab pandemi Covid-19 ini merupakan yang pertama bagi Indonesia sejak 1998. 

Loading...

 

Update 22 September 2020:

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, ekonomi Indonesia pada kuartal III 2020 diperkirakan tumbuh antara minus 2,9 persen hingga minus 1,1 persen. 

Proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya di kisaran minus 2,1 persen hingga 0 persen.

Dengan revisi proyeksi ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV 2020 juga diperkirakan masih di area minus.

Karenanya, proyeksi ekonomi untuk 2020 pun diperkirakan hanya tumbuh di rentang  minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen, dari proyeksi semula di rentang  minus 1,1 persen hingga 0,2 persen.

Selengkapnya: Sri Mulyani Proyeksi Ekonomi Kuartal III Minus 2,9 Persen, Siap-siap Resesi

UPDATE 3 Agustus 2020

Tersedia pembaruan informasi pada bab Apa Kabar Indonesia? Sebuah Pengantar...

Loading...


PAGEBLUK virus corona nyata dampaknya, tak hanya terhadap sektor kesehatan tapi juga perekonomian.

Ekonomi global terguncang akibat virus yang ditengarai bermula penyebarannya dari Wuhan, Provinsi Hubei, China tersebut.

Baik pertumbuhan ekonomi global maupun negara di dunia merosot karena terganggunya aktivitas perekonomian akibat pandemi Covid-19. 

Akhirnya, resesi ekonomi menjadi hal yang tidak bisa dielakkan. Sejumlah negara sudah resmi masuk ke jurang resesi ekonomi. Sebut saja, Jepang dan Jerman.

Beberapa negara diprediksi menyusul kedua negara ekonomi utama dunia tersebut masuk ke jurang resesi.

Lalu, apakah Indonesia juga akan masuk ke jurang resesi? Ada yang mengatakan ya, ada juga yang optimistis bilang tidak.

Bank Dunia, Senin (8/6/2020), melansir bahwa resesi sudah hampir pasti terjadi di seluruh wilayah ekonomi dunia.

Mereka menyebut, resesi akibat Covid-19 ini merupakan yang terburuk dalam sejarah sejak Perang Dunia II.

Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) juga telah melansir proyeksi suram serupa.

Bahkan, dalam outlook yang mereka publikasikan pada April 2020, IMF menyebut resesi kali ini lebih dalam daripada era Great Depression pada 1930-an.

OECD pun melansir proyeksi serupa. 

Apa sebenarnya resesi ekonomi yang ramai dibincangkan sebagai imbas virus corona ini? 

Berikut ini adalah serba-serbi soal resesi. Jadi bagian tak terpisahkan, tersedia pula sejumlah proyeksi ekonomi untuk 2020 dan 2021, tak terkecuali bagi Indonesia.

Anda juga dapat langsung melompat ke topik yang dikehendaki dengan mengklik menu di bawah ini, selain terus menggulirkan layar.

 

MENU:


Apa Itu Resesi Ekonomi?

MESKI akrab di telinga, kata resesi tidak benar-benar dipahami oleh banyak orang, apalagi merujuk teori dan kenyataan dunia ekonomi. 

Yang terang, banyak anggapan resesi ekonomi adalah mengerikan. Ekonomi tergambar teramat lesu, tidak bertenaga, dan memunculkan rangkaian masalah lain. 

Merujuk The Balance, resesi berarti kondisi ekonomi yang memperlihatkan penurunan aktivitas signifikan selama beberapa bulan berturut-turut, setidaknya selama tiga bulan. 

Indikator yang dirujuk untuk menengok suatu negara mengalami resesi atau tidak antara lain adalah penurunan produk domestik bruto (PDB), merosotnya pendapatan riil masyarakat, berkurangnya lapangan kerja, penjualan ritel lesu, dan industri manufaktur terpuruk. 

Saat resesi, pertumbuhan ekonomi bisa 0 persen, bahkan minus, dalam kondisi terburuknya.

Ilustrasi resesi ekonomi global - (SHUTTERSTOCK/BORIS 15)

Pertumbuhan ekonomi selama ini jadi indikator utama dalam mengukur perkembangan dan kemajuan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diwakili oleh naiknya PDB.

Baca juga: Jejak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa

Kalau dalam bahasa dan penglihatan awam, gejala resesi bisa dilihat dari ekonomi yang terasa sulit untuk mengais rezeki, orang-orang kehilangan pekerjaan, serta penjualan atau pendapatan tempat kerja susut, yang itu terjadi bersamaan di seluruh penjuru negeri.

Apa penyebab resesi?

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Di antara itu terdapat faktor eksternal yang berada di luar kendali pemerintahan dan atau otoritas suatu negara.

Misal, gejolak ekonomi global dan mekanisme pasar. Ekonomi dunia yang tersendat bahkan mandek karena Covid-19 ini juga termasuk di antaranya.

Forbes merinci sejumlah kejadian yang "umumnya" menyebabkan resesi:

Indikator resesi

Sebagian kalangan menyebut negara bisa dikatakan mengalami resesi ketika pertumbuhan PDB sudah negatif dalam dua kuartal berturut-turut atau lebih. Ini biasa disebut sebagai definisi resesi secara teknikal.

Dalam konteks tersebut, resesi bisa saja dinyatakan terjadi bahkan sebelum laporan PDB kuartalan dirilis.

Namun, mengutip National Bureau of Economic Research (NBER), secara umum resesi terjadi ketika negara masuk dalam periode jatuhnya aktivitas ekonomi yang itu tersebar di seluruh sektor ekonomi, dan sudah berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, umumnya lebih dari tiga bulan.

Julius Shiskin pada 1974 mengemukakan ciri resesi secara lebih detail, yaitu:

Shiskin yang waktu itu adalah pejabat di Badan Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat (BLS) melansir serangkaian ciri tersebut untuk menepis keraguan banyak orang bahwa resesi telah terjadi. 

Namun, saat ini, secara umum penurunan angka pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut sudah menandakan resesi telah terjadi.

Beda resesi dan depresi ekonomi

Dunia pernah mencatatkan depresi besar (Great Depression) pada awal abad ke-20. Tepatnya, pada kurun 1929-1933. Itu pun, ekonomi tak pernah benar-benar pulih hingga Perang Dunia II.

Dipicu oleh sebab yang kurang lebih sama, depresi cenderung berlangsung lebih lama dibanding resesi ekonomi. Efek yang dialami akibat depresi ekonomi juga lebih luar biasa karenanya.

Ringkasnya, depresi ekonomi berlangsung lebih lama dan kejatuhan ekonomi pun lebih dalam dibanding resesi ekonomi.

Pada Great Depression, Amerika Serikat yang waktu itu sudah menjadi salah satu negara industrial dunia, mencatatkan angka pengangguran sampai 25 persen dan PDB anjlok hingga 30 persen. Ini merupakan kejatuhan terburuk yang pernah dialami negara itu dalam catatan sejarah.

Dunia juga pernah mengalami resesi besar (Great Recession), yang berdampak pula ke Indonesia, yaitu resesi akibat krisis keuangan global pada 2007-2008.

Resesi ini disebut hanya kalah buruk dibanding Great Depression. Amerika Serikat saja mengalami peningkatan angka pengangguran hingga 10 persen pada saat itu.

Bagi Indonesia, efek krisis 2007-2009 mungkin tak terlalu kentara di mata awam. Bukan karena tak berdampak, tentu saja. Itu semata karena kita pernah mengalami krisis 1997-1998 yang lalu memicu reformasi.

Nah, kondisi yang menyongsong dunia akibat pandemi Covid-19 pada saat ini sudah membuat banyak ekonom di seluruh dunia ketar-ketir. Kenapa? Efek pagebluk ini sudah bergelagat menjadi yang terburuk sejak Great Depression, bahkan bisa jadi lebih buruk.

 

MENU:

Apa Dampak Resesi Ekonomi?

DAMPAK ekonomi saat terjadi resesi sangat terasa dan efeknya bersifat domino pada kegiatan ekonomi.

Sebagai contoh, ketika investasi anjlok saat resesi, sejumlah lapangan pekerjaan secara otomatis akan berkurang bahkan hilang. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun naik signifikan. Produksi atas barang dan jasa juga merosot sehingga menurunkan PDB nasional.

Jika tak segera diatasi, efek domino resesi akan menyebar ke berbagai sektor. Sebut saja, mulai dari macetnya kredit perbankan hingga lonjakan inflasi yang sulit dikendalikan atau sebaliknya deflasi yang tajam karena perekonomian tak bergerak.

Kemudian, neraca perdagangan bakal minus dan berimbas langsung pada cadangan devisa. Dalam skala riilnya, banyak orang bisa kehilangan rumah karena tak sanggup membayar cicilan, bersamaan pula terjadi pelemahan daya beli. Lalu, banyak bisnis terpaksa gulung tikar.

Secara sederhana, dikutip dari Economics Help, setidaknya ada delapan dampak resesi terhadap sebuah negara.

Kedelapan dampak itu adalah pengangguran, anjloknya pendapatan, peningkatan angka kemiskinan, merosotnya harga aset seperti pasar saham atau properti, melebarnya angka ketimpangan, tingginya utang pemerintah bersamaan dengan penerimaan pajak anjlok, serta produksi yang hilang secara permanen dan bisnis gulung tikar.

Sektor yang paling terdampak tergantung pada tipe resesinya. Misal, pada resesi akibat krisis keuangan 2008-2009, sektor finansial yang paling terpukul.

Banyak pegawai sektor tersebut yang biasa memperoleh gaji besar kehilangan pekerjaan. Perbankan rugi besar dan labanya anjlok. Selain itu, sektor properti juga terdampak paling keras.

Pada resesi yang terjadi tahun ini akibat virus corona, sektor yang terdampak cukup dalam adalah pekerja di sektor pariwisata dan hiburan yang terbiasa hidup dari kunjungan wisatawan. Ini mencakup pula pekerja di sektor jasa dan UMKM penyedia kebutuhan sektor tersebut.

Akan tetapi, dampak resesi bergantung beberapa aspek lainnya, termasuk bagaimana dukungan pemerintah serta apakah bantuan tersalurkan dengan baik dan benar.

 

MENU:

Resesi Ekonomi
=
Lonjakan Pengangguran?

DAMPAK resesi ekonomi yang paling tampak bagi masyarakat awam salah satunya adalah pengangguran. 

Namun, resesi tidak selalu berbanding lurus dengan angka pengangguran, karena angka pengangguran tinggi tak selalu akibat resesi.

Mengutip Investopedia, Selasa (19/5/2020), resesi menyebabkan gangguan bahkan kegagalan pada dunia usaha. 

Kegagalan yang dialami dunia usaha ini lantaran sejumlah faktor, mulai dari guncangan ekonomi, permasalahan sumber daya, keuangan, pembiayaan alias kredit, pergeseran perilaku konsumen, hingga kondisi bisnis secara umum.

SHUTTERSTOCK/EVERETT COLLECTION
Ilustrasi saat resesi ekonomi mengakibatkan teramat banyak orang mencari dan mengantre pekerjaan.

Ketika resesi terjadi, semakin banyak perusahaan membatasi atau menutup kegiatan bisnis mereka. Akhirnya, pekerja pun dirumahkan.

Dalam kondisi resesi, PHK yang dilakukan perusahaan terjadi pada saat bersamaan dengan jumlah lowongan kerja yang langka.

Pekerja yang kehilangan pekerjaan dalam kondisi resesi ekonomi cenderung sulit mendapatkan pekerjaan baru. Hasilnya, surplus tenaga kerja dapat terjadi selama berbulan-bulan. 

Jumlah pengangguran dapat diatribusikan dengan mereka yang kehilangan pekerjaan dan tertundanya tenaga kerja menganggur untuk mendapatkan pekerjaan baru karena resesi.

Kondisi tersebut dikenal dengan istilah pengangguran siklikal.

World Economic Forum (WEF) pun telah menyatakan, resesi global akibat pagebluk virus corona akan berlangsung panjang. 

Dua pertiga dari 347 responden—yang disurvei WEF pada 1 April 2020 hingga 13 April 2020—menempatkan kontraksi panjang perekonomian global di posisi atas daftar kekhawatiran mereka selama 18 bulan ke depan.

Setengah dari manajer risiko yang jadi responden survei tersebut melihat adanya kebangkrutan maupun aksi konsolidasi di industri akibat dampak virus corona.

Kegagalan industri untuk pulih dan tingkat pengangguran yang tinggi berpotensi terjadi khususnya di kalangan kaum muda.

“Krisis (ini) telah menghancurkan kehidupan dan mata pencaharian. Ini memicu krisis ekonomi dengan implikasi yang luas dan mengungkapkan ketidakmampuan masa lalu,” kata Saadia Zahidi, Direktur Pelaksana WEF, dalam pengantar publikasi laporan WEF yang dilansir pada 19 Mei 2020.

Zahidi menambahkan, saat ini ada peluang unik untuk menggunakan krisis ini untuk melakukan berbagai hal secara berbeda dan membangun kembali ekonomi yang lebih baik yang lebih berkelanjutan, ulet, dan inklusif.

 

MENU:

Jepang hingga Jerman, Negara-negara yang Sudah Pasti Resesi akibat Virus Corona

MENUTUP kuartal I 2020, sejumlah negara terkonfirmasi masuk ke jurang resesi akibat virus corona. Sebut saja Jepang dan Jerman. Bahkan, Singapura yang masih menempati peringkat satu negara paling kompetitif sedunia pun tak mampu menghindari resesi.

SHUTTERSTOCK/ J.J GOUIN
Ilustrasi aneka headline pemberitaan terkait resesi ekonomi akibat Covid-19

Jepang

Jepang resmi mengalami resesi ekonomi. Hal ini sejalan dengan dampak virus corona yang memukul perekonomian terbesar ketiga di dunia tersebut.

Berdasarkan warta BBC, pertumbuhan ekonomi Jepang dilaporkan minus 3,4 persen pada periode Januari-Maret 2020 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini merupakan penurunan terbesar sejak 2015.

Kontraksi pertumbuhan ekonomi Jepang ini pun melanjutkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2019 yang minus 6,4 persen.

Lalu, pada Senin (8/6/2020), Kantor Kabinet Jepang merilis data terbaru soal perekonomian Negeri Sakura.

Dari data kabinet, pertumbuhan ekonomi Jepang pada periode Januari-Maret 2020 terkontraksi alias minus 2,2 persen. Angka ini boleh dikatakan lebih baik dibandingkan angka yang dipublikasikan sebelumnya.

Jepang tidak memberlakukan lockdown secara nasional untuk mencegah penyebaran virus corona, tetapi mengumumkan kondisi darurat pada April 2020. Ini memberikan dampak yang sangat buruk bagi rantai pasok dan bisnis di Jepang.

Sementara itu, berdasarkan warta Bloomberg, capaian perekonomian Jepang tersebut lebih baik dari perkiraan sebelumnya, yakni minus 4,5 persen. Konsumsi yang lebih kuat dari prediksi dan belanja swasta sebelum virus corona menyebar jadi penopang.

Namun, para analis dan pembuat kebijakan setuju bahwa kondisi lebih buruk akan terjadi pada kuartal II 2020.

"Tidak diragukan lagi bahwa kuartal ini (kondisi) jauh lebih buruk. Perusahaan-perusahaan susah payah mengamankan pembiayaan dan ini menunjukkan investasi bisnis akan tetap lemah, serta banyak pekerja khawatir dengan upah mereka," ujar Takeshi Minami, ekonom di Norinchukin Research Institute.

Para analis memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Jepang akan minus 21,5 persen pada periode April-Juni 2020. Ini merupakan rekor terburuk sejak data ekonomi resmi dirilis pertama kali pada 1955.

Jerman

Pertumbuhan ekonomi Jerman dilaporkan minus 2,2 persen pada kuartal I 2020. Resesi akibat pagebluk corona sudah mulai di sini.

Dilansir dari BBC, Sabtu (16/5/2020), kontraksi tersebut merupakan penurunan terbesar ekonomi Jerman secara kuartalan sejak 2009. Kala itu, Jerman turut tergulung krisis keuangan global.

Data resmi yang dirilis Kantor Statistik Federal juga merevisi angka pertumbuhan ekonomi Jerman pada kuartal IV 2019, dengan angka baru minus 0,1 persen.

Artinya, pertumbuhan ekonomi Jerman negatif selama dua kuartal berturut-turut. Ini sudah memenuhi definisi teknis resesi ekonomi.

Perekonomian Jerman sudah mulai goyah sebelum virus corona menyebar. Penyebabnya, perang dagang Amerika Serikat dan China turut memberikan dampak kepada aktivitas perekonomian Jerman.

Jerman merupakan ekonomi terbesar di kawasan Eropa. Meski sudah pasti mengalami resesi, ekonomi Jerman tetap tidak seburuk sejumlah negara tetangganya.

Perancis, misalnya, harus menerima pertumbuhan ekonominya minus 5,8 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Italia dilaporkan minus 4,7 persen.

Sejumlah pakar memandang, kondisi Jerman yang sedikit lebih baik tersebut disebabkan keputusan dari 16 negara bagian untuk mengizinkan pabrik dan lokasi-lokasi konstruksi tetap beroperasi.

Selain itu, pemerintah Jerman pun menggelontorkan paket stimulus penyelamatan ekonomi. Meskipun, para ekonom juga memprediksi perekonomian Jerman akan terpuruk lebih dalam pada kuartal II 2020.

Sebab, dampak kebijakan lockdown akan benar-benar terlihat pada paruh kedua tersebut.

Data lain yang dirilis kantor statistik Uni Eropa, Eruostat, menyebut kawasan Eropa secara keseluruhan mengonfirmasi rekor kontraksi ekonomi, yakni minus 3,8 persen pada kuartal I 2020.

Adapun untuk 27 negara Uni Eropa, pertumbuhan ekonomi dilaporkan minus 3,3 persen.

Eurostat juga merilis data yang menunjukkan penurunan serapan tenaga kerja di Uni Eropa sebesar 0,2 persen. Ini adalah penurunan pertama sejak 2013.

"Ekonomi Jerman sudah mulai berada di pinggir jurang resesi sejak awal 2019, namun tidak bisa menyembunyikan (fakta resesi) lebih lama lagi," jelas Claus Vistesen, kepala ekonom kawasan Eropa di Pantheon Macroeconomics.

"Ekspansi siklus bisnis Jerman yang dimulai pada 2013, berakhir pada kuartal I (2020), dan pukulan lebih besar akan dihadapi dalam waktu dekat sebelum terjadi pemulihan," imbuh dia.

Singapura

Sementara itu, Singapura memangkas proyeksi ekonomi 2020 untuk ketiga kalinya terkait pandemi virus corona atau Covid-19.

Koreksi proyeksi ini terjadi setelah data pertumbuhan ekonomi Singapura pada kuartal I 2020 menunjukkan kontraksi.

Menurut Departemen Perdagangan dan Industri Singapura, ekonomi Singapura terkontraksi atau minus antara 4 persen hingga 7 persen pada tahun ini.

Sebelumnya, proyeksi ekonomi Singapura adalah minus 1, yang lalu dikoreksi jadi minus 4 persen.

Melansir CNBC, Selasa (26/5/2020), Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura mengatakan, kebijakan lockdown—yang bertujuan meredam penyebaran Covid-19—merusak aktivitas ekonomi di negara-negara besar seperti AS, kawasan Eropa, dan China.

Hal tersebut akan terus berlanjut bahkan setelah negara-negara membatalkan langkah-langkah lockdown. Ditambah lagi, ada potensi gelombang kedua infeksi yang mungkin terjadi setelah pembukaan lockdown.

"Terlepas dari penurunan peringkat, masih ada tingkat ketidakpastian yang signifikan atas periode waktu dan parahnya wabah Covid-19, serta lintasan pemulihan ekonomi global dan Singapura," lanjut pernyataan itu.

Amerika Serikat

Menyusul, Amerika Serikat, diumumkan resmi mengalami resesi sejak Februari 2020. Lesunya perekonomian di AS akibat pagebluk telah membuat negara tersebut secara resmi masuk ke jurang resesi.

Dilansir dari BBC, Selasa (9/6/2020), Biro Riset Ekonomi Nasional AS (NBER) mengumumkan, hal tersebut. Pertimbangannya adalah skala dan tingkat keparahan kontraksi ekonomi AS saat ini.

NBER menyatakan, kegiatan ekonomi dan angka pengangguran dengan jelas mencapai puncak pada Februari 2020, sebelum anjlok. Pernyataan NBER mengenai resesi secara resmi mengakhiri periode ekspansi ekonomi selama lebih dari satu dekade, terlama dalam sejarah AS.

Resesi telah diprediksi setelah pertumbuhan ekonomi AS mengalami kontraksi atau minus 5 persen pada kuartal I 2020. NBER menyatakan, pihaknya memandang skala penurunan ekonomi yang dimulai pada Februari 2020 lebih signifikan daripada durasinya.

"Besarnya penurunan jumlah tenaga kerja dan produksi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan jangkauan luasnya di seluruh ekonomi, menjamin penetapan periode ini sebagai resesi, bahkan jika ternyata lebih singkat dari kontraksi sebelumnya," kata NBER.

NBER sendiri mendefinisikan resesi sebagai kondisi kontraksi ekonomi yang berlangsung selama beberapa bulan.

NBER telah mengumumkan 12 resesi yang dialami AS sejak tahun 1948. Adapun periode resesi terpanjang pasca Depresi Besar adalah periode Desember 2007 sampai Juni 2009 atau 18 bulan.

Banyak ekonom telah memperingatkan, pukulan ekonomi kemungkinan besar akan terus terjadi, bahkan jika kondisi terburuk telah berlalu. Bank Dunia pun memperkirakan ekonomi AS minus 6,1 persen sepanjang tahun ini.

 

MENU:

Bank Dunia:
Resesi Terburuk
Sejak Perang Dunia II

PANDEMI virus corona (Covid-19) yang menyebabkan banyak negara di dunia menerapkan langkah-langkah lanjutan seperti lockdown atau isolasi total telah membuat perekonomian dunia menjadi kacau.

Meskipun banyak negara perlahan membuka perekonomian kembali, Bank Dunia memperoyeksi pada tahun ini perekonomian global bakal mengalami resesi terburuk dalam 80 tahun terakhir.

Produk Domestik Global (PDB) dunia diperkirakan bakal terkoreksi menjadi minus 5,2 persen sepanjang 2020. Kinerja perekonomian yang tertekan terjadi meski banyak negara di dunia telah menggelontorkan bantuan fiskal hingga moneter.

Triliunan dollar AS telah dikucurkan untuk membantu perusahaan agar tetap berjalan, menjamin keberadaan uang kas bagi konsumen rumah tangga, dan membantu pasar keuangan berjalan secara wajar.

Tangkap Layar Sampul Laporan Global Economic Prospect Bank Dunia

Meski demikian, perekonomian maju seperti Amerika Serikat maupun Eropa bakal melorot sangat dalam sekitar 7 persen. Ekonomi AS diproyeksi bakal terkontraksi hingga 6,1 persen sebelum akhirnya diharapkan bisa rebound pada 2021.

Kuartal I tahun ini menjadi masa-masa terburuk bagi dunia Barat, namun sebagian besar negara-negara di Asia telah terdampak pandemi sejak bulan pertama 2020.

China, yang merupakan negara perekonomian terbesar kedua di dunia diproyeksi hanya akan tumbuh 1 persen pada tahun ini, jauh dari realisasi tahun lalu yang mencapai 6,1 persen.

Di sisi lain, Bank Dunia juga mencatatkan pandemi ini juga bakal menyebabkan luka mendalam bagi perekonomian. Investasi bakal tetap rendah dalam waktu dekat, serta perdagangan dan rantai pasok global masih akan terkikis dalam beberapa waktu ke depan.

Ditambah lagi, jutaan penduduk dunia telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Di AS, jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK merupakan mencatatkan rekor baru, terbesar sejak Depresi Besar tahun 1930an lalu.

Bank sentral setempat, Federal Reserve (The Fed) pun telah menekankan kekhawatirannya mengenai pekerja yang terkena PHk dan terlepas dari angkatan kerja sebagai akibat dari krisis.

Resesi pun bakal kian parah jika ternyata waktu yang dibutuhkan untuk megontrol pandemi ternyata cukup lama, atau terjadi tekanan di sektor keuangan yang membuat beberapa perusahaan mengalami kebangkrutan.

Bank Dunia mengatakan, perekonomian negara berkembang terutama lebih berada dalam bahaya. Pasalnya, sistem kesehatan negara-negara berkembang dianggap kurang kuat jika dibandingkan dengan negara maju.

Selain itu, negara berkembang memiliki keterlibatan yang lebih dalam terhadap perekonomian global, baik dalam hal rantai pasok, pariwisata, dan ketergantungan terhadap komoditas serta pasar keuangan.

 

MENU:

IMF:
Resesi Pagebluk Bisa Lebih Dalam daripada Great Depression

PROYEKSI ekonomi yang dilansir Dana Moneter Internasional (IMF) pada April 2020 tak kalah suram. Produk domestik bruto (PDB) global pada 2020 diperkirakan anjlok ke minus 3 persen pada tahun ini. 

Dengan proyeksi itu, IMF menyebut kontraksi ekonomi yang terjadi akibat Covid-19 merupakan yang tercuram dalam seabad terakhir, bahkan bisa lebih buruk, apalagi bila sampai terjadi gelombang kedua epidemi. 

Buat catatan, krisis keuangan global pada 2009 "hanya" membuat ekonomi dunia terkontraksi dengan pertumbuhan minus 0,1 persen. 

Pada Januari 2020, IMF masih mengeluarkan proyeksi ekonomi dunia tumbuh 3,3 persen.

Hantaman varian baru virus corona (SARS-CoV-2) langsung menghapus proyeksi itu dan membawa kabar kontraksi ekonomi dunia yang terdalam sejak Great Depression pada 1930-an.

"Ini revisi mayor dalam periode yang sangat pendek, terkoreksi 6,3 persen dari proyeksi pada Januari, menjadikan resesi akibat 'Great Lockdown' lebih buruk daripada 'Great Depression' dan sangat melampaui (resesi akibat) krisis keuangan global (pada 2008-2009),," ujar Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath, dalam tulisan yang dilansir di kanal blog situs resmi IMF, Selasa (14/4/2020).

SHUTTERSTOCK/EVERETT HISTORICAL
20.000 tenaga kerja yang kesulitan mendapat pekerjaan menggelar unjuk rasa besar di Grant Park, Chicago, Amerika Serikat, pada 31 Oktober 1932, di tengah cekikan Great Depression.

Pertumbuhan positif ekonomi dunia hingga 5,8 persen diperkirakan baru akan terjadi paling cepat pada 2021. Proyeksi lonjakan tertinggi sejak 1980 ini pun bukan tanpa syarat.

Proyeksi ekonomi dunia kembali sigap bergerak pada 2021 tersebut sangat tergantung dengan banyak faktor.

Seperti, berapa lama cengkeraman pandemi Covid-19 berlangsung, aktivitas ekonomi apa saja yang terdampak, serta seberapa besar tekanan yang dialami sektor keuangan dan komoditas akibat pagebluk. 

"Ini adalah krisis yang berbeda dengan krisis lain sebelumnya. Ada ketidakpastian substansial terkait dampak dan mata pencaharian orang," ungkap Gopinath. 

Menurut Gopinath, pemerintah negara mana pun tak punya cukup pengalaman untuk mengatasi krisis kali ini.

Karena, kata dia, Covid-19 telah memicu krisis tak hanya di bidang kesehatan tetapi juga keuangan, yang berkelindan erat pula dengan anjloknya harga komoditas.

Gopinath menyebut, kerugian akumulatif PDB global diperkirakan mencapai 9 triliun dollar AS pada tahun ini.

Memakai kurs tengah Bank Indonesia Rp 14.014 per dollar AS pada 11 Juni 2020, proyeksi kerugian tersebut setara Rp 126.126 triliun. Nominal tersebut melebihi gabungan PDB Jerman dan Jepang dijadikan satu.  

Tiga skenario

IMF pun menyebut ada tiga skenario lanjutan terkait resesi akibat Covid-19, yang kesemuanya mengantisipasi pagebluk berlangsung lebih lama dari ekspektasi, pandemi berulang lagi pada 2021, atau gabungan dari kedua hal itu. 

Pandemi yang berlarut-larut, menurut IMF akan memangkas lagi PDB global sebesar 3 persen pada tahun ini. Adapun pandemi yang berulang lagi terjadi pada 2021 bakal merontokkan 8 persen PDB dari proyeksi awal.

IMF menyebut, kebijakan luar biasa dibutuhkan untuk mengatasi krisis multidimensi dan berskala global kali ini. Nyawa manusia tidak boleh juga "dikalahkan" oleh dalih ekonomi.

Upaya memutus rantai penyebaran Covid-19 justru adalah cara untuk ekonomi dapat bergerak kembali. Upaya global untuk menghentikan penyebaran wabah ini pun harus memastikan akses yang sama antara negara kaya dan miskin terhadap terapi dan vaksin.

"Pembuat kebijakan harus memastikan bahwa setiap orang mendapat pemenuhan kebutuhan hidup dan (kepastian bahwa) bisnis akan bangkit begitu pandemi berlalu," lanjut Gopinath.

Menurut Gopinath, negara-negara terdampak Covid-19 telah mengeluarkan beragam kebijakan untuk memitigasi dampak wabah ini. Namun, itu masih belum akan cukup.

Kerja sama multilateral harus diambil. Kebijakan pemulihan juga harus disiapkan dari sekarang. 

"Ketika langkah-langkah pengendalian (wabah) dilakkan, kebijakan harus bergeser dengan cepat untuk mendukung permintaan, memberi insentif kepada perusahaan, serta memperbaiki neraca di sektor swasta dan pemerintah," tegas Gopinath. 

Meski laju penyebaran Covid-19 dapat mulai ditahan di sejumlah negara dengan pemberlakuan ketentuan dari jaga jarak, pelacakan kontak, hingga upaya medis lain, tetapi ketidakpastian luar biasa tentang situasi setelah ini masihlah membentang. 

"Sepadan dengan skala dan kecepatan krisis, respons kebijakan domestik dan internasional harus besar, cepat digunakan, dan cepat pula dikalibrasi begitu ada data baru," ujar Gopinath.

Pengambil kebijakan, pungkas Gopinath, harus mengimbangi perjuangan para tenaga medis di seluruh dunia untuk bersama-sama mengatasi krisis multimedimensi ini. 

 

MENU:

OECD:
Resesi Terburuk
dalam 100 Tahun

SELAIN Bank Dunia dan IMF, Organisasi Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) pun memperingatkan risiko resesi ekonomi global akibat pagebluk virus corona.

Dalam laporan teranyarnya, OECD menyebut, pagebluk virus corona semakin membuat dunia terseret dalam jurang resesi terburuk di luar periode perang dalam 100 tahun.

Kebijakan lockdown yang ketat dan larangan bepergian yang diterapkan negara-negara di seluruh dunia menyebabkan kemerosotan tajam dalam aktivitas bisnis.

Rantai pasok global terhambat, kesenjangan, dan tingkat utang melonjak. Tingkat keyakinan konsumen dan dunia usaha pun anjlok.

"Dampak ekonomi (akibat virus corona) sangat buruk sekali di manapun. Pemulihannya akan lambat dan krisis akan memiliki dampak yang bertahan lama, secara tidak proporsional memengaruhi golongan masyarakat yang paling rentan," tulis OECD dalam laporan bertajuk Economic Outlook yang dirilis pada Kamis (11/6/2020).

Kepala ekonom OECD Laurence Boone menjelaskan, ketidakpastian yang dihadapi saat ini sangat tinggi. Namun demikian, imbuh Boone, OECD mengekspektasikan kegiatan ekonomi akan meningkat dalam beberapa bulan ke depan.

"Kita akan melihat kenaikan, yang kemungkinan perbaikan akan seperti bentuk V, sejalan dengan sejumlah sektor mulai dibuka kembali dan dapat bekerja," jelas Boone.

Yang dimaksud dengan bentuk V adalah perbaikan signifikan yang terjadi setelah ada penurunan tajam dalam kegiatan ekonomi.

"Akan tetapi, karena (sektor) pariwisata, hiburan, dan sejenisnya tidak bisa bekerja seperti sebelumnya, maka sulit untuk bentuk V ini mulai dengan cepat kemudian merangkak ke atas seperti kondisi sebelummya," ujar Boone.

OECD merilis dua proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Asumsi pertama, ada gelombang kedua pandemi virus corona, serta asumsi kedua adalah gelombang kedua dapat dihindari.

Dalam skenario pertama, OECD menyatakan pertumbuhan ekonomi dunia terkontraksi alias minus 7,6 persen sepanjang tahun ini. Adapun jika tidak ada gelombang kedua penularan virus corona, OECD memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia akan minus 6 persen pada tahun 2020.

"Kedua skenario ini suram, karena kegiatan ekonomi belum dan tidak bisa kembali ke normal di tengah situasi ini," terang OECD.

Lembaga itu menyebut, pada akhir tahun 2021, hilangnya pendapatan akan melampaui resesi-resesi sebelumnya dalam 100 tahun terakhir di luar periode perang.

Berikut ini grafik interaktif outlook ekonomi OECD untuk 2020 untuk skenario ada atau tidak ada gelombang kedua Covid-19. Tersedia pembagian berdasarkan kelompok tujuh negara maju (G7), negara anggota OECD, dan proyeksi global, yang dapat diklik dari tiga bulatan di bawah judul infografik.


MENU:

 Apa Kabar Indonesia?

~Sebuah Pengantar...~

 

BERBAGAI proyeksi yang dirilis berbagai lembaga internasional memang menunjukkan kemungkinan terjadinya resesi ekonomi global. Pun beberapa negara sudah benar-benar mengalaminya.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Pada kuartal I/2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 2,97 persen. Angka ini lebih baik dibandingkan capaian pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang lain pada kurun yang sama.

Namun, apakah Indonesia akan juga terjun ke jurang resesi ekonomi akibat virus corona?

Kata Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, saat ini Indonesia masih belum resesi. Namun, dia mengakui kuartal II/2020 ekonomi Indonesia diprediksi tumbuh minus.

"Kami harap situasi terdalam terjadi di Mei. Juni kemungkinan masih kontraksi tetapi tidak sedalam Mei," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Selasa (16/6/2020).

Baca juga: Sri Mulyani: Saya Berdoa Tidak Terjadi Gelombang Kedua Covid-19

ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjawab pertanyaan wartawan usai mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) tentang Kebijakan Stimulus ke-2 Dampak Covid-19 di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (11/3/2020). Dalam Rakor tersebut dihasilkan beberapa hal, salah satunya tentang stimulus PPH Pasal 21 yang akan ditanggung Pemerintah untuk sejumlah industri.

Sebelumnya, pada kuartal I/2020, ekonomi Indonesia masih tumbuh 2,97 persen.

Meski masih mencatatkan pertumbuhan, ini sudah anjlok dibanding kinerja kuartal IV/2019 yang tercatat 4,97 persen. Padahal, kinerja kuartal IV/2019 pun sudah melambat dibanding kuartal sebelumnya dan periode yang sama setahun sebelumnya.

"Kuartal II mungkin negatif. Di kuartal III diharap bisa pulih mendekati 0 persen. So, technically itu enggak resesi," sambung dia.

Sri Mulyani pun memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi alias minus 3,1 persen pada kuartal II/2020.

Baca juga: Sri Mulyani Proyeksi Perekonomian RI Tumbuh -3,1 Persen Pada Kuartal II-2020

Jauh-jauh hari, Sri Mulyani pun telah menyatakan ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat pada hari-hari ini.

"Kita pahami kondisi ekonomi global sangat menantang. Selain dihadapkan pada pelemahan ekonomi, sekarang ditambah dengan terjangkitnya virus novel corona," ujar Sri Mulyani di Jakarta, Senin (2/3/2020).

Lalu, pada Jumat (20/3/2020), Sri Mulyani mengungkap sejumlah skenario yang akan kita hadapi. 

Waktu itu, skenario moderat yang dia sodorkan adalah ekonomi Indonesia masih akan tumbuh 4 persen pada akhir 2020. Lalu, skenario terburuknya, ekonomi tumbuh 2,5 persen saja bahkan bisa 0 persen. 

Skenario terburuk itu, ungkap dia, akan terjadi bila pandemi mendera selama 3-6 bulan, dengan perdagangan internasional anjlok 30 persen, serta penerbangan terhenti 75-100 persen.

Skenario ekonomi pun bergerak lagi. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, Rabu (17/6/2020), menyebut Indonesia mengantisipasi skenario berat dan sangat berat untuk pertumbuhan ekonomi pada 2020.

Skenario berat adalah ekonomi Indonesia tumbuh 2,3 persen pada akhir 2020, sementara skenario sangat berat pertumbuhan ekonomi akan minus 0,4 persen.

Baca juga: Kemenkeu: Perekonomian Terancam Bergerak ke Skenario Sangat Berat...

 

Bank Sentral Masih Optimistis

Bank Indonesia (BI) optimistis Indonesia bisa terhindar dari resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Kepercayaan diri bank sentral bukan tanpa alasan. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, dalam memproyeksi perhitungan pertumbuhan ekonomi, BI telah mempertimbangkan kondisi di dalam negeri hingga kondisi global.

Dia bilang, bank sentral telah memperkirakan periode Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hanya berlangsung selama 2,5 bulan hingga pertengahan Juni 2020.

"Harapannya (pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020) bisa mendekati 2,3 persen. Tapi tentu saja kami harus lihat lagi berbagai indikator pada waktunya," ungkap  Perry dalam konferensi video, Jumat (5/6/2020).

DOKUMENTASI BANK INDONESIA
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo

Dari situ, bank sentral memasang target ekonomi RI bisa tumbuh 2,3 persen hingga akhir tahun. Namun, target itu bisa saja berubah, mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2020 hanya 2,97 persen.

Perry pun menyatakan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020 mendatang akan lebih tertekan dibanding kuartal I/2020. Namun, pada kuartal III dan kuartal IV, pertumbuhan diyakini akan berangsur naik.

Pada konferensi pers daring atas hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (18/6/2020), Perry menyebut tekanan ekonomi pada Mei 2020 mulai berkurang. Karenanya, optimisme untuk pemulihan ekonomi akan benar-benar dimulai pada kuartal III/2020 makin menguat.

Meski demikian, proyeksi ekonomi untuk 2020 pun dikoreksi menjadi kisaran 0,9 persen hingga 1,9 persen. Adapun untuk 2021, BI memperkirakan ekonomi tumbuh 5 persen hingga 6 persen. 

Aneka proyeksi untuk Indonesia

OECD juga memproyeksikan Indonesia bisa masuk ke jurang resesi. Dalam proyeksinya, OECD menyebut ekonomi Indonesia pada 2020 akan tumbuh minus 2,8 persen hingga minus 3,9 persen. 

Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan skenario sangat berat oleh pemerintah yang memerkirakan pertumbuhan ekonomi tumbuh negatif 0,4 persen apalagi skenario berat yang masih memunculkan pertumbuhan 2,4 persen.

Kepala Ekonom OECD Laurence Boone memaparkan, pada outlook kali ini OECD menggunakan dua skenario, tergantung pada penanganan pandemi Covid-19 oleh Pemerintah Indonesia.

Untuk skenario pertama, Indonesia hanya mengalami pukulan Covid-19 sebanyak satu kali dan bisa menghindari gelombang kedua penularan virus corona.

Pertumbuhan ekonomi untuk skenario pertama diperkirakan minus 2,8 persen, dengan konsumsi rumah tangga atau swasta mengalami kontraksi alias minus 3,1 persen.

"PDB tumbuh melambat pada kuartal pertama 2020, terbebani oleh konsumsi rumah tangga dan investasi yang lemah," jelas Boone dalam laporan OECD.

Pada skenario pertama, defisit neraca berjalan (CAD) bakal mencapai 2,8 persen. Baik ekspor dan impor pun mengalami kontraksi tahun ini.

Laju ekspor diperkirakan tumbuh negatif 5,9 persen, sementara impor tumbuh negatif 7,4 persen.

Adapun untuk skenario kedua, jika gelombang kedua terjadi di Indonesia maka perekonomian akan mengalami kontraksi hingga minus 3,9 persen. Kinerja ekspor dan impor pun mengalami tekanan yang lebih besar.

Laju ekspor diperkirakan bakal mengalami kontraksi alias minus 7,4 persen dan laju impor tertekan hingga minus 9,1 persen.

Untuk tahun depan, OECD memprediksi laju pertumbuhan ekonomi akan membaik. Perekonomian Indonesia diperkirakan bakal tumbuh di kisaran 2,6 hingga 5,2 persen pada 2021.

Menurut OECD, dengan kontraksi yang cukup dalam pada kuartal II dan lonjakan pengangguran, pemulihan perekonomian diharapkan bakal terjadi pada kuartal III 2020.

Pasalnya, pemerintah telah melakukan langkah-langkah penanganan pandemi serta kepercayaan konsumen perlahan kembali.

Adapun IMF pada April 2020 memprediksi ekonomi Indonesia pada 2020 akan tumbuh 0,5 persen. Lalu, pada 2021, ekonomi Indonesia diprediksi tumbuh 8,2 persen. 

Meski demikian, Direktur Departemen Asia Pasifik IMF Changyong Rhee menegaskan bahwa saat ini tak ada satu pun ekonom yang bakal bisa benar-benar membuat proyeksi ekonomi yang diguncang Covid-19.

"Harus saya katakan bahwa sangat berat bagi kami, ekonom, untuk benar-benar fokus tentang apa yang akan terjadi pada masa depan," ujar Rhee dalam press briefing pada 15 April 2020.

Proyeksi IMF untuk ekonomi Indonesia dan dunia pada 2020 dapat disimak dengan klik di sini.

Sebelumnya, Januari 2020, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh 5,1 persen pada 2020 dan 5,2 persen pada 2021.

Seperti apa kondisi dan tantangan ekonomi Indonesia di tengah pagebluk Covid-19 dan setelahnya? Sebesar apa risiko resesi yang membayangi Indonesia?

Tunggu tulisan tersendiri tentang itu, tetap di JEO Kompas.com....

Update 3 Agustus 2020:

Tulisan tentang risiko resesi yang membayangi Indonesia dengan data yang telah pula diperbarui dapat dibaca di JEO Indonesia Menuju Resesi Pertama sejak 1998?

Anda bisa pula langsung menuju artikel ini dengan mengklik gambar di bawah ini:

Loading...

Dari luar negeri, sejumlah negara telah memastikan pula masuk ke jurang resesi. Hingga 3 Agustus 2020, setidaknya lima negara telah memastikan itu demikian pula kawasan Uni Eropa.

Baca:

MENU:


Loading...