JEO - Insight

Dalil dan Sains dalam Cara Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan

Jumat, 24 April 2020 | 00:33 WIB

Setidaknya setahun sekali hilal dicari dan ditanyakan keberadaannya. Ini adalah salah satu cara untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan dan sistem penanggalan Islam.

Tidak semua kriteria mendapati Ramadhan 1441 H dimulai pada 24 April 2020. Ini ulasan soal cara menentukan awal penanggalan Islam, termasuk Ramadhan.

KATA kuncinya adalah hilal. Dalam bahasa kita, hilal adalah bulan sabit muda alias yang paling tipis tapi sudah tampak.

Baik dalil maupun sains bertumpu pada penampakan hilal. Dalam praktik, yang kerap jadi berbeda hanyalah kriteria penentuan dan teknik pelaksanaan metodenya.

Prinsip pertama, penanggalan Islam menggunakan basis posisi bulan terhadap Bumi. Awal dan akhir bulan ditentukan berdasarkan posisi bulan terhadap lokasi pengamatan di Bumi.

Sistem Penanggalan Hijriah - Dok KOMPAS

 M E N U :

METODE


METODE
 penentuan awal dan akhir penanggalan Islam, ada dua, yaitu rukyat dan hisab. Ini soal cara untuk memastikan posisi hilal. 

Seturut perputaran bulan mengitari Bumi, penampakan bulan berubah tergantung waktu. Yaitu, dari tidak tampak, muncul sedikit dan berbentuk sabit tipis, bentuk sabit membesar, lingkaran penuh, kembali menjadi sabit yang makin mengecil, sampai hilang lagi.

Ilustrasi siklus bulan - (SHUTTERSTOCK/DAVID CARILLET)

Nah, sejumlah kalangan berketetapan, hilal harus secara harfiah terlihat mata sesuai kriteria tertentu pada petang hari sebelum tanggal 1 penanggalan baru. 

Adapun sebagian kalangan yang lain berpendapat, bisa saja penanggalan baru telah dimulai sekalipun bulan tak bisa dilihat mata meski sudah memakai alat. 

Syaratnya, perhitungan secara astronomi memastikan sudut ketinggian bulan di daerah tersebut sudah melewati garis ufuk sesuai kriteria tertentu. 

Istilah untuk metode yang mengharuskan penglihatan secara harfiah itulah yang disebut rukyat. Adapun metode menggunakan perhitungan dikenal dengan istilah hisab.

Praktik di Indonesia

Di Indonesia, rukyat kerap diidentikkan dengan cara Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah, sementara hisab dilekatkan sebagai metode Muhammadiyah sekalipun tak cuma organisasi ini yang menggunakannya. 

Salah satu dalil yang kerap dirujuk terkait penentuan awal bulan baru dalam penanggalan Islam—baik untuk penggunaan metode rukyat maupun hisab—adalah hadist:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

Terjemahannya kurang lebih, “Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah (penanggalan menjadi) 30 hari”, sebagaimana hadist riwayat Al Bukhari, dalam shahih-nya, kitab Ash Shiyam, nomor 1.907. 

Aturan serupa dalam hadist lain juga dipakai untuk menentukan hari raya Idul Fitri. Bila mata tak bisa melihat wujud hilal maka Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari.

Merujuk situs web planetarium.jakarta.go.id, penanggalan berbasis peredaran bulan disebut memasuki perhitungan baru bila memenuhi tiga kriteria.

Ketiga kriteria itu merujuk pada hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dengan sebutan "kriteria 2-3-8", yaitu:

Hisab tak mengabaikan rukyat

Hisab merupakan penentuan awal bulan baru kalender Islam dengan lebih mengedepankan basis perhitungan astronomi. 

Yang tidak banyak diketahui khalayak, Muhammadiyah juga tidak semata menggunakan basis sains dalam penentuan awal bulan baru ini.

Metode hisab di organisasi ini ternyata juga masih menempatkan rukyat pada posisi penting dalam penentuan keputusan awal penanggalan Islam.

Hasil Muktamar Tarjih Muhammadiyah pada 1932 di Makassar, Sulawesi Selatan, menyatakan, penentuan awal dan akhir Ramadhan pada dasarnya menggunakan empat metode.

Keempat metode itu adalah ru’yat al-hilâl (melihat wujud hilal), kesaksian orang yang adil, menggenapkan (istikmâl) bilangan bulan Syaban menjadi 30 hari, dan hisab.

Dalam kalender Islam, Syaban merupakan penamaan bulan sebelum Ramadhan.

Cara pertama dan kedua yang dirujuk hasil muktamar itu pada dasarnya adalah substansi metode rukyat.

Adapun istikmal pun merupakan cara ketika perhitungan astronomi tidak memungkinkan penampakan hilal, sementara mata telanjang tak bisa pula melihat bulan sabit. Ini kembali kepada hadist soal menggenapkan hitungan bulan menjadi 30.

Namun, dalam hal hilal tidak mungkin di-rukyat karena tertutup awan atau posisinya masih berada pada ketinggian yang belum memungkinkan dapat dilihat, cara penentuan awal penanggalan baru yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab.

Metode hisab menghitung posisi hilal apakah sudah di atas ufuk (wujud) atau masih di bawah ufuk (belum wujud). Secara kasat mata, hilal disebut wujud bila dan hanya bila matahari lebih dulu tenggelam di ufuk daripada bulan. 

Bila hisab dan rukyat berbeda

Muhammadiyah menyodorkan dua kemungkinan penyikapan bila hasil hisab dan rukyat berbeda karena satu dan lain hal. 

Kabar baiknya, diperkirakan hasil rukyat dan hisab di Indonesia akan sama, setidaknya sampai 2021.

Posisi bulan hingga 2021 akan tegas berada di bawah ufuk atau sebaliknya lebih dari 2 derajat pada setiap awal penanggalan baru kalender Islam. 

Baca juga: Hingga 2021, Awal Puasa dan Ramadhan Seragam di Seluruh Indonesia

Kriteria lain

Seturut perkembangan zaman dan kumpulan data yang semakin dapat dianalisis, muncul pula sejumlah kriteria baru untu untuk penentuan awal penanggalan kalender Islam.

Dasar penentuan penanggalan baru tetap rukyat dan hisab, tetapi kriteria telah dimulainya penanggalan baru yang dikoreksi.

Kriteria baru internasional yang sudah mulai dirujuk juga oleh sejumlah kalangan adalah Kriteria Odeh. Ini merujuk nama peneliti dan pengusul kriterianya, Mohammad Sh Odeh. 

Paper Odeh tentang kriteria baru berdasarkan visibilitas bulan tersebut dapat dibaca di sini

Yang paling dasar dari kriteria Odeh adalah fakta bahwa hilal sejatinya baru cukup tebal untuk kasat mata terlihat lewat rukyat bila berada pada posisi elongasi 6,4 derajat.

Elongasi merupakan sudut yang terbentuk antara dua benda langit—terutama matahari dan bulan—terhadap posisi pengamat di Bumi. 

Selain itu, dari dalam negeri juga muncul Rekomendasi Jakarta 2017. Meskipun, pengusul kriteria ini juga tak semuanya dari Indonesia.

Rekomendasi Jakarta 2017 memuat tiga hal pokok, yaitu: 

  1. Kriteria sudut ketinggian bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat. Ini sering disebut sebagai kriteria (3-6,4). 
  2. Kalender bersifat global dengan garis batas tanggal internasional.
  3. Ada otoritas tunggal, yaitu pemerintah negara untuk tataran nasionall, forum MABIMS untuk awasan, dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk internasional.

Naskah Rekomendasi 2017 dapat diunduh di sini.

Sidang isbat

Lalu, apakah yang dimaksud dan guna sidang isbat?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), isbat berarti penyungguhan; penetapan; penentuan. Sebenarnya, penggunaan kata ini tak hanya untuk hari besar Islam.

Salah satu penggunaan lain kata isbat bisa ditemukan di pengadilan agama atau Kantor Urusan Agama (KUA). Tentu bukan soal awal puasa, melainkan soal pernikahan.

Baca juga: 5 Tradisi Unik Ramadhan di Nusantara

Terkait penentuan awal Ramadhan dan lebaran, sidang isbat digelar untuk mengumpulkan data pemantauan hilal dari sejumlah lokasi pengamatan di Indonesia, kemudian disandingkan dengan metode hisab, untuk kemudian diputuskan bersama.

Sidang ini melibatkan unsur Kementerian Agama, DPR, MUI, ormas-ormas Islam, serta perwakilan negara sahabat. 

Hasil sidang ini yang lalu ditetapkan pemerintah dan karenanya kerap disebut "versi pemerintah".


 M E N U :

SAINS DAN AWAM

SALAH satu kajian akademis dari anak bangsa Indonesia terkait rukyat, hisab, dan ilmu astronomi adalah karya Thomas Djamaluddin. Sudah dibukukan, judulnya Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat. Buku tersebut dilansir pada 2011.

Thomas adalah profesor riset astronomi-astrofisika dan bekerja di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Dia pernah pula menjadi anggota tim pakar astronomi untuk penyusunan Naskah Akademik Usulan Kriteria Astronomis Penentuan Awal Bulan Hijriyah yang diinisiasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama, dan organisasi massa Islam. 

Salah satu data dalam naskah akademik yang digarap pada 2015 itu menyatakan:

Dari hasil rukyat jangka panjang selama ratusan tahun, diketahui bahwa elongasi minimal agar hilal cukup tebal untuk bisa dirukyat adalah 6,4 derajat (Odeh, 2006). Data analisis hisab sekitar 180 tahun saat matahari terbenam di Banda Aceh dan Pelabuhan Ratu juga membuktikan bahwa elongasi 6,4 derajat juga menjadi prasyarat agar saat maghrib bulan sudah berada di atas ufuk (lihat dua grafik berikut ini). Pada grafik terlihat bahwa pada elongasi 6,4 derajat, posisi bulan semuanya positif, sedangkan dengan elongasi kurang dari 6,4 derajat ada kemungkinan bulan berada di bawah ufuk atau ketinggian negatif.

Naskah akademik itu merujuk juga tren data internasional, yang dinyatakan sebagai berikut:

Dari data rukyat global, diketahui bahwa tidak ada kesaksian hilal yang dipercaya secara astronomis, yang beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat atau tinggi bulan saat matahari terbenam tidak ada yang kurang dari 3 derajat.

Data Tren Rukyat Global - (Sumber: Naskah Akademik Usulan Kriteria Astronomis Penentuan Awal Bulan Hijriyah)

Thomas dan kawan-kawan merujuk juga analisis lain berdasarkan kriteria hipotetik yang dikenal sebagai "kriteria 29", terhadap data posisi bulan selama sekitar 180 tahun.

Dengan asumsi bila ijtimak sebelum maghrib sebagai tanggal 29, maka 28 hari sebelumnya adalah tanggal 1. Jika ada jeda hari antara tanggal 29 dengan tanggal 1 bulan berikutnya maka ada penambahan hari (tanggal 30) atau istikmal.

Tren Data Posisi Bulan Berdasarkan Kriteria 29 - (Sumber: Naskah Akademik Usulan Kriteria Astronomis Penentuan Awal Bulan Hijriyah)

Dari sejumlah data tersebut, Thomas dan kawan-kawan mengusulkan revisi kriteria 2-3-8 ala MABIMS. Yang diajukan, kriteria wujudul hilal adalah elongasi bulan minimal 6,4 derajat dan tinggi bulan minimal 3 derajat. 

Masuknya awal bulan—tak hanya Ramadhan—, diusulkan dalam naskah itu bisa ditentukan dengan menggunakan garis tanggal berdasarkan kriteria tersebut atau menggunakan posisi uji dengan area (markaz) Pelabuhan Ratu, Banda Aceh, dan Makkah. Markaz Makkah dihisab untuk memperkirakan potensi perbedaan hari Arafah dan Idul Adha.

Buat orang awam 

Namun, bagaimana bila tidak punya atau menguasai keilmuannya? Ada dalil umum yang bisa dipakai, yaitu mengikuti ulil amri alias pemimpin.

Bagi awam dan bahkan bukan awam, sah saja mengikuti apa kata pemimpin. Kalau sampai keputusan itu salah padahal sudah diikuti, tanggung jawab ada pada para pemimpin itu.

Itu kenapa, memilih pemimpin jadi penting. Bukan satu pemimpin tertinggi saja konteksnya. Perlu dilihat juga orang-orang di sekitarnya, baik sebelum maupun saat memimpin.

Kalaupun pemimpin dinilai tak punya kemampuan soal ini, harapannya ada orang-orang dengan keilmuan yang ada di bawah komando kepemimpinannya untuk memberikan saran.

Di sini pula posisi sidang isbat menjadi krusial. Itu pun, pada tahun-tahun lalu terbukti sidang ini belum dapat menyatukan awal Ramadhan, serta penentuan Idul Fitri dan Idul Adha.

Namun, terlepas dari cara yang mana yang mau dituruti atau diikuti, pada akhirnya ukhuwah Islamiyah semestinya juga tetap jadi pegangan utama. 


 M E N U :

 

2020

PADA 2020, awal dan akhir Ramadhan diperkirakan sama. Namun, bila merujuk kriteria Odeh dan Rekomendasi Jakarta 2017 ternyata ada hasil berbeda.

Muhammadiyah jauh-jauh hari telah mengumumkan hasil hisab mereka, Ramadhan 1441 H atau 2020 dimulai pada Jumat, 24 April 2020.

KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Petugas lembaga Falakiyah pondok pesantren Al-Hidayah Basmol, melakukan pemantauan hilal di atas masjid Al-Musariin di Jalan Al Hidayah Basmol, Jakarta Barat, Kamis (23/4/2020).

Hasil hisab Muhammadiyah tersebut tertuang dalam Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 01/MLM/l.0/E/2020 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1441 H, yang ditandatangani pada 27 Januari 2020.

Tak hanya awal Ramadhan, Muhammadiyah melalui maklumat tersebut telah pula mengumumkan akhir Ramadhan dan 1 Syawal 1441. Perhitungan mereka menyebutkan, Idul Fitri 1441 H bertepatan dengan 24 Mei 2020.

Bersamaan, mereka umumkan pula Idul Adha 2020 atau 10 Dzulhijah 1441 H. Dari hisab, Muhammadiyah menyebutkan bahwa Idul Adha 1441 H bertepatan dengan 31 Juli 2020.

Adapun hasil rukyat, termasuk dari NU, didapatkan pada Kamis (23/4/2020), yang langsung dibawa ke sidang isbat di Kementerian Agama. Hasil sidang isbat ini menyatakan bahwa Ramadhan 1441 H dimulai pada 24 April 2020. 

Baca juga: Kemenag: Referensi Hilal Awal Ramadhan 1441 Hijriah Terlihat di Indonesia

Thomas Djamaluddin yang sekarang juga adalah anggota tim hisab rukyat Kementerian Agama telah pula mengunggah data hisab global. 

Bila merujuk prinsip wujudul hilal yang digunakan Muhammadiyah dan kriteria ketinggian bulan 2 derajat yang dipakai NU, tulis Thomas di laman pribadinya, posisi bulan telah memenuhi kriteria penanggalan baru pada waktu maghrib, Kamis (23/4/2020).

Artinya, awal Ramadhan 1441 H bertepatan dengan Jumat (24/4/2020).

Hasil kriteria lain

Namun, Thomas memberikan data tambahan. Jika yang dipakai adalah kriteria Odeh dan usulan Rekomendasi Jakarta 2017 yang telah diakomodasi organisasi Persis, posisi bulan belum memenuhi kriteria baru pada waktu maghrib, Kamis (23/4/2020).

Menurut kriteria Odeh dan Rekomendasi Jakarta 2017, bulan pada maghrib 23 April 2020 belum memenuhi kriteria tanggal baru. - (DOK THOMAS DJAMALUDDIN)

Dua kriteria baru ini mendapati, Ramadhan baru akan dimulai pada Sabtu (25/4/2020). 

Meski demikian, kriteria yang dipakai Muhammadiyah, NU, Odeh, dan Rekomendasi Jakarta 2017 untuk penentuan Idul Adha justru sama.

Semua kriteria ini mendapati posisi bulan sudah memenuhi kriteria penanggalan baru pada waktu maghrib 21 Juli 2020. Artinya, Idul Adha 2020 akan bertepatan dengan 31 Juli 2020.

Laiknya seperti awam, ketika kriteria yang sama-sama punya dalil dan dasar ilmu ini tidak mendapati hasil yang sama, keputusan akhir adalah hasil sidang isbat dan keputusan pemimpin.

Rekomendasi Jakarta 2017, ungkap Thomas, telah pula menyaakan bahwa bila ada perbedaan karena beda kriteria atau beda hasil maka rujukan penanggalan adalah keputusan pemerintah sebagai otoritas tunggal.

"Demi persatuan umat," tulis Thomas.


 M E N U :