Transportasi umum nampaknya belum memiliki daya pikat bagi warga DKI Jakarta dan sekitarnya.
Kalimat Ayo naik angkutan umum! pun hanya menjadi slogan penuh harapan namun tidak berarti apa-apa.
Data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) tahun 2019 (belum ada data terbaru) mencatat, jumlah pengguna transportasi umum massal di Jabodetabek baru mencapai 30 persen dari keseluruhan perjalanan harian.
Selebihnya, pelaku perjalanan harian didominasi oleh kendaraan pribadi, baik roda empat atau roda dua.
Minimnya penggunaan transportasi umum massal, secara langsung menimbulkan kepadatan lalu lintas di jalanan.
Baca Juga: Memosisikan Diri sebagai "Manusia Tanpa Mesin" di Kota "Car-Oriented"
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut, kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di wilayah Jabodetabek mencapai Rp 65 triliun.
Namun, angka tersebut didasarkan pada perhitungan Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral-UGM) pada tahun 2013.
Sementara, BPTJ pada 2019 mengklaim, kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari kemacetan lalu lintas mencapai Rp 100 triliun alias setara dengan nilai investasi proyek delapan ruas tol di Jawa-Bali.
Pemerintah sendiri telah menargetkan, pengguna transportasi umum massal di Jabodetabek harus mencapai 60 persen dari keseluruhan perjalanan harian di tahun 2029 mendatang.
Target tersebut tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek.
Pertanyaan ini sangat relevan. Sebab, saat ini keinginan untuk berkontribusi mengurangi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya masih tertutup oleh kenyataan bahwa infrastruktur transportasi umum massal belum menarik minat orang untuk berpindah.
Aksesnya yang ribet dan melelahkan serta biaya yang boleh jadi lebih mahal dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi membuat kebanyakan orang berpikir berkali-kali untuk naik transportasi umum massal.
Mari kita telisik satu per satu tantangan tersebut…
Perspektif yang salah berdampak pada kebijakan yang tidak adil. Begitulah yang sering terjadi pada saat akses ke transportasi umum massal dibangun.
Di Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan, contohnya.
Meski berkontribusi besar dalam hal mengurangi kemacetan, pengguna kereta rel listrik (KRL) commuterline dituding sebagai biang kemacetan di Jalan Raya Lenteng Agung, depan stasiun.
Mereka memang harus menyeberang jalan melalui zebra cross terlebih dahulu untuk masuk atau keluar stasiun karena itu adalah satu-satunya akses.
Otomatis, kendaraan pribadi mesti melambat bila ada orang menyeberang. Penumpukan kendaraan pun tidak dapat dihindari.
Kondisi lalu lintas di depan stasiun seringkali jadi semakin parah akibat angkot dan bus kota yang memarkirkan kendaraannya secara semrawut.
Tahun 2014, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas usul Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta membangun jembatan penyeberangan orang (JPO) sebagai akses ke stasiun.
Pembangunan JPO setinggi lima meter dan panjang 100 meter itu disebut-sebut menjadi solusi atas keruwetan lalu lintas di jalan depan stasiun.
Baca Juga: Bikin Macet, Pintu Utama Stasiun Tanjung Barat Ditutup
Namun, rupanya JPO itu hanya solusi untuk pengendara kendaraan bermotor pribadi, bukan untuk pengguna commuterline.
Sebab, faktanya pengguna commuterline semakin sulit mengakses stasiun. Jarak semakin panjang, waktu tempuh semakin lama, dan butuh usaha lebih banyak.
Kompas.com membandingkan efektivitas mengakses stasiun antara melalui JPO atau menyeberang langsung.
Akses yang kami pilih adalah pintu masuk sebelah barat yang berada di ruas Jalan Raya Lenteng Agung ke arah Pasar Minggu.
Hasilnya sebagai berikut:
- Tanpa JPO : Hanya membutuhkan sekitar 13 langkah dalam waktu kurang lebih 6 detik.
- Lewat JPO : Harus menaiki 32 anak tangga setinggi 27 sentimeter, kemudian berjalan sekitar 60 langkah menyusuri lorong JPO dan menuruni 36 anak tangga. Total waktu yang dibutuhkan, yakni sekitar 1 menit 20 detik.
Bagi orang yang memiliki kondisi fisik normal, mungkin kondisi inefektivitas ini dapat dimaklumi, meski harus dijalani dengan cucuran keringat seperti yang kami alami. Apalagi percobaan ini kami lakukan pada tengah hari bolong.
Lantas, bagaimana ceritanya bila yang melalui akses itu adalah lansia, penyandang disabilitas, perempuan hamil atau orang yang menggendong anak?
Lantas, bagaimana ceritanya bila yang melalui akses itu adalah lansia, penyandang disabilitas, perempuan hamil atau orang yang menggendong anak?
Sita (25) adalah salah seorang ibu hamil yang pernah merasakan betapa menjengkelkannya menyeberang di JPO Stasiun Tanjung Barat.
Hal itu dialaminya ketika sedang mengandung pada sekitar 2018-2019 silam.
"Engap, begah, capek banget. Setiap habis ngelewatin anak tangga, pasti berhenti dulu, baru lanjut terus, nanti berhenti lagi. Pas nyampe peron jadi ngos-ngosan dan kadang basah kuyup karena keringat," kenang dia saat menceritakan pengalamannya kepada Kompas.com.
Rianti (28) mengungkapkan hal senada. Tempat kerjanya ada di Jalan TB Simatupang. Saat hamil pada sekitar awal 2019, Rianti kerap menghindar turun di Stasiun Tanjung Barat saat berangkat kerja dengan KRL commuterline.
Demi menghindari JPO yang ‘menyeramkan’ itu, Rianti pun terpaksa turun di Stasiun Pasar Minggu, satu stasiun setelah Stasiun Tanjung Barat.
Jarak Stasiun Pasar Minggu ke tempat kerja Rianti tentu lebih jauh ketimbang dari Tanjung Barat.
Karena harus turun di Stasiun Pasar Minggu, waktu tempuh perjalanan dari rumah ke kantor yang dilakukan Rianti jadi lebih lama dibanding saat ia diantar suaminya dengan kendaraan pribadi.
Pengalaman menjengkelkan mengakses transportasi umum massal bukan hanya terjadi di Stasiun Tanjung Barat saja.
Akses integrasi antarmoda yang tidak efisien juga bisa ditemui di Stasiun Cawang.
Letak Stasiun Cawang berada dekat dengan Shelter Transjakarta Cawang-Cikoko. Namun bukan berarti pengguna bus transjakarta yang hendak berpindah moda dapat mengaksesnya dengan mudah.
Terdapat lorong dengan lebar tak sampai satu meter dan panjang hampir 100 meter yang biasanya jadi akses bagi penumpang commuterline yang ingin melanjutkan perjalanan dengan bus transjakarta ke arah Pancoran.
Minimnya pencahayaan di lorong tersebut membuat suasana tak nyaman. Apalagi pada malam hari.
Usai melalui lorong sempit itu, penumpang juga harus menaiki 24 anak tangga untuk sekedar sampai di pinggir jalan MT Haryono.
Setelah menaiki 24 anak tangga, penumpang mesti kembali berjalan kaki lagi sejauh sekitar 100 meter untuk bisa mengakses JPO.
JPO halte transjakarta Cawang-Cikoko sendiri memiliki total 65 anak tangga.
Bila hendak keluar stasiun melalui akses sisi Jalan MT Haryono arah Cawang, maka jumlah anak tangga yang harus dinaiki lebih banyak, yakni mencapai 49 anak tangga.
Total waktu tempuh yang dihabiskan untuk sekedar berpindah dari stasiun ke halte mencapai sekitar lima menit di luar waktu menunggu armada.
Di tengah cerita tidak nyamannya akses ke transportasi umum massal di Jabodetabek, ada beberapa yang tidak semenjengkelkan itu.
Salah satu stasiun KRL yang memiliki akses efisien dapat ditemui di Stasiun Universitas Pancasila.
Di stasiun ini, akses keluar masuk stasiun menggunakan penyeberangan model pelican crossing. Jadi, penumpang bisa berpindah ke halte transjakarta atau moda transportasi lain dengan cepat tanpa membuat lelah.
Buruknya akses integrasi yang sering dikeluhkan pengguna transportasi umum massal juga ada di Semanggi, tepatnya di JPO penghubung Shelter Semanggi dan Shelter Bendungan Hilir.
"JPO terpanjang di Jakarta, mungkin di Indonesia. Tantangan melewati JPO Semanggi hanya bisa dikalahkan oleh tantangan melewati halte TJ Ciledug-Tendean, Dua2nya bikin dengkul copot," tulis salah seorang pengguna twitter, @matteo_ardhitio lewat kicauannya pada 1 Agustus 2020.
"JPO terpanjang di Jakarta, mungkin di Indonesia. Tantangan melewati JPO Semanggi hanya bisa dikalahkan oleh tantangan melewati halte TJ Ciledug-Tendean, Dua2nya bikin dengkul copot," tulis salah seorang pengguna twitter, @matteo_ardhitio lewat kicauannya pada 1 Agustus 2020.
Mega (30) adalah satu dari sekian banyak warga pengguna bus Transjakarta yang kerap menghindari JPO Semanggi.
Ia lebih memilih naik Transjakarta lintas koridor yang tak mengharuskan penumpangnya transit di JPO Semanggi.
Sebagai informasi, JPO di Semanggi adalah jembatan akses penghubung untuk penumpang bus transjakarta untuk berpindah dari koridor 9 ke koridor 1 maupun sebaliknya.
"Kalau dari koridor I mau ke koridor 9 aku lebih pilih turun di Karet buat nunggu bus yang langsung tanpa transit. Arah sebaliknya juga begitu. Tujuannya sama, buat menghindari JPO Semanggi," tutur Mega kepada Kompas.com.
Layanan bus transjakarta lintas koridor sendiri diketahui baru banyak beroperasi sekitar tahun 2016.
"Kalau dulu sekitar 2014-2015 bus yang nyambung langsung dari koridor 1 ke 9 masih sedikit. Tapi sejak armadanya banyak, aku sudah enggak pernah lagi transit-transit di JPO Semanggi," ucap Mega.
JPO Semanggi memiliki panjang sekitar 500 meter. Ketika hujan, permukaannya cukup licin bagi tapak alas kaki tertentu sehingga bisa berbahaya bagi orang yang melintas.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan tim Kompas.com, waktu tempuh yang dihabiskan untuk melalui JPO ini sekitar tujuh menit.
Ditilik dari sejarahnya, JPO Semanggi yang tak efisien itu sebenarnya tidak perlu dibangun bila usulan pembangunan halte penghubung di bawah kolong Bundaran Semanggi disetujui.
Pada 2008, Dinas Perhubungan DKI Jakarta diketahui mengusulkan pembuatan halte penghubung di kolong Bundaran Semanggi.
Pemilihan lokasi di kolong Bundaran Semanggi itu bertujuan agar perpindahan penumpang dari koridor 1 ke Koridor 9 maupun sebaliknya bisa lebih efisien.
Namun, usul ini ditolak oleh Tim Penasihat Arsitektur Kota (TPAK) Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan DKI Jakarta. Alasannya, Bundaran Semanggi termasuk situs arsitektur kota yang tidak boleh ditambahi bangunan apapun.
Baca Juga: JPO di Semanggi Tak Efisien
Terlalu banyaknya akses transportasi umum yang mengandalkan JPO ini sudah sering dikeluhkan oleh para pegiat transportasi, salah satunya Adriansyah Yasin Sulaeman.
Lewat twitter pribadinya yang diunggah pada 14 Agustus 2020, Co-Founder Transport for Jakarta ini sempat mengkritik rancangan JPO di desain kawasan transit oriented development (TOD) yang dibuat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk stasiun-stasiun LRT Jabodebek.
Baca Juga: Jembatan Semanggi Itu Keramat, Harus Steril dari Bangunan Apapun
Dan JPO! Sumpah gue jujur sudah capek dengan konsep integrasi yang jawabannya hanya JPO!
— Adriansyah Yasin Sulaeman (@adriansyahyasin) August 14, 2020
Kesempatan bangun ruang publik yang luas disekitar stasiun akhirnya hanya jadi JPO. Jalan dibawah tetap didominasi mobil, pedestrian ngalah disuruh keatas/bawah. Padahal TOD itu sebaliknya pic.twitter.com/PFJHe2XYy6
Selain akses berupa JPO, fasilitas yang dirasa kurang nyaman bagi pengguna transportasi umum juga dapat ditemui di stasiun-stasiun jalur layang dari Cikini hingga Jayakarta. Latar belakang kasusnya sama seperti JPO Tanjung Barat.
Sejak sekitar tahun 2014, atas alasan pengurangan kemacetan lalu lintas dan keselamatan pengguna KRL, trotoar di depan stasiun diberi pagar.
Hal ini semakin membuat akses keluar-masuk tidak efisien dan bahkan di beberapa stasiun hanya memindahkan titik kemacetan.
Pemagaran selalu jadi jawaban cepat kita yang gak solutif
— Adriansyah Yasin Sulaeman (@adriansyahyasin) December 26, 2020
Mau punya stasiun yg ramah pedestrian? Ya beri pedestrian prioritas. Effort dikit buat nata ojol biar tertib. Yang bikin semrawut mereka karena memang tidak diberikan space kok yg dikorbankan pedestrian?
Akibatnya, tak sedikit penumpang KRL yang memilih melompat pagar untuk masuk atau keluar dari area stasiun.
Aksi pelanggaran itu diakui pernah dilakukan salah satu pegiat transportasi umum, Andreas Lucky Lukwira.
Aksi yang dilakukannya merupakan refleksi dari keinginan pengguna transportasi umum massal agar akses lebih adil dan efisien.
Andreas sendiri pernah melayangkan protes ke pihak PT KAI Commuter Jabodetabek atas kebijakan memagari trotoar itu. Namun, KCJ tetap bergeming.
"Kita pernah protes karena zebra cross-nya (untuk akses keluar masuk stasiun) justru dipindah ke lokasi rawan di putaran balik," kata Andreas yang juga mengelola akun twitter @NaikUmum ini kepada Kompas.com.
Sikap KCJ sebenarnya bisa dimaklumi. Sebab, KCJ tidak memiliki wewenang atas penataan lalu lintas di luar stasiun. Kewenangan itu sendiri ada pada kepolisian maupun Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Engineering vs. Human behaviour, 0-9
— Adriansyah Yasin Sulaeman (@adriansyahyasin) December 25, 2020
This is when you design cities for cars, not for humans https://t.co/tHQ4q6c1MB pic.twitter.com/stVZx5WasP
Selain akses integrasi antar moda, faktor lain yang dianggap jadi permasalahan dalam dunia transportasi di Ibu Kota dan sekitarnya adalah waktu tempuh yang terkadang tak lebih cepat dibanding naik kendaraan pribadi. Apalagi, biaya yang dihabiskan terkadang juga lebih mahal.
Kompas.com juga melakukan perbandingan waktu tempuh dan biaya yang dikeluarkan antara naik transportasi umum dan mobil pribadi.
Waktu perjalanan sama-sama dilakukan pada pagi hari, tepatnya mulai pukul 06.35 WIB. Rute yang dipilih adalah dari salah satu perumahan yang berlokasi di Jalan Raden Saleh, Sukmajaya, Depok ke RSUD Pasar Minggu yang berlokasi di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan.
Kedua lokasi tersebut terpisah jarak sekitar 15 kilometer.
Berikut rincian hasilnya:
Pertama-tama, kami harus jalan kaki ke luar komplek perumahan terlebih dahulu yang memakan waktu sekitar sembilan menit.
Setelah sampai di depan komplek, kami menunggu angkot sekitar lima menit. Adapun angkot yang ditumpangi adalah D09 yang melayani rute Cilodong-Stasiun Depok Baru.
Angkot merupakan satu-satu transportasi umum yang tersedia di kawasan Jalan Raden Saleh, Depok.
Jika enggan menggunakan angkot, maka pilihannya hanya ojek online dengan ongkos yang lebih mahal.
Angkot D09 adalah angkutan konvensional tanpa AC. Sopirnya masih bekerja dalam sistem setoran yang berdampak terhadap seringnya angkot berhenti di tempat-tempat tertentu untuk ngetem.
Sopir juga kadang menghiraukan kapasitas kendaraannya. Tak jarang angkot diisi lebih dari 11 orang pada jam berangkat atau pulang kerja.
Baca Juga: Biar Tidak Ngetem Hapus Sistem Setoran Angkot
Perjalanan ke Stasiun Depok Baru dengan angkot yang Kompas.com lalukan memakan waktu sekitar 14 menit. Ongkosnya Rp 5.000.
Dari Stasiun Depok Baru, perjalanan dilanjutkan dengan KRL commuterline menuju Stasiun Tanjung Barat. Perjalanan KRL memakan waktu 15 menit dengan biaya Rp 3.000.
Setelah sampai di Stasiun Tanjung Barat, perjalanan dilanjutkan dengan bus Transjakarta D21.
Waktu untuk menunggu bus lewat sekitar lima menit. Perjalanan dari Stasiun Tanjung Barat ke RSUD Pasar Minggu dengan bus Transjakarta memakan waktu sekitar 10 menit. Ongkosnya Rp 3.500.
Dengan demikian, total waktu tempuh yang dihabiskan adalah sekitar 1 jam 10 menit. Adapun, biaya yang dihabiskan sekitar Rp 11.500.
Pada percobaan ini, Kompas.com menggunakan mobil dengan konsumsi bahan bakar 12,7 kilometer per liter.
Jika bahan bakar yang dipakai jenis Pertamax, maka biaya yang dikeluarkan hanya sekitar Rp 708 per kilometer. Pertamax dijual pada harga Rp 9.000 per liter.
Kebanyakan mobil keluaran terkini menawarkan efisiensi bahan bakar yang lebih hemat ketimbang mobil-mobil lawas.
Selain bahan bakar yang relatif lebih hemat, bila menggunakan mobil, kami tidak harus berjalan kaki keluar komplek perumahan, berpindah-pindah moda ataupun naik turun JPO untuk sekedar bisa mengakses stasiun.
Baca Juga: Penyebab Mobil Boros
Total waktu tempuh dengan mobil lebih cepat, yakni sekitar 43 menit.
Untuk biaya, jika mengacu ke jarak dan konsumsi bahan bakar mobil, maka ongkos yang dihabiskan hanya sekitar Rp 10.620 (Rp 708 x 15 kilometer).
Jadi, dengan kenyamanan yang didapatkan mobil pribadi masih bisa lebih cepat sampai dan ongkosnya lebih murah ketimbang pengguna transportasi umum.
Perbandingan ini dilakukan mobil yang menggunakan bahan bakar Pertamax.
Jika pembandingnya sepeda motor dengan bahan bakar jenis Premium ataupun Pertalite, maka hitung-hitungan biaya dan waktu tempuhnya kemungkinan besar jauh lebih efisien.
*Catatannya, perbandingan ini tidak mutlak berlaku untuk semua orang. Semua bergantung pada banyak faktor, mulai dari lokasi tempat tinggal, tempat bekerja, kelengkapan moda transportasi di tempat tinggal dan tempat bekerja, jenis kendaraan pribadi yang dimiliki hingga kondisi lalu lintas.
Perbandingan ini kami lakukan atas masukan sejumlah narasumber yang berpendapat bahwa menaiki kendaraan pribadi lebih efisien dibandingkan transportasi umum.
Selain waktu tempuh dan biaya, tak efisiennya naik transportasi umum di Jabodetabek juga disebabkan ego sektoral antar pemangku kepentingan.
Dampaknya tentu saja ke masyarakat pengguna transportasi umum.
Akibat ego sektoral, layanan ke masyarakat jadi tak maksimal. Contohnya bisa dilihat pada layanan transjakarta D21.
Transjakarta D21 diluncurkan pada sekitar Maret 2019 seiring dengan telah beroperasinya MRT Jakarta. Layanan ini diluncurkan sebagai angkutan pengumpan ke stasiun-stasiun MRT.
D21 awalnya dirancang melayani rute Terminal Jatijajar-Lebak Bulus via Jalan Juanda Depok, Jalan Margonda, Jalan Lenteng Agung, dan Jalan TB Simatupang.
Namun, sejak awal beroperasi hingga saat ini, D21 tak kunjung melayani penumpang sampai Depok dan hanya beroperasi sampai halte UI.
Baca Juga: Pemkot Depok Bantah Tak Izinkan Operasional Lebak Bulus-Jatijajar
Pada April 2019, Kepala Dinas Perhubungan Depok Dadang Wihana mengatakan, layanan D21 belum beroperasi sampai ke Depok karena ada beberapa hal yang belum disepakati dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Di tengah ketidakjelasan kapan transjakarta D21 bisa melayani penumpang sampai ke Depok, muncul layanan bus lain bernama Jabodetabek Residence Connection (JRC).
Seperti D21, layanan bus yang dikelola oleh Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) ini juga melayani rute melintasi stasiun MRT. Namun, tarifnya jauh lebih mahal, yakni mencapai Rp 25.000.
Kompas.com pernah beberapa kali menjajal layanan transjakarta D21. Rutenye tak efisien.
Bus hanya melayani penumpang sampai flyover UI. Setelah itu, penumpang yang hendak ke Depok harus melanjutkan perjalanan dengan angkot.
Artinya, ada dua kerugian yang dialami penumpang. Pertama, harus melanjutkan perjalanan dengan angkutan yang tidak nyaman.
Kedua, harus mengeluarkan lagi biaya tambahan. Kondisi yang tentunya membuat para penggunanya merasa menggunakan kendaraan pribadi jauh lebih efisien.
Selain angkot, sebenarnya ada pilihan moda lain, yakni KRL. Namun, penumpang harus berjalan kaki terlebih dulu ke Stasiun UI yang jaraknya sekitar 900 meter dari halte bus.
Waktu tempuh yang dihabiskan untuk sekedar pindah dari halte ke stasiun saja bisa mencapai sekitar 15 menit menyusuri trotoar di sepanjang jalan masuk UI.
Tak cuma akses berjalan kaki yang terlalu jauh. Bila dibandingkan angkot, KRL cenderung tak efektif untuk penumpang yang hendak mengarah ke wilayah timur Depok.
Tak beroperasinya layanan transjakarta D21 beroperasi sampai ke Depok sempat dikeluhkan oleh para pengguna.
Mereka bahkan sempat mengadakan petisi di change.org yang diberi nama Izinkan Bus Transjakarta Rute 4B dan D21 Beroperasi di Depok.
Kompas.com sudah berupaya mengkonfirmasi permasalahan trayek bus transjakarta D21 ini, baik ke Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo maupun ke Kepala Dinas Perhubungan Depok Dadang Wihana. Namun, pertanyaan via whatsapp tak mendapat respon dari keduanya.
Namun salah seorang sumber mengatakan, tak kunjung beroperasinya transjakarta D21 ke Depok disebabkan Dishub DKI yang menolak pembukaan rute baru lintas wilayah.
"Katanya uang subsidi (transportasi) hanya untuk warga DKI aja," ujar sumber tersebut.
Loh min,bukannya D21 harusnya Terminal Jatijajar-Lebak Bulus? Mengapa jadinya UI-Lebak Bulus???
— Muhammad Diva Faundra (@diva_faoendra) March 22, 2019
Tak ada yang memungkiri salah satu faktor penyebab kemacetan Jakarta adalah banyaknya jumlah kendaraan dari wilayah-wilayah penyangga.
Data Kemenhub menyebutkan, pada 2018 setidaknya ada 49,5 juta perjalanan orang per hari di wilayah Jabodetabek.
Dari jumlah itu, sebanyak 23,4 juta orang bergerak di dalam kota Jakarta, sedangkan 20,02 juta lainnya merupakan warga Bodetabek yang bermobilitas dari luar kota menuju dalam kota Jakarta dan sebagian besar masih menggunakan kendaraan pribadi.
Baca Juga: Beri Insentif Buat Pejalan Kaki dan Penglaju!
Sejak 2019, Pemerintah Provinsi DKI gencar melakukan pembenahan kawasan sekitar stasiun pemberhentian KRL yang ada di wilayah Ibu Kota.
Sampai sejauh ini, penataan kawasan stasiun tahap pertama telah dilakukan di empat stasiun yaitu Stasiun Tanah Abang, Stasiun Senen, Stasiun Juanda, dan Stasiun Sudirman.
Untuk tahap kedua, penataan kawasan stasiun juga akan dilakukan di Stasiun Manggarai, Stasiun Tebet, Stasiun Gondangdia, Stasiun Palmerah, dan Stasiun Jakarta Kota.
Kabar terbaru, pemerintah pusat sudah menyerahkan kewenangan terhadap Pemprov DKI untuk bisa melanjutkan proyek penataan di seluruh stasiun yang ada di wilayah Jakarta.
Tujuan dilakukannya penataan kawasan sekitar stasiun KRL adalah untuk memperlancar mobilitas pengguna.
Baca Juga: Penataan Kawasan Stasiun Gondangdia
Langkah ini juga diharapkan bisa memancing semakin banyak masyarakat yang memilih naik transportasi umum.
Pembenahan kawasan sekitar stasiun kini mulai tampak. Akses stasiun yang dulu kurang nyaman untuk pejalan kaki kini mulai ditata, salah satunya di Gondangdia.
Pagar-pagar yang tadinya menutupi akses utama stasiun mulai dibongkar. Penumpang pun kini lebih leluasa saat keluar masuk stasiun.
Kendati demikian, pengamat transportasi Djoko Setijowarno berpendapat, upaya Pemprov DKI Jakarta membenahi kawasan stasiun bisa jadi akan sia-sia bila tak dibarengi dengan upaya serupa di wilayah-wilayah penyangga.
Integrasi antarmoda yang mudah dan nyaman, termasuk dalam pembayaran tiket, merupakan faktor penting untuk bisa menarik minat masyarakat menggunakan transportasi umum.
Karena itu, kata Djoko, selain pembenahan kawasan stasiun di Jakarta, hal lain yang juga tak kalah penting untuk diperhatikan adalah perbaikan angkutan pengumpan di wilayah-wilayah penyangga Jakarta.
Sebab, kata Djoko, bila angkutan pengumpan di wilayah penyangga tak dibenahi, mustahil akan memancing orang untuk menggunakan transportasi umum.
"Syukur-syukur nanti bayarnya hanya sekali dan bisa dibuat lebih murah. Jadi, integrasi tarif itu bukan naik bus bayar terus naik kereta bayar lagi, tapi cukup bayar sekali untuk bisa naik dua-duanya," kata Djoko saat berbincang dengan Kompas.com, di Jakarta, Kamis (1/4/2021).
Baca Juga: Milan, Kota dengan Jalanan Sempit, Tanpa JPO, dan Masih Eksisnya Trem
Negara berkewajiban untuk menghadirkan layanan transportasi umum yang bisa diandalkan, nyaman dan terjangkau.
Mengenai akses integrasi antarmoda yang nyaman di wilayah penyangga, Djoko memberikan sorotan khusus pada stasiun-stasiun LRT Jabodebek.
LRT Jabodebek ditargetkan mulai beroperasi pada 2022. Namun, Djoko menilai belum ada upaya serius dari pemerintah daerah wilayah penyangga untuk menyiapkan akses yang nyaman.
"Jangan sampai saat LRT beroperasi, akses menuju stasiunnya buruk. Di Harjamukti (sampai saat ini) masih gitu-gitu aja, gimana coba," ujar Djoko.
Djoko mengatakan, pemerintah daerah di wilayah-wilayah penyangga Jakarta harus mulai didorong untuk bisa menyediakan angkutan pengumpan yang nyaman, baik ke stasiun-stasiun KRL maupun LRT.
"Minimal Pemda itu membuat jaringannya. Kalau tidak sanggup (untuk menyediakan angkutannya) mereka bisa lapor ke pemerintah pusat," ujar Djoko.
Negara berkewajiban untuk menghadirkan layanan transportasi umum yang bisa diandalkan, nyaman dan terjangkau.
Negara tidak akan rugi bila menggelontorkan subsidi yang besar untuk layanan transportasi umum.
"Karena kalau kemacetan berkurang, penggunaan transportasi umum meningkat, impor BBM juga bisa dikurangi," lanjut dia.
Proporsional dalam menempatkan manusia di tata ruang kota merupakan kata kunci, sehingga tak ada manusia yang diharuskan mengalah demi kelancaran gerak manusia lainnya.
Sebab, kita semua sama-sama bergerak, kita semua sama-sama berhak.
Making cities delightful for walking, biking & transit is NOT a “war on the car.” It’s a fight for more choices, less dependency, and a better future. It makes cities work better for EVERYONE! pic.twitter.com/SGt0YxR8Aw
— Brent Toderian (@BrentToderian) May 3, 2021
-