NAMANYA "seksi" dan enak didengar, Vespa affinis. Ia sering pula dipanggil tawon endas atau tawon ndas (dari bahasa jawa endhas, yang artinya kepala). Konon, nama ini bermula dari sengatan yang kerap menyasar kepala "korban"-nya.
Dibanding tawon-tawon lainnya, V affinis memiliki tubuh yang sedikit lebih besar dengan panjang sekitar tiga sentimeter. Ia mudah dikenali lewat warna tubuhnya yang hitam dan gelang yang berwarna kuning atau oranye di perut.
Namun, tak seperti namanya yang "seksi", serangga berukuran tidak lebih besar dari ibu jari orang dewasa ini bisa membunuh manusia. Di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, misalnya, sengatan tawon endas menewaskan tujuh orang dalam dua tahun terakhir.
ADA saja orang yang tidak dapat membedakan tawon dan lebah, apalagi mengenal baik tawon endas. Kebanyakan orang bahkan menyamakan tawon dan lebah sebagai sama-sama serangga penghasil madu.
Pakar toksinologi Dr dr Tri Maharani, MSi SPEM dan pakar ilmu serangga dari LIPI Hari Nugroho menjelaskan, tawon ndas bukanlah penghasil madu. Tawon endas adalah predator yang memangsa larva serangga lain.
Sengat beracun adalah "senjata" tawon ndas, termasuk bila menyengat manusia. Apakah satu sengatan tawon ndas akan langsung mengancam nyawa manusia?
Dijelaskan oleh Tri, bila yang menyengat manusia hanya satu atau dua ekor tawon, sengatan V affinis tidak akan terlalu berbahaya. Korban sengatan akan mengalami alergi saja.
Bila tidak ditangani dalam tenggat 1 x 24 jam, hiperalergi akan berlanjut menjadi anafilaksis (reaksi alergi berat) yang berisiko sistemik atau merusak organ tubuh.
Gejala alergi dari sengatan tawon ini antara lain bengkak. Penanganannya, bisa dikompres es dan ditangani sendiri menggunakan obat-obatan antihistamin atau corticosteroid.
Namun, lain ceritanya bila yang menyengat berjumlah banyak, cerita yang nyatanya lebih umum terjadi. Korban bisa mengalami hiperalergi.
Bila tidak ditangani dalam tenggat 1 x 24 jam, hiperalergi akan berlanjut menjadi anafilaksis (reaksi alergi berat) yang berisiko sistemik atau merusak organ tubuh.
Kerusakan organ yang dapat terjadi dalam kondisi itu antara lain edema paru akut dan gagal ginjal akut dalam hitungan hari sejak korban tersengat tawon ndas.
Edema paru akut adalah kondisi ketika terjadi penumpukan cairan di paru-paru sehingga pasien kesulitan bernapas. Adapun gagal ginjal akut menyebabkan fungsi ginjal menurun drastis.
TRI yang juga penasihat kasus gigitan ular untuk Badan Kesehatan Dunia (WHO) berkata, V affinis juga sedang menjadi sorotan di negara-negara Asia lainnya.
Namun, berbeda dengan Indonesia, V affinis di luar negeri jarang sekali memakan korban jiwa manusia. Dalam setahun, V affinis biasanya hanya menyengat dua atau tiga orang dan membuat satu orang meninggal.
Sejatinya, edema paru akut dan gagal ginjal akut yang disebabkan oleh sengatan V affinis bisa diatasi menggunakan tatalaksana masing-masing untuk menyelamatkan nyawa korban.
Masalahnya, ahli toksinologi—membidangi racun—pun langka di Indonesia. Pada saat ini Tri adalah satu-satunya pakar toksinologi di sini.
Langkanya penguasaan ilmu toksinologi dikombinasikan dengan efek yang baru muncul setelah 2-3 hari membuat petugas kesehatan seringkali melewatkan risiko kematian dari sengatan tawon ndas.
Sering kali, pasien yang adalah korban sengatan tawon ndas hanya diberi perawatan jalan dan akhirnya meninggal di rumah karena terlambat ditangani lebih lanjut.
UNTUK menyelesaikan masalah ini, Tri mengusulkan untuk menjadikan penanganan kasus bahaya hewan sebagai program nasional. Bentuk perwujudannya adalah pendirian pabrik khusus pembuatan antivenom dan Pusat Racun atau Poison Center.
Baik pabrik maupun Pusat Racun akan menjadi wadah bagi para peneliti yang tertarik dengan bidang tersebut untuk meneliti dan mencari solusi terhadap racun hewan.
Pusat Racun juga akan menjadi universitas dan rumah sakit rujukan khusus racun hewan agar kasus-kasus semacam ini bisa diselesaikan dengan cepat.
Kondisi geografi Indonesia dan kekayaan hayatinya yang unik, ujar Tri, membuat hewan-hewan beracun di sini cenderung berbeda dengan yang ada di luar negeri.
Tri pun menggarisbawahi pentingnya kemandirian Indonesia dalam menangani kasus racun hewan.
Kondisi geografi Indonesia dan kekayaan hayatinya yang unik, ujar Tri, membuat hewan-hewan beracun di sini cenderung berbeda dengan yang ada di luar negeri. Oleh karena itu, antivenom dan penanganannya juga bisa jadi berbeda.
“Kita punya rumah sakit untuk infeksi, rumah sakit untuk jantung, tapi rumah sakit untuk toksinologi itu belum ada,” kata Tri.
Menurut Tri, rumah sakit toksinologi sudah menjadi kebutuhan di Indonesia.
"Karena, kalau ada kasus begini, kita rujuk ke mana? Kan rumah sakit olahraga juga ada. Jadi harusnya sudah waktunya kita punya rumah sakit toksinologi ini," tegas Tri.
ADA satu lagi yang perlu menjadi perhatian soal fenomena sengatan tawon ndas di Indonesia. Selain kurangnya pengetahuan petugas medis akan toksinologi, masifnya serangan tawon juga disebabkan oleh hilangnya habitat spesies ini.
Hari berkata, tawon ndas adalah spesialis dataran rendah atau kawasan dengan ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan air laut.
Tawon ndas adalah spesialis dataran rendah atau kawasan dengan ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan air laut.
Spesies ini tersebar di seluruh Asia Tropis, termasuk Indonesia, dan bisa hidup di berbagai tempat, seperti kawasan dan tepian hutan, tebing-tebing, bahkan permukiman warga.
Selain di Klaten, penampakan sarang tawon ndas di permukiman warga di Jawa Tengah juga telah dilaporkan di Solo, Sukoharjo, Boyolali, dan Sragen.
Meski demikian, Hari tidak sependapat bila ada yang mengatakan banyaknya kasus sengatan tawon yang sampai menelan korban jiwa di Klaten adalah karena ledakan populasi tawon ndas.
Hari menduga kuat, penyebab fenomena tersebut adalah semakin seringnya kontak antara manusia dan tawon ndas di Klaten. Dugaan tersebut muncul ketika Hari melakukan pemetaan serangan tawon ndas di Klaten.
Hasil pemetaan menunjukkan bahwa serangga ini telah melingkupi seluruh dataran rendah di Klaten, khususnya Klaten timur.
Ketika dibandingkan dengan peta tata guna lahan, terlihat bahwa kondisi Klaten yang menyerupai kota kecil lainnya—yakni grup-grup permukiman dikelilingi lahan pertanian—memang sangat cocok bagi tawon ndas untuk berkembang biak.
Tawon ndas yang dulunya tinggal di padang-padang yang luas berpindah ke permukiman warga dengan karakter seperti itu, ungkap Hari, diduga karena tertarik oleh banyaknya mangsa, yakni larva hama pertanian, di sawah-sawah.
Selain itu, rumah warga memberikan perlindungan ekstra bagi serangga ini terhadap cuaca dan pemangsanya, yaitu burung-burung seperti elang madu asia.
"Kalau karakter Klaten seperti itu (grup pemukiman dikelilingi pertanian), kan burung-burung juga hilang. Jadi, pengontrol alaminya sudah tidak ada," ujar Hari.
Dengan semakin seringnya kontak antara manusia dan tawon, tidak heran bila muncul konflik seperti kasus belakangan ini.
Misalnya, anak-anak yang iseng mungkin akan melempar batu ke sarang tawon. Lalu, orang dewasa yang tidak punya kemampuan malah memindahkan sarang tawon seenaknya. Alhasil, tawon yang merasa terancam kemudian menyerang manusia.
Ini, ujar Hari, mirip dengan konflik antara manusia dengan harimau di Sumatera.
“Itu kan juga tidak bisa dibilang populasi harimau bertambah banyak, tetapi ia mencari makan di wilayah manusia. Bisa jadi tawon ini juga sama. Jadi, belum tentu outbreak (ledakan populasi), tetapi sekarang dia berpindah ke lingkungan manusia,” katanya.
MENURUT Hari, solusi dari fenomena sengatan tawon endas adalah pengendalian terpadu. Tujuannya, mengontrol populasi tawon ndas. Namun, pengendalian hayati ini membutuhkan riset lebih lanjut.
Hari menilai, pembasmian total bukan langkah yang bijak. Karena, tawon ndas juga memiliki peran ekologi yang penting sebagai pembasmi hama alami.
Bila tawon ndas menghilang, bisa jadi hama menjadi tidak terkontrol dan menganggu pertanian warga setempat.
Lagi pula, hilangnya tawon ndas juga akan memunculkan spesies lain yang menggantikan tempatnya—sebagai pemangsa serangga—sehingga tidak menyelesaikan masalah.
Tentunya, pengendalian terpadu ini juga harus mengutamakan keselamatan manusia, sebagaimana yang telah dipraktikkan oleh Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Klaten.
Para petugas damkar akan berupaya memindahkan sarang tawon ke tempat yang lebih aman. Namun, bila sarang berada di sekitar warga dan berpotensi menyerang, langkah petugas damkar adalah memusnahkannya.
Masyarakat diharapkan juga lebih sadar untuk tidak melakukan perilaku-perilaku yang membuat tawon ndas merasa terancam.
Sayangnya, kemampuan damkar tidak sebanding dengan kecepatan perkembangbiakan tawon ndas. Indikatornya, kasus sengatan masih terus berlanjut hingga kini.
Dalam pengendalian terpadu, lanjut Hari, perlu dipikirkan juga soal sanitasi lingkungan. Pasalnya, sisa-sisa daging dan fermentasi di tempat sampah akan menarik datangnya tawon ndas.
Masyarakat diharapkan juga lebih sadar untuk tidak melakukan perilaku-perilaku yang membuat tawon ndas merasa terancam, seperti melempari sarang tawon dengan batu.
Dalam kondisi populasi tawon ndas belum dapat dikontrol seperti sekarang, kata Hari, masyarakat harus bisa "hidup berdamai" dengan tawon.
Masyarakat juga dianjurkan untuk rutin mengecek keadaan rumah seminggu sekali. Mereka diperbolehkan memindahkan sarang bila ukurannya masih kecil dan populasinya sedikit tanpa menunggu petugas damkar.
Namun, pemindahan tidak dianjurkan bila sarang sudah berukuran besar. Karena, populasi tawon di dalamnya bisa mencapai ribuan.
Terakhir, Hari berkata bahwa pengendalian terpadu bukan pekerjaan yang pendek dan mungkin butuh dua tahun atau lebih untuk terlaksana. Oleh karena itu, diperlukan juga dukungan dari pemerintah daerah setempat untuk menggerakkan seluruh potensinya.
“Jadi tidak hanya damkar yang memusnahkan sarang, tetapi juga dinas kesehatan, lingkungan hidup, dan dinas pertanian juga harus bergerak,” ujar Hari.