Narkoba menjamah berbagai kalangan. Dunia kampus tak terkecuali. Gudangnya para intelektual berada. Di sana, narkoba bergerak senyap tetapi masif.
Narkoba menggeliat dari tangan bandar besar hingga ke para kaki tangan mereka di dalam kampus. Mereka yang berada di kampus tahu, tetapi memilih tutup mata. Iming-iming sejumput uang menutupi aksi sindikat ini.
PADA 2014, petugas gabungan dari kepolisian dan Badan Nasional Narkotika Provinsi (BNNP) DKI Jakarta dua kali menggeledah kampus Universitas Nasional.
Penggeledahan terkait dugaan jaringan pengedar narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) di sana. Dari dua kali penggeledahan itu, disita 8,5 kilogram ganja.
Paket ganja pertama, ditemukan pada 13 Agustus 2014, sebanyak lima kilogram. Lalu, pada pada 19 Agustus 2014, ditemukan lagi 3,5 kilogram ganja.
Beberapa paket ganja tersebar di sejumlah ruang dan area kampus.
Sebagian ditemukan di gedung serba guna dan perpustakaan. Ada juga di ruang Akademi Pariwisata Unas, di sela pohon bambu, serta di dekat Studio Krem—tempat UKM Musik.
Kebanyakan paket ganja itu tersimpan dalam sebuah tas atau kantong plastik warna hitam. Selain ganja, juga ditemukan bong atau alat hisap sabu dan timbangan digital.
Lima tahun berlalu sejak hari itu. Sisi gelap kampus seakan makin terang-benderang setelah polisi getol melakukan razia narkoba ke sana.
Terbaru, dua mahasiswa universitas swasta di Jakarta Timur pada 28 Juli 2019 diamankan Polres Metro Jakarta Barat. Mereka kedapatan menyimpan ganja di ruang senat kampusnya.
Berdasarkan informasi dari tim penyidik, diduga kedua oknum mahasiswa ini merupakan pemasok ganja ke kampus-kampus yang ada di Jakarta.
Saat penangkapan, polisi menemukan puluhan kilogram ganja yang sudah dikemas dan siap edar di ruang senat tersebut.
Memprihatinkan. Mahasiswa yang seharusnya jadi agen perubahan malah terlibat jaringan peredaran barang haram.
Kampus, bukannya jadi kawah candradimuka para cendekia, malah jadi "surga" peredaran narkoba.
Kepala Unit (Kanit) 3 Narkoba Polres Metro Jakarta Barat AKP Achmad Ardhy mengatakan, oknum mahasiswa pengedar ganja di dalam kampus menjual ganja secara terang-terangan.
"Awalnya, kami pancing dia untuk transaksi di luar kampus, mereka enggak mau. Karena merasa di dalam kampus lebih aman, mereka tarik kami dan transaksi di dalam (kampus)," kata Ardhy di Mapolres Jakarta Barat, Senin (29/7/2019).
Menurut Ardhy, para pelaku menunjukkan barang-barang haram dagangannya secara terang-terangan. Lokasinya, salah satu ruang di fakultas kampus.
Selain itu, dari pengakuan kedua tersangka berinisial PHS dan TW, setiap sore beberapa mahasiswa menghisap ganja di sekitar kampus.
"Di taman kampus dipakai buat ngeganja. Selesai kuliah, mereka pasti pakai," lanjut Ardhy.
Oknum mahasiswa pengedar ganja di salah satu kampus di Jakarta Timur yang berinisial PHS, bahkan diketahui sebagai mahasiswa aktif dan berprestasi.
"Yang di samping saya ini adalah salah satu mahasiswa berprestasi. Dia memiliki IPK lebih dari 3," kata Kepala Satuan (Kasat) Narkoba Jakarta Barat AKBP Erick Frendriz di Mapolres Jakarta Barat, Senin (29/7/2019).
Ardhy menambahkan, PHS punya "jabatan" sebagai kepala bagian organisasi besar di kampusnya.
Latar belakang PHS adalah keluarga berkecukupan. Dengan latar belakang ini, polisi masih mendalami lebih lanjut motif PHS menjual ganja.
Di antara jenis narkoba yang ada, ganja disebut sebagai produk paling laris dipakai mahasiswa.
"Ganja itu dianggap paling murah harganya, paling mudah didapat dibanding jenis narkoba lain," kata Kasat Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan Kompol Vivick Tjangkung.
Satu lipat ganja, sebut dia, dijual seharga Rp 50.000 hingga Rp 70.000. Peredaran narkoba di kampus pun dilakukan antar-teman.
"Kenapa murah? Kita tahu uang jajan mahasiswa itu yang diberikan orangtua itu enggak begitu banyak. Jadi mereka bisa menyisihkan untuk membeli itu," lanjutnya.
Awalnya, seorang mahasiswa menawarkan barang haram kepada rekannya. Tawaran berlanjut ke teman yang lain lagi. Itu berlanjut sampai terbentuk jaringan terstruktur.
"Modus peredaran narkoba yang digunakan di kampus itu modus pertemanan. Mereka membuka jaringan pertemanan, komunikasi dari satu orang ke orang lain hingga membentuk satu komunitas," ungkap Vivick.
Para mahasiswa pengguna ganja biasanya menggunakan narkoba untuk mendapatkan sensasi efeknya. Alasan lain, menghilangkan kantuk atau lelah.
"Efek penggunaan ganja bisa sampai setengah jam. Mereka (mahasiswa) pun merasa sudah cukup," kata Vivick.
Menurut Vivick, para mahasiswa memakai ganja hanya untuk bisa cepat tidur. Namun, penggunaan ini cenderung bersambung dan berulang.
"Kalau mereka menggunakan itu (ganja), waktunya hanya sampai 2-3 jam, setelah itu mereka tersadar lagi. Lalu, mereka akan mengonsumsi lagi," ungkap Vivick.
Polisi, lanjut Vivick, mengetahui soal peredaran narkoba di kampus dari para bandar atau pengguna narkoba yang sudah tertangkap lebih dulu.
Kadang, ada juga informasi dari dalam kampus ke polisi. Razia narkoba ke kampus pun, ujar Vivick, dilakukan tanpa banyak woro-woro termasuk ke media massa.
"(Pakai) operasi tertutup. Operasi penyusupan harus aktif kita lakukan untuk menutup jaringan peredaran narkoba itu," ungkap Vivick.
Masalahnya, seluruh kampus di wilayah Jakarta ditengarai telah dimasuki jaringan narkoba.
"Karena itu, kami meminta manajemen kampus untuk membuka diri dan membiarkan kami masuk dan memutus peredaran narkoba di kampus," kata Vivick.
DARI terungkapnya "pasar" ganja di kampus, beragam pertanyaan lalu muncul. Misal, bagaimana bisa kampus selonggar itu dimasuki barang haram?
Pertanyaan lain, mengapa mahasiswa terjeblos ke dunia hitam bahkan menjual atau terlibat jejaring pengedar?
Kompas.com mewawancarai bekas pengedar ganja yang dulu adalah mahasiswa di salah satu kampus di Jakarta. Sebut saja namanya Charlie.
Lewat percakapan santai, Charlie bercerita dari awal mula terlibat urusan narkoba, alasan, hingga mengungkap aktor di balik bisnis barang haram tersebut.
Berikut ini obrolan dimaksud, dalam format tanya jawab:
Bagaimana mulanya Anda terjun di dunia peredaran narkoba?
Jadi kebetulan 2009 itu gua dikenalkan sama seorang bandar. Bandar ini kebetulan dia satu-satunya "pemain" di kampus.
Nah, awalnya gua dikasih bungkusan kecil-kecil. Bungkusan kecil kecil itu gua jual, nanti gua setoran.
Awalnya gua mulai karena gua suka dan awalnya gua beli rutin. Mau enggak mau gua kerjain.
Gua dikasih sekitar 50 bungkus, satunya Rp 25 ribu. Satu empel satu bungkus kecil, dan gua harus setoran setiap hari.
Karena pasar memang sudah jelas di kampus dan jelas banyak orang yang suka, gampang lah jualnya. Kawan gua banyak.
Ya alasanya itu, karena gua enggak punya duit rutin untuk membeli, akhirnya gua harus mengerjakan (menjual) karena ketika gua mengerjakan, gua dapat.
Berjalan waktu, karena dilihat gua bagus menjalakan manajemennya, gua ditawarin partai besar. Sekilo!
Apakah harus dari mahasiswa internal yang menjadi “pemainnya”?
Jadi kalau di kampus ini sistemnya harus tetap senioritas. Pada saat itu enggak boleh kami sembarangan beredar.
Tidak boleh ada anak (luar kampus) masuk mau main, tidak boleh. Karena kalau itu membahayakan "pergerakan" di kampus.
Karena kalau banyak pemain tidak dikontrol, itu membahayakan. Harusnya sentral, satu orang yang kuasain, seperti itu.
Makanya itulah yang bikin kampus itu susah dijebol, karena (pengedar) satu orang, tidak sembarangan. Jadi tidak kayak pasar, enggak semua bisa masuk.
Jadi kalau pemakai beli di kampus akan tahu barang itu dari mana?
Tahu. Pasti tahu. Sumbernya pasti dia, otaknya satu.
Karena kalau ada yang baru datang itu disikat, diintimidasi. Bisa karena ada senior kan. Kan ada yang duluan main.
Jadi kayak aku. Aku ini enggak bisa langsung main. Ada proses.
Berjalan waktu satu tahun, aku masih ada bos. Aku dikenalkan sama satu orang.
Karena dilihat aku bagus manajamennya, aku dikenalkanlah aku sama orang dari dalam penjara.
Kapan mulai dikenalkan dengan seseorang dari dalam penjara yang Anda sebut sebagai “Bos”?
Itu tepat pas bisnis aku maju banget, pas lagi agak naiklah. Dari dulunya anak buah, agak naiklah. Itu sekitar tahun 2010. Setahun proses, aku ketemu bos di penjara.
Sekarang orang ini sudah keluar, tapi aku dihubungkan ke anak buahnya. Anak buahnya ini sekarang masuk lagi (penjara).
Jadi itulah yang bikin aku menghambat, karena jalurku mati. Karena sistem ini jalur, kami tidak bisa pindah jalur.
Aku main itu bisa sekitar 200 kilogram. Itu kusimpan di kampus semua. Enggak ada barang (dijual) keluar satu pun. Dalam kampus semua, 200 kilo!
Dari pengedar kecil sampai dapat dipercaya menjual 200 kilogram, berapa penghasilan Anda?
Waw, gila, sangat gila!
Gua bisa hidup mewah. Ke mana-mana gua jalanin. Jakarta, hotel mana (yang belum) gua tidurin? Karena aku merasa hidup tidak nyaman, pindah-pindah hotel, karena punya duit kan.
Dulu aku di kampus itu bisa sekitar 2 kilogram habis satu hari.
Berapa keuntungan per hari?
Kalau per hari aku bisa megang sekitar Rp 3 juta sampai Rp 5 juta. (Pendapatan) kotor itu.
Bersihnya, itu bisa di tangan aku setengahnyalah, Rp 2 juta sama Rp 3 juta.
Tapi itu enggak semua pure sama aku ya. Aku ngebagi lagi. (Bagi) dari sekuriti kampus sampai OB, sampai pembersih kampus, tukang kebun, semuanya "kusiram".
Itu yang buat mereka nutup mata. Mereka tahu, tapi pura-pura enggak ngeliat aja.
Mungkin lebih besar yang kukasih daripada yang dikasih kampus.
Berapa “nyiramnya“?
Sekuriti cepek (Rp 100.000) sehari. Kalau untuk office boy, tukang-tukang sapu ini, sehari kukasih gocap (Rp 50.000).
Terus, kalau ngelarin bahan kukasih Rp 100.000 satu bahan. Jadi (aku) enggak maruk. Jadi mereka menjagaku.
Beberapa kali aku dengar selentingan di depan kampus ada yang tanya aku, sekuriti membelokkan.
“Kenal si ini enggak? Enggak kenal.”
Beliau menjaga saya juga kan, mungkin dia pikir saya aset juga, kan.
Apa mungkin Anda meraup puluhan juta per bulan?
Sangat bisa. Bisa banget.
Lalu kapan mulai menjual barang itu ke luar kampus?
Aku akhirnya mulai beranjak keluar itu ketika ada perintah dari "dalam". Dari penjara.
“Tolong bantu saya lempar ke kampus sebelah”. Saya bilang, “Gua enggak kenal orangnya,”.
”Udah nanti arahan saya. Kamu antar saja. Nanti kamu taruh ke situ. Kamu kasih aja,”.
Itu akhirnya yang membangun jaringan. Jadi kami saling berhubungan dengan univeristas lain.
Apa kriteria kampus yang bisa disusupi narkoba?
Zamanku dulu mereka tertutup dengan gerakan. Gerakan politik. Anak sekarang kan sudah tidak ada pergerakan politik.
Zaman kami dulu ada pergerakan politik. Jadi ada demonstran. Jadi kemungkinan polisi untuk membobol itu agak sedikit kecil. Beda kalau sekarang kulihat.
Jadi dulu kalau polisi mau membobol kampus itu berpikir, kan mahasiswa-mahasiswanya kan demonstran, jadi mungkin dilihatnya lebih kampus-kampus aktivis, lebih ke situ.
Jadi aku aman, jadi aku (ikut) demo.
Aku pernah kejadian satu cerita lucu dan ini sangat-sangat berkesan dalam hidupku.
Pernah satu saat aku bawa tas (isi ganja). Di samping kampus aku sudah dipegang polisi. Sudah ditangkap sama polisi. Dipegang, istilahnya.
Padahal dalam tasku isinya ganja sekitar dua kilo sama tiga kilo lah, (lengkap) sama timbangan.
Dia (polisi) tanya, “Apa ini? Apa ini ?”. Gua sebutin selebaran, “Ini selebaran, Pak. Bapak mau ngapain?”
Kebetulan pada saat itu kami lagi aksi, aksi tolak (kenaikan harga) BBM, (kasus) Century, dan di situ ada saya.
“Kita mau demo nih”. Kata polisinya, “Oh iya, iya, mas.”
“Bapak jangan larang-larang ya, nanti saya demo, nih,”.
Hanya bentuk ancaman saja sebenarnya, dan berhasil. Karena apa? Mereka tuh ada bargain sama saya.
Nanti demo agak lama, mereka (polisi) samperin saya, bilang “Tolong diberhentiin dong mas (demonya).” Saya berani berhentiin (demo).
Jadi di situlah kami punya bargain sama dia. Gua enggak pernah ngerepotin lu, lu jangan ganggu gua. Pada saat itu yaa…
Ada kendalakah ketika Anda berusaha masuk ke kampus-kampus lain ?
Kalau kendala sih enggak ada. Karena kebanyakan kami (pengedar) ini dibangun untuk jadi jaringan. Jaringan kami satu nih bosnya, si ini.
Rupanya bosku ini punya kaki juga di kampus-kampus lain. Jadi kami kayak dipertemukan.
Contoh untuk bulan ini turun ganja di kampus A, akulah yang atur. Untuk tiga bulan ke depan turunlah di kampus B, mereka lah yang ngatur.
Tiga bulan lagi di kampus C turun, orang sana lah yang bagi ke kampus kampus lain.
Hanya jual ganja?
Kalau yang kuedarin ganja sama sabu. Ekstasi itu sempat ditawarin, tapi aku enggak punya pasar.
Bosku punya putau, punya sabu, tapi dia spesialis ganja. Dia punya ineks, dulu bahasanya "kancing". Cuma aku enggak punya pasar, makanya aku enggak terima.
Bagaimana cara Anda bedakan mahasiswa yang bisa dikasih dan mana yang enggak bisa dikasih?
Awalnya sih ku lihat gini. Pertama, aku enggak mau meminta duit mereka. Aku memberikan cuma-cuma. Enggak pernah ada sepeser pun kuminta duit mereka.
Bagiku, prinsipku, semua harus mempunyai (ganja). Karena aku kan berangkat dari orang yang enggak punya duit, sampai harus kerjain beginian lah aku biar bisa aku make.
Nah aku merasa langsung ingat aku dulu. Pokonya tanpa ada duit, mereka harus bisa (pakai).
Kukasihkan lah. Ketika mereka seneng, kan (promosi) dari mulut ke mulut mereka yang sampein. Temen-temen yang sampein. Ini strategiku.
Zaman dulu ganja bisa kukasih Rp 15.000, asal jangan goceng (Rp 5.000) aja.
Bagaimana Anda tahu orang yang doyan, mana yang enggak ? Kan juga ada saja yang menolak ?
Iya awalnya aku suka bergaul. Akhirnya kulihat-lihat, kumainkan strategiku ini. Akhirnya mereka yang samperin aku. Bukan aku malah yang masuk.
Pernah ada orang datang samperin saya mau ngambil. Saya tanyakan, “Siapa lu? Lu kenal gua dari mana?"
Karena gua enggak kenal orang, tapi orang tahu saya. Jadi memang dari mulut ke mulut. Paling yang kutawarkan ada sekitar 10 atau 15 orang lah. Itu orang terdekatku.
Gua simpan barang di kelas-kelas kok. Nah yang ngambil itu OB, cleaning service.
Dosen sebenarnya tahu enggak?
Nah… jadi dosen ada beberapa tahu. Kenapa kubilang tahu?
Beberapa kali aku kegep (terpergok), sebenarnya. Ketahuan sama dosen, kabur-kaburan.
Ada satu dosen, dia ngeliat saya lagi buka banyak, cuma ditendang (narkobanya).
Mengapa dosen "melindungi"? Apa karena ada dosen pemakai juga?
Aku enggak ngerti juga ya, apa karena dia lihat saya anak gerakan? Anak aktivis?
Karena kan saya kritisi kampus kerjanya. Jadi kami berkarya. Kerjaan kami bukan cuma mabok, diam, tapi (juga) bagaimana kami berdiskusi.
Jadi istilahya, “Lu tidak kosong, tidak bodoh. Lu boleh make tapi jangan bodoh.” Itu (citra) yang kami bangun dulu.
Setiap angkatan katanya punya pegangan sendiri. Bagaimana cara milih perwakilan per angkatan?
Itu salah satu yang saya lakukan. Setiap angkatan, gua punya kaki. Dulu gua kayak begitu dari 2009, gua ada kaki, terbaik 2008. Lalu ada kaki terbaik gua, 2010 ada.
Caranya gampang. Gua biasanya ngetes. Kadang gua kasih cuma-cuma, gua kasih barang dan gua suruh jualin. Nah gua perhatiin, wah ini bisa nih (menjualnya).
Ketika dia tidak benar, gua stop. Tidak benar maksudnya tidak sesuai dengan setorannya.
Kalau zaman kami (setoran) sekitar Rp 5 juta per satu kilo. Kalau aku ke bos, aku kasih Rp 2,2 juta .
Banyak yang sampai menawarkan diri ke saya, ke bos saya. Cuma terkadang kan bos ini enggak mau. Ini jaringan hitam, kalau kita bermasalah, nyawa taruhanya.
Kalau cara mengelabui polisi saat bawa barang ke luar kampus bagaimana?
Gua enggak pernah bawa ke luar. Ke luar tuh gua bersih. Itu udah aturan main gua.
Ada yang bawa barangnya, bukan gua. Bisa nanti orang yang paling culun gua suruh, tapi dia enggak tahu isinya itu.
Berarti bisa saja orang yang bukan pemakai?
Bisa.
Itu bawa ke mana?
Nah itu ke luar, pokoknya ke luar dari area kampus. Biasanya yang gua bawa ke luar itu (jumlahnya) enggak mau kecil. Harus gede, harus sesuai dengan risiko gua.
Jadi sebenarya kampus ini tempat paling aman ya?
Paling aman. Karena gua bisa megang semua, dari sekuriti, cleaning servis, semua gua pegang, terkontrol, semua tersistem.
Jadi kalau sudah tercebur di sana apa benar enggak bisa keluar dari dunia hitam?
Nah itu yang bisa gua patahkan. Sebenarnya balik ke orangnya.
Bisa. Aku bisa (keluar). Dengan cara, kubikin dia (bos) kecewa bahwa gua kerja udah enggak benar. Semua jaringan dia gua rusak.
Nah ini dirusak dengan cara saya tidak setor sama sekali. Membelot!
Kapan Anda keluar dari dunia hitam?
Aku keluar ini tahun 2015.
Anda melihat peredaran ganja di kampus sekarang seperti apa?
Pada saat itu bagus. Aman. Enggak seperti Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) sekarang ya. Kalau zaman Pak Jokowi nih kulihat benar-benar wow.
Sampai aku kepikiran yang masih bergerak di zaman Pak Jokowi itu orang gila.
Pertama, hukuman. Hukuman di Pak Jokowi hukuman mati. Zaman kami enggak ada hukuman mati.
Gara-gara era Pak Jokowi jadi salah satu pertimbangan Anda berhenti?
Saya takut hukuman mati, bro. Karena kan gua dari 2009 sampai 2015, zaman SBY. Jadi era Pak Jokowi sangat benar.
Sebagai mantan bandar, apa saran Anda untuk mahasiswa-mahasiswa yang masih ada di dunia hitam ini?
Gua suka tuh pertanyaanya. Saran gua janganlah pakai. Hancur masa depanmu.
Karena gua pernah terjaring di situ juga. Enggak ada gunanya. Hancur? Pasti.
Kita dibikin sakit. Kita dibikin enggak fokus. Jadi, kalau bisa, sudahlah.
Gua enggak menutup mata, sampai sekarang gua masih menggunakan. Tapi karena memang gua sudah sakit.
Tapi, untuk mereka yang belum pernah sentuh, jangan sentuh. Duit berapa pun di kantong pasti habis kalau sudah sakit.
PENGAKUAN Charlie di atas mengenai dirinya yang kini sakit akibat ganja bukanlah bualan.
Pada 21 September 2016, Kompas.com pernah memuat artikel "Beginilah Efek Samping Ganja pada Otak".
Dalam tulisan itu dijelaskan bahwa ganja menimbulkan berbagai efek samping. Misal, agitasi, kegelisahan, detak jantung dan tekanan darah meningkat, serta kejang.
Anggota Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Bidang Adiksi dan Rehabilitasi Kusman Suriakusumah mengatakan, mengonsumsi ganja pada dasarnya juga sangat mengganggu kejiwaan pemakainya.
Kusman mengatakan, kandungan utama ganja adalah zat bernama THC, sebutan untuk tetrahidrokanabinol.
Zat ini, lanjut dia, dapat menempel pada reseptor cannabinoid di seluruh tubuh, termasuk di otak.
Hal itu yang menyebabkan kerusakan otak pada pemakai ganja dan membuat pencandu mengalami gangguan jiwa.
“Kenapa ganja dilarang? Karena dia punya khas sendiri, dia bisa bikin orang sakit jiwa. Iya (dapat merusak otak),” kata Kusman di Gedung Wang, Jalan Pemuda, Jakarta Timur, Rabu (14/8/2019).
Namun, menurut Kusman, kekuatan kejiwaan seseorang dapat ditentukan tergantung pola asuh dari orangtua.
Jika orangtua mengasuh anaknya dengan baik dan penuh kasih sayang, kejiwaan anak cenderung akan baik.
Sebaliknya, jika orangtua mengasuh anaknya dengan tidak baik—misal penuh kekerasan—maka kejiwaaan seseorang pun bakal lebih rentan.
“Kita ini berbeda pola asuhnya dengan orangtua masing-masing. Kalau digebukin mulu sama orangtuanya ya rentanlah jiwanya. Bisa cepat dia sakitnya (sakit jiwa),” ujar Kusman.
Pemakaian ganja secara berlanjut dapat memunculkan efek sampai halusinasi.
"Indera penciumannya enggak ada bunga tapi (dia merasa) nyium (bau) bunga. Indera pendengaran seperti ada yang bisik-bisik," ujar Kusman.
Bahkan, kata Kusman, mengonsumsi ganja dengan dosis berlebihan hingga akhirnya menjadi pencandu akut dapat membuat seseorang keracunan dan meninggal dunia.