Saya mau tamasya, berkeliling-keliling kota.
Hendak melihat-lihat keramaian yang ada.
Saya panggilkan becak, kereta tak berkuda.
Becak, becak, coba bawa saya.
Saya duduk sendiri, sambil mengangkat kaki.
Melihat dengan asyik, ke kanan dan ke kiri.
Lihat becakku lari, bagaikan tak berhenti.
Becak, becak, jalan hati-hati.
~Becak, Ibu Sud~
BECAK. Kendaraan roda tiga dengan kapasitas dua penumpang ini kembali mengundang kontroversi.
Gara-garanya, Pemerintah DKI Jakarta tiba-tiba berencana mengizinkan lagi moda transportasi ini bebas hilir-mudik di Ibu Kota. Menurut Gubernur Anies Baswedan, becak masih dibutuhkan oleh sebagian warga.
"Kami akan atur agar kebutuhan warga akan transportasi difasilitasi. Becak tidak akan ada kalau tidak ada kebutuhan atas becak,” kata Anies, Minggu (14/1/2018).
(Baca juga: Gubernur Anies Akan Buat Rute Khusus untuk Becak)
Meski begitu, Anies menyatakan pula bahwa becak hanya akan diperbolehkan beroperasi di perkampungan. Itu pun, bila ada persetujuan dan atau kebutuhan warga. Menurut dia, kehadiran becak di Jakarta tak akan lagi seperti pada era 1970-1980-an.
"Jangan membayangkan becak ada di jalan-jalan di Jakarta, di jalan protokol, enggak. Jangan berimajinasi bahwa becak akan berada di jalan-jalan utama di Jakarta," ujar Anies, Selasa (16/1/2018).
(Baca juga: Anies: Jangan Berimajinasi Becak Akan Ada di Jalan-jalan Utama Jakarta)
Anies pun membantah rencananya itu berarti bakal sekaligus memungkinkan pengayuh becak dari luar DKI masuk ke Ibu Kota.
Dibutuhkan lalu dilarang
Kendaraan dengan daya dorong berasal dari kekuatan betis pengayuhnya ini bukan barang khas Jakarta, tentu saja. Namun, naik-turun perjalanan hidupnya di Jakarta bisa dibilang paling fenomenal.
Kompas edisi 26 Agustus 2001 menyebut, becak diperkirakan masuk pertama kali ke Indonesia pada awal abad ke-20. Awalnya, becak disebut sebagai alat bantu angkut para tauke—pedagang China—untuk kebutuhan angkutan barang.
Belakangan, becak bermetamorfosa menjadi transportasi buat orang. Di Jakarta, salah satunya, tentu saja. Tidak diketahui sejak kapan metamorfosa ini bermula.
Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Pola Dasar dan Rencana Induk 1965-1985 yang dilansir pada 1965 tidak mengakui becak sebagai angkutan umum.
Dalam catatan Kompas, becak juga pernah menjadi semacam industri strategis.
Setidaknya, bila itu merujuk instruksi Menteri Koordinator Kompartimen Perindustrian Rakyat (Komperindra) Azis Saleh, seperti dimuat Kompas pada edisi 18 November 1965.
Instruksi tersebut memerintahkan pembuatan alat transportasi yang dengan mudah dan murah bisa mengangkut barang-barang keperluan masyarakat. Pembuatannya digarap oleh Daya Yasa dan Usaha Industri Nasional Sumantri.
Daya angkut becak menurut instruksi itu adalah 250 kilogram. Harganya ditaksir Rp 900.000 per unit, dengan 80 persen komponennya adalah buatan dalam negeri.
Dari sini, kontroversi sudah mulai terendus. Saat Azis Saleh mengeluarkan instruksi soal pembuatan becak tersebut, di DKI Jakarta justru mulai menguar gelagat pelarangan becak.
Yang paling awal dari rangkaian regulasi pelarangan dan penertiban becak adalah Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Pola Dasar dan Rencana Induk 1965-1985. Peraturan ini tidak mengakui becak sebagai angkutan umum.
Lalu ada instruksi Gubernur DKI Jakarta pada 1970 tentang larangan becak diproduksi dan masuk ke Jakarta.
Di antara kedua regulasi tersebut, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sudah mulai pula menyingkirkan becak dari jalanan Ibu Kota. Kebijakan ini terus berlanjut hingga dekade-dekade berikutnya.
Puncak momentum penggusuran becak dari jalanan Jakarta terjadi pada era Gubernur Soeprapto. Per 1 Januari 1985, atas instruksi Soeprapto, becak dilarang lagi ada di jalanan Jakarta.
Pelarangan becak di Jakarta kemudian dikuatkan dengan penerbitan Peraturan Daerah Nomor 11/1988 pada era Gubernur Wiyogo Atmodarminto. Terbit pula instruksi dari gubernur bernomor 201/1988 untuk para wali kota terkait pelarangan becak ini.
Peraturan Daerah Nomor 11/1988 itu belakangan direvisi menjadi Peraturan Daerah Nomor 8/2007, sama-sama menyoal ketertiban umum. Aturan pelarangan becak masih tetap ada pula di hasil revisi, yaitu pada Pasal 29 dan Pasal 62.
Dimenangkan pengadilan
Namun, sampai hari ini becak masih saja ada, bahkan di Jakarta. Atas nama krisis ekonomi pada 1998, misalnya, Gubernur Sutiyoso pernah secara lisan mengizinkan becak beroperasi di jalanan permukiman, meski beberapa hari kemudian izin itu dibatalkan.
Putusan pengadilan pada 2000 membolehkan becak beroperasi di permukiman tertentu dan jalur khusus yang diatur pemerintah daerah.
Yang tidak banyak muncul di pemberitaan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 31 Juli 2000 memenangkan gugatan yang diajukan ribuan tukang becak.
(Baca juga: Penghapusan Operasional Becak di Jakarta dari 1936 hingga Kini )
Putusan pengadilan untuk perkara bernomor 50/Pdt.G/2000/PN.JKT.PST tersebut pada intinya membolehkan becak beroperasi di permukiman tertentu dan jalur khusus yang diatur Pemerintah Daerah DKI Jakarta.
Hanya tuntutan ganti rugi atas becak yang terlanjur dibuang ke laut dalam gugatan massal (action class) atas Pasal 18 Perda 11/1988—diajukan pada 17 Februari 2000—yang tidak dikabulkan hakim.
Sayangnya, Peraturan Daerah Nomor 8/2007 tentang Ketertiban Umum yang merupakan revisi dari Peraturan Daerah Nomor 11/1988 tidak menjadikan putusan ini sebagai rujukan. Aturan pelarangan becak pada aturan baru tidak beda dengan peraturan lama, hanya berubah posisi pasal.
Adil sejak dari pikiran
Hikayat becak di tanah Ibu Kota belum usai. Izin bagi becak beroperasi kembali di Jakarta barulah rencana. Namun, pro dan kontra yang justru sudah mengemuka, termasuk debat kusir tentangnya.
Persoalan keadilan yang disebut Anies sebagai dasar rencananya melegalkan lagi becak di Jakarta—sekalipun terbatas—pun menuai banyak pertanyaan. Kajian-kajian lawas soal regulasi ketertiban umum malah tak banyak disebut apalagi dikupas.
Dari ranah hukum, putusan yang memenangkan para tukang becak pada 2000 itu juga masih terus menjadi preseden, bahkan dalam putusan-putusan di Mahkamah Agung.
Dialektika soal wacana pengizinan becak beroperasi di Jakarta ini tak luput pula dari bahasan soal teknologi, eksploitasi manusia, dan efektivitas keberadaan becak di Jakarta.
Risiko kemacetan dan kesemrawutan, jadi tantangan berikutnya. Meski begitu, peluang pemunculan becak bagi industri pariwisata terselip pula di dalamnya.
Pada hari ini, nada riang seperti lirik lagu anak-anak pada pembuka tulisan ini terasa asing.
Namun, seperti apa pun lanjutan hikayat becak di Ibu Kota, jangan lupa memastikan ada ruang untuk selalu berusaha adil sejak dari pikiran, tentang apa saja.
Semoga....