Tragedi Hillsborough menjadi catatan kelam dalam sejarah sepak bola, terutama Inggris dan Eropa. Tindak tanduk polisi menjadi sorotan, gagal menangani kerumunan juga tuduhan penyebaran kabar bohong.
Bertahun-tahun suporter, penyintas, dan keluarga korban mencari keadilan. Mereka dirugikan pemberitaan media pencari sensasi, padahal tragedi itu menyebabkan trauma panjang.
Terlepas dari berbagai polemik, pemangku kepentingan di Inggris bisa menjadikan tragedi itu sebagai momentum perbaikan sepak bola.
BAYANGAN akan maut yang siap menjemput berada dalam pikiran seorang calon polisi di South Yorkshire, Inggris, pada awal Oktober 1988. Pemuda 24 tahun itu disergap dan ditodong senjata api oleh dua orang yang tiba-tiba muncul di kegelapan malam.
Dua orang penyergap tersebut berbadan tegap. Wajah mereka ditutupi balaclava, dan menyeret korbannya ke lokasi di sekitar pembuangan sampah. Dengan cepat, mereka membanting dan membuat calon polisi itu tersungkur hingga wajahnya menghadap tanah.
Tanah masih basah. Wajah anak muda yang masih menjalani masa percobaan anggota kepolisian itu dibenamkan ke dalam lumpur. Tangannya diborgol. Keadaan semakin menegangkan ketika dia merasakan todongan senjata di belakang kepala.
Dalam keadaan telentang, celana panjangnya dipelorotkan oleh salah satu sosok misterius itu. Berbagai skenario buruk yang terbayang di kepala, membuat tubuh anak muda itu gemetar kencang.
Dia siap menghadapi malaikat kematian. Apalagi, sedetik kemudian dia mendengar suara kokang senjata. Lalu, terdengar juga suara "klik"... Akan tetapi, tidak ada letusan yang terdengar.
Matanya terasa silau oleh nyala lampu yang terang secara tiba-tiba. Anak muda itu segera sadar bahwa bunyi "klik" itu bukan suara pistol yang diletuskan, tetapi jepretan kamera.
Masih dalam keadaan telentang, dia lalu menengadahkan wajah. Samar-samar tidak hanya penglihatannya yang membaik.
Dia juga mendengar suara tawa, tidak hanya dua orang yang tadi menyerangnya, juga gelak beberapa orang.
Gerombolan yang menyerang calon polisi itu ternyata seniornya di kantor kepolisian. Saat tawa gerombolan itu semakin kencang, pemuda itu berupaya bangkit meski masih gemetar.
Dia muntah selagi berupaya merapikan celana. Penyiksaan itu begitu membuatnya menderita sehingga dia harus menjalani perawatan psikologis di kemudian hari.
Aksi prank yang melibatkan sejumlah anggota di Kepolisian Hammerton Road, Sheffield ini kemudian menyita perhatian publik, sehingga memaksa pejabat kepolisian menggelar penyelidikan.
Awalnya, kepolisian seakan membela anggotanya dengan berdalih bahwa tidak ada masyarakat yang dirugikan prank, sehingga bullying itu tidak dianggap sebagai aksi kriminal.
Akan tetapi, sejumlah tokoh seperti anggota parlemen Martin Flannery gerah dengan apologi itu. Dia menilai bahwa polisi yang terlibat merupakan bagian dari masyarakat dan prank itu terjadi di ruang publik.
Meski Flannery terus menyerang sikap defensif kepolisian, tetapi tidak ada gugatan yang resmi diajukan. Crown Prosecution Service selaku kejaksaan menilai tidak perlu ada gugatan pidana, sehingga kepolisian hanya perlu menyelesaikan secara internal.
Empat polisi, termasuk inspektur dan dua sersan diminta mundur. Dua sersan lain terkena hukuman penurunan pangkat. Ada juga dua petugas yang membayar denda dan hanya kena tegur.
Kepolisian saat itu bagai melewati badai yang membuat citra instansinya begitu buruk di masyarakat. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa badai yang lebih besar akan terjadi di kemudian hari. Badai yang tidak hanya membuat citra kepolisian di Inggris semakin buruk, tetapi juga menjadi tragedi terbesar di sepak bola di negara itu, bahkan Eropa.
Aksi prank polisi itu seakan menjelma menjadi butterfly effect yang menjadi catatan hitam dalam sejarah olahraga.
Catatan hitam itu terjadi di Stadion Hillsborough di Sheffield, 15 April 1989, di awal laga semifinal Piala FA antara Liverpool melawan Nottingham Forest. Dunia mengenalnya sebagai Tragedi Hillsborough.
***
Aksi prank itu menjadi kisah pengantar dalam buku Hillsborough: The Truth yang terbit perdana pada 1999. Buku ini ditulis Phil Scraton, akademisi dan kriminolog yang secara konsisten mengikuti Tragedi Hillsborough.
Butterfly effect terjadi ketika kepolisian kemudian melakukan pergantian di Hammerton Road. Kepala Kantor Kepolisian Hammerton Road, Chief Superintendent Brian Mole dimutasi ke Barnsley. Posisi Mole digantikan Chief Superintendent David Duckenfield.
Dalam pengumuman resmi, pemindahan Brian Mole disebutkan sebagai "bagian dari perubahan struktural dan jabatan". Tidak ada penjelasan bahwa pemindahan itu akibat aksi prank senior terhadap juniornya. Brian Mole juga tidak mengajukan keberatan, sehingga pemindahan ini segera berlaku efektif.
Masalahnya, Brian Mole kadung dikenal sebagai polisi yang ahli dalam manajemen kerumunan, terutama saat ada big match yang berlangsung di Stadion Hillsborough. Pemindahan ini dilakukan sekitar tiga pekan sebelum laga akbar Liverpool vs Nottingham Forest digelar.
Kedua klub yang memiliki prestasi dan pernah merasakan kejayaan di Eropa ini memang memiliki suporter fanatik yang siap membela klubnya di mana pun mereka berlaga.
Dengan dimutasinya Brian Mole, maka kepolisian kehilangan orang yang paling berpengalaman dalam manajemen kerumunan di stadion.
Sedangkan Duckenfield dianggap rookie, tidak memiliki pengalaman dalam mengatasi kerumunan. Faktor minimnya keahlian dalam manajemen kerumunan inilah yang menjadi awal kisah buruk di Stadion Hillsborough.
***
SEBAGAI penggemar Liverpool sejak kecil, Adrian Tempany selalu berusaha menonton klub kesayangannya, termasuk saat menghadapi Nottingham Forest. Dia masih 19 tahun ketika itu dan baru menganggur setelah lulus SMA, tentunya tidak punya uang untuk membeli tiket semifinal Piala FA.
Saat kakaknya yang memiliki tiket musiman Forest bersedia meminjamkan untuk laga pada 15 April 1989 itu, Adrian sontak mengambilnya. Dia masih bisa mengenang yang terjadi pada Sabtu kelam itu, dan menceritakannya kepada The Guardian.
Dia berangkat bersama tujuh orang dari Nottingham menuju Sheffield dengan menggunakan dua mobil. Mobil pertama diisi empat penggemar Forest, dan mobil kedua oleh empat penggemar Liverpool.
Adrian baru mengenal tiga orang suporter Liverpool yang menjadi teman perjalanannya. Saat tiba di stadion, dia bersama tiga fans Liverpool yang semobil itu kemudian berpencar dan menyepakati tempat pertemuan setelah pertandingan usai, untuk kembali pulang ke Nottingham.
Mobil mereka diparkir di dekat Leppings Lane, yang disiapkan menjadi tempat khusus bagi suporter Liverpool. Adrian yang mengenakan jersei The Reds (julukan Liverpool) kesulitan saat mencari pintu masuk untuk pendukung Forest di Stadion Hillsborough.
Dengan memegang tiket musiman Forest, dia berpikir akan ditolak jika masuk melalui pintu masuk suporter Liverpool.
Semua polisi yang dia tanya tidak mau memberikan arah. "Kamu fan Liverpool? Enggak bisa masuk ke pintu (khusus fans) Forest. Lupakan saja," demikian jawaban polisi yang pertama dia temui. Dia tetap kesulitan meski sudah menyembunyikan jersei dengan jaket, karena polisi lain telah melihatnya.
Di ambang Leppings Lane, Adrian ragu untuk masuk. Apalagi, di luar gerbang sudah tercipta kerumunan padat. Dalam keraguan, dia mendengar salah satu polisi berteriak: "Ini kesempatan terakhir (untuk masuk)". Adrian memutuskan melewati pintu putar, dia masuk ke dalam.
Waktu menunjukkan 14.15 saat dia berada di tribune berdiri Leppings Lane. Di hadapannya terlihat gawang Liverpool yang dijaga Bruce Grobbelaar. Beberapa pemain sudah pemanasan di lapangan, karena peluit kick off ditiup pukul 15.00.
Lima belas menit sudah Adrian berdiri. Pen atau lokasi tempat dia menonton semakin padat. Suasana semakin tidak nyaman, sehingga dia harus mendorong beberapa orang agar bisa bergerak. Kerumunan semakin mendesak, Adrian yang semula berdiri di depan besi pembatas lalu semakin bergerak ke depan.
Kerumunan bertambah sesak setelah kick off. Orang-orang berkeringat, berteriak, dan mulai mendorong untuk mendapatkan ruang gerak. Adrian panik dan berusaha mencari polisi atau petugas jaga. Suporter lain juga berteriak, tetapi tidak ada polisi atau petugas yang datang.
Dempetan terasa semakin parah, bahkan Adrian merasa telinganya digencet. Seluruh badannya kaku karena tidak bisa digerakkan. Dia hanya bisa mendongakkan kepala, memaksanya sekadar mampu bernapas.
Di belakang Adrian, seorang suporter yang kemudian diketahui bernama Peter Carney juga mengaku hampir mendekati ajal.
"Setiap melihat ikan mendongak di permukaan air, seperti itulah saya saat itu," ujar Carney. "Kemudian saya hilang kesadaran. Langit hanya memperlihatkan awan putih, awan putih yang kemudian terlihat seperti lorong tiada ujung..."
Dalam keadaan putus asa, Adrian melihat seorang polisi di dekat lapangan. Bibirnya bergerak, berteriak "tolong", meski tidak ada suara yang keluar. Akan tetapi, dalam ingatannya, polisi itu hanya "senyum, geleng-geleng kepala, dan terus berjalan tanpa kejelasan".
Badannya semakin terjepit. Paru-parunya seakan mau pecah. Adrian merasa malaikat maut sudah berada di hadapan. Dia pun menghitung mundur, 20 detik... dan hampir menyerah saat di detik ke-14. Berlanjut: sepuluh, sembilan...
Dalam penuh kepasrahan, kepalanya masih dipaksakan mendongak, berusaha bernapas. Hingga kemudian... dempetan dan impitan mulai melonggar. Pagar yang menjadi pembatas dengan lapangan telah dirobohkan.
Adrian tidak lagi kesulitan bernapas. Dia selamat. Namun, banyak yang tidak beruntung pada Sabtu sore itu. Ada yang kehabisan napas, bahkan banyak yang terinjak-injak. Adrian bersyukur melewati masa paling menegangkan dalam hidupnya.
***
Pada Sabtu malam itu, Martin Roberts mengaku tidak bisa tidur setelah mengalami near death experience di Hillsborough.
Dia telah pulang ke kediamannya di Halifax, sekitar 60 km dari Sheffield. Badannya lelah, namun mata tidak bisa terpejam. Dia bahkan mengompol dan membasahi kasurnya saat memaksakan diri untuk tidur.
Roberts baru berusia 20-an, namun rasa takut akan kematian begitu menghantui sepulang dari stadion.
Dia baru bisa kembali bekerja pada Selasa pagi. Kecemasan masih terlihat, sehingga bosnya memanggilnya ke sebuah ruangan dan mengajaknya untuk sebuah obrolan ringan. Dia berbohong dan mengaku baik-baik saja.
Padahal, kecemasan itu terus menghantui sepanjang usianya. Perasaan yang kemudian dia ungkap kepada The Athletic.
Hingga pada 2014 dan 2016, atas permintaan pihak yang mengusut Tragedi Hillsborough, dia menemui psikiater dan didiagnosis mengalami post-traumatic stress disorder.
Berbagai metode dan sejumlah sesi terapi dilakukan. Salah satu sesi terapi malah membuat dia kembali merasakan Sabtu mencekam di Stadion Hillsborough: Saat dia berusaha menyelamatkan diri dengan memanjat tubuh suporter lain termasuk perempuan dan anak-anak. Bau muntahan dari suporter yang sudah tergeletak, tidak berdaya, tidak bergerak, seperti tidak bisa hilang.
Penyesalan begitu menguasai dirinya. Beberapa ahli psikologi menyebutnya survivor's guilt. Kondisi mental ini ikut membuat Roberts rendah diri, merasa menjadi ayah dan suami yang gagal. Hingga suatu malam, pikiran untuk mengakhiri hidup muncul.
Sebelum Roberts mengeksekusi kegelisahan untuk mengakhiri hidup dan baru membuka pintu, sang istri dengan sigap mencegahnya keluar rumah. Istrinya bertanya, apa yang akan dilakukannya.
Saat itulah Roberts menangis. Dia merasa tidak dapat lagi menahan penyesalan yang dirasakan sejak Hillsborough. Dia merasa hidupnya telah berakhir.
Penyintas lain, John Mulhaney, berbagi perasaan yang sama layaknya Martin Roberts. Survivor's guilt membuat dia terus mengenang Sabtu, 15 April 1989 itu.
"Saya terus bertanya: siapa yang saya injak? Saya ingat setidaknya menginjak dua orang. Saya berpikir, apakah saya yang membuat seorang anak tewas terinjak di sana?"
Sejak Hillsborough, Mulhaney tidak pernah merasa aman. Hatinya selalu cemas dan mencari pintu keluar di mana pun berada. Ketika berada di restoran misalnya, dia sedikit tenang jika duduk di pojokan, setidaknya ada tempat untuk bersandar dan ruang terbuka di depannya.
Tentunya dia tidak nyaman berada dalam kerumunan. Aktivitas sosial kerap membuatnya cemas. Mulhaney pun selalu menghindar ajakan berkumpul.
"Saya sering pura-pura sakit. Membayangkan berada dalam satu ruangan dengan banyak orang terasa begitu menakutkan. Saat ada di dalam ruangan, saya selalu mencari cara keluar..."
Selain survivor's guilt, trauma psikologis yang kerap menghantui para penyintas datang dari tanggapan negatif masyarakat atas Tragedi Hillsborough. Mereka, para suporter, kerap menjadi pihak yang disalahkan, jadi kambing hitam.
Berbagai pemberitaan bohong muncul di media selepas tragedi itu. Misalnya, suporter dituding memaksa masuk tanpa tiket yang menyebabkan kepadatan di dalam stadion.
Para suporter juga dituding berbuat biadab: dari mengencingi polisi, mencopet, bahkan tudingan kejam seperti melakukan pelecehan seksual terhadap jenazah atau korban perempuan.
Meski kemudian, hasil pengusutan resmi menyatakan bahwa tragedi itu bukan karena aksi suporter.
Kelak, dunia pun kemudian mengetahui bahwa berbagai tuduhan kejam yang menyudutkan suporter Liverpool itu bersumber dari polisi, kemudian diamplifikasi media dan politisi.
Selama lebih dari 30 tahun para Kopites dan Scousers (julukan pendukung Liverpool) terus melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keadilan.
Sebab, meski hasil sidang pemeriksaan pada 2016 menyatakan bahwa 96 suporter yang tewas dalam Tragedi Hillsborough merupakan unlawfully killed atau dianggap korban pembunuhan, namun tidak ada satu orang pun yang divonis pidana oleh pengadilan.
Jumlah korban kemudian bertambah menjadi 97 ketika salah seorang korban yang terluka, Andrew Stanley Devine meninggal dunia pada Juli 2021.
Tidak hanya itu, trauma panjang yang menghantui para penyintas juga berakhir tragis.
Saat terjadi kericuhan suporter dalam laga Liverpool melawan Paris Saint Germain di Stade de France, Perancis pada September 2022, dua orang suporter The Reds yang juga penyintas Tragedi Hillsborough mengakhiri hidupnya setelah terkenang kembali Sabtu mencekam di Sheffield pada 1989 itu.
Perjalanan mencari keadilan untuk mereka yang tewas di stadion dianggap belum selesai. Perjuangan masih panjang.
***
MATAHARI belum beranjak tinggi pada Rabu pagi, 19 April 1989, empat hari setelah tragedi. Richie Greaves (kini 57 tahun), salah seorang penyintas Stadion Hillsborough menerima telepon dari seorang kawan.
"Apa kau sudah membaca yang disampaikan koran tentang kita (para suporter)?" ujar Greaves menirukan kawannya di ujung telepon, dilansir dari tayangan Deutsche Welle dalam peringatan 30 tahun Stadion Hillsborough, pada 2019.
"'Mereka menulis kita mabuk, tidak punya tiket, dan merampok korban yang sudah mati'. Tentu saja itu pukulan buat kami," kata dia.
Ancaman kematian yang muncul empat hari sebelumnya masih melekat di ingatan, namun yang disampaikan kawannya itu membuat keresahan Greaves semakin berkecamuk. Dia tidak hanya merasa difitnah, tetapi diberi label buruk yang menempel sepanjang hidup.
"Saya digambarkan sebagai pembunuh yang mabuk, yang masuk ke stadion tanpa tiket. Dan berbagai hal lain seperti yang dituduhkan pemberitaan koran The Sun," tutur Greaves.
Amarah yang sama diungkapkan Jegsy Dodd (kini 64 tahun), saat membaca headline The Sun. "Saya tentu saja merasa sangat marah, bisa saya bunuh jurnalisnya saat itu," kata Dodd.
Kebencian terhadap The Sun masih berlangsung di Liverpool, bahkan boikot dilakukan hingga saat ini.
Dalam halaman depannya, The Sun memang menampilkan salah satu kontroversi terbesar sepanjang sejarah media. Melalui artikel berjudul "The Truth" (Sebuah Kebenaran), koran kalangan konservatif itu memberitakan suporter melucuti saku korban tewas.
Suporter juga dituding mengencingi polisi, serta memukul petugas yang memberikan pertolongan pertama.
Sebenarnya, pemberitaan yang menyudutkan Kopites tidak hanya ditulis The Sun. Dilansir dari buku Hillsborough: The Truth, sejumlah pemberitaan dari media yang dikenal seimbang pun menyebut suporter tergesa-gesa untuk masuk ke dalam stadion.
Sunday Mirror misalnya, menyebut 3.000 hingga 4.000 suporter Liverpool yang tidak terkendali berupaya memaksa masuk melewati pintu putar. Sheffield Star bahkan memberitakan bahwa keadaan tidak terkendali ini menyebabkan 40 orang meninggal saat berada di lorong karena terinjak-injak.
Munculnya pemberitaan bahwa suporter bersikap agresif baru muncul 18 April, saat Sheffield Star menulis bahwa fans Liverpool yang mabuk menyerang polisi yang bertugas.
Puncaknya memang saat The Sun seakan merangkum semua pemberitaan yang menyudutkan suporter. Sebagian besar ditulis tanpa sumber yang dianggap jelas.
Usai tragedi terjadi, tudingan tajam terhadap pendukung Liverpool muncul dilatarbelakangi fenomena hooligans atau para suporter garis keras yang sering membuat keributan dan kerusuhan.
Pada 1980-an, hooliganism memang menjadi sorotan, terutama usai Tragedi Stadion Heysel di Belgia pada 1985.
Saat laga final Piala Champions Eropa pada 1985 , terjadi kericuhan antara suporter Juventus melawan Liverpool. Akibatnya, dinding pembatas di salah satu sektor stadion hancur dan menewaskan 39 orang.
Sejak itu, citra buruk melekat ke para suporter sepak bola asal Inggris. Klub dari Liga Inggris juga kena dampaknya dengan dilarang bermain di laga Eropa. Di dalam negeri, suporter juga kerap dituding sebagai biang kericuhan. Prasangka ini dinilai menjadi alasan bagi The Sun untuk menyudutkan suporter.
Jurnalis investigasi Chris Horrie dalam artikel di The Justice Gap mengaitkan pemberitaan The Sun itu sebagai upaya untuk meningkatkan penjualan. Cara ini dilakukan dengan memanfaatkan sentimen geopolitik yang juga eksis dalam sepak bola Inggris.
The Sun yang berbasis di London, wilayah selatan Inggris, dianggap berupaya memanfaatkan sentimen negatif terhadap wilayah utara yang dianggap liyan, asing. Saat itu, pelanggannya dikenal dari kalangan "white van man", kelompok pekerja mandiri yang secara stereotipe kerap menilai diri mereka lebih baik dari para buruh.
Sedangkan Liverpool merupakan kota pelabuhan di utara sebelah barat, yang sarat dengan kemiskinan dan pengangguran akibat lemahnya kebijakan ekonomi Perdana Menteri Margaret Thatcher. Hingga saat ini pun masyarakat Liverpool masih menganggap diri mereka sebagai "Scousers", orang Scouse dan bukan orang Inggris.
Meski hooliganism melanda Inggris, namun Kopites tidak dianggap sebagai suporter yang identik dengan kekerasan. Penggunaan lagu "You'll Never Walk Alone" sebagai anthem misalnya, dianggap Chris Horrie sebagai wujud solidaritas. Liriknya jauh dari chant permusuhan.
Sebaliknya, fans Liverpool sering diserang dengan chant permusuhan, bahkan yang bernuansa rasis dan penghinaan terhadap "Scousers".
Dengan demikian, ketika pembelaan diri suporter Liverpool dianggap sebagai upaya menjadikan polisi sebagai kambing hitam, muncul ide dari Pemimpin Redaksi The Sun Kelvin MacKenzie untuk menyalahkan pendukung The Reds. MacKenzie berpikir publik Inggris akan sependapat dengan The Sun.
Bahkan, MacKenzie sempat menyiapkan judul yang lebih ofensif: "You Scum" (Kalian Brengsek).
Sejumlah bawahan MacKenzie di staf redaksi keberatan dengan judul ini, karena dianggap tidak menghormati korban meninggal. Apalagi, belum tentu korban berlaku biadab seperti yang dituduhkan. MacKenzie diminta untuk membuat judul yang lebih damai.
Pada proses final, The Sun memilih judul "The Truth" (Sebuah Kebenaran), dengan halaman depan yang tetap berisi poin-poin tudingan: Suporter dituding mencopet, mengencingi polisi, dan memukul petugas yang memberi pertolongan.
Dalam edisi itu, The Sun menugaskan reporter paling berpengalaman mereka, Harry Arnold, untuk mencari informasi dari sudut pandang polisi.
Dua puluh reporter lain juga dikerahkan ke Merseyside di Liverpool dan Sheffield, untuk mencari kesalahan suporter dan menyokong pemberitaan. Lalu benarkah yang ditulis The Sun? Bagaimana faktanya?
Berbagai kalangan menilai bahwa artikel yang ditulis The Sun itu lemah dan tidak kredibel. Sumber berita dipertanyakan karena narasumber dinilai tidak memiliki atribusi yang jelas. Ketika ada narasumber yang dianggap terang, sumber informasinya pun dipertanyakan.
Salah satu narasumber adalah anggota parlemen dari Partai Konservatif, Irvine Patnick. Dia menuding para suporter berbuat pelecehan seksual, bahkan terhadap korban perempuan yang sudah meninggal.
Padahal, Patnick tidak melihat langsung di stadion dan hanya berdasarkan informasi "katanya, katanya."
Fakta dan kejadian sesungguhnya baru terungkap ketika penyelidikan dilakukan pihak independen. Pertama, ketika pemerintah meminta Lord Justice Peter Murray Taylor memimpin investigasi. Hasil penyelidikan itu mulai membantah beragam tuduhan terhadap suporter.
Berikutnya, sejumlah fakta mengejutkan terungkap melalui sidang pemeriksaan dan pengusutan oleh Panel Independen Hillsborough. Ketika itulah terungkap bahwa pemberitaan The Sun berasal dari informasi keliru yang bersumber dari kepolisian.
Tragedi Hillsborough semakin kelam karena kebohongan yang diamplifikasi, yang dibesar-besarkan melalui pemberitaan.
***
PADA 16 April 1989, sekitar 24 jam setelah peristiwa Sabtu kelam terjadi, Perdana Menteri Inggris saat itu, Margareth Thatcher, mendatangi Stadion Hillsborough. Thatcher melihat kondisi pintu gerbang, kelayakan pintu putar, menelusuri lorong, serta situasi tribune berdiri di Lepping Lane, terutama dua pen yang saat peristiwa itu terjadi dipadati para suporter.
Phil Scraton dalam Hillsborough: The Truth menulis, sepanjang tur stadion, Thatcher didampingi para petugas kepolisian. Tampaknya, ketika itulah informasi mengenai kronologi tragedi sampai ke telinga Thatcher.
Thatcher memang tidak memberikan komentar saat itu, namun sikap pemerintah dinilai tidak berpihak kepada para suporter. Ini terlihat dari surat yang dikirim juru bicara kantor Perdana Menteri, Bernard Ingham, yang membalas surat ibu dari korban Hillsborough, Dolores Steele.
Ingham menulis bahwa para suporter mabuk yang disebutnya "tanked up mob" menyebabkan Phillip, anak Dolores, tewas bersama 95 korban lain dalam Tragedi Hillsborough. "Mereka yang menyebabkan tragedi dan saya heran ada yang percaya penyebab lain," tulis Ingham.
Sikap Thatcher baru terungkap pada 2012, saat sebuah dokumen menyebutkan bahwa dia menyalahkan "suporter yang mabuk".
Bagi pendukung Liverpool, kehadiran Thatcher di stadion tetap diwarnai dengan pesimisme. Selama menjabat, The Iron Lady memang dikenal benci dengan suporter sepak bola, yang digeneralisasi sebagai hooligans.
Kopites dan keluarga korban sulit mengandalkan pemerintah konservatif era Thatcher dalam mencari keadilan. Akan tetapi, pemerintah membantah sikap pesimis itu dengan membentuk tim independen untuk mengusut penyebab terjadinya tragedi.
Meski diwarnai pesimisme, harapan muncul ketika Menteri Dalam Negeri Douglas Hurd menunjuk Peter Murray Taylor yang saat itu menjabat Lord Justice (hakim di Pengadilan Banding) untuk mengusut Hillsborough.
Lord Justice Taylor dan tim langsung mendatangi Stadion Hillsborough sehari setelah resmi menjabat. Tim bekerja cepat, dan sudah meminta keterangan banyak pihak pada hari kesepuluh. Dia juga membuka sarana pengaduan, dari telepon, surat, hingga kuesioner.
Kurang dari empat bulan bekerja, tim Hakim Taylor sudah bisa membuat laporan interim. Laporan ini dibuat sebagai hasil penyelidikan yang bersifat segera dan kesimpulan umum. Adapun laporan final yang juga berisi rekomendasi perbaikan disusun pada Januari 1990.
Temuan tim dalam laporan interim itu terbilang mengejutkan. Hasil pengusutan yang dikenal sebagai Laporan Taylor itu menyatakan bahwa Tragedi Hillsborough disebabkan kesalahan penanganan kerumunan yang dilakukan kepolisian.
Polisi dinilai gagal memutus akses ke pen atau tribune berdiri yang ada di tengah, saat Gerbang C di bagian Leppings Lane sudah dibuka. Lemahnya kepemimpinan polisi dalam menutup lorong menuju Pen 3 dan Pen 4 menyebabkan para suporter menumpuk di tribune berdiri tersebut.
"Jika ada perintah saat melihat dampak dibukanya Gerbang C, para fans dapat diarahkan ke tempat yang lebih kosong di di bagian sayap dan tragedi dapat dicegah," demikian yang tertulis dalam laporan.
David Duckenfield yang menjadi komandan kepolisian saat itu dinilai gagal mengendalikan kerumunan. Kelak, dalam saat bersaksi dalam sidang pemeriksaan pada 2015, dia mengaku syok dan sempat terdiam akibat tekanan yang dia alami saat itu.
Terkait tudingan bahwa tragedi itu disebabkan suporter mabuk, Laporan Taylor membantahnya. Menurut laporan itu: "Sebagian besar tidak mabuk atau dalam keadaan mabuk".
Laporan itu juga membantah bahwa banyak suporter yang masuk tanpa tiket. Tim Hakim Taylor memahami bahwa ada upaya suporter masuk tanpa tiket, tetapi polisi sudah mencegahnya.
Jika ada yang masuk ke dalam stadion tanpa tiket dalam jumlah besar seperti yang dilaporkan polisi, tim meragukan itu. Berdasarkan sistem pengawasan elektronik dan melihat video pantauan di pintu putar, jumlah yang berhasil masuk tanpa tiket dianggap tidak signifikan sebagai penyebab kerumunan yang mengakibatkan banyaknya korban tewas.
Adapun dalam laporan final, tim juga memberikan rekomendasi perbaikan, terutama terkait kondisi stadion. Salah satu dampak besar dari laporan tim ini adalah ditiadakannya tribune untuk penonton berdiri. Semua penonton harus memiliki tempat duduk, sehingga kapasitas dan jumlah penonton dapat dikendalikan.
Kemudian, tim juga merekomendasikan dihilangkannya pagar atau batas yang memisahkan penonton dengan lapangan. Sebab, pagar tinggi di Hillsborough menyebabkan penonton terjebak dan sulit meloloskan diri saat tribune penuh sesak.
Rekomendasi lain yang diberikan adalah terkait pengaturan alkohol di stadion. Selama ini, konsumsi alkohol dianggap menyebabkan perilaku agresif sehingga perlu ada pembatasan. Namun, aturan mengenai penjualan alkohol di dalam stadion disesuaikan wilayah dan berdasarkan undang-undang yang disahkan pada 1985.
Secara umum, Laporan Taylor membantah berbagai tudingan yang dialamatkan kepada para suporter Liverpool. Meski begitu, keluarga korban serta para penyintas tidak pernah berhenti mencari keadilan melalui jalur hukum.
Butuh waktu berpuluh-puluh tahun bagi para keluarga korban dan penyintas Hillsborough untuk menuntut pertanggungjawaban pihak-pihak yang menyebabkan korban tewas.
Sejumlah gugatan diajukan, berbagai sidang pemeriksaan dilakukan setelah tim yang dipimpin Hakim Taylor mengungkap laporannya. Meski begitu, belum ada satu pihak pun yang divonis bersalah secara pidana.
Dilansir Independent, pada Agustus 1990 misalnya, Kejaksaan menyatakan bahwa tidak ada bukti untuk bisa mengajukan tuntutan kriminal terhadap pejabat kepolisian, pejabat kota, kota Sheffield, juga Sheffield Wednesday FC selaku pengelola stadion.
Keluarga Tony Bland yang merupakan korban ke-96 juga gagal menggugat David Duckenfield sebagai pihak yang bertanggung jawab, saat Tony tutup usia pada 1993.
Pada tahun yang sama, permintaan enam keluarga korban untuk mengajukan sidang pemeriksaan juga ditolak Pengadilan Tinggi.
Harapan kembali muncul saat Pemerintah Inggris membuka kembali pengusutan dengan membentuk Panel Independen Hillsborough pada 2009. Panel yang meninjau kembali 450.000 dokumen kemudian mempublikasi hasil temuan pada 2012.
Hasil pengusutan Panel Independen Hillsborough berupa penegasan bahwa kesalahan merupakan tanggung jawab polisi. Bahkan, menurut Panel, ada upaya kepolisian untuk melakukan kampanye menyalahkan suporter. Berkat hasil pengusutan, sidang pemeriksaan pun dibuka kembali.
Hasilnya, juri dalam putusan sidang pemeriksaan pada 2016 memutuskan bahwa para suporter yang tewas dalam Peristiwa Hillsborough merupakan "unlawfully killed" atau korban pembunuhan.
Hasil temuan Panel Independen mengungkit lagi buruknya kinerja kepolisian saat 15 April 1989 itu. Desain dan tata letak stadion dan lambatnya penanganan ambulans juga menjadi sorotan.
Putusan sidang pemeriksaan menyebabkan Kejaksaan kemudian mendakwa enam orang dengan tuntutan pidana. Salah satu terdakwa adalah David Duckenfield dengan dugaan bertanggung jawab atas munculnya korban jiwa.
Namun, hingga pengadilan berakhir tidak ada satu pun terdakwa yang mendapat vonis bersalah atas tewasnya 96 orang (menjadi 97 pada 2021). Juri hanya memberikan denda sebesar 6.500 poundsterling kepada Graham Mackrell selaku pengelola klub Sheffield Wednesday atas pelanggaran kesehatan dan keselamatan.
Laporan yang diungkap Panel Independen Hillsborough pada 2012 mengungkap fakta bahwa kepolisian berupaya menimpakan kesalahan kepada para suporter. Adapun tudingan yang disampaikan The Sun bersumber dari agensi media White's yang berbasis di Sheffield.
Menurut laporan Panel Independen, White's membuat rilis pers setelah melakukan pertemuan tiga hari dengan kepolisian di South Yorkshire, termasuk petinggi. Sejumlah tudingan itu pun disampaikan oleh para narasumber di kepolisian.
Ada empat orang yang dijadikan narasumber, ditambah wawancara dengan anggota parlemen dari Partai Konservatif, Irvine Patnick.
Adapun sejumlah pernyataan kontroversial Patnick, terutama tentang tuduhan pelecehan seksual dan kekerasan suporter kepada polisi dan petugas, diketahui setelah dia mendapatkan informasi dari para polisi.
Panel menilai bahwa para narasumber yang kemudian menjadi pemberitaan kontroversial The Sun itu tidak kredibel dan perlu diverifikasi.
Dilansir dari BBC, saat memberikan kesaksian dalam pemeriksaan, Gordon Sykes yang saat itu menjabat inspektur polisi mengaku bahwa dia yang membuat laporan tentang perilaku biadab para suporter. Akan tetapi, dia menyesal tidak mengonfirmasi kebenaran atas informasi yang dia terima.
Sykes kemudian menyatakan bahwa pemberitaan yang muncul di The Sun sebagai sebuah kesalahan. Meski begitu, dia menyatakan tidak pernah menyampaikan informasi apa pun kepada pers.
Dalam sidang pemeriksaan, tayangan BBC juga diperlihatkan dan tidak ada bukti atas tuduhan yang disampaikan The Sun. Tidak terlihat ada suporter yang memukul petugas. Tidak terlihat juga suporter yang mengencingi polisi.
Kelvin MacKenzie selaku pemimpin redaksi The Sun kemudian mengaku bersalah dan meminta maaf setelah hasil Panel Independen diterbitkan. Dia mengaku tidak percaya bahwa aparat berwenang akan berbohong saat terjadi tragedi, sehingga dia saat itu yakin yang diberitakan The Sun sebagai sebuah kebenaran.
Setelah 23 tahun, suporter akhirnya membersihkan diri dari berbagai tudingan perilaku biadab yang telah dilakukan. Para suporter dan keluarga korban juga mengaku tidak akan berhenti berjuang untuk mendapatkan keadilan hingga ada yang dinyatakan bersalah.
Kini, setelah 34 tahun tragedi Sabtu kelam itu terjadi, Tragedi Hillsborough tidak hanya menjadi catatan hitam bagi Liverpool, Kopites, juga suporter sepak bola di Inggris dan Eropa. Satu korban tewas dalam pertandingan sepak bola dianggap terlalu banyak, apalagi hingga mencapai 97 orang.
Inggris pun melakukan pembenahan dan menaati sejumlah rekomendasi Laporan Taylor dengan meminta klub memperbaiki stadion.
Hillsborough juga menjadi catatan hitam yang mengingatkan kita bahwa sepak bola semestinya menjadi hiburan yang menyenangkan. Stadion semestinya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk menikmati pertandingan.
***