Di sudut Kota Yogyakarta, seorang pemuda menyendiri dalam sebuah gazebo. Wajah dan tengkuknya bermandikan peluh. Kipas angin di sudut ruang seakan tak kuasa mengusir gerah.
Sepanjang sore hari yang terik itu, ia berlatih memainkan wayang kulit di depan kelir, layar besar yang menjadi panggung. Kedua tangannya lincah memainkan tokoh pewayangan.
Seirama dengan gerakannya, ia mengetuk-ketukkan sebuah kayu dengan kakinya ke beberapa buah lempengan besi. Mulutnya tak berhenti komat-kamit menyuarakan dialog.
Seluruh badannya beraksi dengan irama berbeda, membentuk sebuah harmoni.
Pria itu bernama Gibran Nicholau Papadimitriou. Usianya 19 tahun, kini tengah menempuh studi Sastra Jawa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di kota budaya ini, Gibran mengejar impiannya menjadi dalang wayang kulit gaya Jogja.
Di antara banyak anak muda penyuka seni, barangkali tidak banyak yang jatuh hati pada wayang. Jangankan datang ke pementasannya, ikut nonton pun belum dijamin paham bahasa dan ceritanya. Apalagi, ingin menjadi dalang seperti Gibran.
Bukan hal mudah menjadi sutradara wayang. Menjadi dalang berarti harus mampu menggabungkan banyak hal, mulai dari seni peran, vokal, literasi, keindahan, musik, dan sebagainya. Butuh proses panjang untuk melakukannya.
Demikian pula Gibran. Minatnya akan kesenian tradisional Jawa ini muncul sejak belia. Gibran menarik mundur ingatannya, kurang lebih enam tahun silam. Ia masih duduk di kelas VI salah satu sekolah dasar swasta di Jakarta, tempat asalnya.
Saat itu, teman-teman Gibran lebih suka membaca komik kontemporer. Paling mentok, ya, novel romansa picisan. Gibran kecil berbeda. Pada umur 13 tahun, dia sudah mulai melahap komik dan buku-buku tentang wayang. Salah satu buku yang ia sukai adalah komik bertema wayang karya RA Kosasih.
Beranjak remaja, santapan Gibran bertambah berat. Putra kedua sineas Nia Dinata itu larut bersama buku tebal soal pedalangan sampai naskah Jawa kuno. Ia belajar bahasa Jawa dari asisten rumah tangga hingga tetangganya yang berasal dari Jawa Tengah.
Ketertarikan akan wayang membawanya lebih dalam menekuni dunia pedalangan. Ia pun berguru kepada pendongeng wayang asal "Kota Gudeg", seperti Ki Margiono Bagong dan Ki Aji Laksono.
Setelah bernostalgia, Gibran kembali mengambil wayang kulit miliknya. Ia pun kembali berlatih. Tangan kanannya mengapit dua bilah yang terhubung dengan tangan wayang. Tangan kirinya menggamit batang yang menyangga tubuh wayang. Ia menggoyangkannya ke kanan.
"Dalam wayang, ada banyak nilai kehidupan. Namun, dalam pertunjukan wayang, kita (dalang) yang memberikan pelajaran pada orang lain, tentang hidup."
Sambil memegang boneka kulit itu, ia menggetarkan tangan, seolah wayang itu berjalan. Getaran itu melambangkan debar jantung manusia. Juga, membuat wayang terasa lebih hidup. Suara kepyak dan keprak kembali mengiringi gerakan. Ini merupakan salah satu teknik permainan gaya Jogja.
Jika ditanya mengapa memilih wayang tradisional dari Jawa bagian tengah-selatan ini, Gibran akan menjawab tidak ada alasan khusus. Kebetulan saja, sejak awal ia berguru pada dalang dengan langgam Jogja. Jadi maklumlah jika pola pikir dan corak bermainnya mengikuti sosok panutannya.
Gibran juga berpendapat bahwa dengan gaya tradisional, kesakralan dalam sebuah permainan wayang masih dapat terasa.
Selain itu, ia lebih menyukai wayang tradisional karena akan ada sesuatu yang baru dari sana. Sudut pandang yang berbeda, yang selama ini belum terlihat, namun ia berhasil menemukan kebaruan di sana. Itu yang membuatnya tertarik.
"Kalau hal ini tidak diapresiasi dan didokumentasikan, sayang kalau hilang," katanya.
Langgam kesenian wayang bukan cuma itu. Masih ada beberapa jenis lain di Indonesia, bahkan dunia. Perbedaan itu tidak hanya soal cerita atau asal-usul. Musik, gambar, pahatan wayang, getaran, dan cara memegangnya pun memiliki keunikannya masing-masing. Semua tergantung budaya, tradisi, daerah, serta dalang yang memainkan.
Bagi Gibran, tidak ada yang benar atau salah dalam sebuah permainan wayang. Selama kisahnya tidak melenceng dari kisah asli, semua cara permainan seni tradisional itu benar. Justru perbedaan langgam ini yang membuat kesenian ini beragam.
Ia pun teringat kata temannya, Indra Suroinggeno, seorang dalang. "Seni iku ora ana titik'e." Maknanya, seni itu tanpa batas.
Jika seni dibatasi dan dipatok dalam sebuah peraturan atau pakem, maka keberagaman juga akan hilang. "Kan beragam ya budaya Indonesia itu. (Jika dibatasi) nanti orang jadi enggak terbiasa dengan keberagaman," ujarnya.
Di mata Gibran, semua jenis wayang itu spesial, baik yang berbentuk boneka pipih, lembaran kulit, hingga yang dimainkan oleh orang. Mulai dari kisah Mahabaratha, cerita daerah, ataupun terkadang untuk penyebaran agama, sama-sama memesona. Dari yang tradisional hingga modern, semuanya keren. Jadi, ya, ujung-ujungnya soal selera.
Suatu malam, Foe Jose Amadeus baru keluar dari kelenteng, tempatnya bersembahyang di Semarang, Jawa Tengah. Tiba-tiba, terdengarlah alunan musik. Jose penasaran. Segera ia berkeliling mencari sumber suara itu.
Rupanya tak jauh dari sana, sebuah panggung dipasang untuk pertunjukan wayang potehi. Musik dengan instrumen dari negeri Tiongkok mulai mengalun, disusul percakapan antara dua boneka potehi.
Pikirannya menjelajah ke masa kecil, umur tiga tahun. Bocah kecil itu sudah tertarik pada dunia wayang. Sampai dewasa, ia hanya belajar tentang wayang kulit. Untuk wayang potehi, ia hanya pernah melihatnya dari televisi, itu pun cuma beberapa kali, hanya sekadar tahu.
Malam itu, Jose tertegun. Ia hanyut dalam permainan boneka tangan dari tanah leluhurnya itu. Sesekali ia menyahut saat figur yang diperankan tengah berkelahi. Tangannya bertepuk panjang begitu pegelaran tuntas, tanda puas atas keseruan pentas.
Seolah ingin berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekitarnya, ia pun mulai memperhatikan penonton. Saat itu ia baru menyadari, tak seorang pun penonton seusia dia, 17 tahun waktu itu. Hampir semua penonton yang dilihatnya berusia lanjut, oma dan opa.
Itu toh tak membuat minatnya surut. Sesampainya di rumah, Jose membulatkan niat untuk mempelajari wayang potehi. "Kalau sudah cinta, jangan tanya alasannya," begitu dalihnya.
Ia pun mulai mencari sosok yang tepat untuk memburu ilmu tentang kesenian dari tanah leluhurnya itu. Ia mencari sang suhu potehi di Semarang. Sayang seribu sayang, yang ia kejar telah berpulang.
"Saat sudah punya perasaan dan keinginan untuk belajar, dalang wayang potehi satu-satunya di Semarang meninggal dunia."
Tanpa sosok panutan, Jose tidak patah semangat. Ia beralih ke media daring. Ia lahap aneka rekaman video tentang potehi di situs Youtube.
Jose tahu, cara itu tidak maksimal. Akhirnya ia memutuskan bergabung dalam sebuah komunitas di kelenteng. Di sana ia bertemu teman-teman dengan ketertarikan yang sama.
Sampai di sini tantangan yang ia hadapi belum selesai. Komunitas kecil ini menyadari bahwa penonton potehi didominasi oleh orang lanjut usia. Jika berlanjut terus seperti ini, lama-lama kesenian ini akan punah.
Itulah yang memantik semangat mereka untuk mencari kemasan baru wayang potehi. Mereka pun merekayasa permainan potehi dengan versi lebih singkat. Musik yang digunakan juga berupa lagu-lagu pop.
Proses pembuatan format anyar itu, bisa dibilang, cukup santai. Tidak ada pembicaraan muluk-muluk. Setiap pekan, Jose dan teman-teman selalu berkumpul untuk mengadakan rapat kepemudaan. Di sela-sela rapat, mereka berdiskusi mengenai bentuk yang akan mereka pertontonkan.
Dimulailah dengan mendekorasi ruangan berukuran 4 x 4 meter dengan cat putih, lalu ditempeli poster. Mereka juga sambil merapikan buku, LCD, dan beberapa alat musik asal Tiongkok. Teman-teman Jose mulai memainkan instrumen itu. Dendang tembang Mandarin pun turut terdengar dari erhu (alat musik gesek) dan seruling dizi.
Di sisi lain ruangan itu, Jose memegang wayang potehi koleksi kelenteng. Ia mulai memainkannya. Tiba-tiba salah satu dari mereka menanyakan, "Bagaimana jika musik ini ditaruh untuk adegan potehi bagian awal?"
Tanpa bantahan, ide tersebut disetujui oleh kawan-kawan lain. Begitulah, sebuah iringan musik dan gaya baru dapat terbentuk. Melalui musyawarah, coba-coba, dan ketidaksengajaan. Ketika semua sepakat, ide apa pun langsung disikat.
"Kalau tidak ada inovasi, tradisi pasti mati. Dalang harus berani inovasi out of the box".
Jose mengakui, pembaruan ini harus dilakukan. Oleh karena itu, entah dalam waktu cepat atau lambat, ia bersikeras pada setiap progres yang ada, sampai waktunya wayang dapat kembali diminati oleh anak muda.
"Jadi, (ide ini muncul) dari keprihatinan potehi mulai menurun, dalang profesional di Semarang sudah enggak ada. Selainnya, anak-anak muda itu jarang yang tertarik dengan wayang potehi," kata pemuda 23 tahun itu.
Jose berharap kesenian ini tidak akan lenyap dalam waktu singkat. Ia yakin, masih banyak generasi muda yang peduli dengan wayang, bahkan tidak sedikit yang jadi dalang.
Namun, masih saja ada yang membuat hatinya gundah. Itu karena penonton potehi terus berkurang. Jika penontonnya habis, lama-lama dalang akan hilang, begitu pula dengan wayang.
"Kalau sampai seperti itu, ya kita juga kehilangan jati diri. Karena Indonesia dihargai akan budayanya dan Indonesia dihargai karena keberagamannya," ujarnya.
***