JEO - Tokoh

Jejak Azis Syamsuddin, Dari Pusaran Kasus Hingga Orang Dalamnya di KPK

Jumat, 15 Oktober 2021 | 07:35 WIB

Aparat pemberantas korupsi tak asing dengan nama Muhammad Azis Syamsuddin. Ia terseret ke dalam beberapa pusaran kasus korupsi, tetapi hukum tak sampai menjeratnya. Ini membuat publik heran.

Kini, KPK membongkar persekongkolan jahat Azis bernilai miliaran rupiah dengan oknum aparat pemberantasan korupsi dan advokat nakal. Diduga kuat, baru sebagian oknum yang terjerat. 

Sisanya, patut diburu...

 

TIBA di Kantor KPK, Jakarta, Jumat, 24 September 2021 malam, Azis turun dari Toyota Innova berpelat B 8286 NV.

Politikus Golkar yang kala itu masih menjabat Wakil Ketua DPR RI tak menjawab satu pun pertanyaan wartawan. Raut wajahnya tersembunyi di balik masker.

Mengenakan batik lengan panjang, Azis yang dikawal penyidik KPK menerobos kerumunan wartawan dan masuk ke lobi gedung Merah Putih.

Wartawan yang menunggu keterangan resmi KPK terkait Azis bertahan di teras gedung hingga berganti hari.

Saat waktu telah menunjukkan pukul 01.00 WIB, Ketua KPK Firli Bahuri menggelar konferensi pers.

Azis turut diboyong dalam konferensi pers itu. Tetapi, jaket oranye sudah tersemat di tubuhnya. Ia berdiri persis di belakang Firli membelakangi wartawan.

KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO
Ketua KPK, Firli Bahuri menggelar jumpa pers terkait penahanan Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Sabtu (25/9/2021). Azis Syamsuddin ditetapkan tersangka dugaan kasus suap dana alokasi khusus (DAK) di Lampung Tengah.

Firli menegaskan, penyidik telah menetapkan Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi pemberian hadiah atau janji terkait penanganan perkara yang ditangani oleh KPK di Kabupaten Lampung Tengah.

“Selanjutnya KPK melakukan penyelidikan yang kemudian ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup, maka KPK meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan saudara AZ (Azis Syamsuddin) Wakil Ketua DPR,” ujar Firli.

Firli membeberkan, sedianya penyidik memeriksa Azis sedari pagi pada ‘jumat keramat’ itu. Tetapi Azis tidak datang dengan alasan tengah menjalani isolasi mandiri.

Pada malam harinya, penyidik menjemput Azis di kediamannya bilangan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Penyidik turut membawa tim medis.

Setelah dites usap cepat dan hasilnya diketahui negatif Covid-19, Azis dibawa ke Gedung KPK. Firli menyebut, tindakan ini sebagai penjemputan paksa.

Penetapan tersangka Azis ini seolah menggenapi kisahnya yang beberapa kali bersinggungan dengan kasus korupsi namun tak terjerat.

Berikut ini catatannya…

Dituduh Membantu Proyek Nazarudin

Nama Azis Syamsuddin terseret dalam kasus korupsi yang mencuat di tahun 2012, tepatnya kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Kawasan Pusat Kegiatan Pengembangan dan Pembinaan Terpadu Sumber Daya Manusia Kejaksaan, Kelurahan Ceger, Jakarta Timur.

Hasil investigasi Majalah Tempo kala itu menyebut, Azis membantu mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin meloloskan usulan proyek Kejaksaan Agung sebesar Rp 560 miliar di Komisi III DPR.

Dalam investigasi itu, Nazaruddin menyebut, Azis menerima 50.000 dollar AS sebagai fee meloloskan proyek itu.

KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/9/2017).

Namun demikian, hasil investigasi itu sempat tidak berlanjut ke proses hukum.

KPK baru menyelidiki kasus tersebut pada 2014.

Meskipun Ketua KPK kala itu Abraham Samad membuka opsi untuk memeriksa Azis, tetapi pemanggilan tidak terlaksana hingga pergantian komisioner.

Uang di Dalam Kardus untuk Azis Dkk

Pada 2013, nama Azis kembali terseret dalam kasus korupsi.

Nama Azis terlontar dari mulut Ketua Panitia Pengadaan Proyek Simulator Ujian SIM AKBP Teddy Rusmawan saat menjadi saksi dalam persidangan kasus korupsi pengadaan simulator SIM dengan terdakwa eks Kepala Korlantas Polri Djoko Susilo.

Teddy yang merupakan anak buah Djoko di Korlantas Polri mengaku, pernah diperintahkan Djoko untuk menyerahkan uang kepada sejumlah anggota DPR RI.

Ia menyebut, ada empat kardus berisi uang yang diantarkan ke sejumlah anggota DPR RI, khususnya untuk Badan Anggaran DPR RI. Salah satunya adalah Azis Syamsuddin.

Namun, Teddy mengaku, tidak mengetahui berapa uang yang ada di dalam kardus.

Dalam kasus yang ditangani KPK itu sendiri, majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman 10 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan kepada Djoko Susilo.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Terdakwa dugaan korupsi dan pencucian uang proyek simulator ujian memperoleh surat izin mengemudi (SIM), Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo meninggalkan ruang sidang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (3/9/2013). Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, denda Rp. 500 juta, subsider enam bulan kurungan penjara. Ia menyatakan banding.

Hakim menilai Djoko Susilo terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang merupakan gabungan perbuatan dalam pengadaan proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) roda 2 dan roda 4.

Sementara itu, Teddy yang saat memberikan keterangan di persidangan masih berstatus saksi, ditetapkan sebagai tersangka pada 2015 atas kasus yang sama.

Hingga saat ini, penyidik KPK tidak meminta keterangan dari Azis. 

Dituduh Meminta Fee 8 Persen

Pada 2017, nama Azis Syamsuddin kembali muncul dalam dugaan kasus korupsi.

Kasus ini bermula saat Azis dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas dugaan suap dalam pengesahan Dana Alokasi Khusus (DAK) Lampung Tengah tahun 2017.

Mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa menyebut, Azis meminta fee delapan persen dari DAK 2017 Lampung Tengah yang berhasil disahkan. Saat itu Azis Syamsuddin menjabat sebagai Ketua Badan Anggaran DPR.

Azis membantah menerima uang tersebut. Ia juga mengatakan, jangan sampai pelaporan ke MKD itu bertujuan untuk memfitnahnya.

“Sebagai warga Negara, saya menghargai proses yang berlangsung dan terkait dengan diri saya, saya berharap tidak dipolitisasi yang mengarah pada pembunuhan karakter,” kata Azis kala itu.

Mario/Man
Wakil Ketua DPR RI M Azis Syamsuddin

Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan di KPK hingga saat ini. 

Menariknya, belakangan diketahui bahwa Azis rupanya menyuap penyidik KPK agar kasus tersebut tidak naik ke tingkat penyidikan. 

Penyidik KPK justru mengungkap praktik suap Azis ke penyidiknya terlebih dahulu ketimbang perkara pokoknya. 

Kasus suap Azis ke penyidik KPK inilah yang akhirnya membawanya ke status tersangka. 

Membantu Djoko Tjandra? 

Nama Azis lagi-lagi terseret dalam pusaran kasus korupsi pada 2020. Kali ini kasus suap Djoko Tjandra ke petinggi Polri dalam rangka menghapus status red notice.

Ada empat orang tersangka dan sudah divonis bersalah atas kasus ini, yakni Djoko Tjandra sendiri, orang dekat Djoko bernama Tommy Sumardi, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte, dan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.

Saat Napoleon menjadi saksi dalam persidangan atas terdakwa Tommy Sumardi, ia membeberkan awal mula permintaan penghapusan red notice Djoko Tjandra itu terjadi. Nama Azis disinggung di dalamnya.

Napoleon bercerita, Brigjen Prasetijo membawa Tommy ke kantornya di Gedung TNCC, Kompleks Mabes Polri, April 2020.

Napoleon meminta Prasetijo untuk keluar ruangan. Praktis, Napoleon hanya berbincang dengan Tommy empat mata. 

Tommy pun mengutarakan maksud tujuannya datang ke Napoleon, yakni meminta penjelasan perihal status red notice Djoko Tjandra.

Napoleon mengaku heran mengapa Prasetijo yang berpangkat bintang satu bisa membawa orang yang tidak dikenal (Tommy Sumardi) untuk menemuinya.

Menurut Napoleon, Tommy mengklaim sebagai orang dekat Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang saat itu masih berpangkat Komisaris Jenderal dan menjabat sebagai Kepala Bareskrim Polri. Tommy sekaligus mengklaim mendapatkan restu dari Sigit untuk bertemu Napoleon.

Untuk mendukung pernyataannya itu, Tommy hendak menelepon Listyo. Tetapi Napoleon meminta agar hal itu tidak dilakukan.

Meski demikian, Napoleon masih ragu dengan Tommy. Pada saat inilah nama Azis diseret-seret.

Tommy kemudian menelepon Azis Syamsuddin untuk meyakinkan Napoleon. Setelah tersambung, Tommy menyerahkan telepon genggamnya ke Napoleon.

Napoleon mengenal baik Azis sejak dirinya masih perwira menengah. Oleh sebab itu, komunikasi berjalan baik. Bahkan, Napoleon sempat meminta petunjuk kepada Azis soal permintaan Tommy Sumardi.

Napoleon menyebut, Azis meminta dirinya untuk membantu Tommy Sumardi mengurus status red notice Djoko Tjandra.

ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra (kiri) selaku terdakwa perkara suap kepada jaksa dan perwira tinggi Polri serta pemufakatan jahat, berbincang dengan penasehat hukum saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (17/12/2020). Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan dua orang saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum yakni Andi Irfan dan Wyasa Kolopaking. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.

Dalam kasus itu, seluruh terdakwa telah divonis bersalah. Djoko Tjandra divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsidair enam bulan kurungan penjara.

Kemudian, Tommy Sumardi divonis pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Brigjen Prasetijo Utomo divonis divonis 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. 

Sementara itu, Irjen Napoleon Bonaparte divonis 4 tahun penjara dan dijatuhi denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Meski demikian, tim Bareskrim Polri yang mengusut kasus tersebut tidak menindaklanjuti keterangan Napoleon tentang keterkaitan Azis.

Akhirnya tersangka juga

Setelah namanya malang melintang di sejumlah kasus korupsi tanpa tersentuh jeratan hukum, Azis Syamsuddin akhirnya terperosok juga.

Pintu masuk KPK menjerat Azis adalah penyidikan kasus suap penanganan perkara di Kota Tanjungbalai tahun 2019. 

Tersangka dalam kasus itu, yakni mantan Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial mengaku kepada penyidik, ia sempat meminta tolong kepada Azis agar kasusnya di KPK tidak naik ke penyidikan.  

Syahrial kemudian diundang ke rumah dinas Azis di bilangan Jakarta Selatan untuk membicarakan hal itu. Saat Syahrial tiba, di dalam rumah sudah ada penyidik KPK bernama Stepanus Robin Pattuju. Azis merupakan kawan dari Robin.

Azis, kata Syahrial, memperkenalkan Robin sebagai orang yang dapat membantu menahan kasusnya agar tidak naik ke penyidikan.

Setelah pertemuan di rumah Azis, Syahrial bertemu kembali dengan Robin beberapa waktu kemudian.

Tetapi, kali ini Azis tidak ikut dalam pertemuan. Robin membawa seorang pengacara bernama Maskur Husain.

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (22/4/2021). KPK menetapkan Penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju dan Pengacara Maskur Husain sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait penanganan perkara Wali Kota Tanjung Balai Tahun 2020-2021. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.

Masih berdasarkan keterangan Syahrial, Robin mengklaim, Maskur bisa membantu menangani kasusnya agar tidak ditingkatkan ke penyidikan.

Dalam pertemuan inilah Robin dan Maskur meminta Syahrial menyiapkan uang Rp 1,5 miliar. Syahrial menyetujuinya dan transfer pun dilakukan bertahap.

Hingga Robin akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pada April 2020, uang dari Syahrial yang diterima sebesar Rp 1,3 miliar. Kurang Rp 200 juta dari perjanjian awal.

Rupanya, Azis tidak hanya memperkenalkan Robin ke Syahrial. Dalam persidangan, jaksa KPK mengungkap bahwa Azis juga memperkenalkan Robin ke sejumlah orang yang sedang berperkara di KPK.

Beberapa di antaranya, yakni mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari dan politikus Golkar Aliza Gunado.

Rita adalah terpidana kasus gratifikasi sebesar Rp 110,7 miliar dan suap Rp 6 miliar dari para pemohon izin dan rekanan proyek. Ia divonis 10 tahun penjara pada Juli 2018 dan telah dieksekusi ke dalam sel.

Atas kasus itu, Rita juga dijerat kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dalam kasus TPPU inilah Rita meminta bantuan Robin untuk mengurus pengembalian aset-aset yang disita KPK.

Sementara itu, dalam kasus Aliza, Azis turut menyuap Robin senilai Rp 3,6 miliar. Suap itu diberikan agar KPK tidak menyelidiki kasus suap Dana Alokasi Khusus (DAK) Lampung Tengah tahun 2017 silam.

Rivan Awal Lingga
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin memakai rompi oranye usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (25/9/2021). KPK resmi menahan Azis Syamsuddin sebagai tersangka setelah dijemput paksa oleh tim penyidik atas kasus dugaan suap penanganan perkara di Kabupaten Lampung Tengah. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pras.

Uang Rp 3,6 miliar itu, sebut Jaksa, dibagi dengan Maskur.

Robin diduga menerima Rp 797.887.000. Sedangkan Maskur mendapat bagian Rp 2,3 miliar dan 36.000 dollar AS dari total pemberian Azis dan Aliza.

Kini, KPK telah menahan Azis. Untuk kepentingan penyidikan, KPK menahan Azis selama 20 hari pertama, terhitung mulai 24 September 2021 hingga 13 Oktober 2021, di Rutan Polres Metro Jakarta Selatan.

Ia disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

‘Beking’ Koruptor Harus Diburu

Terkuaknya kerja sama gelap antara wakil rakyat dengan aparat hukum ini seolah mengonfirmasi wajah pemberantasan korupsi di negeri ini.

Kasus yang menjerat Azis sedikit banyak menjawab keheranan banyak pihak tentang mengapa selama ini Azis selalu lolos dari hukum.

Perspektif ini semakin lengkap setelah Sekretaris Daerah Kota Tanjungbalai, Yusmada, mengungkapkan hal yang mengejutkan.

Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin 4 Oktober 2021, Yusmada membeberkan bahwa Azis Syamsuddin tidak hanya ‘mengendalikan’ Robin. Azis disebut memiliki delapan orang di KPK beking apabila sewaktu-waktu terjerat kasus.

"Data awal yang valid sangat kami butuhkan agar laporan tersebut tidak sekadar tuduhan yang tak berdasar. Maka, jika ada pihak-pihak yang mengetahui informasi ini, sebaiknya menyampaikan kepada Dewas KPK dan kami pastikan akan menindaklanjutinya,"

-Ali Fikri-

Yusmada yang dihadirkan sebagai saksi dugaan suap pengurusan perkara di KPK dengan terdakwa Stepanus dan Maskur mengatakan, informasi itu didapatkan dari Syahrial.

KPK merespons cepat bola panas itu. Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri meminta pihak-pihak yang mengetahui adanya oknum KPK yang menjadi beking Azis, melaporkannya ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Ali mengatakan, dengan adanya laporan tersebut dapat dijadikan data awal untuk ditindak lanjuti oleh Dewan Pengawas.

"Data awal yang valid sangat kami butuhkan agar laporan tersebut tidak sekadar tuduhan yang tak berdasar. Maka, jika ada pihak-pihak yang mengetahui informasi ini, sebaiknya menyampaikan kepada Dewas KPK dan kami pastikan akan menindaklanjutinya," ujar Ali, melalui keterangan tertulis, Rabu 6 Oktober 2021.

Azis sendiri yang ditemui wartawan usai pemeriksaan pertama, tidak mau menjawab.

Desakan bagi KPK untuk membongkrak praktik kongkalikong aparat pemberantas korupsi dengan para koruptor pun datang dari publik.

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan, tidak ada lagi alasan bagi KPK untuk tidak membongkar jaringan ini. Sebab, bukti sudah jelas ada di depan mata.

Penyelidikan dapat dimulai dengan melakukan pengembangan pada komunikasi yang dilakukan oleh Azis beserta ajudannya dan Robin.

Selain itu, KPK juga perlu melakukan audit perkara-perkara yang proses penyidikkannya pernah diikuti oleh Robin.

"Ini perlu dilakukan untuk membuka kemungkinan penyelidikan hubungan Azis dengan orang-orang di dalam KPK. Sebab sejak awal sudah ada pertanyaan, benarkah Robin bermain sendirian mengurusi perkara-perkara besar ini? " ujar Zaenur.

Thinkstock
Ilustrasi korupsi

Advokat Peradi, Petrus Selestinus juga mendesak hal yang sama. Ia bahkan menyebut, sangat mungkin orang titipan koruptor tidak hanya sekelas penyidik seperti Robin, melainkan juga sampai tingkat komisioner. Petrus memiliki argumentasi kuat soal itu.

Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar terbukti berkomunikasi dengan pihak yang berperkara. Atas praktiknya itu, ia dijatuhi sanksi etik berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun.

Pada titik inilah, lanjut Petrus, publik patut menaruh curiga.

Apalagi, narasi koruptor memiliki ‘orang dalam’ di KPK bukanlah isu baru dan terus terungkap dalam sejumlah perkara. 

"KPK harus jujur dalam upaya bersih-bersih mengungkap informasi bahwa Azis Syamsuddin punya titipan orang dalam KPK untuk jaringan mafia peradilan. Ini bukan isu baru soal titipan penyidik KPK oleh pejabat tertentu,"

-Petrus Selestinus-

“Di sini Dewas KPK bertindak tidak fair. Karena Dewas hanya berani menindak Robin Pattuju dengan sanksi diberhentikan tidak hormat dan diproses hukum. Sementara Lili Pintauli meskipun terbukti menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan melangar larangan bertemu pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK, hanya diberikan sanksi pemotongan gaji,” ujar Petrus.

“Karena itu, KPK harus jujur dalam upaya bersih-bersih mengungkap informasi bahwa Azis Syamsuddin punya titipan orang dalam KPK untuk jaringan mafia peradilan. Ini bukan isu baru soal titipan penyidik KPK oleh pejabat tertentu yang sering bermain dalam kasus korupsi besar, tujuannya untuk menjadi makelar kasus dan melindungi diri bagi pejabat jika kelak terlibat korupsi,” lanjut dia.

Tak hanya KPK, Petrus sekaligus menyoroti profesi advokat yang main serong.

Ia menyebut, kian maraknya praktik kotor advokat dalam jaringan mafia peradilan sempat menjadi perbincangan hangat di internal advokat.

Petrus menyebut, organisasi advokat hingga saat ini tidak melakukan tindak bersih-bersih demi menyelamatkan kehormatan profesi advokat.

“Jadi, praktik-praktik tidak terpuji dari advokat tidak hanya merusak independensi KPK, tetapi juga merusak kehormatan profesi advokat. Tetapi hingga sekarang organisasi advokat dan KPK tidak melakukan bersih-bersih, padahal kelompok advokat ini masih beroperasi,” ujar Petrus.