JEO - Peristiwa

Jika Jepang Tak Kalah Perang...

Kamis, 2 September 2021 | 14:29 WIB

HARI ini tepat 76 tahun silam, merupakan akhir Perang Dunia II.

Usai sekutu meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom, 6 dan 9 Agustus 1945, Jepang mulai kehilangan kekuatan di wilayah jajahan.

Serbuan mendadak tentara Uni Soviet ke koloni Jepang di Manchuria tepat pada hari ledakan bom atom Nagasaki menambah kegoyahan Jepang.

Buntutnya, Kaisar Hirohito kala itu memerintahkan petinggi militernya untuk menarik diri dari perang dan menerima syarat-syarat yang ditawarkan sekutu.

Pidato menyerahnya Jepang atas sekutu disampaikan Kaisar kepada rakyatnya  melalui siaran radio pada tanggal 15 Agustus 1965.

Upacara kapitulasi Jepang sebagai penanda berakhirnya perang dunia pun diadakan di atas kapal tempur milik Amerika Serikat, USS Missouri, 2 September 1945.

Baca Juga: Kisah Perang Dunia II: Mengapa Terjadi dan Negara yang Terlibat

Bettmann
Peristiwa Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu ditandai upacara penandatanganan di atas kapal perang USS Missouri di Teluk Tokyo, 2 September 1945. Menteri Luar Negeri Jepang Mamoru Shigemitsu menandatangani mewakili pemerintah Jepang.

Kapitulasi merupakan pengakuan kalah perang dan menyerahkan kekuasaan kepada pihak pemenang sebagai akibat kekalahan perang.

Dokumen kapitulasi itu ditandatangani oleh perwakilan kekaisaran Jepang, Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Britania Raya dan Irlandia Utara.

Kemudian, Republik Sosialis Uni Soviet, Persemakmuran Australia, pemerintahan Kanada, pemerintahan Sementara Republik Perancis, Kerajaan Belanda dan pemerintahan Selandia Baru.

Upacara tersebut dirayakan besar-besaran oleh penduduk sipil dan anggota militer di negara-negara sekutu.

Mereka menyebut hari itu sebagai V-J Day yang merupakan singkatan dari Victory over Japan Day.

 

Di Indonesia, pesta datang lebih cepat.

Usai mendengar bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki, sejumlah elemen pejuang merencanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan jalannya masing-masing.

Semua rencana tersebut akhirnya bermuara pada tanggal 17 Agustus 1945 sekitar pukul 10.00 WIB, di mana Ir. Soekarno mengumandangkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejak momen bersejarah itu, Jepang yang tercatat mulai menguasai Indonesia sejak awal 1942 berangsur-angsur pulang ke negaranya.

Melihat serangkaian fakta tentang Jepang dalam lintasan sejarah, menarik ditelisik lebih lanjut, apa yang akan terjadi seandainya Jepang tidak kalah perang.

Apakah Indonesia masih tetap merdeka?

 Pendudukan Jepang di   Indonesia 

Mari kita memulainya dari pendudukan Jepang atas Indonesia.

Pendudukan Jepang atas Indonesia dan beberapa negara di Asia Pasifik terjadi pada awal 1940.

Setelah Jepang menduduki sejumlah wilayah di Indochina yang sebelumnya dikuasai Perancis, Amerika Serikat menerapkan embargo baja dan minyak terhadap Jepang.

AS memahami, tanpa baja dan minyak, Jepang tidak dapat bertempur lama. Embargo itu pun bertujuan mengakhiri ekspansi militer Jepang di Asia Timur.

Peningkatan tensi Jepang-AS inilah yang memicu serangan Jepang ke armada laut AS di Pearl Harbour pada Desember 1941.

Setelah menghantam keras pangkalan Angkatan Laut terbesar Amerika Serikat di wilayah Pasifik itu, Jepang kemudian merangsek ke selatan untuk menaklukkan koloni Inggris dan Belanda. Indonesia salah satunya.

Tujuan sebenarnya, mencari sumber daya untuk menyokong perang mereka melawan sekutu usai diembargo AS.

Pulau Kalimantan adalah yang pertama kali didatangi Jepang. Tepatnya di Tarakan, Kalimantan Timur pada Januari 1942.

Kemudian disusul dengan pendudukan di Balikpapan, Pontianak dan Banjarmasin.

Baca Juga: Dampak Positif Pendudukan Jepang

Pinterest
Kedatangan tentara Jepang ke Hindia Belanda (Indonesia).

Daerah-daerah itu sejak dahulu dikenal sebagai daerah penghasil minyak sehingga menjadi target pertama yang disasar Jepang.

Setelah itu, tentara Jepang bergerak menduduki Sumatera, dimulai dari Palembang. Tujuan akhirnya adalah Pulau Jawa yang baru dimasuki pada Maret 1942.

Dikutip dari Di Bawah Matahari Terbit (2016), kedatangan Jepang awalnya disambut hangat masyarakat Indonesia.

Sebab, Jepang hadir melabeli diri sebagai pembebas negara-negara Asia dari jerat penjajahan barat.

Pelindung Asia, pemimpin Asia dan cahaya Asia. Kalimat itulah yang dikumandangkan Jepang.

Baca juga: Kedatangan Jepang di Indonesia, Mengapa Disambut Gembira?

Rakyat Indonesia kala itu diperbolehkan mengibarkan bendera Merah Putih, suatu aktivitas yang dilarang oleh pemerintahan Kolonial Belanda.

Kepada umat Islam, Jepang menjanjikan akan memfasilitasi naik haji dengan ongkos yang murah.

Sejarawan Aiko Kurosawa dalam Sisi Gelap Perang Asia (2019) mengatakan, Jepang memanfaatkan sejumlah tokoh di Indonesia untuk semakin menancapkan pengaruhnya di depan rakyat. Soekarno dan Hatta salah satunya.

Pemanfaatan tokoh-tokoh itu juga demi mencegah perlawanan rakyat Indonesia terhadap Jepang.

"Pada waktu itu, selalu dipakai semboyan manis sehingga dapat mencegah perlawanan bangsa Indonesia secara terorganisasi dan besar-besaran melawan Jepang," tulis Kurosawa.

Koleksi Tropen Museum (Wikimedia)
Pendaratan tentara Jepang di Jawa.

Meski demikian, sambutan hangat itu tidak bertahan lama.

Sebagaimana dikutip dari Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi Kemerdekaan (2011), demi keperluan militernya, Jepang tak segan menggunakan langkah kekerasan, bahkan tak berperikemanusiaan.

Baca juga: Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia

Mereka juga tak ragu untuk menyita bahan pangan rakyat sekaligus memaksa pemuda dan orang tua untuk bekerja secara paksa. Hal itu dikenal dengan istilah romusha.

Kebanyakan romusha adalah warga desa yang dipekerjakan secara paksa untuk membangun pangkalan militer, benteng pertahanan, jalan kereta api, dan kepentingan perang lainnya.

Mereka bekerja tanpa upah. Akibatnya banyak yang mati kelaparan. Jika tidak mau bekerja, Jepang akan menyiksa dengan kejam bahkan hingga tewas.

Australian War Memorial
Rakyat yang dipaksa bekerja oleh Jepang sakit dan kurang gizi. Mereka ditemukan oleh pasukan sekutu (Australia) di Kalimantan pada tahun 1945 setelah ditinggal tentara Jepang.

Pada saat yang bersamaan, negara-negara Eropa tengah sibuk berperang melawan Jerman dan Italia dalam perang di Eropa.

Oleh sebab itu, satu-satunya kekuatan yang dapat menghentikan Jepang hanyalah AS.

Mengetahui banyak rakyat AS yang tidak ingin berperang, Jepang meyakini AS tak akan bereaksi terlalu jauh saat pangkalan militer mereka di Pearl Harbour, dihancurkan.

Namun, reaksi yang ditunjukkan AS dengan meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki ternyata menjadi blunder besar bagi Jepang.

 Konsep negara Asia Timur   Raya dan janji palsu Jepang 

Hadirnya AS di kancah peperangan boleh dibilang memiliki peran penting dalam menentukan hasil akhir.

Tanpa keterlibatan AS, bisa jadi Indonesia tidak akan mudah untuk mendeklarasikan kemerdekaannya.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Sejarawan Bondan Kanumoyoso mengatakan bahwa tujuan Jepang menduduki negara-negara di kawasan Asia Tenggara adalah demi mendapatkan bahan baku untuk mendukung industrinya.

Bondan menilai, jika tidak ada Perang Pasifik dan Jepang terus bertahan, maka mustahil Indonesia akan merdeka. Karena yang akan terbentuk adalah Negara Asia Timur Raya.

"Jadi, Indonesia dan negara-negara lain yang diduduki Jepang akan jadi negara satelit. Kemungkinan akan seperti itu," kata Bondan kepada Kompas.com, Rabu (12/8/2020).

Baca juga: Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik dan Kemerdekaan Indonesia

Konsep Asia Timur Raya yang digagas Jepang berbeda dengan Persemakmuran Inggris.

Konsep Asia Timur Raya, menurut Bondan, justru lebih mirip dengan Uni Soviet.

"Mereka punya konsep Asia Timur Raya, pusatnya di Jepang. Mungkin Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara jadi negara satelitnya mereka, jadi negara bawahan seperti Jepang memperlakukan Taiwan, Manchuria China, dan Korea," ucap Bondan.

"Jepang tidak seperti Inggris. Jadi, beda karakternya, jangan dibandingkan," kata dia melanjutkan. 

Konsep kawasan kemakmuran bersama antara negara-negara di Asia itu sendiri merupakan konsep dan propaganda yang disebarluaskan pada zaman Showa

Zaman Showa merujuk pada sebuah periode waktu pada abad ke-20 di mana Kaisar Hirohito berkuasa di Jepang.

Kaisar Hirohito naik tahta pada 25 Desember 1926 dan wafat pada 7 Januari 1989.  

Wikimedia Commons
Kaisar Hirohito

Selama zaman Showa, Jepang memasuki babak baru, yakni totalitarianisme politik, ultranasionalisme dan mengarah ke fasisme. Puncaknya adalah invasi Jepang ke Tiongkok. 

Pada masa itu, Jepang berupaya mendirikan blok negara-negara Asia di bawah pimpinan Jepang dan terbebas dari kekuatan negara barat. 

Eksperimen Jepang dalam membangun imperialisme finansial dan politik di negara-negara Asia itu disebut dengan 'diplomasi yen' atau 'blok yen'. 

Berarti, bila Jepang tidak kalah perang, Indonesia sebagai salah satu negara yang didudukinya akan menjadi negara di bawah persemakmuran mereka. Sistem negara dan politiknya otomatis dikendalikan oleh Jepang. 

Namun demikian, konsep itu gagal total seiring dengan kekalahan demi kekalahan yang dialami Jepang atas sekutu. 

Menjelang tahun 1944, Jepang mengalami kekalahan di berbagai front pertempuran di Asia Pasifik. 

Salah satu peristiwa kekalahan Jepang di Pasifik dikemas secara apik dan lugas melalui sebuah film garapan sutradara Rolland Emmerich berjudul Midway. 

Setelah posisi terjepit dalam perang, secara perlahan Jepang mulai menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia.

Beberapa bulan sebelum kekalahan dari Sekutu, Perdana Menteri Jepang saat itu, Jenderal Kuniaki Koiso sempat menyatakan akan membantu Indonesia mempersiapkan kemerdekaannya.

Janji tersebut diucapkan oleh Koiso pada 7 September 1944 dalam sidang istimewa ke-85 Teikoku Ginkai (Parlemen Jepang) di Tokyo.

Sejarawan JJ Rizal mengatakan, meski Koiso sudah menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia, pada kenyataannya janji tersebut tak pernah diikuti dengan upaya apapun untuk mewujudkannya.

Pada titik inilah, kata Rizal, Soekarno menyadari bahwa Jepang sebenarnya tidak punya niat dari awal untuk memerdekakan Indonesia sejak awal kedatangan mereka.

Baru setelah Soekarno mengajukan protes, Jepang merespons dengan membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945.

"Soekarno tahu betul bahwa kemerdekaan bukan barang yang akan mau diserahkan Jepang. Sebab itu harus direbut," kata Rizal kepada Kompas.com, Sabtu (15/8/2020).

Baca juga: Sejarah BPUKI dan Perjalanannya

Atas dasar fakta sejarah itu, Rizal tak sependapat dengan anggapan yang menyebut Soekarno justru menunggu dan memilih menunda kemerdekaan.

"Justru ketika rapat di BPUPKI, anggota berpikir ini itu baru bisa merdeka, dia mengingatkan bahwa jangan pernah menunda kemerdekaan sampai siap. Kalau tidak percaya, baca saja pidato Pancasila pada 1 Juni," ucap Rizal.

kemdikbud.go.id
Pidato Sukarno pada sidang BPUPKI

Perihal perbedaan pandangan antara Soekarno dan kalangan pemuda hingga akhirnya terjadi Peristiwa Rengasdengklok, Rizal menyebut hal itu lebih semata-mata keengganan kalangan pemuda untuk merdeka sesuai petunjuk dari Jepang.

"Karena kemerdekaan itu dalam kesepakatan Soekarno-Hatta harus melalui suatu jalan di mana wakil-wakil dari berbagai ragam masyarakat di berbagai wilayah hadir dan mendukung. Ini terdapat di dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)," kata Rizal.

Senada dengan Rizal, Bondan Kanumoyoso menyebut Soekarno sudah punya perhitungan dan kalkulasi yang matang saat memutuskan bekerja sama dengan Jepang di masa awal pendudukan.

Menurut Bondan, Soekarno dan Hatta sudah tahu bahwa Jepang tidak akan bisa menang melawan Sekutu.

Baca juga: Jayabaya, Raja Kediri yang Terkenal akan Ramalannya

Dalam beberapa tahun pertempuran, Jepang diprediksi akan kalah dan itulah momen yang tepat bagi Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan.

Bondan menyebut Soekarno kerap melontarkan keyakinannya atas Ramalan Jayabaya.

"Jayabaya pernah bilang nanti akan ada orang kecil-kecil dari utara yang datang dan memerintah seumur jagung. Soekarno suka ngomong begitu. Artinya, Soekarno sudah memprediksi Pemerintahan Jepang akan berumur pendek," kata Bondan.

 Takdir kemerdekaan   Indonesia 

BPUPKI dibubarkan pada 7 Agustus 1945. Sebagai gantinya, Jepang membentuk PPKI yang diketuai oleh Soekarno.

Dalam rapat besar Komando Tentara Jepang wilayah Selatan, disepakati bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan pada 7 September 1945.

Untuk kepentingan peresmian dan pelantikan PPKI, pada 9 Agustus 1945, Jenderal Terauchi memanggil Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat untuk pergi ke Saigon, Vietnam.

Hal ini untuk menegaskan bahwa Pemerintah Jepang memutuskan untuk menyerahkan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Setelah Jepang lumpuh akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, pada 15 Agustus 1945, Jepang yang kehilangan sekitar 214.000 warganya menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

AFP PHOTO/HIROSHIMA PEACE MEMORI
Foto handout ini diambil pada 6 Agustus 1945 oleh Angkatan Darat AS dan dirilis oleh Hiroshima Peace Memorial Museum, menunjukkan asap berbentuk jamur dari ledakan bom atom yang dijatuhkan dari B-29 Enola Gay di atas Kota Hiroshima. Pada 73 tahun lalu, Agustus 1945, AS menjatuhkan bom 'Little Boy' di Kota Hiroshima, Jepang, sebagai tahap akhir PD II yang menewaskan lebih dari 120.000 orang. Setelah Hiroshima, Kota Nagasaki menjadi sasaran berikutnya.

Baca juga: Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki Disiapkan Selama 6 Tahun, Ini Prosesnya...

Otomatis, Jepang perlahan menarik diri dari wilayah jajahan yang sebelumnya dikuasai koloni sekutu. Termasuk Indonesia.  

Kalangan pemuda yang mengikuti perkembangan Perang Dunia II memiliki ide untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu keputusan Jepang.

Perbedaan pendapat terjadi antara golongan tua (PPKI) dengan golongan muda yang terwakili dalam beberapa perkumpulan.

Sjahrir adalah salah satu tokoh muda yang paling gencar mendesak Soekarno dan Hatta agar mempercepat proklamasi kemerdekaan. Namun, Soekarno, Hatta dan golongan tua memilih menunggu.

Perbedaan pendapat antara kedua golongan ini yang nantinya menyebabkan Peristiwa Rengasdengklok.

Kompas/IMAN NUR ROSYADI
Rumah millik Djiauw Kee Siong di Kampung Bojong, Rengasdengklok-Jawa Barat, menjadi tempat bersejarah karena sempat menampung Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945, setelah kedua pimpinan negara itu diculik beberapa pemuda pejuang.

Dilansir dari situs resmi Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 pukul 04.00 WIB.

Bondan Kanumoyoso mengatakan, alasan golongan tua menunggu ketimbang terburu-buru memproklamirkan kemerdekaan bukan tanpa sebab.

Baca juga: Peristiwa Menjelang Kemerdekaan, Gerakan Pemuda Mendorong Proklamasi

Saat itu, posisi militer Jepang di Indonesia masih kuat walaupun mereka sudah kalah telak dan menyerah dalam Perang Pasifik. Pasalnya, tidak ada pertempuran skala besar di Indonesia.

Situasi ini yang sudah dipertimbangkan oleh Soekarno.

Kedatangan pasukan sekutu yang dipimpin Jenderal Douglas MacArthur diketahui baru sampai Morotai, Maluku Utara.

"Kekuatan militer Jepang di Jawa masih utuh. Soekarno tidak mau proklamasi gagal. Ingin revolusi tapi tidak jadi dan dihancurkan. Kalau proklamasi tanpa kalkulasi yang matang, pemerintahan yang baru dibentuk akan mudah digulung," ujar Bondan.

Di sisi lain, Bondan menyebut para pemuda tidak berpikir panjang. Mereka ingin Indonesia merdeka tanpa campur tangan Jepang. Bagi kalangan pemuda, BPUPKI adalah badan bentukan Jepang.

"Tapi bagaimana bisa merdeka kalau tidak ada yang men-support. Di BPUPKI kebanyakan memang diisi orang-orang yang pernah bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Masa Soekarno dan Hatta harus melepas orang-orang yang selama ini membantu mereka di BPUPKI," ucap Bondan.

Pada akhirnya berdasarkan kesepakatan semua pihak, khususnya golongan muda, Soekarno dan Hatta dijemput untuk kembali ke Jakarta dan menjamin bahwa bahwa Proklamasi kemerdekaan akan diumumkan pada 17 Agustus 1945.

Baca juga: Untung Ada Mereka, Para Penyelamat Arsip Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Serangkaian peristiwa politik yang terjadi membawa Indonesia memasuki tonggak baru, yakni kemerdekaan. 

Melalui sebuah upacara sederhana, Ir. Soekarno disaksikan ratusan orang memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dari cengkeraman penjajahan Jepang. 

Arsip ANRI
Suasana saat pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta (sekarang Jalan Proklamasi Nomor 5, Jakarta Pusat) pada 17 Agustus 1945.

 

 

Campur tangan AS pada perang Asia Pasifik, serangan Jepang ke Pearl Harbour dan ledakan bom atom di Hiroshima-Nagasaki merupakan serangkaian peristiwa kunci yang menghantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan. 

Namun yang lebih penting dari itu, bangsa Indonesia sudah mempersiapkan diri untuk hidup merdeka dari belenggu penjajahan. Kemudian, berjuang kembali untuk mengisi kemerdekaan hingga saat ini.