JEO - Peristiwa

Meluruskan Pemahaman “Legalisasi Ganja untuk Medis”

Rabu, 6 Juli 2022 | 13:05 WIB

WACANA legalisasi ganja untuk medis, mengemuka di Indonesia. Hal ini berawal dari foto seorang ibu bernama Santi Warastuti yang viral di media sosial. Dalam foto itu, Santi memegang papan bertuliskan, “TOLONG ANAKKU BUTUH GANJA MEDIS” di acara car free day (CFD), Jakarta, Minggu, 26 Juni 2022.

Selangkah dari tempat Santi berdiri, sang buah hati bernama Pika (14) tampak duduk di stroller. Selain tulisan yang dipertontonkan Santi, tubuh Pika yang lemas dengan mata sayunya menuai perhatian orang yang melintas.

Usut punya usut, rupanya Pika adalah penderita cerebral palsy alias lumpuh otak. Penyakit ini disebabkan gangguan pada perkembangan otak anak sehingga berdampak pada tak optimalnya pergerakan, postur tubuh, hingga kecerdasan.

Dok. SANTI WARASTUTI
Santi Warastuti (43) bersama anaknya, Pika, dan suaminya, Sunarta, berjalan dari CFD ke Mahkamah Konstitusi (MK), Minggu (26/6/2022), perjuangkan agar ganja dilegalkan untuk pengobatan anaknya.

Obat-obatan yang selama ini dikonsumsi disebut tidak memberikan dampak positif. Singkat cerita, Santi menemukan sebuah literatur yang menyebutkan, kandungan pada ganja dapat dipakai untuk terapi penyembuhan penyakit yang diderita anak semata wayangnya itu.

Naluri seorang ibu kemudian menuntun Santi menempuh jalur hukum. Menyadari bahwa ganja masih dikategorikan sebagai barang terlarang dan berbahaya, ia bersama sejumlah pihak mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2020. Poin gugatannya, yakni melegalkan ganja untuk kepentingan pengobatan.

Intinya saya memohon (kepada MK) untuk dilegalkan ganja sebagai obat. Bukan sebagai yang lain.

-Santi Warastuti-

Tetapi sayang sudah dua tahun berselang, MK tak kunjung mengeluarkan putusan sehingga Santi nekat meninggalkan rumahnya di Sleman, Yogyakarta, menuju Jakarta untuk “mengadu” ke publik.

"Saya berkeinginan juga untuk melakukan terapi ganja medis yang tidak bisa saya lakukan. Sampai saat ini kan (ganja) belum legal (di Indonesia). Jadi intinya saya memohon (kepada MK) untuk dilegalkan ganja sebagai obat. Bukan sebagai yang lain," tutur Santi, sebagaimana dikutip dari wawancaranya dengan Kompas TV.

Sehari kemudian, MK angkat bicara perihal aksi Santi. Juru bicara MK Fajar Laksono mengakui, hakim konstitusi memang belum mengeluarkan putusan. Sebab, proses uji materi yang dimohonkan Santi masih membutuhkan waktu yang cukup panjang.

“Sidang perkara ini cukup panjang karena dihadirkan banyak ahli dari pihak yang berperkara,” ujar Fajar, Senin, 27 Juni 2022.

Sidang terakhir diketahui digelar 7 Maret 2022. Adapun, jadwal sidang selanjutnya belum ditentukan karena para hakim konstitusi masih melakukan pembahasan internal.

Permohonan uji materi oleh Santi dan kawan-kawan ini pun menambah catatan perjuangan segelintir kalangan di Tanah Air yang hendak melegalisasi ganja demi tujuan medis. 

Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini: 

Jejak legalisasi ganja untuk medis di Indonesia

Direspons positif eksekutif hingga legislatif

Aksi Santi yang ramai diperbincangkan mendapat perhatian para pengambil kebijakan di eksekutif dan legislatif. Tidak tanggung-tanggung, Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang tengah menjalankan sementara roda pemerintahan dalam negeri karena Presiden Joko Widodo sedang berdiplomasi di Ukraina-Rusia, menjadi salah satu pejabat negara pertama yang merespons peristiwa itu.

Pada Selasa, 28 Juni 2022, pernyataan Wapres Ma’ruf mengejutkan publik karena meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang penggunaan tanaman ganja untuk kebutuhan pengobatan. Fatwa itu dapat dijadikan pedoman bagi perumus regulasi, terutama legislatif, untuk melakukan kajian.

"Saya minta nanti MUI segera membuat fatwanya untuk bisa dipedomani oleh DPR, jangan sampai nanti berlebihan dan juga menimbulkan kemudaratan," kata Wapres Ma'ruf yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI.

ANTARA/HO-BPMI Setwapres
Wapres Ma'ruf Amin memberikan sambutan secara virtual di acara Forum Ekonomi Merdeka yang diselenggarakan di Jakarta, Senin (28/2/2022). Salah satu mantan Ketua MUI adalah Ma'ruf Amin. Apa itu MUI? ANTARA/HO-BPMI Setwapres

Sehari setelahnya, giliran Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengeluarkan pernyataan yang tak kalah mengejutkan. Kemenkes disebut tengah menyiapkan payung hukum untuk melakukan penelitian tentang manfaat ganja untuk medis.

Payung hukum itu akan mengatur sejumlah aspek dalam pemanfaatan ganja untuk penelitian. Antara lain, aspek budidaya dalam rangka penelitian dan pengembangan, penelitian berbasis pelayanan, serta tata laksana perlakuan penggunaan ganja untuk medis.

“Diharapkan bisa segera selesai,” ujar Budi, Rabu, 29 Juni 2022.

Regulasi semacam itu penting dibuat. Sebab, berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika, ganja yang termasuk narkotika golongan I dilarang untuk kepentingan kesehatan. Tetapi, pada ayat (2) dibuka celah bagi narkotika golongan I untuk digunakan dalam kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keperluan lainnya setelah mendapat persetujuan menteri terkait.

Artinya, regulasi yang disiapkan Kemenkes dibuat sebagai jembatan agar penelitian ganja untuk medis tidak bertabrakan dengan hukum. Pernyataan senada diketahui juga dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Kita tidak boleh berpandangan konservatif dalam merumuskan kebijakan narkotika. Jika terdapat penelitian yang menunjukkan turunan dari tanaman ganja dapat digunakan sebagai pengobatan, maka kita harus memiliki pikiran terbuka.

-Taufik Basari-

Pada Kamis, 30 Juni 2022, Komisi III DPR RI sampai mengundang Santi Warastuti ke gedung parlemen untuk mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP). Di hadapan para wakil rakyat, Santi berlinang air mata memaparkan urgensi pelegalan ganja untuk medis demi keselamatan anaknya, serta anak-anak lainnya yang mengalami penyakit serupa.

Harapannya membuncah, meski di hati kecil ia menyadari bahwa cita-citanya tidak bisa terwujud semudah membalikkan telapak tangan.

“Pingin secepatnya pulang ini langsung dapat (keputusan legalisasi ganja untuk medis). Tapi banyak step yang harus dilalui. Jadi, kita lihat dulu dan kita nikmati prosesnya,” ujar Santi.

Dalam rapat itu, anggota Komisi III tak menunjukkan tanda-tanda menolak wacana legalisasi ganja untuk medis. Sebaliknya, beberapa di antara mereka justru secara terbuka mendukung apa yang dicita-citakan Santi. Para wakil rakyat memberikan semangat bagi Santi dan orangtua yang bernasib sama.

Salah seorang anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem Taufik Basari mengungkapkan, demi kemanusiaan, semestinya perumus kebijakan tidak bersikap konservatif. Apabila hasil kajian menunjukan bahwa tanaman ganja memiliki manfaat medis, sudah saatnya Indonesia bersikap fleksibel dalam membuat regulasi.

"Kita tidak boleh berpandangan konservatif dalam merumuskan kebijakan narkotika. Jika terdapat penelitian yang menunjukkan turunan dari tanaman ganja dapat digunakan sebagai pengobatan, maka kita harus memiliki pikiran terbuka untuk merumuskan perubahan kebijakan,” ujar Taufik, Minggu, 3 Juli 2022.

Namun di sisi lain, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Rahmad Handoyo mewanti-wanti agar komisi terkait tidak latah dan berhati-hati menyikapi wacana ini. Sebab, selain dibutuhkan penelitian yang komprehensif tentang manfaat ganja untuk pengobatan, juga dibutuhkan perangkat hukum yang kuat dalam hal pengawasan apabila suatu saat wacana ini terealisasi.

Berkaca pada pengalaman beberapa negara yang sudah melegalisasi ganja untuk medis, fenomena yang justru marak terjadi adalah penyalahgunaan ganja dan penanaman ganja ilegal.

"Di luar kepentingan medis, misalnya penyalahgunaan ganja, penanaman ganja, harus tetap dilarang. Karena itu lah (dampak negatif) kalau ganja medis diizinkan. Aturan tersebut harus diikuti pengawasan yang ketat," ujar Rahmad, Rabu, 29 Juni 2022.

 

Perlu diluruskan

Anggota Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Bidang Farmasi Brigjen (Purn) Drs. Mufti Djusnir, M.si, Apt mengungkapkan, sebelum wacana legalisasi ganja untuk medis kian meluas dan ditindaklanjuti berbagai pihak, pemahaman publik harus diluruskan terlebih dahulu.

Pelurusan pemahaman ini penting bagi masyarakat agar mendapatkan literasi sekaligus edukasi yang baik terkait isu ini.

Ini rentan mengaburkan substansi karena bukan ganjanya yang legal. Harusnya diganti menjadi legalisasi Cannabidiol untuk tujuan medis. 

-Mufti Djusnir-

Menurut Mufti, penggunaan istilah “legalisasi ganja untuk medis” kurang tepat. Sejatinya, bukan tanaman ganja secara keseluruhan yang dijadikan bahan obat, melainkan hanya salah satu unsur di dalam tanaman ganja, yakni CBD (Canabidiol/Cannabinoid).

“Kandungan utama tanaman ganja itu bernama THC (tetrahydrocannabinol). Nah, THC ini berdampak psikoaktif. Dalam kata lain, ini unsur jahatnya. Sedangkan, yang bermanfaat untuk medis adalah unsur CBD,” ujar Mufti saat berbincang dengan JEO Kompas.com, Selasa, 5 Juli 2022.

Sama halnya dengan morfin. Mufti memaparkan, morfin adalah hasil isolasi zat aktif yang terdapat di dalam tanaman Papaver Somniferum (Popy). Zat aktif itulah yang digunakan untuk tujuan medis, bukan tanaman Popy-nya secara keseluruhan. Merujuk UU Narkotika sendiri, morfin masuk ke dalam narkotika golongan II. Sementara tanaman Popy masuk ke dalam narkotika golongan I.  

“Jadi memang harus hati-hati. Ke depan, jangan lagi kita memakai istilah legalisasi ganja untuk medis. Ini rentan mengaburkan substansi karena bukan ganjanya yang legal. Harusnya diganti menjadi legalisasi Cannabidiol untuk tujuan medis,” lanjut dia.

Mengutip jurnal ilmiah yang diterbitkan ILAE, penggunaan cannabidiol untuk pasien epilepsi memang terbukti ampuh meredakan gejala. Tetapi, ada efek samping yang perlu menjadi perhatian lebih lanjut.

Berikut ini penjelasannya: 

Dampak Cannabidiol pada pasien epilepsi

Setelah memahami substansi ini, publik kemudian harus mengetahui bahwa tanaman ganja sebagai narkotika golongan I dilarang digunakan untuk pelayanan kesehatan di Indonesia. Tetapi, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ganja tetap dapat menjadi obyek penelitian setelah mendapatkan persetujuan menteri terkait.

Persoalannya, hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki penelitian soal manfaat kandungan pada ganja untuk medis. Kemauan politik menggelar penelitian, sebagaimana yang dikatakan Menkes Budi sebelumnya, baru akan dilaksanakan.

Sejauh ini, yang dapat menjadi rujukan adalah penelitian yang dilakukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2020 lalu. Melalui penelitian WHO itu, Komisi Narkotika pada PBB (CND) mengumumkan telah mencabut ganja dari daftar narkoba berbahaya dan adiktif. Keputusan itu didasarkan pada pemungutan suara yang diikuti 53 negara anggota CND. Sebanyak 27 negara menyatakan mendukung mencabut ganja dari daftar hitam, 25 negara lainnya menolak. Sementara satu negara sisanya abstain.

Keputusan CND itu akhirnya membuka peluang penelitian tentang potensi kandungan yang ada di dalam ganja untuk kepentingan pengobatan. Meski hal yang patut digarisbawahi, CND tetap melarang penggunaan ganja untuk rekreasional.

Pemaparan BNN
Most modern medical Cannabis varieties are a blend of traditional sativa marijuana varieties with indica hasish varieties.

Lantas pertanyaannya, apakah bisa pemerintah Indonesia menggunakan penelitian WHO itu sebagai dasar untuk melegalisasi kandungan ganja untuk tujuan medis?

Mufti menjelaskan, tanaman ganja yang tersebar di penjuru dunia memiliki kadar kandungan zat aktif yang berbeda-beda, meski secara umum kandungan THC pada seluruh jenis ganja lebih tinggi dibandingkan kandungan CBD-nya. Artinya, tetap dibutuhkan penelitian yang berbasis jenis tanaman ganja dalam negeri.

“Yang harus dipikirkan para ahli kita dalam meriset adalah bagaimana mendapat kandungan CBD yang tinggi dari ganja kita. Kalau di penelitian WHO, dia menggunakan rekayasa genetik. Jadi, ganja itu ditanam di rumah kaca, diatur berapa sinar mataharinya, diatur suhunya, diatur asupannya, sehingga kadar CBD-nya lebih tinggi dibandingkan THC. Inilah yang bisa digunakan untuk medis,” urai Mufti.

Mengingat Indonesia mesti menggelar penelitian sendiri, kita harus menyadari  bahwa legalisasi kandungan pada ganja untuk medis membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tahapannya pun berlapis, mulai dari penentuan tata laksana, penelitian, uji klinis pertama sampai ketiga, menentukan siapa yang akan memproduksi, hingga mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Pemaparan BNN
Perbandingan tanaman ganja hasil rekayasa genetik demi kepentingan medis dengan tanaman ganja naturall.

Ganja tidak memiliki kekhususan

Sembari menunggu penelitian yang dilakukan pemerintah Indonesia rampung, lanjut Mufti, informasi spesifik lain yang harus diketahui publik adalah WHO menyatakan, kandungan Cannabidiol pada ganja tidak memiliki kekhususan untuk mengatasi gejala penyakit tertentu. Cerebral palsy atau epilepsi contohnya.

“Kami bertanya langsung di dalam sidang itu. Lalu dijelaskan bahwa belum ditemukan kekhususan penggunaan Cannabidiol sebagai obat epilepsi misalnya. Jadi sama saja kayak kita sakit kepala, obatnya banyak pilihannya, enggak harus pakai obat A misalnya,” ujar Mufti.

“Beda dengan morfin. Kalau morfin, dia sudah memiliki kekhususan untuk luka bakar, atau untuk operasi. Itu sangat spesifik dan tepat. Jadi yang menggunakan itu tetap merasa nyaman setelahnya,” lanjut dia.

Dijelaskan bahwa belum ditemukan kekhususan penggunaan Cannabidiol sebagai obat epilepsi misalnya. Jadi sama saja kayak kita sakit kepala, obatnya banyak pilihannya, enggak harus pakai obat A misalnya. 

-Mufti Djusnir-

Tetapi, faktanya WHO tetap mencabut ganja dari daftar hitam sehingga bisa digunakan untuk penelitian dan kepentingan kesehatan. Rupanya WHO memiliki alasan tersendiri, yakni agar bisa mengevaluasi penggunaannya di masa depan. Artinya, keputusan itu pun dilatari oleh kepentingan penelitian yang berkelanjutan.

Apa yang dikemukakan Mufti sejalan dengan pendapat Ketua Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia Aris Catur Bintoro saat menjadi saksi ahli dalam sidang permohonan uji materi UU Narkotika di MK, Januari 2022 lalu.

Ia mengatakan, penggunaan kandungan pada ganja untuk terapi penyakit tertentu sebenarnya masih diperdebatkan para ahli. Sebab, dukungan penelitian dan tata laksananya belum banyak. Meski sudah ada negara yang menyediakan aturan penggunaan kandungan ganja untuk medis, tetapi sebagian besar lainnya belum memilikinya. Bahkan, Organisasi Epilepsi Dunia (ILAE/International League Against Epilepsy) belum memiliki panduan.

Mengingat kurangnya referensi, Aris memohon MK menolak uji materi agar kandungan pada ganja dilegalkan untuk kepentingan medis.

Oleh sebab itu, Mufti berharap, daripada bergantung pada metode pengobatan yang belum didukung oleh kaidah ilmiah, publik Indonesia diminta untuk lebih mengawal ketersediaan, distribusi dan keterjangkauan obat-obatan yang sudah disetujui pemerintah bagi pasien penyakit cerebral palsy atau epilepsi.

Diketahui, pemerintah Indonesia melalui Kemenkes setiap tahunnya selalu memperbaharui standar obat untuk berbagai jenis penyakit, termasuk cerebral palsy atau epilepsi. 

“Dalam Formularium Nasional terakhir tahun 2021 yang dikeluarkan Menkes, sudah ada obat epilepsi yang disetujui pemerintah. Ada 12 item. Jadi daripada menggantungkan harapan ke zat yang belum memiliki kekhususan, lebih baik kita menyandarkan pada obat yang sudah jelas penelitiannya dan manfaatnya,” ujar Mufti.

Selengkapnya tentang Formularium Nasional untuk epilepsi dapat dilihat dalam infografik berikut ini: 

Daftar obat epilepsi di Indonesia