RUMAH Indra Rukmana (23) yang terletak di Desa Darek, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, tampak lebih semarak, Selasa 10 Agustus 2021 sore.
Balon aneka warna menjuntai ke plafon ruang tengah. Benangnya diikat di batu kecil dan diletakkan di sudut ruang agar balon tak terhempas ke mana-mana.
Dinding ruangan tak dibiarkan polos. Kertas warna-warni ditempel di sana-sini. Mengilap bila terkena cahaya.
Sebuah tulisan ucapan, juga berbahan kertas aneka warna, tertempel di bagian tengah dinding.
Semua orang yang melihatnya langsung mengetahui untuk apa seluruh kesemarakan itu hadir di dalam rumah.
Besok, sang buah hati semata wayang hasil pernikahan Indra dengan Munawarah (24) akan berulang tahun yang ke-2. Namanya, Muhammad Hatta.
Kompas.com yang bertandang ke rumah itu tepat ketika dekorasi rampung, disajikan kisah tentang asal muasal kebahagiaan keluarga kecil itu kini.
“Dulu saya tidak terlalu kenal sama istri saya ini,” ujar Indra, membuka kisahnya.
Meski tinggal satu kampung, Indra menjangkau Munawarah pertama kali awal 2019 melalui Facebook. Ia jatuh hati begitu melihat foto Munawarah.
“Saya terus minta pertemanan,” lanjut Indra.
Gayung bersambut, Munawarah menerima permintaan pertemanan itu. Percakapan pun terjadi hingga berpindah ke pesan singkat setelah bertukar nomor ponsel.
Dalam hitungan hari, hubungan mereka semakin dekat meski belum sampai dikatakan berpacaran.
Sekitar tiga hari kemudian, Indra mengajak Munawarah untuk melihat pesta perkawinan di kampungnya. Tak disangka, sepulangnya dari menonton pesta, Indra memberanikan diri mengajak Munawarah melakukan tradisi Merariq.
Merariq merupakah salah satu tradisi Suku Sasak yang memperbolehkan seorang laki-laki membawa lari perempuan untuk dinikahi.
Munawarah terkejut mendengar ajakan Indra. Meski ingin menerima pinangan itu, tetapi separuh hatinya masih terpaut pada seorang pria yang sedang merantau di negeri seberang.
Ia teringat salah satu janji yang diungkapkan pemuda tersebut. Dalam waktu yang tak terlalu lama lagi, ia akan pulang kampung untuk meminang Munawarah.
Hati Munawarah bertambah galau dan bingung. Tetapi penolakan lah yang terlontar dari mulutnya diiringi derai air mata.
“Dulu saya pasrah saja. Ya mungkin ini (Indra) jodoh saya dan alhamdulilah sampai sekarang keluarga kami memang bahagia dan harmonis,”
-Munawarah-
Menangkap isi hati Munawarah yang sebenarnya ingin menerima pinangannya, Indra tak patah arang. Ia nekat membawa Munawarah ke rumahnya menggunakan sepeda motor.
Warga kampung yang melihat Munawarah dalam keadaan menangis dibonceng Indra langsung heboh.
Dari mulut ke mulut, tersebar kabar bahwa Indra melakukan merariq atas Munawarah.
“Saat sampai rumah, warga tetangga ini ramai mendengar saya merariq,” kenang Indra.
Sesampainya di rumah Indra, ia bertanya kembali, apakah Munawarah mau menikah dengan dirinya.
Tak hanya Indra yang menanyakan hal itu, keluarga Indra dan para tetangga juga bertanya hal yang sama pada Munawarah yang belum berhenti menangis.
“Saya nangis saja, mau pulang. Tetapi setelah ditanya sama banyak orang, apakah mau menikah, saya akhirnya menyetujuinya,” kenang Munawarah.
Atas persetujuan itu, proses merariq tak berlarut-larut. Selang sekitar satu pekan setelah Munawarah diajak merariq oleh Indra, keduanya dinikahkan melalui prosesi adat dan agama.
Kini, bila mengenang masa itu, Munawarah sering merasa lucu sendiri.
“Dulu saya pasrah saja. Ya mungkin ini (Indra) jodoh saya dan alhamdulilah sampai sekarang keluarga kami memang bahagia dan harmonis,” ujar Munawarah.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, merariq merupakan tradisi pernikahan warga Suku Sasak, Nusa Tenggara Barat. Sekilas, mirip kawin lari sebagaimana dipahami masyarakat urban.
Tokoh adat Desa Derek, Mahrup menjelaskan, idealnya merariq dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang hendak menikah. Proses itu seyogyanya disetujui kedua belah pihak keluarga, tanpa ada tekanan dan paksaan.
Saat restu telah dikantongi, pria dan wanita bertemu di suatu tempat tanpa sepengetahuan orangtua pihak perempuan.
Wanita akan dibawa ke rumah keluarga pria selama satu hingga tiga hari.
Setelah wanita tiba di rumah keluarga pria, tahap yang dilakukan selanjutnya adalah besejati. Pada tahap ini, keluarga pria mendatangi orangtua wanita. Mereka memberitahu bahwa anak perempuannya sudah dibawa oleh sang putera.
“Besejati ini harus segera dilakukan, agar orangtua perempuan tidak khawatir mencari anaknya,” kata Mahrup.
Baca juga: Suku Sasak, Jadi Rebutan Kerajaan Majapahit Hingga Jepang
Tahap selanjutnya adalah beselabar. Pada tahap ini, keluarga pria dan wanita menjalin negosiasi.
Hal yang dirundingkan adalah syarat-syarat pernikahan yang diajukan keluarga perempuan. Salah satu contohnya adalah uang mahar. Tak heran mengapa biasanya tahap ini berlangsung cukup lama.
Setelah menemui kesepakatan, kedua keluarga melanjutkan dengan prosesi ambil wali.
Pada tahap ini, calon mempelai pria akan meminta persetujuan kepada wali nikah agar proses pernikahan secara agama dapat segera dilangsungkan.
Tahap ini kemudian dilanjutkan dengan ambil janji di mana keluarga calon mempelai membuat janji tentang waktu hajatan digelar. Proses ini bertujuan untuk menginformasikan kepada sanak keluarga soal hari pernikahan.
Hari H dalam tradisi merariq sendiri dikenal dengan sebutan nyongkolan.
Pada tahap ini, keluarga calon mempelai pria mendatangi rumah calon mempelai wanita dengan diiringi musik tradisional Suku Sasak. Proses ini paling ramai dan selalu menjadi tontonan warga desa.
Setelah hari H, masih ada tahap terakhir dari serangkaian tradisi merariq, yakni balas nampak.
Prosesi balas nampak merupakan ajang bagi keluarga besar mempelai pria dan wanita untuk mengenal lebih dekat satu sama lain.
Biasanya, acara yang tidak melibatkan warga desa dan hanya melibatkan keluarga besar keluarga kedua mempelai ini dilakukan dengan makan bersama.
Bukan tanpa alasan mengapa tradisi ini mengakar kuat di masyarakat Suku Sasak hingga kini.
Melalui merariq, calon mempelai pria dan wanita hendak diajarkan tentang keberanian dalam mengambil risiko sekaligus mempertanggungjawabkannya.
Bagi calon mempelai pria, juga didorong untuk mempersiapkan diri bekerja mencari nafkah dan membangun keluarga baru.
Tradisi ini pun sekaligus menjadi ajang memperluas silaturahim antara keluarga pria dan wanita.
5 Tahap Perkembangan penting Hidup Orang Sasak pic.twitter.com/6N8rfCjlDO
— Inside Lombok (@insidelombok_) August 28, 2021
Sayang, seiring berjalannya waktu, nilai luhur dalam tradisi ini sering disalahartikan oleh segelintir warga Suku Sasak sendiri.
Banyak kasus merariq menjadi dalih adat untuk menikahi pasangan di bawah umur. Peristiwa ini biasa dikenal dengan istilah merariq kodeq.
Salah satu kasus terjadi pada Dende-bukan nama sebenarnya. Gadis 13 tahun itu terpaksa menerima pinangan dari remaja di desanya berinisial UD (17).
Hidup Dende memang susah. Ia yang tengah duduk di bangku kelas 3 SMP itu hanya tinggal bersama neneknya yang berusia 80 tahun. Mereka tidak mempunyai penghasilan tetap.
Kehidupan Dende dan neneknya hanya disokong oleh kiriman uang kedua orangtuanya yang bekerja menjadi tenaga kerja di luar negeri. Itu pun kadang dikirim, kadang tidak.
Baca juga: Tak Punya Pekerjaan Tetap, Pemuda Asal Lombok Ini Nekat Nikahi Dua Wanita, Begini Awal Mulanya
Sepanjang pemikiran Dende, perkawinan adalah kunci untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.
Meski, pasangan yang dinikahi Dende pada 10 Oktober 2020 itu juga bukan dari kalangan berada.
Sang suami merupakan remaja putus sekolah usai ayahanda meninggal dunia. Sehari-hari, ia bekerja di ladang cabe yang tak seberapa luasnya.
Ladang itu sendiri bukan miliknya, melainkan bagian dari kawasan hutan kemasyarakatan milik negara. Ia hanya kebagian untuk mengelolanya saja.
UD memberikan pupuk, menyiram, menjaga dari hama babi hutan, hingga memanen dan menjualnya sendiri. Keuntungan panen yang tentu tak seberapa itu pun dibagi dua.
Pada titik ini, Dende tidak memiliki banyak pilihan. Namun hidup bersama UD adalah peluang terbaiknya.
"Jalan satu-satunya menikah, tak ada pilihan," ujar Dende tertunduk, saat Kompas.com bertandang ke rumahnya di kawasan hutan kemasyarakatan (HKM) Seteling, Desa Adik Berik, Lombok Tengah, awal Agustus 2021.
Baca juga: Anak-anak yang Melawan Tradisi Kawin Lari
Setelah menikah, Dende putus sekolah. Kini, ia tinggal di rumah mertua menjadi ibu rumah tangga.
Pernikahan Dende dengan UD ini sempat menjadi sorotan aparatur desa dan tokoh adat.
Kepala Dusun Kumbak Dalam, Abdul Hanan turut hadir dalam proses pernikahan di bawah umur ini.
Ia tidak bisa berbuat banyak. Sebab, itu sudah menjadi keputusan UD dan Dende.
Belakangan, ia memastikan bahwa hubungan keduanya terbilang harmonis. Meski, Abdul tidak sempat meninjau kembali karena lokasi rumah mereka yang jauh di dalam hutan.
"Mereka baik-baik saja, tidak bercerai, suami masih bekerja di ladang," jawab Hanan singkat.
Berdasarkan data yang dihimpun, angka pernikahan anak di NTB memang meningkat, khususnya pada saat pandemi Covid-19.
Berikut datanya:
Salah satu temuan yang didapat adalah relasi yang kuat antara pernikahan di bawah umur dengan keterbatasan fasilitas belajar di era pandemi Covid-19.
Anak dan remaja yang tidak memiliki gawai atau berada di area tak terjangkau internet memilih belajar bersama kawan-kawannya. Tak jarang lokasi belajar cukup jauh dari rumah mereka.
Oleh sebab itu, anak dan remaja seringkali terlambat pulang ke rumah.
Kemudian, muncul dugaan dari orangtua serta para tetangga mereka bahwa anak-anak yang terlambat pulang ke rumah ini sudah berbuat negatif di luar sana.
Atas ketidakjelasan informasi tersebut, keluarga dan tokoh adat mendorong sang anak dan remaja untuk menikah dengan lelaki di desanya.
Kasus Dende dan UD yang juga banyak terjadi di tengah warga Suku Sasak cukup sulit dihindari.
Selain tidak mapannya pranata negara pada tingkat akar rumput, aspek interpretasi adat istiadat serta stereotipe yang kuat menjadi pelicin maraknya kasus tersebut.
Ketika seorang gadis sudah dibawa pria untuk merariq, boleh dibilang haram hukumnya bila pernikahan dibatalkan. Pembatalan pernikahan akan menyisakan aib bagi keluarga.
Tentu, kondisi ini menjadi semakin pelik bila pasangan yang melakukan merariq berusia di bawah umur.
Belum lagi, dimensi ekonomi yang melatari merariq kodeq membuat praktik itu semakin dimaklumi oleh masyarakat setempat.
Akhirnya, pernikahan di bawah umur menjadi pemandangan yang biasa dan berpotensi menimbulkan persoalan sosial baru.
Baca juga: Simak Dampak Psikologis dan Sosial Pernikahan Dini
Dalam situasi sulit seperti ini, lembaga pendidikan menjadi penyelamat.
Pendiri Sekolah Perempuan Pelangi di Lombok Utara bernama Saraiyah bercerita, pihaknya pernah menyelamatkan Nv, seorang gadis berusia 14 tahun dari pinangan laki-laki dewasa.
Sebelum akad nikah, Saraiyah dan sejumlah staf pengajarnya menjemput dan membawa Nv ke selter khusus.
Nv menangis kala itu dan menolak untuk dibawa. Ia merasa malu di hadapan orang-orang bila tidak jadi menikah.
Saraiyah pun memberikan penjelasan kepada Nv. Salah satunya adalah meyakinkan Nv bahwa pernikahan di bawah umur dapat berdampak buruk bagi masa depan, baik pria maupun wanita yang menjalaninya.
Selain itu, Saraiyah juga pelan-pelan mengedukasi keluarga Nv bahwa pernikahan di bawah umur dapat dikenakan sanksi pidana.
"Saya tidak bisa bayangkan anak ingusan seperti Nv harus menikah. Apalagi dia belum paham apa-apa soal hidup berumah tangga. Karena itu, saya berjuang sekuat tenaga membantunya," kata Saraiyah.
Perjuangan Saraiyah berhasil. Nv dan keluarga akhirnya menunda pernikahan itu hingga cukup usia.
Kini, Nv melanjutkan sekolahnya dan memiliki cita-cita sebagai perawat.
Baca juga: 3 Dampak Mengerikan Perkawinan Anak yang Masih Tinggi di Indonesia
Saraiyah mengatakan, mencegah merariq kodeq seperti kasus Nv bukanlah perkara mudah.
Ia sering berhadapan dengan orang-ogang yang mengklaim memegang teguh adat istiadat Suku Sasak dan agama.
"Tak jarang saya berdebat dengan tokoh adat dan agama setempat, ketika berupaya mencegah pernikahan, seperti pernikahan Nv," kata Saraiyah.
Seiring berjalannya waktu, sejumlah lembaga pendidikan dasar, menengah dan atas di Lombok mulai membangun edukasi bagi peserta didiknya agar tidak terjerumus pada pernikahan di bawah umur.
Selain itu, sekolah menerapkan peraturan denda jutaan rupiah bagi siapa saja yang hendak meminang peserta didiknya.
Meski diakui belum sepenuhnya berjalan optimal, namun upaya-upaya ini mesti terus dilakukan dengan tujuan membangun pemahaman yang baik dalam hal membangun rumah tangga.
Dalih memegang teguh adat istiadat sebagai pembenar pernikahan anak di bawah umur dinilai salah kaprah oleh Budayawan Lombok, H. Lalu Anggawa Nuraksi.
Kepada Kompas.com, Rabu 10 Agustus 2021, Anggawa mengatakan, Budaya Sasak justru melarang pernikahan dini.
Usia ideal pernikahan yang diajarkan adat Sasak itu adalah 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.
Dalam lontar-lontar kuno yang dikenal masyarakat Sasak sebagai sumber pedoman hidup, terdapat sejumlah kisah yang jelas mencerminkan tidak boleh mengawinkan anak di bawah umur.
Dalam Lontar Indar Jaye misalnya. Anggawa bercerita, dikisahkan seorang raja bernama Datu Puspe Karme yang dikenal sebagai ahli strategi dan memiliki dua orang anak. Laki-laki dan perempuan.
Sang Datu tidak ingin anaknya merariq kodeq alias menikah pada usia dini.
Sang Datu lalu memberikan sejumlah syarat kepada anak-anaknya sebelum menikah.
Sang putra diminta memelihara dua ekor kerbau. Ia dizinkan menikah apabila kerbau itu sudah beranak-pinak sampai 144 ekor.
Sementara kepada sang putri, Datu memberikan syarat bisa dinikahi pilihan hidupnya apabila telah mampu menenun dan mengisi penuh 40 peti dengan kain hasil tenunannya.
Dalam kisahnya, putra raja itu baru berhasil mengembangbiakkan dua ekor kerbau menjadi 144 ekor di usia 25 tahun.
Sementara sang putri, baru bisa memenuhi 40 peti dengan kain tenun buatannya setelah berusia 20 tahun.
“Apa yang dikisahkan dalam lontar itu, menerangkan pada kita bahwa usia ideal pernikahan itu adalah 25 tahun untuk laki-laki dan 20 tahun untuk perempuan,” kata Anggawa.
Baca juga: Mendengarkan Senandung "Lontar" di Kaki Dewi Anjani
Dalam lontar lainnya, dikisahkan pula Putri Rengganis yang terkenal cerdas. Ia sukses menghindari pernikahan dini dan baru melangsungkan perkawinan pada usia 20 tahun.
"Ketika Rengganis diminta menikah, dengan berbagai alasan dia menolaknya, hingga saat berusai 20 tahun barulah dia setuju melangsungkan pernikahan. Maka, kalau ada yang mengatakan pernikahan usia dini terjadi di masyarakat Sasak karena budaya dan adatnya, itu keliru, perlu diluruskan, mereka tidak paham tentang ajaran Sasak," kata Anggawa.
Dalam ajaran budaya Sasak, lanjut Anggawa, seorang gadis dikelompokkan menjadi lima.
Penjelasannya dapat dilihat di infografik di bawah ini:
Pada medio tahun ‘60 hingga ‘90-an, aturan adat ini sangat ketat ditegakkan.
Namun ia mengakui, seiring kehidupan memasuki era modern, penyimpangan adat justru kian marak terjadi.
Atas berbagai dalih yang sebenarnya salah tafsir, merariq kodeq yang secara adat istiadat jelas dilarang justru diabaikan.
Baca juga: Cerita Anak Penyintas Tradisi Kawin Lari
Sekretaris Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A), Kabupaten Lombok Barat, Erni Suryana, mengamini bahwa adat Sasak telah tegas melarang pernikahan anak.
Menurut aturan adat Sasak, ada syarat-syarat tertentu yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki atau perempuan, sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.
"Setelah dikompilasi ke usia, itu di atas 20 tahun. Sebenarnya enggak benar adat merariq ini yang menjadi penyebab pernikahan anak itu, enggak juga. Tetapi, ada yang salah di dalam pelaksanaan adat itu," kata Erni.
Selain batasan usia yang sudah diatur, melarikan si gadis sebelum melakukan ritual pernikahan dalam tradisi merariq juga ada aturannya.
"Sebenarnya adat Sasak itu ada aturannya, siapa yang harus membawa lari, jam berapa harus dibawa lari, kemudian sudah ada kesepakatan. Yang sebenarnya itu sudah ada kesepakatan antara orangtua dengan orang yang akan membawa lari sebenarnya," kata Erni.
Namun, yang terjadi saat ini justru banyak yang tidak sesuai dengan aturan adat yang sesungguhnya.
"Yang terjadi saat inikan justru lari dari pulang sekolah, lari dari mal, kadang dilarikannya siang hari, enggak jelaslah," kata Erni.
Erni berharap, semestinya tokoh masyarakat semisal kepala dusun, tokoh adat dan sebagainya mengembalikan tradisi merariq ke nilai-nilai luhurnya.
Anggawa menambahkan, warga Suku Sasak yang melanggar adat itu sebenarnya layak untuk dikenakan sanksi.
Sejumlah sanksi yang dikenal dalam adat, yakni mulai dari denda, dipelilak atau dibuat malu, dan dipeluah atau dikeluarkan dari desa.
Meski demikian, ketiadaan lembaga adat yang secara khusus mengurusi masalah adat menyebabkan penyimpangan praktik adat istiadat.
"Kepala dusun misalnya, akan kesulitan jika mengurus juga masalah adat sesuai awiq awiq (aturan) yang telah disepakati bersama masyarakat, apalagi urusan pemerintahan dan kemasyarakatan di tingkat dusun cukup membebani," ungkap Anggawa.
Baca juga: Kementerian PPPA: RI 10 Besar Angka Perkawinan Anak Tertinggi di Dunia
DP2KBP3A Kabupaten Lombok Barat sudah melakukan sosialisasi ke beberapa kepala dusun yang merupakan pelaku adat di masyarakat.
Kabupaten Lombok Barat terdiri dari 119 desa, 3 kelurahan dan 870 dusun.
Dari jumlah tersebut, sekitar 100 dusun sudah mendapat sosialisasi untuk mencegah terjadinya perkawinan anak.
Selama ini, kepala dusun memegang peranan penting dalam terlaksananya tradisi merariq.
Kepala dusun biasanya bertugas sebagai penghubung.
Orang yang pertama dihubungi ketika ada anak yang dilarikan, serta melakukan komunikasi pertama adalah kepala dusun dari pihak laki-laki dengan kepala dusun dari pihak perempuan.
"Jadi kalau kepala dusun pertama kali diinformasikan kalau di sini ada kasus perkawinan (anak), kalau dia cepat menginformasikan ke kami, maka kami bisa melakukan belas atau pemisahan (anak tidak jadi dinikahkan)," kata Erni.
Data DP2KBP3A sepanjang tahun 2021, sudah ada 15 kasus perkawinan anak di Lombok Barat yang berhasil dipisahkan.
"15 kasus yang berhasil kami belas dan anak itu kembali ke keluarga dan bersekolah juga," kata Erni.
Baca juga: Kementerian PPPA Ungkap Tantangan Cegah Perkawinan Anak: Tradisi Hingga Tak Ada Resiliensi
Sebagaimana cerita Saraiyah sebelumnya, proses pemisahan untuk mencegah perkawinan anak itu tidak mudah. Pasti diwarnai konflik antara dua keluarga dan masyarakat yang akan menggelar begawe (pesta).
Lombok Barat sendiri telah memiliki peraturan daerah terkait usia perkawinan, yakni melalui Perda Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pendewasaan Usia Perkawinan dan Perbup Nomor 30 Tahun 2018 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak.
Lombok Barat merupakan satu-satunya kabupaten di NTB yang sudah memiliki peraturan daerah terkait pendewasaan perkawinan.
Perda itu mengatur peranan masing-masing pranata, mulai dari pemerintah kabupaten hingga desa.
Salah satu peranan pemerintah desa, yaitu membuat peraturan desa (perdes) dan lembaga perlindungan anak di tingkat desa.
"Sehingga nanti ketika ada kasus perkawinan anak, lembaga inilah yang mengawal di tingkat desa," kata Erni.
Hingga saat ini, sudah ada 15 desa di Kabupaten Lombok Barat yang memiliki perdes dan lembaga perlindungan anak di tingkat desa. Selain itu, ada 10 desa yang sedang dalam proses pendampingan.
"Karena kami enggak mau hanya sekadar perdes dibuat tanpa melalui proses. Bisa saja kami kasih semua desa buat perdes, tapi kemudian implementasinya enggak jelas kan enggak baik juga. Kami ingin perdes itu betul-betul di buat sesuai dengan musyawarah tokoh agama sehingga masyarakat tahu kalau di desanya itu ada perdes," kata Erni.
Menurut Erni, sejak adanya perdes ini, jumlah kasus perkawinan anak menurun cukup signifikan.
Pemkab Lombok Barat juga kerap bertemu dengan kepala dusun, kepala desa maupun camat untuk melakukan koordinasi dan evaluasi.
"Sekarang semua camat ikut terjun kalau ada kasus perkawinan anak. Dan kepala dusun juga kalau ada kasus-kasus langsung menghubungi kami di kabupaten," Kata Erni.
Masa depan depan mereka menjadi perhatian dan tanggung jawab kita bersama. Sahabat, mari lindungi, penuhi hak-hak, dan pastikan mereka mendapatkan pengasuhan alternatif yang tepat!#PerempuanBerdaya#AnakTerlindungi#IndonesiaMaju pic.twitter.com/Ojo9hbB65O
— Perempuan dan Anak (@kpp_pa) August 30, 2021
Perda itu juga mengatur soal sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana apabila terbukti melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak.
"Termasuk perdes di masing-masing desa itu berbeda-beda sanksinya. Ada sanksi sosial juga sanksi administrasi. Kalau desa, kami menyerahkan kepada kearifan lokal masing-masing desa sanksinya seperti apa," kata Erni.
Baca juga: 9 Faktor Meningkatnya Angka Perkawinan Anak di Indonesia
Pada sejumlah desa yang telah memiliki perdes itu, salah satu sanksi sosialnya adalah pesta pernikahan tidak akan dihadiri oleh tokoh agama maupun tokoh adat. Mereka juga tidak akan diberikan bantuan dari pemerintah.
"Kalau masalah administrasi kependudukan sebenarnya dengan sendirinya mereka tidak akan mendapat administrasi kependudukan karena memang belum usianya," kata Erni.
Dalam undang-undang perkawinan, batasan usia seseorang untuk bisa menikah adalah usia 19 tahun.
Apabila seseorang menikah pada usia muda, akan ada dampak negatif dari perkawinan itu, baik dari sisi kesehatan, sosial, ekonomi termasuk dari administrasi kependudukan.
"Tidak akan mendapatkan kartu KK, perlu BPJS saat melahirkan, inikan akan menjadi masalahnya ketika anak ini tidak punya KK dan KTP. Ini yang kami sampaikan ke masyarakat," Kata Erni.
“I study english for success in the future.” kata Lulu, dengan suara lantang.
Wajah gadis berusia 13 tahun itu memancarkan semangat ketika mengulang kalimat bahasa Inggris yang diminta pengajarnya, Hamdi.
Dengan seksama, Lulu bersama teman-temannya menyimak materi pelajaran dari Hamdi di sebuah ruang rumah.
Kegiatan belajar bahasa Inggris itu diadakan pihak desa untuk meningkatkan kemampuan bahasa anak-anak desa. Nama kegiatan itu adalah English Club.
Belajar bahasa inggris ditekuni Lulu demi menggapai cita-cita menjadi seorang pramugari.
Hal ini secara sadar dilakukan Lulu sebagai bagian dari kampanye melawan penyimpangan tradisi merariq.
Lulu tak ingin penyimpangan dari tradisi merariq, yakni merariq kodeq, memutus mimpinya atau anak-anak seusianya.
Baca juga: Anak-anak yang Melawan Tradisi Kawin Lari
Dia memilih terus bersekolah, meski itu berarti dia harus melawan ‘tradisi’.
“Aku menolak nikah usia anak,” kata Lulu kepada Kompas.com di Desa Jagaraga Indah, Lombok Barat, NTB.
Lulu yang bersekolah di pondok pesantren ini berpendapat bahwa menikah di usia anak berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi.
Pengetahuan ini didapat dari sekolah pun teman-teman yang tergabung dalam aliansi “Yes I Do” bentukan Plan Internasional Indonesia bersama Rutgers WPF Indonesia dan Aliansi Remaja Independen (ARI).
Semangat para anak di desa itu untuk melawan pernikahan anak tidak hanya datang dari kaum hawa.
Muhammad Khairul Hupli (15) juga turut serta menentang pernikahan usia anak. Menurut dia, pendidikan adalah senjatanya untuk melawan itu.
Belajar bahasa asing, lanjut Muhammad, sangat penting untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Jika sudah menamatkan pendidikan di sekolah, dia ingin bekerja di perhotelan.
“Saya ingin bekerja di dunia perhotelan, makanya terus belajar bahasa Inggris,” kata Muhammad yang terinspirasi oleh rekan-rekannya yang lebih dulu sukses bekerja di perhotelan.
Hamdi, pengajar dalam kelompok bahasa Inggris ini mengatakan, tujuan dari kegiatan belajar ini memang untuk memutus mata rantai pernikahan usia anak.
Kegelisahan dia soal pernikahan usia anak, menggerakkan hatinya untuk mengabdi dan memberikan ilmu kepada anak-anak.
“Kami mau memutus pernikahan di bawah umur dan yang muda-muda (anak-anak) ini mandiri,” kata Hamdi.
Salah satu metode pembelajaran di sini adalah dengan latihan di tempat kerja. Mereka diberikan kesempatan untuk mengetahui dunia kerja secara langsung.
“Kelompok pertama sudah tiga bulan dan alhamdulillah 10 orang sudah bekerja di Gili Trawangan,” ujar Hamdi.
Dosen Fakultas Syariah, Universitas Isalam Negeri Mataram sekaligus peneliti kebudayaan, Doktor Muhammad Harfin Zuhdi mengatakan, pada dasarnya merariq merupakan tradisi yang memiliki nilai luhur dan sarat makna.
Melalui merariq, jejaring masyarakat Suku Sasak diperluas. Anak-anak mereka tak lagi menikah dengan keluarga jauh sebagaimana dominan terjadi di masa lampau, melainkan dengan orang dari luar lingkar keluarga.
Bahkan, bukan tak mungkin warga Suku Sasak menikah dengan orang di luar Pulau Lombok.
“Dulunya kan kebiasaan orang Lombok itu menikah dengan keluarga terdekatnya, dengan tradisi ini sekarang banyak dari warga-warga yang jaraknya cukup jauh bisa melakukan merariq,” kata Harfin.
Melalui merariq pula, sistem kasta pada masyarakat Sasak perlahan luntur.
Bila pada masa lampau anak Suku Sasak memiliki kecenderungan kawin dengan anak dari kasta yang sama, kini setiap anak memiliki kuasa atas orang yang menjadi pendamping hidupnya.
Salah satu tokoh adat Desa Darek bernama Saefudin Kasim mengatakan, “dengan merariq, kita bisa membawa gadis yang kita cintai. Ini adalah kebebasan orang menentukan pilihan hidupnya”.
Dan, hal yang paling penting dalam tradisi merariq adalah soal keberanian mengambil risiko sekaligus mempertanggungjawabkannya.
Sisi Positif Tradisi Merariq
— Inside Lombok (@insidelombok_) August 27, 2021
A THREAD pic.twitter.com/qD69aA956C
Zaman berubah, berikut manusianya. Adat istiadat bergeser. Nilai luhur yang terpahat terkikis, sulit terbaca.
Sadar dan berupaya mengembalikannya merupakan cara untuk menyelamatkan masa depan.