KEPALA Daniel Bambang Riyadi terluka. Darah keluar dari sela rambutnya. Tangan dan kakinya juga tidak dapat digerakkan leluasa. Sakit bukan main apabila digeser seinci saja.
Bambang mengalami kecelakaan tunggal pada 14 Juni 2021. Ia terjatuh dari sepeda motor tidak jauh dari rumahnya di Kudus, Jawa Tengah. Pria lansia itu terkapar tak berdaya.
Pihak keluarga kemudian membawa Bambang ke Rumah Sakit Aisyah. Rumah sakit itu paling dekat dari rumah.
Tetapi, rupanya rumah sakit itu sedang penuh. Dari Unit Gawat Darurat (UGD) hingga ruang rawat biasa disesaki pasien terjangkit Covid-19.
Berbekal ambulans pinjaman, Bambang lalu dibawa ke Rumah Sakit Marga Hayu Kudus. Hasilnya, sama saja. Bahkan, pasien sampai berjubel di lorong rumah sakit, menunggu kamar kosong.
Tiga rumah sakit di Kudus yang didatangi Bambang setelahnya memiliki kondisi sama. Sementara itu, Bambang yang tadinya masih membuka mata dan mampu sedikit berkomunikasi, kini telah berangsur tak sadarkan diri.
Sempat hilang harapan, akhirnya Bambang mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Elisabeth, Semarang. Waktu tempuh antara Kudus dan Semarang diketahui sekitar dua jam.
Anak Bambang bernama Dony Bagus Kuntul mengatakan, “sampai Semarang, sudah parah karena terlalu lama (tidak mendapat perawatan medis)”.
Dokter menyebut, Bambang sudah dalam kondisi kritis akibat kehilangan banyak darah.
Beberapa jam kemudian, Bambang meninggal dunia…
"Belajar dari masa lalu, hidup untuk hari ini, berharap untuk hari esok".
∼ Albert Einstein ∼
Pada pertengahan 2021, Kudus memang tengah menjadi sorotan nasional. Dalam waktu singkat, jumlah orang terjangkit Covid-19 di kabupaten berpenduduk 849.184 jiwa (2020) itu melonjak tajam.
Dinas Kesehatan Kudus mencatat, lonjakan kasus Covid-19 mulai terjadi usai masa libur Idul Fitri 1442 Hijriah. Diketahui, Idul Fitri tahun tersebut jatuh pada tanggal 12 Mei. Tren lonjakan kasus berlangsung hingga bulan Juni 2021.
Dalam rentang waktu itu, kasus aktif naik dari 260 orang pada 16 Mei 2021 menjadi 1.198 pada 30 Juni 2021. Puncaknya terjadi pada pertengahan 13 Juni 2021. Ada 2.342 pasien Covid-19 di Kabupaten Kudus.
Baca juga: Ganjar Ingatkan Varian Baru Sudah Masuk Kudus, Catat Itu!
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 setempat mencatat, lonjakan kasus mencapai 30 kali lipat. Sangat mengerikan.
“Rumah sakit di Kudus yang sebelumnya hanya terisi sekitar 40-an (pasien), dalam satu setengah minggu terakhir naik cukup tinggi sampai sekitar 350-an," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam konferensi pers, Senin (7/6/2021).
Tidak hanya fasilitas kesehatan, fasilitas isolasi terpusat yang dibangun pemerintah pun penuh.
Praktis, fasilitas kesehatan lumpuh. Semua sumber daya, terutama tenaga medis, dipusatkan bagi pasien Covid-19.
Orang-orang seperti Bambang, atas nama prioritas terpaksa tidak mendapatkan tempat.
Situasi ini tidak hanya berdampak pada fasilitas kesehatan. Permintaan oksigen juga meningkat drastis.
PT Samator Gas mencatat, permintaan oksigen medis dari rumah sakit yang tersebar di kabupaten bekas Karesidenan Pati meningkat hingga 500 persen. Kabupaten yang masuk ke dalamnya, yakni Kabupaten Kudus, Rembang, Pati, Blora dan Jepara.
Baca juga: Ganjar Kirim 120 Nakes untuk Bantu Tangani Kasus Covid-19 di Kudus
Manager Area PT Samator Gas Area Kudus Raya Endi Mei Soni memaparkan, sebelum Juni 2021, rata-rata satu rumah sakit di dalam kawasan itu hanya membutuhkan 150 tabung per bulan. Satu tabung berkapasitas 6 meter kubik. Memasuki Juni, permintaan naik menjadi 100 tabung per hari.
Karena fasilitas kesehatan di Kudus lumpuh, ratusan pasien Covid-19 terpaksa dilarikan ke rumah sakit di kota sekitarnya. Salah satunya Solo.
Saat itu, kasus Covid-19 di Solo lebih terkendali dibandingkan Kudus.
Dalam periode amukan Covid-19 ini, kasus kematian meningkat. Dinas Kesehatan Kudus mencatat, kasus kematian akibat Covid-19 dari 15 Mei hingga 15 Juni mencapai 140 kasus.
"Kenaikan kasus kematian di Kudus mencapai lebih dari sepuluh kali lipat. Hampir setara dengan angka kematian selama setahun pandemi," ujar Kepala Dinas Kesehatan Kudus, Badai Ismoyo, Sabtu (26/6/2021).
Peningkatan kasus di Kudus diperkirakan terjadi karena beberapa faktor.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, banyak orang datang ke Kudus untuk berziarah saat libur Lebaran.
Kudus memang terkenal dengan banyaknya destinasi wisata religi sehingga orang dari luar daerah rutin berbondong-bondong datang.
Sayangnya, aktivitas itu tidak disertai dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Banyak peziarah datang tidak pakai masker sehingga membuat potensi penularan virus semakin tinggi.
Baca juga: Ledakan Kasus Covid-19 di Kudus dan Bangkalan, Penyebab dan Respons Pemerintah
Pernyataan itu diamini Bupati Kudus Hartopo. Ia menyebut, tak hanya orang dari luar yang tak patuh memakai masker. Warga Kudus sendiri abai terhadap protokol kesehatan sehingga penularan virus kian menjadi-jadi.
“Tradisi Lebaran kemarin dengan adanya silaturahim ke tempat orangtua, kerabat dan sahabat. Dengan itu ada suguhan, melepas masker, makan bersama,” kata Hartopo, Selasa (8/6/2021).
Hartopo menambahkan, sejak vaksin masuk ke Kudus, protokol kesehatan memang cenderung kendur.
Banyak orang beranggapan bahwa vaksin membuat seseorang kebal dari virus corona.
“Merasa sudah di-antivirus sehingga abai dengan prokes, tidak disiplin dengan prokes,” sebut Hartopo.
Pembukaan kembali tempat wisata dan restoran dipercaya menjadi salah satu faktor yang memperparah penularan Covid-19 di Kudus kala itu.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menambahkan, lonjakan kasus di Kudus juga disebabkan oleh penyebaran varian Delta (B.1.716.2). Hal itu dapat dipastikan karena varian tersebut ditemukan pada sampel pasien di Kudus melalui uji genome sequencing.
"Dari sebanyak 72 sampel yang telah diuji, hasilnya ditemukan 62 sampel atau 86,11 persen pasien Covid-19 dari Kudus terdeteksi Strain India (Delta) B.1.617.2," kata Ganjar, Minggu (13/6/2021).
Baca juga: Update 6 Desember: Vaksinasi Dosis Kedua Capai 47,67 Persen dari Herd Immunity
Sebagaimana yang dilaporkan NPR, Sabtu (15/7/2021), varian Delta 225 persen kali lebih mudah menular daripada strain SARS-CoV-2 asli.
Sebuah studi pracetak dari China menemukan orang yang terinfeksi Delta memiliki sekitar 1.000 kali lebih banyak salinan virus di saluran pernapasan daripada mereka yang terinfeksi dengan jenis aslinya, dan menular lebih awal dalam perjalanan penyakit mereka.
Memasuki akhir Juni 2021, kasus Covid-19 perlahan mereda. Sekitar sebulan kemudian, pemerintah pusat menyatakan tidak ada lagi desa di Kudus yang berstatus zona merah alias daerah berisiko tinggi terjangkit Covid-19.
Penurunan kasus Covid-19 di Kabupaten Kudus merupakan hasil kerja keras pemerintah pusat dan daerah serta dibantu masyarakat.
Berikut ini sejumlah langkah yang diambil demi menurunkan kasus Covid-19 di Kudus:
Memasuki Oktober 2021, kasus Covid-19 di Indonesia cenderung menurun hingga Desember ini.
Gencarnya vaksinasi, kebijakan pembatasan aktivitas warga serta semakin tegaknya protokol kesehatan dinilai menjadi kunci sukses perbaikan kondisi di Tanah Air.
Meski demikian, para ahli mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 belum berakhir. Bahkan, epidemiolog memperkirakan Indonesia bakal dihantam gelombang ketiga Covid-19 pada akhir 2021 atau awal 2022.
Diketahui, gelombang pertama tercatat terjadi pada awal dan pertengahan 2020. Sementara gelombang kedua terjadi pada pertengahan 2021.
Baca juga: Tiga Skenario Gelombang Ketiga Kasus Covid-19 di Indonesia
Epidemiolog dari Universitas Diponegoro Budiyono mengatakan, gelombang ketiga Covid-19 di Tanah Air sangat berpotensi terjadi. Prediksi tersebut merujuk pada kebiasaan orang meningkatkan mobilitas jelang pergantian tahun.
Tentunya, bila peningkatan mobilitas tak diimbangi dengan penerapan protokol kesehatan, maka tak diragukan lagi, kasus akan kembali melonjak.
“Kalau kita lihat pola-pola yang ada, bisa jadi demikian (bakal kembali terjadi lonjakan), kita kendur tahu-tahu ada penularan seperti di Singapura,” kata Budiyono yang juga Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Minggu (17/10/2021).
Sebagaimana yang terjadi pada gelombang dua terdahulu, masuknya varian Delta dan abainya warga terhadap protokol kesehatan menjadi kombinasi yang amat mengerikan bagi Indonesia.
Bila varian Delta mendominasi penyebaran Covid-19 pada gelombang kedua, kini ada varian baru virus corona yang menjadi momok menakutkan terkait prediksi gelombang ketiga, yakni Omicron.
Baca juga: Penyebaran Omicron Meluas, Pemerintah Belum Tambah Daftar Negara yang Dilarang Masuk RI
Varian Omicron ini berawal dari lonjakan kasus Covid-19 yang signifikan di Provinsi Gauteng, Afrika Selatan pada November 2021.
Pada 18 November 2021, sebuah klinik yang dikelola dokter bernama Angelique Coetzee menerima sejumlah pasien yang memperlihatkan gejala berbeda dibandingkan gejala sakit yang diakibatkan oleh virus Corona varian Delta.
Para pasien yang datang ke kliniknya itu mengeluh sangat lelah selama dua hari, sakit kepala, dan sakit di sekujur tubuh.
Coetzee pun menduga ada "sesuatu yang sedang terjadi" dan memutuskan melaporkannya ke otoritas kesehatan di Afrika Selatan.
Para ilmuwan dari Center of Epidemic Response and Innovation (CERI) Afrika Selatan kemudian mendeteksi adanya kasus Covid-19 yang disebabkan oleh suatu varian yang berbeda dari varian-varian sebelumnya.
Varian yang memiliki kode B.1.1.529 ini kemudian dilaporkan ke Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 24 November 2021.
Hingga 25 November, lonjakan kasus harian di Gauteng tercatat sudah mencapai angka 1.200 kasus.
Pada 26 November, WHO mengumumkan nama varian baru tersebut. Seperti varian-varian sebelumnya, nama varian baru ini diambil dari alphabet Yunani. Kali ini WHO memilih nama Omicron.
Baca juga: Satgas Covid-19 Sebut Indonesia Siap Hadapi Omicron
Hingga Minggu (5/12/2021), varian Omicron telah diidentifikasi di 40 negara. Namun, tidak ada laporan kematian. WHO memprediksi angka penularan secara global akan terus bertambah.
WHO telah mengatakan, perlu waktu beberapa pekan untuk lebih memahami varian Omicron. Ini termasuk mengetahui seberapa menular Omicron, apakah menyebabkan penyakit lebih parah, dan seberapa efektif vaksin untuk melawannya.
Salah satu yang ditemukan peneliti Afrika Selatan belum lama ini, varian Omicron tiga kali lebih mungkin menginfeksi ulang penyintas Covid-19 dibanding varian Delta dan Beta.
Meski belum terdeteksi di Tanah Air, varian Omicron sudah sampai ke beberapa negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura.
Kementerian Kesehatan meminta masyarakat Indonesia untuk terus berhati-hati.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Ditjen P2P Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, varian Delta sudah membuat kondisi pandemi di Indonesia memburuk pada Juli 2021. Sehingga varian Omicron yang lebih infeksius menurutnya berpotensi memberi dampak yang lebih besar.
"Varian ini memiliki sifat berapa VoC lainnya sehingga kita harus waspada dan berhati-hati, mengingat varian Delta saja sudah sangat infeksius dan meyebakan lonjakan kasus dengan cepat," jelas Nadia.
"Menimbang kondisi itu kita harus tetap waspada untuk mencegah kemungkinan potensi lonjakan kasus ketiga dengan adanya bahaya varian baru maupun peningkatan mobilitas masyarakat," tegas dia.
Baca juga: Libur Nataru, Menko Airlangga Minta Kegiatan Masyarakat di Ruang Publik Dibatasi
Diketahui, varian Omicron telah ditetapkan sebagai varian of concern (VoC).
VoC dapat diartikan sebagai varian virus corona yang menyebabkan peningkatan penularan serta kematian dan bahkan dapat mempengaruhi efektivitas vaksin.
Sebelum Omicron, beberapa varian yang juga digolongkan sebagai VoC adalah Alpha, Beta, Gamma, dan Delta.
Meski demikian, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menegaskan, Indonesia telah siap apabila terdapat kasus Omicron ditemukan di Tanah Air.
"Bila ada yang terjangkit Covid apa pun variannya, fasilitas rumah sakit sudah siap seperti biasanya, karena Indonesia sudah biasa dan siaga menghadapinya," kata Wiku, kepada Kompas.com, Minggu (5/12/2021).
Siaga dalam hal ini adalah mempersiapkan upaya-upaya pencegahan dan skenario penanganan kasus, meskipun kasus Omicron hingga kini belum dikonfirmasi ada di Indonesia.
Pandemi Covid-19 di Indonesia nyaris dua tahun berlangsung. Meskipun virus corona terus bermutasi, tetapi hingga saat ini pakar masih berketetapan bahwa protokol kesehatan lah yang dapat mencegah penularan virus.
Di sisi lain, pemerintah terus menggapai herd immunity atau kekebalan komunitas melalui vaksinasi.
Hingga Senin (6/12/2021), jumlah orang yang telah divaksinasi dosis kedua, yakni sebanyak 99.280.976 atau 47,67 persen dari target herd immunity. Diketahui, sasaran vaksinasi untuk mencapai herd immunity di Indonesia yaitu 208.265.720 orang.
Baca juga: Pemerintah Tak Jadi Terapkan PPKM Level 3 Serentak Saat Nataru
Oleh sebab itu, kombinasi penerapan protokol kesehatan ketat pada masa libur Natal 2021 dan pergantian tahun serta vaksinasi merupakan kunci Indonesia menghadapi ancaman gelombang ketiga yang diprediksi para pakar.
Pemerintah juga tidak boleh kendur dalam melaksanakan testing dan tracing. Strategi itu merupakan salah satu cara mitigasi agar gelombang dapat diminimalisasi.
Kita pernah melewati masa di mana duka mengalir tanpa jeda. Oleh sebab itu, marilah kita belajar dari masa lalu. Ikhtiar tidak boleh berakhir.
"Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya".
∼ Goethe ∼