JEO - Tokoh




Obituari
Rektor Paramadina
Firmanzah

Sabtu, 6 Februari 2021 | 16:02 WIB

DARI MANAJEMEN
 KE MARKETING POLITIK, 
DEKAN TERMUDA DI UI,
DAN KIPRAH SINGKAT

Firmanzah jadi dekan di UI di usia 32 tahun. Dia meninggal di usia 44 tahun saat masih menjadi Rektor Universitas Paramadina. Di antara dua jabatan itu, dia pernah jadi staf presiden di Istana. Ini obituarinya.

PADA suatu masa, nama Firmanzah adalah sebuah optimisme. Muda, pintar, tidak tampil berlebihan, dan menawarkan solusi.

Bagi awak media pada suatu masa itu, dia narasumber bonafide untuk topik ekonomi yang juga sangat nyambung saat membahas partai politik dan demokrasi dengan segala persoalannya.

Nama arek Surabaya, Jawa Timur, kelahiran 7 Juli 1976, ini melejit bak meteor ketika pada 2009 terpilih menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI)—sekarang bernama Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI—untuk masa bakti hingga 2015.

Di usia 32 tahun, anak kedelapan dari sembilan bersaudara ini memenangi pemilihan dekan tersebut dengan kandidat lain bukan pula orang sembarangan. Profesor, senior, dan bahkan wakil dekan petahana ada di jajaran kandidat bersama dia.

Nining Soesilo, kakak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, merupakan salah satu kompetitor Firmanzah di pemilihan tersebut. Kandidat lain adalah Adi Zakaria, Akhmad Syahroza, Chaerul Djakman, Syaifol Choeryanto, Sidharta Utama, dan Arindra A Zainal. 

Pendidikan dan karier

Namun, menyebut capaian Firmanzah saat itu sebagai instan juga tidak terlalu tepat. Lulusan SMAN 2 Surabaya ini sarjana dan master manajemen lulusan FE-UI.

Dia juga punya gelar master of philosophy (MPhil) dari University of Lille Perancis untuk bidang organisasi dan manajemen strategis, dan gelar PhD di bidang manajemen internasional dan strategis dari University of Pau et Pays de l'Adour Perancis.

Lulus kuliah sarjana pada 1998—dengan masa kuliah 3,5 tahun saja—, Firmanzah sempat bekerja menjadi manajer pemasaran di perusahaan swasta.

Tak lama, dia pindah kerja ke Lembaga Manajemen UI sembari menjadi asisten dosen dan pada malam harinya mengambil kuliah magister ekonomi di Pascasarjana UI pada 2000-2001. 

Peluang belajar ke Perancis datang berupa beasiswa ke University of Lille Perancis pada 2001. Lulus paling cepat pada 2003, dia mendapat beasiswa doktoral riset sekaligus mengajar dan menjadi peneliti di University of Pau et Pays de l'Adour. Gelar PhD dia dapat pada 2005 dengan pujian. 

Memutuskan pulang ke Indonesia pada 2005, dia dipercaya menjadi Wakil Kepala Departemen Manajemen UI periode 2005-2007. Kariernya berlanjut menjadi Wakil Kepala Program Pascasarjana Ilmu Manajemen UI periode 2007-2008, sampai dipilih menjadi Kepala Kantor Komunikasi UI periode 2008-2009. 

Karier yang melontarkan tinggi namanya pada 2009, yaitu saat terpilih menjadi Dekan FE-UI. Namun, tak dia jalankan hingga akhir masa tugas yang seharusnya sampai 2015. Ada amanah lain.

Pada 2012 dia diminta menjadi staf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membidangi ekonomi. Pada masa inilah kebijakan terkait BBM subsidi menghangat. 

DOK KOMPAS.com/INDRA AKUNTONO
Rektor Universitas Paramadina Firmanzah saat masih menjadi staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2012-2014.

Rezim berganti pada 2014, nama Firmanzah tak lagi sesering sebelumnya disebut. Namanya baru muncul kembali pada 2015 ketika terpilih menjadi Rektor Universitas Paramadina.

Firmanzah menggantikan Anies Baswedan yang berakhir masa jabatan dan saat itu menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Kabinet Kerja. 

Selain masih menjadi Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah saat meninggal juga masih tercatat sebagai Ketua Institut untuk Demokrasi dan Ekonomi di The Habibie Center dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI. 

Firmanzah dikukuhkan menjadi Guru Besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI pada 18 Agustus 2010, di usia 34 tahun. Pidato pengukuhannya berjudul Coordination-Capability dan Daya Saing Nasional: Peran Boundary-Spanner dalam Perspektif Struktural-Interaksionisme

Ekonomi dan politik

Sebelum terpilih menjadi Dekan FE-UI, Firmanzah telah menulis sejumlah buku. Dua di antaranya cukup menjadi perbincangan.

Kedua buku itu jadi perbincangan karena bahasannya bukan lagi soal manajemen dan ekonomi melainkan menyoal komunikasi dan marketing politik. 

Buku pertamanya berjudul Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, dan buku kedua berjudul Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Kedua buku diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, yaitu pada 2007 dan 2008.

Istilah-istilah yang lebih jamak dipakai dalam kajian ekonomi, seperti persaingan, riset pasar, segmen, diferensiasi, dan positioning, dia transformasikan ke wilayah politik praktis.

Dalam wawancara khusus dengan harian Kompas yang tayang pada edisi 30 November 2009, Firmanzah menyebut "lompatannya" dari wilayah manajemen ekonomi ke marketing politik ini berlatar belakang ketertarikannya terhadap perilaku dan pola interaksinya.

Menurut dia, bahasan perilaku dan pola interaksi ini tak terbatas di ranah ekonomi saja, tetapi bisa mencakup tataran individu, organisasi, dunia industri, bahkan negara.

Marketing politik, kata dia, adalah perilaku politisi dan partai politik agar bisa memasarkan ide dan gagasan, memenangi persaingan, atau mengelola partai politik.

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Dari kiri ke kanan Asisten Juru Bicara Presiden Caosa Indriyani, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah, dan Perwakilan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Try Sutrisno Gaus memberikan keterangan pada wartawan terkait penyelenggaraan Beasiswa Presiden Indonesia di Jakarta, Sabtu (2/8/2014). Kepresidenan RI bekerjasama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan menyelenggarakan program beasiswa Magister dan Doktor bagi 150 calon penerima beasiswa, untuk menempuh studi di perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia. Pendaftaran dibuka sejak tanggal 23 Juli hingga 17 Agustus 2014 melalui online www.beasiswa.lpdp.depkeu.go.id.

Dalam wawancara dan bukunya, Firmanzah menegaskan, untuk mendapatkan korelasi antara pemasaran dan kinerja dalam konteks politik praktis ini maka partai politik harus memiliki ideologi yang jelas. 

Ideologi dalam konteks ini oleh Firmanzah didefinisikan di bukunya sebagai basis sistem nilai dan paham yang menjelaskan alasan keberadaan partai.

Kejelasan ideologi ini akan memudahkan masyarakat mengidentifikasikan sekaligus membedakan suatu partai dengan partai lain. Adapun bagi partai, ideologi ini akan memudahkan positioning dan pengemasan bahasa komunikasi yang ingin disampaikan kepada audiens.

Firmanzah tak menampik bahwa justru kejelasan ideologi ini yang kerap menjadi tanda tanya ketika membahas partai politik di Indonesia. Satu partai dengan partai lain punya ideologi dan penjelasan yang tak jauh berbeda. 

"(Ini terjadi) karena intelektual politik yang hilang. Mesin intelektual dalam tubuh partai tidak jalan. Semuanya terjebak.... pragmatisme politik," ungkap Firmanzah dalam wawancara dengan harian Kompas yang tayang di edisi 30 November 2009 itu. 

Laiknya di ekonomi, Firmanzah berpendapat "pemasaran" partai politik juga tak cukup bila hanya memenuhi prinsip positioning, differentiation, dan brand—PDB—untuk memenangi hati pemilih. Harus pula ada inovasi produk, intelijen pemasaran, dan survei pasar. 

"Selama ini perilaku politik kita kan masih elitis, seolah-olah lapisan akar rumput tidak tahu politik dan harus didorong oleh elite politik," kecam dia. 

Dia menekankan pula, marketing politik bukan sekadar memasang iklan atau baliho. Pemasaran politik, tegas dia, adalah proses panjang sejak pengumpulan informasi, pemetaan persoalan bangsa, analisis atas temuan, dan penyediaan alternatif solusi. 

Dari situ, lanjut dia, barulah sosialisasi dan promosi memainkan peran bersama upaya menghadirkan diferensiasi terhadap partai lain, sembari menjalin relasi dengan audiens serta menjalankan intelijen pemasaran dan hal-hal pragmatis pragmatis yang diperlukan.

"Itu mengapa saya menyoroti pentingnya penelitian dan pengembangan di partai politik... Di situ muara antara ideologi partai dan persoalan lapangan diramu dan solusinya seperti apa," ungkap Firmanzah. 

Bagi Firmanzah, partai politik di Indonesia akan menghadirkan sistem yang langgeng ketika tak lagi menjadikan figur sebagai acuan. Justru, elite individu harus dapat didudukkan di bawah sistem.

"Sosok pahlawan yang dibutuhkan Indonesia sekarang bukanlah pahlawan yang menciptakan kultus, simbol, atau kesaktian buat dirinya, tetapi pahlawan baru yang menghadirkan dia dalam sebuah sistem," tegas Firmanzah.

Di bukunya, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Firmanzah menyebut soal kebutuhan keberadaan ikatan emosional, ideologi dan rasional yang kuat antara partai politik dan masyarakat agar sebuah loyalitas dapat terbentuk.

Membangun loyalitas adalah proses yang akan makan waktu lama. Karena, kata dia, untuk loyalitas terbentuk itu dibutuhkan pula konsistensi dan bukti nyata dari janji serta harapan yang pernah dilontarkan. 

Tantangan Indonesia

Di kesempatan berbeda, Firmanzah menyinggung bahwa daya saing Indonesia bisa ditingkatkan lewat pembangunan infrastruktur dan pendidikan. Pernyataan ini dia lontarkan pada 21 Januari 2010.

"Masalahnya, kapasitas atau kemampuan keuangan negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 20 persen dari total kebutuhan, selebihnya mengandalkan partisipasi swasta," ujar dia seperti dikutip harian Kompas edisi 22 Januari 2010.

Sudah begitu, ada tantangan bernama koordinasi yang butuh pembenahan, baik di antara sesama kementerian maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Hanya dengan komitmen yang kuat secara politik dan kelembagaanlah, kata dia, daya saing ekonomi Indonesia bisa meningkat bahkan berpeluang menjadi seperti China dan India.

DOK KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Firmanzah di rumahnya. Foto diambil pada 2011.

Tak cuma lewat buku dan kata-kata, pemikiran Firmanzah juga dipantulkan lewat konsep penataan rumah. Bagi Firmanzah, rumah adalah tempat untuk menjadi diri sendiri, mengisi energi batin, sekaligus melepas penat. 

Saat harian Kompas meliput soal rumahnya pada 2011, Firmanzah melontarkan keinginan menjadikan Indonesia laiknya dia menata dan mendefinisikan sebuah rumah. 

"Indonesia mestinya seperti (penataan) ruang ini—ada peran ruang tamu, ruang makan, tempat masak—, tetapi peran-peran itu jangan membuat kita terkungkung. Indonesia perlu kita buat feels like home," kata dia.

Pak Fiz, panggilan Firmanzah dari kolega dan para mahasiswanya, berpulang pada Sabtu (6/2/2021) sekitar waktu subuh.

Jatuh akibat serangan vertigo disebut jadi penyebab dia dilarikan ke RS BMC Mayapada, Bogor, Jawa Barat, hingga kemudian dinyatakan meninggal. 

Firmanzah dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pada siang harinya.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa'fu'anhu... aamiin... 

Sampai jumpa lagi, Pak Fiz....