Kedua pasangan calon tidak mampu membalikkan pesimisme para aktivis dan pemerhati yang merasa isu Hak Asasi Manusia (HAM) akan terpinggirkan pada Pilpres 2019. Dalam debat perdana pada Kamis (17/1/2019), kedua pasangan calon lebih banyak bermain “aman”, tanpa menyentuh kasus-kasus HAM secara spesifik. Antiklimaks.
NADA kekecewaan langsung menyeruak tak lama setelah debat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang pertama digelar Kamis, 17 Januari 2019.
Aktivis hingga komisioner Komnas HAM bersuara. Sikap mereka seragam, tidak puas atas jawaban-jawaban normatif yang diberikan pasangan calon Jokowi Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Padahal, isu HAM diangkat khusus pada debat pemilihan presiden tahun ini dengan harapan bisa melihat komitmen setiap kandidat untuk perlindungan HAM dan penuntasan kasus HAM masa lalu.
Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan pelaksanaan debat pada Pilpres 2014 yang tak memberi porsi khusus untuk isu HAM. Keputusan KPU saat itu kemudian membuat banyak kelompok sipil protes.
JEO ini akan mengulas kembali komitmen perlindungan HAM seperti yang diutarakan para kandidat, visi dan misi mereka di bidang HAM, analis para pengamat, serta pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
Baca juga: JEO - Menuju Debat Pertama Pilpres 2019: HAM-Korupsi-Terorisme
SELAMA dua jam lebih debat berlangsung, isu HAM disinggung saat penjelasan visi dan misi serta pertanyaan panelis.
Jokowi, misalnya, saat menjabarkan visi dan misinya di awal debat, mengaku penuntasan kasus HAM masa lalu sangat sulit dilakukan karena sudah terjadi terlalu lama. Namun, dia memastikan akan menuntaskan kasus itu.
Baca juga: JEO - Konflik dan Pelanggaran HAM: Catatan Kelam 20 Tahun Reformasi
“Memang kita masih memiliki beban pelanggaran HAM berat masa lalu. Tidak mudah menyelesaikannya karena masalah kompleksitas hukum, masalah pembuktian, dan waktu yang terlalu jauh. Tapi kami tetap berkomitmen untuk menyelesaikan masalah HAM ini,” kata Jokowi.
Sayangnya, Jokowi tak menjabarkan cara yang dia maksud dalam menuntaskan kasus HAM masa lalu itu. Pemerintahan Jokowi beberapa waktu lalu memang mengusulkan rekonsiliasi. Artinya, penuntasan lewat jalur non-yudisial, Namun, upaya ini masih belum memuaskan pihak keluarga korban pelanggaran HAM.
Sementara itu, kubu Prabowo-Sandiaga tak menyinggung sama sekali soal isu HAM dalam paparan visi dan misinya. Padahal, Prabowo-Sandiaga beberapa hari jelang debat digelar, sengaja merevisi visi dan misinya, khusus untuk menambahkan soal perlindungan HAM serta perlindungan untuk kelompok difabel.
Di dalam paparan visi dan misinya, Prabowo lebih menitikberatkan pada kesejahteraan aparat penegak hukum. Menurut dia, hal itu adalah pangkal dari semua persoalan yang ada sehingga pemerintah perlu menyejahterakan aparat penegak hukum demi menjaga integritas mereka.
Adapun dalam sesi-sesi debat selanjutnya, isu HAM seolah tenggelam. Isu HAM hanya diangkat manakala calon menjawab pertanyaan panelis seputar HAM. Pada sesi debat di antara pasangan calon, isu HAM lagi-lagi tak disinggung.
BEBERAPA pekan sebelum debat digelar, sejumlah kelompok sipil yang memperjuangkan HAM sudah memberikan pernyataan mereka. Sebagian besar menyatakan pesimismenya lantaran baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama memiliki catatan di bidang HAM.
Jokowi, contohnya, mendapat sorotan karena tidak merealisasikan janjinya kepada keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu saat Pilpres 2014, untuk menghadirkan pengadilan HAM. Sebagai ganti, Jokowi justru menawarkan rekonsiliasi yang ditolak oleh keluarga korban.
Sementara itu, Prabowo dalam berbagai kesempatan dikait-kaitkan dengan peristiwa HAM di Indonesia seperti penculikan aktivis 1997-1998 saat menjadi Komandan Jenderal Kopassus dan kasus pelanggaran HAM di Timor Leste ketika dia menjadi komandan salah satu grup di sana pada 1978-1979. Semua tuduhan itu selalu dibantah kubu Prabowo.
Dengan dua catatan soal HAM di masing-masing kubu itu, bagaimana penampilan Jokowi dan Prabowo dalam debat pertama?
Kedua pasangan calon tidak mengutarakan gagasan konkret penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Bagi Direktur Riset Setara Institute Halili, kedua pasangan calon tidak mengutarakan gagasan konkret penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Padahal, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah salah satu komitmen yang ditunggu dari pasangan calon.
Halili berpendapat, seharusnya kedua paslon menerangkan mekanisme penyelesaian—apakah akan melalui jalur yudisial atau non-yudisial—serta penerapannya. Hal-hal tersebut, kata Halili, penting diutarakan agar publik merasakan secercah harapan akan adanya kemajuan dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut.
“Jika melihat argumen-argumen normatif yang dikemukakan, bisa dibilang kedua pasangan kandidat hanya menggunakan HAM untuk kepentingan elektoral."
~Usman Hamid~
Namun, ia menilai harapan adanya energi baru bagi perjuangan HAM di Indonesia kandas setelah debat pertama itu.
"Sayangnya debat tadi malam tidak memberikan harapan apa pun," kata Halili saat dihubungi, Jumat (18/1/2019).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menganggap urusan HAM bagi kedua pasangan calon tidak lebih dari sekadar urusan elektoral.
“Jika melihat argumen-argumen normatif yang dikemukakan, bisa dibilang kedua pasangan kandidat hanya menggunakan HAM untuk kepentingan elektoral," ujar Usman.
Usman mengkritik kedua kandidat saat menyinggung isu HAM. Usman menilai Jokowi tidak bisa menjadikan alasan sudah lamanya peristiwa pelanggaran HAM masa lalu sebagai dalih mandeknya penuntasan kasus-kasus HAM masa lalu.
Pernyatan Jokowi itu, kata dia, berpotensi melanggengkan budaya impunitas di Indonesia.
"Tetap harus ada langkah terobosan dari Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM berat masa lalu yang belum ada kemajuan. Waktu yang tersisa beberapa bulan ini tidak boleh menjadi alasan untuk tidak menyelesaikan pekerjaan yang belum beres,” kata Usman.
Adapun untuk calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto, Usman menilainya tidak berani membuat komitmen terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.
Tak hanya isi pernyataan setiap kandidat yang jauh dari memuaskan, tetapi isu terkait sejumlah kelompok minoritas yang masih berjuang memperoleh haknya juga tak tersentuh.
Usman mengaku kecewa saat Sandiaga mengungkap banyak persekusi dan kriminalisasi terhadap warga lapisan bawah tetapi justru tidak menyebut persoalan yang dialami kelompok minoritas agama dan keyakinan seperti Ahmadiyah serta kelompok dengan orientasi seksual berbeda. Padahal, kelompok-kelompok tersebut juga mengalami diskriminasi dan persekusi.
Usman menyayangkan pula kedua pasangan capres-cawapres tidak menyinggung kasus-kasus kriminalisasi terhadap petani mulai dari kasus Kiai Noer Azis di Surokontowetan, Joko Prianto di Rembang, hingga Budi Pego di Banyuwangi yang memprotes proyek pembangunan tambang yang merusak lingkungan.
Kritik juga datang dari Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara. Meski sudah menempatkan HAM dalam visi misi, kata dia, kedua pasangan calon belum terlihat berkomitmen mengatasi intoleransi. Tidak muncul, misalnya, bagaimana langkah keduanya dalam mengatasi persoalan mengenai pelarangan pendirian rumah ibadah.
Ia juga menyayangkan kedua pasangan calon tidak menyinggung soal praktik diskriminasi terhadap kelompok yang memiliki orientasi seksual berbeda atau lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
PERTARUNGAN antara Jokowi dan Prabowo kali ini mengulang kembali pemilihan presiden 2014. Isu HAM pada saat itu juga menjadi sorotan banyak pihak.
Bedanya, ketika itu Prabowo lebih banyak disudutkan dengan isu-isu HAM selama kariernya di militer, sementara Jokowi relatif lebih tak punya beban karena baru pertama kali maju dalam kontestasi pemilihan presiden dan belum terdengar catatan pelanggaran HAM yang pernah dilakukannya.
Baca juga: JEO - Sekali Lagi Jokowi vs Prabowo di Pemilu Presiden
Setelah debat pertama Pilpres 2019 usai, menarik juga membandingkan "rekaman" debat di antara kedua kandidat ini pada Pilpres 2014 untuk disandingkan. Bagaimana komitmen mereka terkait HAM? Adakah bedanya?
Dari infografis di atas, visi dan misi Jokowi terlihat sedikit berbeda antara Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Salah satunya soal komitmen menyelesaikan kasus HAM masa lalu.
Pada 2014, Jokowi secara spesifik menyebut tujuh kasus HAM masa lalu yang akan dituntaskan. Pada tahun ini, Jokowi sama sekali tidak menyebut kasus-kasus HAM masa lalu yang akan menjadi prioritas.
Di sisi lain, pada 2014, Jokowi juga secara gamblang ingin menghapus impunitas dengan merevisi UU Peradilan Militer. Namun, pada 2019, niat itu tak masuk dalam visi dan misi Jokowi. Hal ini bisa jadi terkait erat dengan niat Jokowi untuk menuntaskan kasus HAM masa lalu tak lagi lewat pengadilan tapi lewat rekonsiliasi.
Jika dibandingkan dengan 2014, Prabowo lebih banyak menyinggung pemenuhan HAM pada visi-misi Pilpres 2019, yaitu dari satu poin pada 2014 menjadi tujuh poin janji pada 2019 yang dia tawarkan terkait isu HAM.
Meski begitu, dari seluruh poin tersebut, Prabowo tak menyinggung sama sekali janji penuntasan kasus HAM masa lalu. Dia lebih menitikberatkan pada jaminan kebebasan berpendapat, menghentikan persekusi dan perilaku diskriminasi, serta perlindungan terhadap kebebasan para seniman untuk berkarya.
DEBAT pertama Pilpres 2019 yang antara lain mengulas soal HAM sudah berlalu. Namun, masa kampanye masih panjang hingga April 2019.
Di sisa masa kampanye ini, banyak harap masih menggantung kepada dua pasangan calon. Di sisa waktu ini pula, masyarakat bisa mendalami visi dan misi para calon lebih jauh. Kenali calonnya, timbang, dan pada akhirnya pilih dengan bijak.
Siapa pun presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti, isu HAM tetap tak bisa dikesampingkan. Ada sejumlah pekerjaan rumah yang menanti untuk segera dituntaskan.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, terdapat sembilan kasus pelanggaran HAM pada masa lalu yang belum terselesaikan.
Kesembilan kasus tersebut adalah:
Selain itu, presiden dan wakil presiden terpilih nanti juga harus menjawab isu-isu HAM di ranah hak sipil dan politik yang cenderung luput dari perhatian pemerintah.
Sejumlah isu HAM di ranah hak sipil dan politik tersebut antara lain soal perlindungan terhadap kelompok rentan dan minoritas, kebebasan beragama dan berkeyakinan, penerapan hukuman mati, praktik penyiksaan, implementasi pengadilan HAM, pelanggaran HAM di Papua, reformasi peradilan militer, serta rekonsiliasi di Aceh.