MAHKAMAH Konstitusi (MK) melanjutkan pemeriksaan dan sidang sengketa hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, sejak Selasa (18/6/2019).
Setelah sidang pemeriksaan pendahuluan pada Jumat (14/6/2019), agenda sidang MK pada Selasa adalah jawaban termohon dan pihak terkait. Dua "babak" tersebut akan menjadi acuan bagi sidang MK soal sengketa Pilpres 2019 berikutnya hingga putusan dibacakan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan termohon dalam gugatan yang diajukan oleh Pasangan Calon Presiden Nomor Urut 02 Pilpres 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Adapun Pasangan Calon Presiden Nomor Urut 01 Pilpres 2019, Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin, menjadi pihak terkait dalam gugatan yang tercatat di registrasi MK dengan Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 ini.
Sebagai pengingat, JEO ini akan memuat poin ringkas pokok perkara gugatan gugatan dari pemohon. Sesudah itu, tanggapan dari KPU, tim hukum pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), akan menjadi bagian tersendiri dari tulisan ini.
SENGKETA Pilpres 2019 telah melewati sidang pemeriksaan pendahuluan pada Jumat (14/6/2019).
Di sini, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menerima perubahan permohonan yang diajukan Pasangan Calon Nomor Urut 02 Pilpres 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dengan sejumlah catatan.
Fakta bahwa UU MK tidak mengatur perubahan permohonan tanpa ada situasi kelengkapan perkara belum terpenuhi, justru menjadi alasan MK menerima perubahan permohonan sengketa ini.
Kekosongan aturan juga diakui terjadi di Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2019 yang mengatur teknis pelaksanaan hukum acara di MK.
Dalam hal ini, hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna kemudian menyebutkan MK menggunakan rujukan Ketentuan Lain-lain di Pasal 86 UU Nomor 24 Tahun 2003.
Pasal itu menyatakan, "Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini".
"Dalam penjelasannya, pasal tersebut untuk mengisi kekosongan hukum acara," ujar Palguna dalam persidangan, Jumat (14/6/2019).
Ketika pihak termohon berusaha mempersoalan perubahan permohonan ini, hakim konstitusi Suhartoyo menyatakan bahwa permohonan yang dibacakan pemohon dalam sidang pendahuluan adalah rujukan bagi termohon dan pihak terkait pada sidang-sidang berikutnya.
"Hal-hal pokok dalam permohonan itu sebenarnya yang disampaikan di persidangan. Itu yang menjadi rujukan permohonan sebenarnya," ujar Suhartoyo dalam sidang pendahuluan sengketa hasil pilpres di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2010).
Pada bagian perubahan permohonan yang belum disiapkan jawabannya oleh termohon dan pihak terkait, lanjut Suhartoyo, masih dapat disampaikan pada sidang-sidang berikutnya.
Pada sidang tersebut, pemohon diwakili oleh para kuasa hukum, antara lain Bambang Widjoyanto dan Denny Indrayana. Namun, jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai termohon terlihat hadir, termasuk Ketua KPU Arief Budiman.
Adapun Pasangan Calon Presiden Nomor Urut 01 Pilpres 2019, Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin, sebagai pihak terkait, juga diwakili oleh tim kuasa hukum. Tim kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf diketuai Yusril Ihza Mahendra.
Dalam petitum, pemohon mencantumkan 15 poin permohonan. Ada sejumlah dalil beserta gugatan dipaparkan oleh tim hukum Prabowo-Sandiaga yang diketui Bambang Widjojanto.
Tentu, poin pertama petitum adalah meminta MK mengabulkan permohonan, disusul dengan permohonan agar MK menyatakan Keputusan KPU Nomor 987/PL.01/08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang hasil Pemilu 2019 batal dan tidak sah, sepanjang terkait dengan hasil Pilpres 2019.
Menurut pemohon dengan sejumlah dalil yang diajukan, perolehan suara yang benar untuk Pilpres 2019 adalah 52 persen suara sah untuk pasangan Prabowo-Sandi dan 48 persen suara sah untuk pasangan Jokowi-Ma'ruf.
Selain memohon MK menyatakan pemenang Pilpres 2019 adalah Prabowo-Sandiaga, pemohon juga meminta MK mendiskualifikasi pasangan Jokowi-Ma'ruf.
Sekaligus, pemohon meminta MK menyatakan Pasangan Calon Nomor Urut 01 tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran dan kecurangan Pilpres 2019 secara terstruktur, sistematif, dan masif, melalui penggelembungan dan pencurian suara.
Dengan kata hubung "atau" di antara setiap poin permohonan, pemohon meminta MK memerintahkan pemilu ulang di 12 daerah. Ke-12 daerah itu adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, dan Kalimantan Tengah.
Dimohonkan pula MK memberhentikan seluruh komisioner KPU. Lalu, audit terhadap Sistem Informasi Penghitungan Suara juga dimintakan dalam permohonan, yang itu pun tak terbatas pada Situng.
Dari seluruh dokumen permohonan yang diajukan dan dibacakan pemohon, salah satu poin yang mencuat adalah penggunaan penyebutan "Mahkamah Kalkulator". Frasa ini muncul sejak dari surat pengantar permohonan, yang memohon MK untuk terus meninggikan marwah sebagai Mahkamah Keadilan.
"Mahkamah Keadilan yang yang tidak hanya berkutat menyelesaikan perselisihan hasil pemilu tetapi juga berupaya kuat untuk memberikan rasa keadilan," papar pemohon.
Pemohon berharap dengan demikian akan diyakini Mahkamah Konstitusi tidak akan terjebak sebagai "Mahkamah Kalkulator" dengan fungsi terbatas hanya sebagai penentu penghitungan suara dalam suatu sengketa pemilu semata.
Dalam kedudukan MK yang sangat strategis dan kehendak untuk terus-menerus menjaga marwah tersebut, pemohon berkeyakinan MK akan dimuliakan karena menjadi Mahkamah Kebaikan yang mewujudkan kemaslahatan rakyat dari para pihak yang tengah berjuang mencari keadilan di negeri yang dicintainya.
Dalam dalil permohonan, frasa "Mahkamah Kalkulator" kembali muncul dengan penekanan mengutip sejumlah pendapat ahli hukum yang menolak MK hanya melakukan kerja teknis kalkulasi suara.
SIDANG kedua perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, digelar pada Selasa (18/6/2019). Agenda utamanya, pembacaan jawaban termohon dan pihak terkait.
Ini mengawali rangkaian sidang pemeriksaan yang dijadwalkan berlangsung sampai 24 Juni 2019, sebelum MK sesuai jadwal membacakan putusan pada 28 Juni 2019. Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi dan alat bukti telah dimulai pada Rabu (19/6/2019).
Dalam jawabannya, KPU dan tim kuasa hukum pasangan Jokowi-Ma'ruf sama-sama menolak gugatan bahwa telah terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang karenanya paslon 01 menang menjadi presiden dan wakil presiden terpilih dalam Pilpres 2019.
Meski sudah diterima MK, perubahan permohonan dari pemohon tetap dipersoalkan oleh KPU dan tim kuasa hukum pasangan Jokowi-Ma'ruf dalam jawaban masing-masing.
Menurut mereka, perubahan permohonan yang diajukan pada 10 Juni 2019 tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan Kegiatan dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum sebagaimana diubah terakhir dengan PMK Nomor 2 tahun 2019.
Baik KPU maupun tim hukum pasangan calon nomor 01 menyatakan hanya menerima permohonan sengketa yang didaftarkan ke MK pada 24 Mei 2019.
"Perbaikan permohonan pemohon memiliki perbedaan mendasar baik posita maupun petitumnya maka bisa disimpulkan sebagai permohonan baru," kata Nurdin Ali, pengacara KPU, dalam persidangan, Selasa (18/6/2019).
Posita adalah dasar atau alasan sebuah tuntutan atau gugatan diajukan. Kerap kali, kata ini disebut juga sebagai dalil gugatan. Adapun petitum merupakan permintaan yang dimintakan untuk diputus hakim, dalam hal ini hakim konstitusi.
Sementara itu, ketua tim hukum pasangan calon 01, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan perbaikan permohonan gugatan dari pasangan calon nomor urut 02 membuat total jumlah halaman permohonan bertambah menjadi lima kali jumlah halaman permohonan awal.
Pada permohonan yang diterima MK pada 24 Mei 2019, sebut Yusril, gugatan hanya berisi naskah 37 halaman. Adapun sesudah perubahan permohonan, total naskah permohonan menjadi 146 halaman.
"Dengan tambahan jumlah halaman, perbaikan permohonan pemohon tidak lagi menjadi sekadar perbaikan, tapi telah berubah menjadi permohonan baru," kata Yusril di persidangan.
Berikut ini adalah jawaban dari KPU, tim hukum pasangan calon nomor 01 Pilpres 2019, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), berdasarkan pengelompokan topik.
Tim hukum 02 menuduh ada potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh Jokowi selaku capres petahana karena tidak cuti dalam proses pilpres.
Menjawab tuduhan itu, tim hukum 01 merujuk pada putusan MK Nomor 60/PUU-XIV/2016 tertanggal 17 Juli 2017. Dalam putusan itu, MK menyatakan tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa petahana yang tidak cuti sudah pasti akan menyalahgunakan jabatan dan/atau kekuasaannya sebagai kepala daerah untuk memenangkan diri dalam pemilihan kepala daerah yang diikuti.
"Dalil pemohon menyangkut persoalan abuse of power terkait cuti petahana adalah dalil yang bersifat asumtif yang tidak disetujui oleh Mahkamah, dan tidak berdasar secara hukum," kata anggota tim hukum 01, I Wayan Sidharta.
Sebelumnya, dalam gugatan tim hukum pasangan calon 02 menyebut, penyalahgunaan kekuasaan dapat membuat capres petahana berpotensi melakukan kecurangan pemilu yang TSM. Setidaknya, ada lima poin bentuk pelanggaran pemilu dan kecurangan masif yang dituduhkan pemohon dalam gugatannya.
Ketua tim hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto, menyoroti sumbangan dana kampanye pasangan calon nomor 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin, saat sidang pendahuluan sengketa Pilpres 2019, Jumat (14/6/2019).
Bambang menilai terdapat ketidaksesuaian antara total harta kekayaan pribadi Jokowi dan besaran dana kampanye yang disumbangkan.
Dalam jawaban atas poin ini, tim kuasa hukum pasangan calon nomor 01 menyampaikan bantahan.
"Dalil pemohon bahwa seolah-olah terdapat penggunaan dana kampanye yang absurd dan melanggar hukum adalah tidak benar. Dalam gugatan tak ada bukti apa pun tentang penggunaan tersebut dan karenanya terbantahkan," ujar anggota tim hukum paslon 01, Luhut Pangaribuan.
Luhut menuturkan, penerimaan maupun pengeluaran dana kampanye pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik independen yang ditunjuk KPU, yakni Kantor Akuntan Publik (KAP) Anton Silalahi.
KAP Anton Silalahi, kata Luhut, telah melakukan audit secara lengkap dan mengeluarkan laporan independen nomor 315/ER/001-219/KPU-S/A9 tertanggal 31 Mei 2019.
Pada intinya, laporan tersebut menyatakan Laporan Dana Kampanye Jokowi-Ma'ruf dalam semua hal yang material telah sesuai dengan kriteria yang berlaku sebagaimana diatur dalam Peraturan Pelaporan Dana Kampanye.
"Pihak terkait juga ingin menegaskan bahwa baik calon presiden maupun wakil presiden nomor urut 01 tidak memberikan sumbangan dana kampanye dalam kapasitas pribadi seperti yang dimaksud pemohon. Dengan kata lain, dalil pemohon tentang sumbangan pribadi Joko Widodo adalah tidak benar," ujar Luhut.
Luhut menjelaskan sumbangan sebesar Rp 19,5 miliar yang disebut dalam gugatan pemohon adalah dana yang dikeluarkan dari rekening Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf untuk tim kampanye daerah. Namun, dalam teknis penginputan data, tertulis nama pengirim adalah Joko Widodo.
"Padahal, nama pemilik rekening adalah TKN Jokowi-Ma’ruf Amin," tegas Luhut.
Cawapres nomor urut 01 Ma'ruf Amin disebut tim hukum pasangan calon 02 masih tercatat sebagai pejabat BUMN karena berstatus sebagai Dewan Pengawas Syariah di Bank BNI Syariah dan Bank Mandiri Syariah.
Menurut pemohon, seharusnya Ma’ruf mundur dari jabatannya saat mencalonkan diri dalam Pilpres 2019. Atau, lanjut pemohon, KPU seharusnya menolak pendaftarannya sebagai peserta pemilu.
Menyikapi gugatan ini, KPU menegaskan, Ma'ruf Amin dalam kedudukannya sebagai Dewan Pengawas Syariah di Bank BNI Syariah dan Bank Mandiri Syariah tidak melanggar persyaratan pencalonan. Sebab, kedua bank tersebut tidak termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, pihaknya juga pernah memutus kasus serupa yang melibatkan calon anggota legislatif (caleg) DPR dari Partai Gerindra.
"Bawaslu telah menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa proses pemilu terkait keberatan Partai Gerinda terhadap keputusan KPU yang menyatakan bakal calon DPR Dapil VI Jawa Barat tidak ditetapkan dalam DCT atas nama Mirah Sumirat dengan status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) karena dianggap sebagai pegawai BUMN," ujar Abhan,, Selasa (18/6/2019).
Dalam kasus itu, Bawaslu memutuskan bahwa Mirah memenuhi syarat sebagai caleg karena dia bukan pegawai BUMN melainkan karyawan anak perusahaan BUMN. Kasus Mirah dinilai sama dengan Ma'ruf.
Dalam sidang pendahuluan, tim hukum Prabowo-Sandiaga menyatakan satu bukti ketidaknetralan Polri adalah adanya pengakuan dari Kapolsek Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Aziz, terkait dukungan kepada pasangan calon nomor urut 01.
Sulman mengaku diperintahkan oleh Kapolres Garut untuk menggalang dukungan kepada pasangan Jokowi-Ma'ruf. Namun, pengakuan tersebut telah dibantah oleh Sulman sendiri.
"Tuduhan pemohon telah dibantah oleh AKP Sulman Aziz sendiri berdasarkan rekaman video pengakuannya dan telah juga terpublikasi melalui media massa," ujar tim hukum paslon 01 I Wayan Sudirta.
Selain itu, lanjut Sudirta, tuduhan Prabowo-Sandiaga sama sekali tidak memberikan dampak bertambahnya perolehan suara bagi pasangan Jokowi-Ma'ruf di Kabupaten Garut. Justru, perolehan suara Prabowo-Sandiaga di wilayah ini jauh lebih besar daripada pasangan Jokowi-Ma'ruf.
Di Kabupaten Garut, pasangan Prabowo-Sandiaga memperoleh 1.064.444 suara atau 72,16 persen suara sah di Kabupaten Garut. Adapun Jokowi-Ma'ruf meraih 412.036 suara atau 27,84 persen suara sah di kabupaten itu.
Tim hukum 02 juga disebut tidak bisa menjelaskan secara spesifik mengenai waktu kejadian, bagaimana kejadiannya, siapa pelakunya, dan apa hubungannya dengan perolehan suara paslon.
Sebaliknya, Wayan mengatakan, netralitas aparat sudah dipastikan petinggi lembaga masing-masing. Misalnya, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian yang telah mengeluarkan telegram dengan isi perintah bagi anggota Polri menjaga netralitas dalam Pemilu 2019.
Tim hukum pasangan capres dan cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf membantah tuduhan tim hukum Prabowo-Sandiaga soal pembatasan media dan pers yang tercantum dalam isi permohonan gugatan sengketa pilpres.
Di antara yang disebut sebagai bentuk pembatasan kebebasan pers itu adalah tidak diliputnya acara Reuni 212 oleh media mainstream, pembatasan tayangan program di TV One, dan pemblokiran situs web Jurdil 2019.
"Karena pers bersifat bebas maka upaya apa pun yang melawan sifat kebebasan tanpa dasar hukum tidak dapat dibenarkan, termasuk memaksa pers mainstream untuk meliput sebuah peristiwa, in case reuni 212," ujar pengacara 01 I Wayan Sudirta.
Wayan Sudirta menambahkan, justru upaya mengharuskan peliputan bertentangan dengan prinsip kebebasan pers.
"Keinginan pemohon agar media utama meliput Reuni 212 secara a contrario justru dapat dikategorikan sebagai upaya untuk melawan kebebasan pers itu sendiri," ujar Wayan Sudirta.
Wayan juga mengatakan media mainstream tidak dimiliki oleh pemerintah tetapi korporasi swasta. Artinya, kata dia, tidak ada hubungan sama sekali antara media mainstream dan pasangan calon Jokowi-Ma'ruf.
Adapun soal program TV One yang disebut berhenti karena ada intervensi, Wayan mengatakan program-program di stasiun televisi itu juga tidak ada kaitannya dengan Jokowi-Ma'ruf.
Sementara itu, pemblokiran situs Jurdil2019, menurut tim kuasa hukum pasangan calon nomor urut 01 merupakan kewenangan Bawaslu.
"Hal ini sepenuhnya merupakan kewenangan Bawaslu dan tidak berhubungan sama sekali dengan pihak terkait," kata Wayan.
Dalam kesempatannya memberikan tanggapan atas permohonan pemohon, Ketua Bawaslu Abhan membantah pula ada diskriminasi penegakan hukum sebagaimana termuat dalam gugatan sengketa Pilpres 2019 yang diajukan tim hukum Paslon 02.
Salah satu bukti yang disodorkan, Bawaslu menyebut pernah memberikan sanksi kepada Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjoyo.
Eko dinyatakan bersalah lantaran tidak melakukan cuti saat menghadiri kampanye deklarasi Forum Satu Nusantara untuk Jokowi-Ma'ruf di Kendari, Sulawesi Tenggara pada Jumat (22/2/2019).
Padahal, menurut Pasal 62 ayat 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye, secara teknis dinyatakan bahwa menteri harus cuti jika melakukan kampanye untuk salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Surat cuti diberikan oleh presiden.
Dari pemeriksaan alat bukti yang dilakukan Bawaslu, tidak terdapat bukti yang menunjukkan Eko memiliki izin cuti untuk kampanye. Eko diminta untuk tidak mengulangi perbuatannya itu.
Dalam gugatannya, tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga menyebut pasangan Jokowi-Ma'ruf telah menyalahgunakan APBN dan sejumlah program pemerintah untuk meningkatkan elektabilitas dalam Pilpres 2019.
Penyalahgunaan APBN dan program yang disebut antara lain kebijakan pemerintahan Jokowi menaikkan gaji pegawai negeri sipil, TNI, dan Polri; penerapan uang muka (down payment atau DP) 0 persen bagi PNS, Polri, dan TNI untuk mendapatkan kredit pemilikan rumah (KPR), serta pemberian gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR).
“Dalil pemohon tidak beralasan dan tidak memiliki korelasi dengan hasil perolehan suara pasangan calon dalam Pilpres 2019," ujar anggota tim hukum Jokowi-Ma'ruf, Luhut Pangaribuan, soal kebijakan menaikkan gaji berkorelasi dengan elektabilitas.
Luhut mengatakan, secara umum semua program tersebut merupakan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang (UU). Semua program dilaksanakan berdasarkan UU APBN yang merupakan kesepakatan bersama antara Pemerintah dan DPR.
Adapun soal program DP 0 persen bagi PNS, Polri, dan TNI untuk mendapatkan KPR, lanjut Luhut, merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bagi aparatur sipil negara (ASN).
Bahkan, lanjut Luhut, program itu direspons positif sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi praktik korupsi mengingat rumah merupakan kebutuhan primer.
Sementara itu, pembayaran gaji ke-13 dan THR merupakan program rutin tahunan yang tidak terkait dengan Pemilu.
"Kebetulan pembayaran gaji ke-13 dan THR kali ini berdekatan dengan waktu pemilu dan faktanya tidak diberikan sekaligus," kata Luhut.
Dalam gugatannya, Pihak 02 juga menyebut paslon 01 telah menggerakkan birokrasi dan BUMN untuk memenangkan Pilpres 2019. Mereka mencontohkan beberapa kasus yang disertakan dengan bukti sumber pemberitaan media massa.
Contohnya adalah kejadian dalam kegiatan silaturahim nasional kepala desa yang dihadiri Jokowi. Dalam kegiatan itu, Jokowi diteriaki "Ayo lanjutkan Pak Jokowi" dan "Pemalang, Jokowi menang, Jawa Tengah siap" oleh para kepala desa.
"Berkenaan dengan adanya deklarasi pemenangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin yang dilakukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan 31 kepala daerah, Bawaslu provinsi Jawa Tengah memutuskan bahwa tidak terbukti tindak pidana pemilu," kata Ketua Bawaslu Abhan.
"Namun tindakan Gubernur Jawa Tengah dan 31 kepala daerah melanggar aturan lainnya, tetapi bukan aturan kampanye yang dilanggar, melainkan aturan netralitas PNS," sambungnya.
Atas keputusan ini, Bawaslu Jawa Tengah telah meneruskan rekomendasi penanganan kasus kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Namun, hingga saat ini belum ada tindak lanjut.
Dalam posita yang diajukan pemohon, KPU dinilai tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu terkait perintah pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Surabaya dan Papua.
KPU menilai tim hukum 02 salah konteks dalam salah satu materi gugatan yang diajukan ke Mahkamah Kontitusi.
"Rekomendasi untuk Surabaya dan Papua ternyata dalam konteks pemilihan legislatif, bukan dalam konteks pilpres," ujar kuasa hukum KPU, Ali Nurdin.
Selain itu, lanjut Ali, rekomendasi itu ternyata juga bukan soal pemungutan suara ulang melainkan permintaan untuk melakukan penghitungan suara ulang. Menurut Ali, KPU telah melaksanakan semua rekomendasi tersebut.
Tim hukum 02 dalam permohonannya mempermasalahkan angka jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT). Menurut mereka, ada sekitar 17,5 juta pemilih yang dipertanyakan eksistensinya.
Menjawab hal itu, KPU menyatakan telah diselesaikan bersama-sama oleh KPU, pihak pasangan Prabowo-Sandiaga, Bawaslu, dan pihak terkait.
"Bahwa DPT yang dipersoalkan oleh pemohon merupakan persoalan yang sudah diselesaikan secara bersama-sama sejak awal antara termohon, pemohon, pihak terkait, serta Bawaslu," ujar Ali Nurdin, pengacara KPU.
Dalam catatan KPU, kata Ali, tercatat ada tujuh kali koordinasi antara KPU dan pihak Prabowo-Sandiaga.
Selain itu, KPU mengklaim telah menindaklanjuti seluruh laporan terkait DPT dengan melakukan pengolahan data, berkoordinasi dengan Dirjen Dukcapil, dan mengadakan rapat koordinasi dengan KPU provinsi, kabupaten/ kota.
KPU menyatakan juga melakukan verifikasi faktual dengan metode sampling, konsultasi dengan ahli demografi dan ahli statistik, serta melakukan pencocokan dan penelitian terbatas.
"Pada intinya semua data yang dipermasalahkan oleh pemohon setelah dilakukan verifikasi secara bersama antara termohon, pemohon, Bawaslu, dan pihak terkait ternyata memenuhi syarat sebagai pemilih," kata Ali.
Pengacara pasangan calon nomor urut 01, I Wayan Sudirta mengingatkan, DPT yang dipersoalkan tidak hanya digunakan untuk pilpres tetapi juga pileg.
"Pemilu 2019 ini diikuti multipeserta, tidak hanya pasangan calon pilpres tetapi juga calon perseorangan anggota DPD dan partai-partai politik," kata dia.
KPU sebagai termohon, ujar Wayan, juga telah bersikap transparan dan terbuka atas usulan perbaikan DPT dari peserta pemilu, termasuk dari pasangan calon nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga.
Wayan menambahkan, gugatan 02 tidak memberikan informasi mengenai apa yang sudah dilakukan untuk memprotes DPT tak wajar itu.
"Pemohon tidak memberikan informasi yang utuh dalam permohonannya bahwa pemohon telah mengajukan keberatan terhadap penetapan DPT dan telah dilakukan verifikasi faktual atas sampel dari data yang diajukan keberatan dan ternyata tidak terbukti adanya pelanggaran," kata dia.
Dalil permohonan kubu Prabowo soal 17,5 juta pemilih disebut tak masuk akal dalam DPT juga dinilai KPU kabur.
Sebab, pemohon tidak menjelaskan siapa saja mereka, bagaimana faktanya yang dimaksud DPT tidak masuk akal, dari daerah mana saja mereka, dan apakah mereka menggunakan hak pilih di TPS mana saja, dan kepada siapa mereka menentukan pilihan, serta kerugian apa yang diderita pemohon.
Soal tudingan pemilih usia kurang dari 17 tahun sebanyak 20.475 orang pun dianggap tak jelas.
Sebab, pemohon tidak menyebutkan siapa mereka, apakah mereka menggunakan hak pilih atau tidak, di TPS mana mereka menggunakan hak pilih, dan kepada siapa mereka menentukan pilihan
Begitu pun tudingan mengenai pemilih berusia lebih dari 90 tahun, banyaknya pemilih dalam satu kartu keluarga (KK), DPT invalid dan DPT ganda, Situng, hingga tudingan penghilangan C7 atau daftar hadir pemilih di TPS, seluruhnya dinilai tidak jelas.
KPU juga menjawab permohonan gugatan tim 02 yang mempermasalahkan kesalahan input data Sistem Informasi Penghitungan (Situng) KPU.
"Pemohon telah keliru atau gagal paham dalam menempatkan Situng pada proses penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara," kata Ali.
Ali menegaskan, pencatatan data pada Situng KPU bukan merupakan sumber data rekapitulasi berjenjang yang menjadi dasar penghitungan perolehan suara tingkat nasional.
Situng hanyalah alat bantu yang berbasis pada teknologi informasi untuk mendukung akuntabilitas kinerja dalam pelaksanaan tahapan pemungutan penghitungan rekapitulasi, serta penetapan hasil penghitungan suara Pemilu 2019.
Hal ini telah ditegaskan dalam keputusan KPU Nomor 536 Tahun 2019 tentang Petunjuk Penggunaan Sistem Informasi Penghitungan Suara Pemilu 2019.
KPU mengakui terdapat kesalahan pencatatan data Situng. Namun, kesalahan tersebut menurut KPU telah diperbaiki.
Kesalahan ini pun hanya berkisar 0,00026 persen sehingga dinilai tidak signifikan jika kubu Prabowo menyimpulkan adanya rekayasa untuk melakukan manipulasi perolehan suara.
"Tuduhan rekayasa Situng untuk memenangkan salah satu pasangan calon adalah tuduhan yang tidak benar atau bohong," ujar Ali.
Dalil gugatan 02 yang menyebut capres Jokowi telah melanggar prinsip rahasia dan bebas dalam pemilu karena mengajak pemilih memakai baju putih ke TPS, ditepis pula oleh tim kuasa hukum pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 01.
Bantahan juga disampaikan untuk dalil bahwa Jokowi disebut melakukan upaya intimidasi dan tekanan psikologis karena ajakan itu.
Tim Jokowi-Ma'ruf menyebut kubu paslon 02 Prabowo-Sandiaga juga mengajak pemilihnya mengenakan baju putih ke tempat pemungutan suara (TPS).
"Faktanya pemohon sendiri juga mengajak para pemilihnya untuk menggunakan baju putih sebagaimana disampaikan dalam surat Badan Pemenangan Nasional," ujar pengacara 01, Luhut Pangaribuan
"Apakah berarti pemohon juga telah melakukan hal yang sama, yakni melakukan tindakan intimidatif dan tekanan psikologis kepada para pemilih?" tambah Luhut.
Luhut mengatakan dalil gugatan 02 soal seruan baju putih begitu berlebihan. Terlebih lagi, hari pencoblosan berlangsung aman tanpa ada laporan intimidasi. Bahkan, kata dia, tingkat partisipasi pemilih meningkat secara drastis dalam Pemilu 2019.
Dari situ, Luhut mempertanyakan apakah anggapan terkait baju putih ini muncul karena Jokowi adalah presiden petahana. Menurut dia, ini merupakan cara pandang yang bias dan fatal. Sebab, ujar dia, anggapan tersebut mengarah pada kebencian terhadap petahana.
Di luar itu, Luhut menegaskan bahwa tidak ada pelanggaran hukum dari seruan menggunakan baju putih ke TPS itu.
"Karena (tidak ada pelanggaran hukum) itulah tim TKN maupun BPN sama-sama meminta para pemilihnya menggunakan baju putih saat pencoblosan," ujar dia.
KPU pun menyimpulkan, semua tuduhan yang diajukan tim hukum 02 mengenai kecurangan pemilu, tidak memenuhi unsur terstruktur, sistematis dan masif.
"Pemohon tidak menguraikan sama sekali adanya kerja sama termohon (KPU) dan pihak terkait dalam kecurangan pemilu," ujar kuasa hukum KPU, Ali Nurdin.
Ali menyebutkan, berdasarkan definisi, kecurangan secara masif adalah kecurangan sedemikian rupa yang dilakukan secara matang dan melibatkan pejabat dan pelanggaran pemilu secara berjenjang.
Kemudian, kecurangan terstruktur berarti kecurangan yang dilakukan aparat struktural. Sementara itu, sistematis berarti kecurangan sudah direncanakan.
"Pemohon seharusnya membuktikan adanya keterlibatan penyelenggara pemilu," kata Ali.
Menurut Ali, materi pemohon justru mengenai hal-hal yang di luar peran penyelenggara pemilu.
Kubu Prabowo, urai Ali, juga tidak menguraikan secara jelas kapan, di mana, dan bagaimana pelanggaran dilakukan atau siapa melakukan apa, kapan, di mana, dan bagaimana cara melakukannya.
"(Karena itu) termohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan keputusan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ali.
Ali meminta pula MK menerima eksepsi KPU yang telah dibacakan. Seluruh eksepsi KPU membantah semua gugatan sengketa PIlpres 2019 yang diajukan pasangan Prabowo-Sandiaga.
PASAL 10 Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan, MK berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama sekaligus terakhir.
Artinya, persidangan di MK mulai dari pemeriksaan pokok perkara tanpa ada mekanisme banding apalagi kasasi atas putusan yang dihasilkan.
Dalam "bahasa" Penjelasan Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003, maksud dari final dan mengikat adalah:
"Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)."
Sebagai catatan, UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya berisi perubahan dari UU sebelumnya, baik berupa penghapusan, penggantian, maupun penambahan.
Itu pun, sebagian ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 juga dibatalkan berdasarkan Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 tentang uji materi UU itu. Saldi Isra dan Arief Hidayat yang kini adalah Hakim Konstitusi merupakan dua dari delapan pemohon uji materi ini.
Perubahan kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 terjadi pada 2013. Semula, perubahan ini memakai mekanisme peraturan pemerintah pengganti UU (perppu), yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Perppu tersebut kemudian diterima DPR dan disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Sebagaimana kali pertama, perubahan kedua UU MK juga hanya mengundangkan poin-poin yang berubah, baik berupa penghapusan, penggantian, maupun penambahan.
Setelah jawaban para pihak ini, MK akan mulai memeriksa para saksi dan alat bukti untuk kemudian mengadili dan membuat putusan atas perkara perselisihan hasil Pilpres 2019.
UU MK mensyaratkan sekurangnya dua alat bukti yang mendukung untuk dapat menerima permohonan pemohon.
Alat bukti yang dapat dipakai untuk perkara yang diperiksa di MK, diatur dalam Pasal 36 UU Nomor 24 Tahun 2003. Semua alat bukti harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum atau tak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam pemeriksaan perkara.
Bentuknya, surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk, dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik yang serupa dengan itu.
Putusan MK harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Bila tidak demikian, putusannya tidak sah dan tak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 45 UU MK mengatur rinci mekanisme pengambilan putusan oleh hakim konstitusi ini.
Sebisa mungkin, putusan MK diambil berdasarkan musyarawah mufakat. Bila tidak bisa begitu, dilakukan pemungutan suara. Dalam pemungutan suara, penentu akhir adalah suara Ketua MK.
Dalam hal putusan diambil tidak berdasarkan musyawarah mufakat, pendapat hakim konstitusi yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Istilah populernya, dissenting opinion.
Akan seperti apakah putusan yang diambil MK untuk sengketa hasil Pilpres 2019? Apakah proses persidangan di MK mulai dari pemeriksaan saksi dan alat bukti hingga pengambil putusan hanya bakal berpusar di hitungan perolehan suara?
Kita tunggu selambat-lambatnya 28 Juni 2019....