JEO - Insight

Polusi Udara di TPST Bantargebang Ancam Kesehatan Anak dan Balita

Rabu, 29 Maret 2023 | 23:26 WIB

Warga sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, tak hanya diintai persoalan pencemaran air. Polusi udara juga mengancam kesehatan mereka, terutama anak-anak.

RINTIK hujan membasahi kawasan pembuangan sampah terbesar di dunia, TPST Bantargebang, Sabtu (17/12/2022).

Momen itu dirayakan betul oleh anak-anak yang tinggal di sana.

Berlatar gunungan sampah, mereka asyik berlari ke sana ke mari tanpa alas kaki, sembari merentangkan tangan bak pemain bola yang sedang merayakan gol.

Aroma busuk yang begitu menyengat hidung tidak mereka hiraukan. Mungkin sudah ‘bersahabat’.

 

Tak berdaya

Salah seorang warga bernama Tarudin (34), mengakui situasi itu. Ia sudah tinggal di dekat TPST Bantargebang sejak 1994, tepatnya di Kampung Serang, Kelurahan Taman Rahayu, Kecamatan Setu, Bekasi, Jawa Barat.

Meski berjarak sekitar 1,5 kilometer dari tempat sampah raksasa itu, aroma tak sedap tetap tercium santer dari kawasan rumahnya.

“Tapi, bagi kami yang hidup sehari-hari di sini, ya sudah terbiasa,” ujar Tarudin saat berbincang dengan Kompas.com.

Bau busuk itu bukan dianggap sebagai ancaman kesehatan. Apalagi, anak-anaknya tidak pernah didiagnosis menderita infeksi saluran pernapasan.

Bila terserang demam atau flu, keluarganya cukup menenggak obat yang tersedia di warung. Ia baru pergi ke puskesmas bila kondisi tidak kunjung membaik.

KOMPAS.com/Ellyvon Pranita
Tarudin (34) sedang menggendong anaknya di tengah lingkungan sekitar TPST Bantargebang. Mereka terlihat biasa saja menghirup udara dan bau dari tumpukan sampah tanpa alat pelindung apapun, termasuk masker.

Dalam hati kecilnya, tentu tetap ada kekhawatiran polusi udara itu mengancam kesehatan anggota keluarganya.

Namun, kekhawatiran itu terkubur oleh ketidakberdayaan. Sebagai orang yang sehari-hari bekerja sebagai pengumpul barang bekas, ia tak mungkin memboyong sekeluarganya ke tempat yang lebih laik kualitas udaranya.

Hal senada diungkapkan Samid (40), warga Kelurahan Ciketing Udik, Kecamatan Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.

Baik dalam cuaca hujan atau cerah, polusi udara berupa bau busuk tetap tercium hingga radius beberapa kilometer.

Bahkan, kondisi semakin parah bila memasuki musim kemarau. Bau bercampur dengan debu yang terbawa oleh truk hilir mudik setiap hari.

“Kalau tidak hujan dua hari saja, debunya banyak banget,” ujar Samid.

Sama seperti Tarudin, hati kecil Samid juga merasa khawatir polusi udara itu akan berdampak buruk terhadap kesehatannya suatu hari nanti.

“Khawatir juga. Takutnya kena penyakit pernapasan. Tapi, mau bagaimana lagi?” ujar Samid yang juga berprofesi sebagai pengumpul barang bekas.

 

Anak tak diproteksi

Sejumlah emak-emak yang juga tinggal di sekitar TPST Bantargebang mengaku, tidak memproteksi anak-anaknya secara khusus dari polusi udara di sana.

Tasmi (35), tetangga Tarudin, mengaku, tidak membatasi anak-anaknya dalam beraktivitas sehari-hari. Sang anak biasanya bermain bola atau layang-layang pada sore hari sepulang sekolah.

“Alhamdulillah enggak pernah (mengalami penyakit pernapasan). Paling demam, meriang, atau batuk, pilek. Kalau sesak napas mah enggak ada,” ujar dia.

Begitu pula Lina Sari (35). Bila dihitung-hitung, sang anak berada di luar rumah lebih dari delapan jam dalam sehari.

Ia mengaku, sang anak cukup sering terserang batuk dan pilek. Sembuhnya pun lama. Bisa sampai dua pekan.

“Kemarin baru saja sembuh dari campak, batuk, pilek juga. Langsung dibawa ke bidan,” ujar Lina.

Ia tidak tahu mengapa sang anak cukup sering terjangkit batuk dan pilek. Ia tak dapat memastikan apakah kondisi udara tak baik di lingkungan rumah adalah penyebabnya atau bukan.

Saat ditanya apakah Lina memproteksi anaknya dengan masker, ia mengaku, tidak menerapkannya, meski sadar bahwa kualitas udara di lingkungan rumahnya jelek.

“Pakai masker kalau lagi mau pergi saja. Tapi di sini enggak,” ujar Lina.

KOMPAS.com/Ellyvon Pranita
Aktivitas para ibu-ibu dan anak-anak yang tinggal di Kelurahan Ciketing Udik, Kota Bekasi pada Minggu (11/12/2022). Mereka tinggal di rumah semi permanen tepat di samping TPST Bantargebang. Tidak ada yang menggunakan masker saat beraktivitas karena mereka tidak merasa terganggu dengan polusi udara berupa debu dan bau dari tumpukan sampah di landfill TPST Bantargebang itu.

Ia menaruh harapan suatu saat dapat hengkang dari rumahnya yang sangat dekat dengan tempat sampah raksasa itu.

Saat Kompas.com menelusuri pemukiman warga sekitar yang tak jauh dari TPST Bantargebang itu, anak-anak terlihat sangat asyik bermain dengan riangnya, tanpa khawatir apapun.

Mereka juga makan dan belajar di tengah lingkungan sampah berdebu serta bau itu tanpa perlindungan apapun, terutama masker.

Ada beberapa anak-anak terdengar batuk, dan ada pula yang terlihat mengeluarkan lendir dari hidung.

Namun layaknya anak kecil, mereka tak sadar kalau mereka sedang sakit.

TPST Bantargebang sumber polusi udara

Merujuk data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, setiap hari, volume sampah yang masuk ke TPST Bantargebang mencapai 6.500 hingga 7.000 ton dan diangkut menggunakan 1.200 truk.

Sampah itu kemudian menempati enam zona landfill seluas 81,40 hektare.

Sekadar gambaran, total luas TPST Bantargebang sendiri yakni 104,7 hektare di mana 81,40 hektare merupakan landfill dan seluas 23,30 hektare merupakan sarana dan prasarana pendukung.

Di dalam landfill, truk akan menurunkan sampah. Kemudian diteruskan oleh alat berat ke titik pengolahan kompos.

Di sana, masih menggunakan alat berat, petugas akan meratakan dan memadatkan sampah. Mereka juga akan menutup sampah itu dengan tanah setebal 20 sentimeter, maksimal 30 sentimeter.

Semestinya, setelah melalui proses ini, sampah-sampah itu akan ditimbun dengan metode khusus. Namun, pada kenyataannya penimbunan sampah yang benar sulit dicapai sehingga tumpukan sampah itu menghasilkan gas beracun bagi manusia.

Gas yang muncul, didominasi gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Gas lain yang tidak kalah berbahayanya bagi manusia, yakni nitrogen, sulfide, disulfide, merchaptan, ammonia, hydrogen, karbon monoksida, dan lain-lain.

Merujuk data kualitas udara Stasiun AQMS Bantargebang tahun 2022 oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bekasi, senyawa yang paling mendominasi area tersebut adalah Karbon monoksida (CO).

Selain kedua senyawa itu, DLH Kota Bekasi juga melihat parameter kualitas udara lainnya yang akan berdampak pada kesehatan manusia yakni, sulfur dioksida (SO2), ozon (O3), nitrogen dioksida (NO2), dan hidrokarbon (HC).

Gas-gas dengan masa jenis yang rendah cenderung mencari celah terlepas ke udara. Mata telanjang dapat melihatnya dalam bentuk asap. Salah satunya adalah gas metana.

Emisi gas metana dari landfill adalah sumber utama gas rumah kaca.

Polusi udara tidak selalu mengenai sesuatu yang terlihat seperti debu. Namun, bau juga merupakan bagian dari polusi udara.

KOMPAS.com/Ellyvon Pranita
Aktivitas sehari-hari masyarakat di sekitar TPST Bantargebang pada Minggu (11/12/2022). Mereka mencari dan mengumpulkan barang bekas layak pakai atau bisa daur ulang sebagai salah satu mata pencaharian sehari-hari.

Pakar lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sri Wahyono mengatakan, segala gas yang terlepas dari tumpukan sampah itu dapat ditandai dengan bau busuk.

“Polusi udara yang paling terasa oleh masyarakat sekitar adalah bau busuk,” ujar Wahyono.

Dalam Himpunan Peraturan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, tercantum ada lima jenis senyawa bau pada tempat pembuangan sampah akhir yang bisa berdampak negatif ke manusia.

Kelimanya, yakni ammonia (NH3), metil merkaptan (CH4S), hydrogen sulfide (H2S), metil sulfide (C2H8S), dan styrene (C8H8).

Dari jurnal penelitian berjudul Kuantifikasi Bau dan Polusi Bau di Indonesia, (Arief Sabdo Yuwono, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, 2018), bau mempunyai dua pengertian, yaitu sebagai kesan yang ditangkap oleh indra pembau dan jenis senyawa kimia yang menyebabkan timbulnya bau.

Dengan kata lain, bau merupakan sebuah bentuk gangguan lingkungan atau polusi udara.

Dampak bagi anak/balita

Menurut laporan WHO, 18 miliar anak di bawah  usia lima tahun dan 630 juta anak di bawah usia lima tahun dalam skala global terpapar pada tingkat ambien PM 2,5 di bawah pedoman kualitas udara WHO yakni 5 mirkogram/m3.

Data skala global juga menunjukkan, polusi udara telah merenggut 690.000 nyawa anak-anak pada tahun 2019, lebih dari sanitasi yang buruk dan air minum yang tidak aman.

Dokter Spesialis Paru dari Divisi Paru Kerja dan Lingkungan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI - Pusat Respirasi Nasional RS Persahabatan Jakarta, dr Efriadi Ismail, Sp.P (K) mengatakan, polusi udara itu masalah besar bagi anak-anak dan balita.

Menghirup polutan udara beracun dapat meningkatkan kemungkinan manusia dapat mengalami masalah kesehatan. Apalagi anak-anak.

Orang dengan penyakit jantung atau paru, orang lanjut usia dan anak-anak berisiko lebih besar terkena polusi udara.

Anak-anak dan balita memiliki paru-paru, organ, otak dan sistem saraf yang sedang berkembang.

Masa pertumbuhan dan perkembangan mereka dapat terganggu jika secara konsisten terpapar polusi  udara.

"Polusi udara tidak hanya di luar saja, udara di dalam gedung juga dapat tercemar dan memengaruhi kesehatan kita," ujar Efriadi.

iStockphoto/kwanchaichaiudom
Penyebab asma pada anak.

Terlebih sampah yang menumpuk juga dapat menimbulkan polusi udara.

Sampah yang menumpuk dalam jumlah relatif banyak dan tidak segera dibuang ke tempat pembuangan akhir akan menghasilkan polutan.

"Ditambah lagi dengan bau menyengat, ini dapat menganggu kesehatan kita," ujar dia.

Gejala anak dan balita yang terpapar polusi udara di antaranya, efek akut yang tiba-tiba setelah terpapar polusi udara, yakni iritasi selaput lendir, mata merah, hidung berair, bersin-bersin, iritasi saluran napas bawah seperti peradangan, sakit tenggorokan, batuk berdahak, hingga sesak napas.

Bahkan pada peningkatan kasus ISPA, dapat mengalami serangan asma, sehingga angka kunjungan ke IGD rumah sakit terkait penyakit pernapasan juga meningkat.

"Risiko dari keracunan zat zat hirup yang beracun juga berakibat fatal, bisa menyebabkan kematian," kata Efriadi.

Sedangkan gejala jangka panjang, dapat berupa penurunan fungsi paru paru, hipersensitivitas saluran napas yang bisa menimbulkan serangan asma berulang, reaksi alergi, risiko asma semakin meningkat.

Terpapar polusi udara juga berisiko terkena penyakit jantung dan pembuluh darah saat dewasa dan risiko terkena kanker.

Efriadi menambahkan, ISPA merupakan dampak utama dari polusi udara, sehingga orangtua perlu waspada dalam melindungi anak-anak dari serangan ISPA yang berulang, yang bisa saja dampak dari polusi udara.

"Infeksi berulang dapat menimbulkan kerusakkan paru pada saat usia dewasa nanti," tambah dia.

Dampak ISPA berulang pada anak dan balita dapat mengakibatkan infeksi saluran napas bawah (bronchitis/ pneumonia), bahkan gangguan pertumbuhan, baik fisik maupun inteligensia anak.

"Jadi lebih rentan akan infeksi dan penyakit pernapasan, jantung serta pembuluh darah, akan lebih mudah terjadi pada saat dewasa nanti," tutur Efriadi.

Penyakit anak/balita di sekitar TPST Bantargebang

Benar saja. Meskipun penelusuran Kompas.com di awal tidak menemukan anak yang mengalami gangguan kesehatan akibat tercemar polusi udara, rupanya data menunjukkan hal berbeda.

Berdasarkan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi, penyakit-penyakit gangguan pernapasan diemukan di sekitar lingkungan TPST Bantargebang.

Ada tiga puskesmas di Kecamatan Bantargebang yang dekat sekali dengan TPST raksasa itu, yakni Puskesmas  Puskesmas Sumur Batu, Puskemas Bantargebang, dan Puskesmas Ciketing Udik.

KOMPAS.com/Ellyvon Pranita
Sejumlah anak-anak tengah asyik bermain, dan makan camilan di dekat gundukan sampah di landfill TPST Bantargebang, Bekasi Minggu (11/12/2023). Tidak terlihat sedikit pun mereka terganggu dengan polusi udara berupa debu dan aroma tak sedap yang keluar tumpukan sampah tersebut.

Data dari bulan Januari-November 2022 di tiga puskesmas itu menunjukkan tercatat kasus ISPA Pneumonia usia anak 1-5 tahun di Puskesmas Sumur Batu sebanyak 2 kasus, Puskesmas dan di Puskesmas Ciketing Udik 1 kasus.

Sedangkan kasus ISPA pada anak usia di atas 5 tahun, di Puskesmas Sumur Batu 1 kasus dan Puskesmas Ciketing Udik 1 kasus.

Data Dinkes Kota Bekasi juga menyebutkan, anak-anak usia 1-5 tahun banyak mengalami batuk bukan pneumonia di Puskesmas Sumur Batu sebanyak 596 kasus, Puskemas Bantargebang sebanyak 900 kasus, dan Puskesmas Ciketing Udik sebanyak 400 kasus.

Selain itu, anak usia di atas 5 tahun juga banyak menderita batuk bukan pneumonia, yaitu Puskesmas Sumur Batu sebanyak 2.761 kasus, Puskesmas sebanyak 489 kasus dan Puskesmas Ciketing Udik sebanyak 906 kasus.

Untuk di Puskesmas Ciketing Udik sendiri, dari jumlah penduduk usia balita yakni sekitar 2.652 orang, diperkirakan penderita pneumonia ada sebanyak 123 balita.

"Memang kalau lihat data yang ke puskesmas ini tidak begitu banyak, karena mungkin merekanya sendiri juga kalau sakit-sakit (merasa) biasa aja," kata Intan, Bidan Penanggung Jawab Program Pengendali ISPA di Puskesmas Ciketing Udik, (27/11/2022).

Menurut Intan, masih banyak masyarakat di sana yang menganggap batuk hanyalah penyakit biasa sehingga mereka tidak curiga terhadap dampak polusi udara.

Faktor ekonomi juga diduga membuat data keluhan penyakit gangguan dari polusi udara di sekitar wilayah itu masih minim.

"Seperti biasa, mereka baru mau berobat kalau sudah benar-benar kelihatan sakitnya, parah begitu," ucap dia. 

Dirinya sendiri pernah merujuk seorang anak yang mengalami sakit asma, tetapi prosesnya cukup cepat yakni dalam semalam saja sehingga penanganan langsung diserahkan ke rumah sakit rujukan.

Dengan begitu, data dari ketiga puskesmas yang ada ini belum bisa memenuhi semua kondisi yang terjadi pada seluruh daerah di sekitar TPST Bantargebang itu.

Sebab, tidak dapat disimpulkan senyawa atau gas mana dari tumpukan sampah TPST Bantargebang yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan anak-anak dan balita di sana.

Akan tetapi, hal ini menunjukkan polusi udara dari tumpukan sampah di landfill Bantargebang itu benar-benar ada.

Shutterstock/Sudarshan Jha
Ilustrasi polusi udara, dampak polusi udara. Pakar paru-paru Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K) menyebutkan, dampak polusi udara dapat memangkas usia harapan hidup orang Indonesia rata-rata 1,2 tahun.

*Liputan ini didukung oleh Earth Journalism Network (EJN) dan Clean Air Catalyst (CAC)