Lengkap. Inilah kata yang paling tepat untuk menggambarkan sosok Muhammad Jusuf Kalla.
Lahir sebagai anak saudagar kaya raya, menjadi pintu masuk Kalla menempa diri di dunia organisasi ketika memasuki masa remaja.
Tanpa meninggalkan dunia bisnis, ia merayap di dunia politik hingga menjabat sejumlah posisi strategis di negara ini.
Kecerdikan dan keluwesan pribadi Kalla membuatnya menjadi juru runding nan ulung, termasuk urusan konflik skala nasional maupun internasional.
Inilah penuturan Jusuf Kalla tentang perjalanan kariernya...
Sekilas tentang Kalla
Jusuf Kalla Kalla merupakan anak kedua dari 17 bersaudara.
Sang ayah, Hadji Kalla, merupakan seorang saudagar tersohor di Sulawesi Selatan.
Latar belakang sebagai anak saudagar membawa Kalla bergelut di dunia bisnis.
Namun, memasuki kuliah, Kalla memilih menempa diri dengan aktif berorganisasi.
Ia pernah memimpin berbagai organisasi, antara lain Pelajar Islam Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Senat Kemahasiswaan Universitas Hasanuddin, hingga menjadi ketua Dewan Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Pengalaman beroganisasi menjadi bekal Kalla terjun ke dunia politik.
Karier politiknya sendiri dimulai di tingkat lokal, yakni menjadi anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan periode 1965-1968.
Dari sana, Kalla naik ke level nasional. Ia terpilih menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada periode 1982-1987 mewakili Golkar pada periode 1997-1999 mewakili daerah.
Kalla mulai masuk ke lembaga eksekutif setelah tumbangnya Orde Baru. Ia diangkat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Namun, kiprahnya sebagai Menperindag hanya sebentar. Enam bulan kemudian, ia dicopot dari jabatan tersebut.
Kalla kembali diangkat sebagai menteri saat Megawati Soekarnoputri naik jabatan menjadi Presiden ke-5 RI pada 2001.
Ia diplot untuk mengisi posisi sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Gotong Royong.
Tiga tahun berselang, Kalla maju mendampingi koleganya di kabinet, Susilo Bambang Yudhoyono yang mengundurkan diri terlebih dahulu dari jabatan sebelumnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.
Keduanya maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden di Pemilu Presiden 2004.
Pada pemilihan yang awalnya diikuti lima pasangan, duet SBY-JK berhasil maju ke putaran kedua sebelum akhirnya berhasil mengalahkan mantan atasannya, Megawati yang saat itu berpasangan dengan Hasyim Muzadi.
Duet SBY-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI selama periode 2004-2009.
Pada Pilpres 2009, Kalla memutuskan maju menjadi calon presiden dan menantang SBY.
Tapi sayang, garis nasib tak berpihak pada Kalla. Pada pemilihan yang diikuti tiga pasang calon, Kalla yang saat itu berpasangan dengan Wiranto harus mengakui kemenangan pasangan SBY-Boediono yang berhasil menang satu putaran dengan persentase suara mencapai 60,8 persen.
Duet Kalla dan Wiranto harus puas berada di posisi terakhir dengan hanya mengumpilkan 12,41 persen, di bawah perolehan suara pasangan Megawati-Prabowo Subianto yang ketika itu mengumpulkan 26,79 persen suara.
Setelah lima tahun "istirahat", Kalla kembali ke panggung politik saat mendampingi Joko Widodo di Pilpres 2014.
Keduanya berhasil mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa dalam pemilihan yang hanya diikuti dua pasang calon.
Untuk kedua kalinya, Kalla menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Jabatannya berakhir pada 2019.
Dalam bincang-bincang bersama Pemimpin Redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho di"Beginu", beberapa waktu lalu, Kalla bercerita banyak tentang sepak terjangnya saat masih aktif di dunia politik serta ketika menjadi juru runding bermacam konflik.
Video tersebut dapat anda tonton di:
Juru runding ulung
Kalla dikenal sebagai juru runding ulung. Saat menjabat sebagai Menko Kesra, ia sempat beberapa kali terlibat dalam proses perdamaian konflik horizontal yang terjadi di beberapa daerah, antara lain di Poso, Sulawesi Tengah dan Ambon, Maluku.
Ia juga aktif dalam proses perdamaian di Aceh.
Rekam jejak itulah yang membuat Kalla diikutsertakan di dalam proses perundingan damai yang melibatkan Pemerintah Afghanistan dan Taliban, belum lama ini.
Bagi Kalla, setiap konflik pasti memiliki latar belakang yang jadi akar masalah.
Latar belakang itulah yang perlu dianalisis untuk dapat mendamaikan pihak-pihak yang berseteru.
Dengan mempelajari latar belakang konflik, maka juru runding bisa menemukan win-win solution agar pihak-pihak yang berseteru tidak ada yang merasa kalah.
Hal lain yang tak kalah penting adalah menumbuhkan rasa saling percaya di antara pihak-pihak yang berseteru.
Juru runding harus benar-benar memosisikan diri supaya netral, tak berpihak dan harus memperlakukan seluruh pihak berseteru secara setara.
Dengan demikian, semua pihak yang terlibat perundingan merasa dihargai.
Ia mengaku tak mempelajari secara khusus teori mengenai resolusi konflik. Kepiawaiannya dalam perundingan konflik lebih didasarkan pada pengalaman.
"Sehingga banyak yang kadang-kadang bertentangan dengan buku," imbu dia.
Atas dasar itu, Kalla berkeinginan menerbitkan buku sendiri terkait strategi mengatasi konflik yang didasarkan pada pengalamannya selama ini.
Perundingan Aceh
Konflik di Aceh dilatarbelakangi ketidakpuasan pemerintah daerah setempat pada pemerintahanan Soekarno pasca-kemerdekaan.
Selepas kemerdekaan, Daud meminta supaya rakyat Aceh diberikan kebebasan menjalankan syariat Islam. Soekarno disebut-sebut sempat mengiyakan permintaan tersebut.
Namun, keinginan tersebut tak terealisasi. Kecewa atas perkembangan politik yang terjadi, Daud kemudian memimpin pemberontakan.
Gerakan yang diinisiasi Daud inilah yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik di Aceh pun terjadi berlarut-larut.
Pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto tak membuat Aceh lebih baik. Justru masyarakat semakin tertekan dengan pemberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer.
Hingga pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, Aceh masih dilanda konflik.
Pemerintahan Mega sempat memberlakukan Darurat Militer pada 2003.
Setelah kepemimpinan negara beralih ke SBY, upaya perundingan dimulai. Perjanjian damai akhirnya diteken pada 2005.
Menurut Kalla, perdamaian di Aceh merupakan win-win solution untuk semua pihak.
Ia menyebut, mantan anggota GAM tidak merasa kalah karena kini mereka yang memerintah di Aceh. Masyarakat Aceh juga diberikan keleluasaan untuk menjalankan syariat Islam.
Di sisi lain, Pemerintah RI berhasil menjaga keutuhan negara dan membuat rakyat Aceh kini bisa hidup dengan damai.
"Jadi, semua merasa menang. Itu pun dilakukan secara demokratis," kata Kalla.
Mengenai perundingan dengan GAM, Kalla menceritakan penolakan gerakan separatis tersebut yang sempat enggan menyerahkan senjata. Hal tersebut disebabkan anggota GAM yang merasa senjata adalah harga diri mereka.
Akhirnya tercapai kesepakatan senjata milik anggota GAM tidak akan diambil, tetapi harus dipotong dengan disaksikan pengamat asing.
Jadi, setengah bagian boleh tetap dimiliki, tapi bagian yang lain harus diserahkan ke TNI. Tujuannya agar anggota GAM tidak bisa lagi memanfaatkan senjata yang sudah dipotong tadi.
"Akhirnya semua merasa terhormat. Dia (GAM) tidak merasa menyerah, tidak merasa dilucuti. Tapi bagi kita tujuannya sama, senjata tidak ada," ucap Kalla.
Perundingan Poso
Poso merupakan kabupaten di Sulawesi Tengah yang sempat menjadi wilayah konflik agama pada awal era 2000-an.
Untuk di Poso, Kalla menilai, permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut sebenarnya bukanlah persoalan agama, melainkan politik.
Menurut dia, Poso adalah wilayah dengan komposisi penganut Islam dan Kristen yang relatif seimbang.
Pada masa lalu, jika jabatan bupati ditempati oleh warga penganut Islam, maka wakilnya akan diisi oleh seorang kristiani. Demikian pula sebaliknya.
Namun, keharmonisan itu berubah saat masuknya era demokrasi. Karena penduduk Islam sedikit lebih banyak, maka pasangan bupati dan wakil bupati beragama Islam lah yang dapat memenangi pemilihan.
Akhirnya, semua posisi strategis di Kabupaten Poso diisi oleh pejabat-pejabat beragama Islam, tak cuma bupati dan wakil bupati, tapi juga Ketua DPRD dan bahkan sekretaris daerah-nya.
Kondisi itulah yang memunculkan sentimen agama.
Menurut Kalla, konflik Poso diawali oleh perkelahian kelompok pemuda yang kemudian membesar karena sentimen agama yang sudah terlanjur terbentuk.
Untuk mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik, maka cara yang harus dilakukan adalah mengembalikan kembali harmoni yang sebelumnya tercipta, dalam hal ini membagi rata komposisi pejabat daerah yang bisa merepresentasikan kelompok-kelompok masyarakat di sana.
Pilihan Kalla untuk ikut serta dalam perundingan damai di Poso bukannya tanpa risiko.
Kantor dan pusat berbelanjaan miliknya di Makkasar pernah dibom oleh orang-orang yang tak puas atas hasil perdamaian Poso dan posisi Kalla yang justru tak berpihak ke kalangan Islam.
"Wah, kita harap Pak JK itu memihak kita. Ternyata tidak," ucap Kalla menirukan ucapan seorang pelaku yang tertangkap.
Bagi Kalla kejadian tersebut merupakan bagian dari risiko yang harus ditanggung.
Dituduh berafiliasi dengan Taliban
Tak hanya di Poso, resiko karena ikut campur dalam upaya mendamaikan konflik juga harus ditanggung Kalla saat terlibat dalam perundingan Afghanistan.
Keputusannya untuk mengundang dan menjamu perwakilan Taliban di Jakarta membuatnya dituduh berafiliasi dengan kelompok Islam garis keras tersebut.
Namun, Kalla tak menghiraukan persepsi yang dituduhkan kepadanya. Jamuan kepada perwakilan Taliban itu merupakan bagian dari upayanya untuk ikut serta mengakhiri konflik di Afghanistan.
Untuk bisa mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik, maka pihak yang jadi juru runding juga harus mengenal dengan baik pihak yang ingin didamaikan, tidak terkecuali Taliban.
Dari kacamata barat, Taliban digolongkan sebagai salah satu kelompok teroris.
Namun, kata Kalla, Taliban adalah kelompok yang merasa diri mereka sebagai pejuang yang ingin membebaskan negaranya dari pendudukan negara asing.
"Anda tidak bisa mendamaikan suatu negara, suatu suku tanpa mengenal kedua belah pihak," sebut Kalla.
Ia merasa perannya dalam menciptakan perdamaian di Afghanistan merupakan salah satu cara menjalankan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Di Afghanistan sendiri, Kalla menyebut perundingan melibatkan tiga pihak, masing-masing pemerintah Afghanistan, Taliban dan Amerika Serikat dan sekutunya.
Sampai sejauh ini, kesepakatan yang sudah dicapai di sana adalah mengeluarkan tentara asing dari negeri tersebut.
Dalam upaya power sharing di pemerintahan, pihak-pihak yang terlibat perundingan diminta untuk gencatan senjata sambil terus berkompromi untuk mencapai keinginan masing-masing.
"Kita sarankan ceasefire (gencatan senjata) dulu, kemudian masing-masing apa yang diinginkan dari power sharing itu dan posisi-posisi apa yang dapat dibagi, kemudian dilaksanakan pemilu. Ini yang sekarang belum diterima oleh sebagiannya," imbuh Kalla.
Seni berkompromi dalam politik
Perjanjian damai dalam suatu konflik tentunya tak akan bisa dicapai tanpa kompromi. Di sinilah Kalla menekankan betapa pentingnya seni berkompromi.
Di alam demokrasi seperti yang terjadi di Indonesia, kompromi merupakan cara yang harus dikedepankan untuk mencapai harmoni.
Bila kompromi tidak tercapai, barulah dilakukan voting.
Tapi pada intinya, ia menekankan voting adalah jalan terakhir yang baru dilakukan apabila kompromi tak bisa dicapai.
"Kalau sistem demokrasi yang terbuka seperti Amerika ya harmoninya dengan voting. Kita memang juga pada ujungnya voting, tapi semua harus melalui proses negosiasi. Kalau memang deadlock terpaksa voting," ucap Kalla.
Apa yang diucapkan Kalla mengenai seni berkompromi ini sebenarnya cocok dengan falsafah Pancasila yang lebih mengedepankan musyawarah mufakat.
Cerita menantang SBY
Akhir tahun 2009 merupakan salah satu momen politik yang tidak dapat dilupakan Jusuf Kalla.
Kalla adalah wakil presiden pendamping SBY selama periode 2004-2009. Meski menjadi wakil, banyak kalangan yang menilai Kalla punya peran sangat strategis pada pemerintahan SBY.
Pada suatu ketika, Perdana Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew pernah melontarkan kalimat, "sayang Pak Jusuf Kalla hanya Wakil Presiden".
Ucapan Lee itu dilontarkan usai pertemuan tatap muka dengan Kalla di Jakarta.
Menurut Kalla, dalam pertemuan itu Lee sempat memberikan masukan soal Indonesia. Namun, saat itu Kalla menjawab bahwa ia lebih tahu soal kondisi Indonesia dibanding Lee.
Setelah pertemuan, Lee diwawancarai wartawan dan saat itulah dia melontarkan pernyataan kontroversial itu.
Selang tak berapa lama setelah ucapan Lee, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif juga sempat mengatakan bahwa Kalla adalah "The Real President".
"Kerena dua (pernyataan) bersamaan itu, suasana jadi agak panas," kenang Kalla.
Pada Pilpres 2009, Kalla akhirnya maju sendiri sebagai capres dan berkompetisi dengan SBY.
Menurut Kalla, saat itu ia sebenarnya masih ingin maju mendampingi SBY. Namun, sang presiden punya keputusan lain.
Ada satu momen yang membuat tekadnya bulat untuk maju sendiri sebagai capres, kendati ia merasa kesempatannya untuk menang akan sulit, yakni saat Partai Demokrat meminta Partai Golkar menyerahkan daftar nama kader partai yang nantinya akan dipilih SBY sebagai wakil.
Menurut Kalla, ucapan pengurus Partai Demokrat itu seperti menghina dirinya dan menjatuhkan martabat Partai Golkar sebagai partai terbesar di Indonesia pemenang Pemilu 2004.
"Saya sudah Wapres, ketua partai. Akhirnya timbul harga diri Golkar. Partai terbesar ini harus ada calonnya, dong," ujar Kalla.
Pilpres 2009 pun bergulir diikuti tiga pasang calon, masing-masing SBY-Boediono, Kalla-Wiranto, dan Megawati-Prabowo.
Sadar peluang untuk mengalahkan SBY sulit, Kalla menyebut antara pihaknya dan pihak Megawati sempat ada suatu kesepakatan.
Kesepakatan tersebut adalah siapapun yang kalah di putaran pertama harus membantu pihak lain yang berhasil masuk ke putaran kedua. Kesepakatan itu akan dilakukan bila pilpres harus dilakukan dua putaran.
Pada akhirnya, Pilpres 2009 hanya berlangsung satu putaran. Pasangan SBY-Boediono menang mutlak dengan presentase suara mencapai mencapai 60,8 persen.
Duet Kalla dan Wiranto harus puas berada di posisi terakhir dengan hanya mengumpilkan 12,41 persen, di bawah perolehan suara pasangan Megawati-Prabowo Subianto yang ketika itu mengumpulkan 26,79 persen suara.
Jusuf Kalla juga banyak mendapatkan penghargaan, antara lain: