JEO - Tokoh





Profil Moeldoko

Sabtu, 13 Maret 2021 | 23:14 WIB

Dari Cerita Anak Miskin, Reformasi TNI,
Kepala Staf Presiden,
sampai Arah 2024

“Background saya mempengaruhi hidup saya dan dari situlah saya fight dengan lingkungan. Enggak pernah menyerah, apa pun situasinya, dan saya berani.”

~Moeldoko~

δ

NAMA Moeldoko sedang jadi sorotan. Dinamika politik praktis menyeret namanya ke tengah pusaran.

Terlepas dari pro dan kontra yang belum juga reda soal itu, jauh sebelum ada gelagat hal tersebut akan terjadi, tim JEO Kompas.com mewancarai Moeldoko di kantornya pada 11 Januari 2021.

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN
Kepala Staf Presiden, Moeldoko, dalam sesi wawancara khusus dengan Kompas.com, Senin (11/1/2021)

Hari ini, Moeldoko dikenal orang sebagai Kepala Staf Presiden (KSP) di Kabinet Indonesia Maju alias kabinet jilid kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebelumnya, di karier militer, dia menapaki posisi puncak dengan menjadi Panglima TNI.

Namun, ditarik jauh ke belakang, Moeldoko terlahir dari keluarga dan lingkungan miskin. Setidaknya, ini menurut pengakuannya sendiri.

Dalam perbincangan riuh selama hampir dua jam di Kantor Staf Presiden di lingkungan Istana Negara, Moeldoko bertutur banyak tentang aneka hal, mulai dari masa kecilnya yang susah itu hingga yang ada di pikirannya saat ditodong pertanyaan soal 2024.

Ini kisahnya. Ini profil Moeldoko.

ASAL BOLEH SAMA,
HASIL BISA JAUH BEDA...

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN
Kepala Staf Presiden, Moeldoko, berfoto di ruang kerjanya, Senin (11/1/2021).

MOELDOKO lahir dari keluarga miskin. Dia anak bungsu dari 12 bersaudara.

Namun, bersama dirinya hanya delapan anak yang pernah dia lihat. Mereka terdiri atas lima laki-laki dan tiga perempuan.

“Kamu terakhir, tinggal kuretan-nya,” ujar Moeldoko menirukan sang ibu tentang kelahiran dan keberadaannya di keluarga.

Sang ayah, Moestaman, adalah petani. Adapun sang ibu, Masfuah, adalah ibu rumah tangga.

Empat saudara Moeldoko meninggal dunia saat ia masih kecil. Delapan bersaudara yang masih dia jumpai terdiri dari lima laki-laki dan tiga perempuan.

Selain bertani, sang ayah juga menjadi Jagabaya alias perangkat keamanan di desanya, yaitu Desa Pesing, Kecamatan Purwoasri, Kediri, Jawa Timur.

Meski begitu, kebutuhan hidup keluarga dengan 12 anak itu tetap tak tercukupi dengan pendapatan dari dua sumber penghidupan tersebut. 

Dalam situasi paling sulit, isi buah mangga—pelok, dalam bahasa Jawa—pun jadi santapan pengganti nasi. 

“Diambil dalamnya mangga, dijemur, terus enggak tahulah diapain lagi, itu urusan orangtua kita dulu. Tapi itu realita saya dulu,” kenang Moeldoko.

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN
Salah satu ekspresi lepas Kepala Staf Presiden, Moeldoko, dalam sesi wawancara khusus di ruang kerjanya, Senin (11/1/2021).

Sama seperti bocah-bocah desa pada umumnya, Moeldoko sejak kecil diminta membantu kerja di sawah, sebisanya, sepulang sekolah.

Namun, bukan berarti tak ada cerita gembira di masa kecilnya. Kelayapan di kebun tebu bersama teman-teman atau bermain di sungai adalah kegembiraan.

Sungai yang mengalir melintasi desa mereka adalah taman bermain. Saat arus sedang deras, mereka berlomba berenang melawan arus. 

Saat adzan maghrib berkumandang, Moeldoko merapat ke mushala dekat rumah. Selain menegakkan shalat, di sini dia belajar mengaji dan berlatih silat. Tak jarang dia ketiduran sampai pagi di mushala.

“Mungkin karena anaknya banyak, ibu saya juga enggak pernah nyariin kalau malam,” kata Moeldoko.

Berbeda

Meski lahir dari rahim kemiskinan yang sama, Moeldoko belakangan menyadari ada yang berbeda antara dirinya dan teman-teman kecilnya.

Sejak kecil, dia tampaknya punya nyali dan kemampuan komunikasi sesuai skala lingkungan yang dihadapi.

“Ini contohnya ya, waktu SD itu kepala sekolah dekat banget sama saya. Sering saya itu disuruh, ‘Moeldoko, belikan kerupuk.’ Ini soal komunikasi ya, seorang anak kecil bisa dekat dengan kepala sekolah seperti itu,” tutur Moeldoko.

Entah mengapa dan bagaimana, semasa kecil pun dia sering didapuk teman-temannya untuk banyak urusan, mulai dari kompetisi bola kampung. 

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN
Kepala Staf Presiden, Moeldoko, dalam sesi wawancara di ruang kerjanya, Senin (11/1/2021).

Hal berbeda lain adalah soal sekolah. Dari satu kampungnya itu, hanya dua orang termasuk Moeldoko yang melanjutkan SMA ke kota.

Bukan periode yang gampang. Enggak ada ongkos sampai dikejar-kejar kondektur adalah salah satu cerita utama dari masa SMA-nya. 

Ke sekolah yang berjarak sekitar 35 kilometer dari rumahnya, waktu itu Moeldoko kerap "menumpang" angkutan umum, alias naik tanpa membayar. 

"Ya saking enggak punya duit," kata dia.

Kalau apes, kondektur menangkapnya. Buku pelajaran disita. Kepala sekolah lagi yang dimintai bantuan mengambil buku-buku itu ke stasiun. 

Soal keinginannya menjadi tentara pun berhadapan dengan kesulitan dan tantangan hidup selama SMA. Itu jadi satu fragmen penting tersendiri. 

"Waktu keterima (jadi taruna), semua enggak percaya. Moeldoko yang mana nih?" ujar Moeldoko tergelak mengenang hari-hari itu.

Hidup dirasa membaik begitu Moeldoko menempuh pendidikan militer. Setidaknya, dia bisa makan tiga kali sehari, apa pun yang harus dihadapi selama proses pendidikan.

"Begitu saya masuk ke Magelang, saya (berpikir), 'Wah kok enak ya. Makan teratur, belajar teratur, pakaian semua ada. Dikasih uang saku, lagi.' Bagi saya, itu sudah di surga," ujar Moeldoko.

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN
Salah satu ekspresi lepas Kepala Staf Presiden, Moeldoko, dalam sesi wawancara khusus di ruang kerjanya, Senin (11/1/2021).

Dengan latar belakang kehidupan susah di masa kecilnya, semua tempaan selama menjalani pendidikan militer bukanlah persoalan besar. 

"Yang penting bisa sarapan, enggak pusing," ujar Moeldoko soal hari-hari di sana yang penuh selingan berupa tempaan fisik dalam aneka bentuk tanpa kenal waktu. 

Hal-hal seperti ini yang mungkin tak dipahami oleh mereka yang menjalani masa kecil di keluarga relatif mapan.

Di sini pula, Moeldoko membuktikan diri bahwa anak miskin dari desa yang tak punya SMA itu bisa menjadi lulusan terbaik. Bengal sih tetap....

Hidup yang berjalan...

Selepas Akademi Militer—waktu itu masih bernama Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri)—, Moeldoko menjalani beragam penugasan. 

Saat reformasi bergulir pada 1998, dia berada di Jakarta, menjadi sekretaris pribadi Wakil Kepala Staf TNI AD. Dia menjadi saksi suasana kebatinan di lingkungan TNI, terutama TNI AD, pada hari-hari itu.

Era reformasi bergulir, karier Moeldoko di militer melaju hingga menggapai posisi puncak menjadi Panglima TNI. Dia menyebut, semua perjalanan hidupnya dari anak miskin itu sebagai pembentuk keberadaannya hari ini. 

Hari ini, dia menempati posisi sebagai Kepala Staf Presiden. Ada banyak lika-liku pula yang dia temui di sini. Lagi-lagi, perjalanan hidup mengajarkan banyak hal, termasuk soal pola kepemimpinan dan cara menyikapi kondisi yang tengah dihadapi. 

Kisahnya menjadi pelaku selama masa transisi reformasi di tubuh TNI, kerja-kerja yang dihadapi di Kantor Staf Presiden, dan apa bayangannya selepas dari posisi hari ini, semua diungkap bersama kisah masa kecilnya dalam video berikut ini: 

PROFIL 

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN
Kepala Staf Presiden, Moeldoko, dalam sesi wawancara di ruang kerjanya, Senin (11/1/2021).

MOELDOKO lahir di Purwoasri, Kediri, pada 8 Juli 1957. Selepas SMA dan menjalani pendidikan di Akademi Militer, kariernya dihabiskan di TNI sampai posisi tertinggi.

Purna tugas dari kemiliteran, saat ini Moeldoko menjabat sebagai Kepala Staf Presiden di Kabinet Indonesia Maju. 

Tak mencukupkan diri dengan pendidikan dan karier militer, Moeldoko melanjutkan pula pendidikan sarjana hingga doktoral.

Profil Moeldoko - (KOMPAS.com/FABIAN YANUARIUS)

Selama karier militer, sejumlah penghargaan pernah Moeldoko dapatkan, termasuk dari negara-negara sahabat, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sederet bintang jasa juga tersemat di seragamnya, dengan salah satunya adalah bintang jasa Seroja.  

Di luar karier, baik militer maupun sipil, Moeldoko tercatat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia periode 2017-2020. Lalu, dia juga adalah Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Terbuka periode 2019-2024.