Seperti air, begitulah ia menjalani hidupnya. Tak berambisi, ia hanya berkesadaran penuh menikmati setiap lekuk dan kelok. Keyakinan bahwa hidup ini sudah ada yang mengatur membuatnya terlepas dari bayang-bayang kegagalan. Ia justru semakin nyaman menentukan pilihan.
Ini cerita tentang Soleh Solihun...
Bekerja di tempat yang menuai pro kontra dan polemik publik semestinya jadi hal yang sulit bagi siapapun yang menjalaninya.
Jangankan dari orang lain, protes pasti muncul dari kalangan keluarga dekat.
Namun skenario itu tidak berlaku bagi aktor, komika, jurnalis atau apalah kalian menyebutnya, Soleh Solihun.
Selepas berkarier di Trax Magazine sejak 2004, Soleh bergabung ke majalah dewasa Playboy Indonesia sebagai penyunting bahasa, 2006 silam.
Pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, 2 Juni 1979 itu pun cuek saja memberitahukan kepada orangtua bahwa ia telah berpindah ke perusahaan media massa yang saat itu menuai kontroversi di Indonesia.
“Bokap gue nanya, ‘itu bukannya majalah telanjang?’” kenang Soleh saat wawancara khusus dengan Pemimpin Redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho dalam acara Beginu yang tayang di Youtube, 28 Oktober 2020 lalu.
Baca juga: Saat SMA, Soleh Solihun Bercita-cita jadi Pendekar
Lantas apa jawaban Soleh?
Dengan enteng, Soleh yang ketika remaja diharapkan orangtua masuk pondok pesantren itu menjawab, “enggak kok. Kalau di Indonesia enggak telanjang, sama saja kayak majalah lain. Pakai bikini”.
Tak mau berdebat panjang, sang ayah hanya berkata ‘oh’.
Soleh juga tak mau mengartikan macam-macam jawaban sang ayah.
Demikian pula dengan ibunya. Soleh paham sang ibu memiliki afiliasi politik dengan salah satu partai berbasis Islam.
Bahkan sang ibu merupakan bagian dari rombongan demonstran penolak kehadiran majalah yang dianggap mencederai akhlak kaum muda Tanah Air itu.
Baca juga: Cerita Masa Kecil Soleh Solihun, Bingkai Kacamata Patah, Tutupi Lensa dengan Tipe X
Namun, Soleh tidak ambil pusing. Bagi dia, aksi demonstrasi seperti yang dilakukan sang ibu dan kawan-kawannya adalah hal yang lumrah.
“Sudah biarin aja. Demo, demo aja. Yang penting restu orangtua 'oh anaknya sekarang kerja di Playboy'. Enggak apa-apalah yang penting mereka ikhlas,” ujar Soleh.
Bagi sarjana Universitas Padjajaran, Bandung itu, restu dari orangtua merupakan hal yang wajib didapatkan atas setiap langkah hidupnya, baik yang memiliki jalan terjal maupun yang lurus-lurus saja.
“Gue mah yang penting itu aja pendapat orang terdekat dulu, pendapat keluarga dulu. Masalah pendapat orang lain kan gimana nanti,” lanjut dia.
Memang demikian prinsip Soleh. ‘Santuy’ saja, yang penting jadi.
Jalan cerita yang sama terjadi pula pada dinamika pekerjaannya.
Perdebatan bukan hanya ada di ranah seperti apa konten majalah Playboy Indonesia, melainkan juga soal apakah majalah itu bagian dari produk jurnalistik atau bukan.
Dari sisinya, majalah Playboy tentu saja masuk ke dalam kategori produk jurnalistik. Namun tak sedikit pula yang berpendapat majalah itu bukan produk jurnalistik.
“(Dibilang) Playboy itu pornografi,” ujar Soleh.
Baca juga: Soleh Solihun Sebut Iwan Fals yang Membuka Pengetahuan Musiknya
Namun Anugerah Adiwarta Sampoerna yang diterimanya menggugurkan pendapat mereka yang menyebut majalah Playboy bukanlah produk jurnalistik.
Anugerah Adiwarta merupakan salah satu ajang penghargaan terkemuka karya jurnalistik di Indonesia.
Dua artikelnya yang masing-masing berjudul ‘Aksara Sekarang’ dan ‘Menunggu Matinya Majalah Musik’ masuk ke nominasi feature seni dan budaya.
Panitia yang diketuai Effendi Ghazali meloloskan salah satu artikel itu menjadi pemenang.
Dengan cara yang elegan, santai namun sedemikian bangganya, ia dapat membuktikan bahwa karyanya di majalah Playboy masuk ke dalam kategori jurnalistik.
“Yang lebih membanggakan, kan Ketua Dewa Juri-nya Effendi Ghazali. Efendi Ghazali waktu Playboy awal muncul dia termasuk yang bilang bahwa Playboy itu bukan produk jurnalistik,” ujar Soleh.
“Jadi ketika dia memenangkan tulisan dari Playboy itu kan kayak dia yang tertohok, kayak dia yang terkena ucapan sendiri bahwa dia pernah bilang kalau itu bukan produk jurnalistik tapi dia meloloskan salah satu tulisan dari Playboy dan setuju bahwa itu karya terbaik”.
“Jadi kayak gue jadi bisa berbangga atas nama organisasi juga 'hey, (majalah) Playboy itu produk jurnalistik’,” lanjut dia.
Dalam wawancara 'Beginu', Soleh menceritakan perjalanan kariernya sebagai artis kampus, jurnalis, kemudian masuk ke dunia hiburan.
Alasannya terjun ke dunia hiburan cukup mulia, ‘tidak ingin menyakiti perasaan orang’.
Ia juga bercerita banyak tentang jalan hidupnya yang tanpa direncanakan menjadi pelawak tunggal alias komika gara-gara unggahan beberapa tahun sebelumnya.
Simak selengkapnya dalam video berikut ini:
Seperti air, begitulah Soleh menjalani hidup. Tanpa mesti diisi ambisi, ia menikmati setiap jeram dalam hidupnya.
"Kesadaran itu muncul sejak kelas 5 SD, sudah yakin besok bakal mati," ucap Soleh serius.
Saat itu, Soleh kecil memang belum sampai pada tahap menikmati hidup.
Pikiran lugunya hanya terbatas dalam ketakutan bahwa usia seorang manusia seperti dirinya mungkin tidak akan panjang.
Kesadaran mengimbangi perasaan takut mati dengan menikmati hidup baru muncul pada saat ia mengenyam bangku perkuliahan.
Ia berpikir, ketika SD, ingin segera masuk SMP. Ingin merasakan mengenakan celana biru.
Baca juga: Soleh Solihun Tak Pernah Berencana Jadi Stand Up Comedian
Begitu pula ketika SMP, pasti ingin cepat-cepat memasuki SMA agar bisa menggunakan celana panjang.
"Waktu SMA, pingin buru-buru kuliah pingin gondrong dan baju bebas," ujar Soleh.
Namun, apa yang terjadi ketika Soleh sudah masuk ke masing-masing tahapan kehidupan itu? Ia rindu akan masa lalu.
"Ketika sudah SMP kangen SD. Seru zaman SD ya kangen. Pas SMA kangen SMP. Pas sudah kuliah, duh kangen pakai seragam. Artinya apa? Kita buru-buru memandang jauh ke depan, tetapi ketika sudah di depan, kita pasti bakal mengangeni yang belakang," ujar Soleh.
Maka sejak saat itu, Soleh berketetapan hati untuk tidak perlu berpikir jauh-jauh ke depan.
Ia memilih untuk menikmati kehidupannya saat ini secara berkesadaran penuh.
"Kalau sudah jadi masa lalu kan tinggal menjadi kenangan. Terus kalau kita mikir jauh ke depan umur belum tentu ada. Makanya kesadaran gua muncul, oh iya, yang bikin hidup lebih indah itu kalau kita menikmati saat yang sedang dijalani," ujar Soleh.
Baca juga: Cara Pikir Andhika Pratama Berubah Setelah Bertemu Soleh Solihun
Lantas, di mana Soleh menetapkan mimpi dan cita-citanya?
Soleh mengaku, tidak memiliki mimpi yang spesifik.
Seluruh pencapaian dalam pendidikan dan karier didapat dengan cara yang tidak terlalu rumit. Bahkan boleh dibilang rawan terperosok pada jurang kegagalan.
Cukup ikuti saja apa kata hati pada saat dihadapkan pada sebuah pilihan hidup.
"Gua cuma selalu yakin, ketika saatnya tiba, rezeki itu akan datang buat gua," ujar Soleh.
Cara hidup itulah yang membawa Soleh hingga pada titik saat ini.
"Mungkin ya beruntung juga. Rezekinya bagus aja kayaknya. Karena gua selalu yakin, jodoh, rezeki, umur, sudah ada yang atur. Sebetulnya ini jadi bermata dua. Antara gua-nya ikhlas atau jadi pemalas," ujar Soleh tertawa.