JEO - Peristiwa

Pungli Jutaan Rupiah untuk  Sertifikat Tanah...

Selasa, 28 Juni 2022 | 06:00 WIB

Warga pemohon program sertifikasi tanah gratis yang digulirkan Presiden Joko Widodo ‘dipalak’ jutaan rupiah oleh pihak tak bertanggung jawab. Ironisnya, mereka yang berlatar belakang aparat dan pejabat lolos dari ‘todongan’. Selanjutnya, tersisa kisah masyarakat kecil yang rela berutang, atau yang terpaksa tak ikut karena tak punya uang. 

MASYARAKAT Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, menerima kabar gembira pada awal 2022.

Pihak kelurahan dibantu RT dan RW mengumumkan bahwa pemerintah akan mengadakan program sertifikasi tanah gratis atau yang disebut Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Program ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk mengurus status lahan yang selama ini belum bersertifikat hak milik.

Namun rupanya pengurusan sertifikasi lahan diwarnai praktik pungutan liar jutaan rupiah.

Pada pertengahan Juni 2022, Tim JEO Kompas.com menemui beberapa orang warga Kelurahan Jatimurni dan meminta mereka bercerita bagaimana praktik pungli itu berlangsung.

Warga pertama yang kami temui, sebut saja A. Sebelum bercerita, ia meminta agar identitasnya tak ditulis lugas.

“Soalnya ada tetangga yang dituduh nyebarin informasi pungli ini ke media, dia dipanggil ke kelurahan. Nah, saya malas berurusan sama yang begitu-begitu,” ujar A, saat dijumpai di tempat ia bekerja.

Baca juga: Urus Sertifikat Tanah Dikenai Rp 0 Alias Gratis, Ini Kriteria dan Ketentuannya

A mengungkapkan, informasi tentang program sertifikasi tanah gratis pertama kali datang dari ketua RT pada awal Februari 2022. Sang ketua RT mendatangi satu per satu rumah warga untuk menyampaikan informasi umum program itu.

Pada pertemuan pertama, pihak RT sudah mengemukakan nominal jutaan rupiah yang harus dibayar pemohon sertifikasi lahan.

“Dibilang ada biaya sebesar Rp 1,5 juta plus-plus. Ya totalnya Rp 1,8 juta lah. Selain itu, bagi yang tanahnya masih atas nama orang lain juga ada tambahan biaya lagi sebesar Rp 10.000 per meter,” papar A.

A sempat mengutarakan keberatannya. Sebab, sebagai seorang berpenghasilan tidak tetap, jumlah itu cukup sulit dipenuhi. Sayangnya, pihak RT tidak menggubris keberatan itu.

shutterstock
Ilustrasi korupsi, suap, gratifikasi, pungli

Sekitar dua pekan kemudian, pihak RT datang lagi. Kali ini bersama beberapa petugas dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Mereka menyerahkan formulir pendaftaran PTSL sekaligus menginformasikan syarat apa saja yang harus dipenuhi demi mendapatkan sertifikat tanah.

Dalam pertemuan kedua itu, pihak RT kembali menyinggung biaya yang harus dibayar A sebelum masuk ke pengukuran.

“Waktu itu ingat banget mau puasa. Maunya hemat-hemat supaya buat Lebaran, jadi malah ngeluarin duit jutaan. Akhirnya ya sudahlah, saya pinjam sana sini dan sudah dibayar tunai Rp 1,8 juta,” kata A.

A meminta kuitansi, tetapi tidak diberikan.

Baca juga: Warga Mengaku Bayar Rp 3 juta Saat Urus Sertifikat Tanah, Jokowi Persilakan Lapor Polisi

Pada April, petugas BPN datang ke rumahnya dan melakukan pengukuran. Hasilnya, lahan yang dimohon tersertifikasi tercatat seluas 100 meter persegi.

Kepada petugas, A diam-diam menanyakan perihal beban biaya yang harus ia bayar. Tetapi, ia tidak mendapatkan jawaban yang pasti.

“Saya kan diam-diam tanya juga ke orang BPN, memangnya bayar sampai Rp 1,8 juta ya? Dia enggak mau jawab. Dia bilang, itu diserahkan ke panitia (kelurahan, RW, dan RT). Mereka bilang, tugasnya itu hanya menerangkan cara pengisian formulir dan mengukur tanah saja,” ujar A.

Hingga bulan Juni 2022 ini, A belum menerima sertifikat tanah sebagaimana yang dijanjikan.

Selain A, praktik pungutan liar ini diungkapkan warga berlainan RT. Sebut saja B. Ia juga tak bersedia ditulis identitasnya atas alasan takut berurusan dengan RT, RW, dan kelurahan.

B awalnya bercerita soal proses munculnya program sertifikasi tanah di tanah kelahirannya itu. Cerita B setali tiga uang seperti yang diceritakan A.

B yang menguasai lahan seluas sekitar 200 meter persegi, mengaku dibebankan biaya yang lebih mahal dibandingkan A, yakni Rp 2,2 juta.

Ia sebenarnya mengetahui bahwa penerbitan sertifikat tanah melalui PTSL sangat murah. Tidak lebih dari Rp 200 ribu.

Tetapi, ia mendengar tetangga di kiri dan kanan membayar dengan nominal serupa demi terbitnya sertifikat tanah. Oleh sebab itu, B enggan memperkarakannya lebih jauh.

“Memang saya tahu, sebenarnya gratis. Cuma karena ya begitulah Pak, ada pihak-pihak yang minta duit, kita mau gimana? Saya mah bukan enggak berani (protes), tapi saya orangnya malas panjang, malas ribut,” ungkap dia.

SHUTTERSTOCK/ATSTOCK PRODUCTIONS
Ilustrasi korupsi

Praktik pungutan liar itu diakui terjadi terang benderang. Seolah sudah menjadi sesuatu hal yang wajar, praktik tersebut bahkan menjadi perbincangan sehari-hari antartetangga.

“Saking terangnya, kita kan jadi tahu, oh ibu itu bayar berapa, bapak itu bayar berapa. Dan itu nominalnya enggak sama semua. Ada yang cuma Rp 1,5 juta, ada yang sampai Rp 4,5 juta. Enggak tahu kenapa bisa beda-beda begitu,” tutur B.

Pada pertemuan kedua, ia menyetorkan uang sebesar Rp 500 ribu kepada pihak RT sebagai down payment (DP).

Setelah pengukuran berlangsung beberapa pekan kemudian, barulah B melunasi sisa uang yang dibebankan. Semua uang disetor secara tunai tanpa kuitansi.

B menambahkan, sebelum hari raya Lebaran, sempat muncul pemberitaan media massa soal pungutan liar program PTSL di kampungnya.

Sejak beredarnya artikel berita tersebut, pihak RT, RW, dan kelurahan tidak lagi mendorong pemohon sertifikasi tanah untuk membayar biaya 10.000 per meter terhadap warga yang status lahannya masih menggunakan nama orang lain.

“Jadi, cuma ditagih yang Rp 2,2 juta saja. Sementara yang 10.000 per meter itu istilahnya, ya yang mau bayar itu silakan, yang enggak, ya sudah enggak apa-apa,” ujar dia.

Baca juga: BPN Sigi Bagi-bagi 3.000 Sertifikat Tanah Gratis

Sama seperti A, hingga Juni 2022 ini pun, B belum memegang sertifikat tanahnya.

Shutterstock/MuhsinRina
Ilustrasi sertifikat tanah di Indonesia

Muncul kekhawatiran bahwa program ini hanya akal-akalan bagi pihak tertentu untuk mendapatkan uang. Tetapi sertifikat tanah yang sudah dijanjikan, entah akan diterbitkan atau tidak.

Praktik pungutan liar ini di satu sisi tidak hanya memberatkan masyarakat yang hendak mengurus tanahnya, tetapi yang kontra produktif adalah membuat sejumlah warga urung menyertifikasi lahannya.

Banyak warga keberatan dengan biaya yang harus ditanggung sehingga terpaksa tidak mengikuti program tersebut.

Salah satunya adalah seorang warga yang tinggal di RW 01, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi. Ia tidak bersedia ditulis identitas aslinya, tetapi ia bersedia ditulis, Mpok.

Ia tinggal di lahan seluas sekitar 200 meter milik orangtuanya yang sudah meninggal. Lahan itu sudah dibagi-bagi ke saudara-saudaranya, termasuk dirinya. Di atasnya sudah berdiri bangunan.

Awalnya, Mpok ingin mengikuti program PTSL itu agar lahannya memiliki kedudukan hukum yang kuat.

“Sudah rembuk waktu itu mau dijadiin satu sertifikat saja. Karena kan biayanya mahal, sampai Rp 2 juta (per pemohon). Jadi mendingan dijadikan satu saja, biar kami saudara patungan,” ucap Mpok.

Selain Rp 2 juta, ia juga dikenakan biaya Rp 10.000 per meter karena tanah bukan atas nama pihak yang saat ini menguasai.

Bila dikalkulasi, artinya ia harus membayar sekitar Rp 4 juta untuk dapat menyertifikasi tanahnya.

“Eh ternyata ada saudara saya yang tetap enggak bisa patungan. Jadinya, ya sudahlah enggak jadi bikin, karena kemahalan,” lanjut dia.

Baca juga: Catat, Ini Biaya Urus Sertifikat Tanah di Kantor Pertanahan

Sebenarnya, Mpok atau saudaranya yang lain bisa saja meminjamkan uang terlebih dahulu untuk mengurus sertifikat tanah itu. Tetapi, ia sekeluarga trauma bila harus mengeluarkan kocek jutaan rupiah untuk penerbitan sertifikat tanah.

Sebab keluarga Mpok di Sidoarjo, Jawa Timur, punya pengalaman pahit terkait hal serupa, bertahun-tahun silam.

Keluarganya pernah mengeluarkan uang lebih dari Rp 10 juta, tetapi hingga saat ini sertifikat belum juga terbit.

Diperkirakan capai Rp 8 miliar

Berdasarkan informasi yang dihimpun JEO Kompas.com, Kantor Pertanahan Kota Bekasi menargetkan, sebanyak 17.000 bidang masuk program PTSL pada 2022.

Total bidang itu terdiri dari 8.000 Peta Bidang Tanah (PBT) dan 9.000 Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang tersebar di tiga kelurahan di Kecamatan Pondok Melati, yakni Kelurahan Jatirahayu, Jatimurni, dan Jatiwarna.

Di Kelurahan Jatimurni sendiri, tempat di mana praktik pungli ditemukan, diberikan kuota sertifikasi sebanyak 4.200 bidang.

Awalnya, kuota yang diberikan hanya 3.300 bidang. Tetapi, karena jumlah pemohon membeludak, kuota dinaikkan 900 bidang menjadi 4.200 bidang.

Tercatat, jumlah pemohon yang sudah mengisi formulir sebanyak 4.800. Artinya, melebihi kuota yang sudah ditentukan.

Baca juga: Diduga Tarik Pungli PTSL Hingga Rp 8 juta, Kades di Jember Ditahan

Sekarang, mari kita hitung berapa kira-kira besaran total pungutan liar, baik berdasarkan jumlah kuota yang sudah ditetapkan, maupun jumlah pemohon yang mengisi formulir.

Simulasi pertama menggunakan jumlah pemohon sesuai kuota yang sudah ditetapkan, yakni sebanyak 4.200.

Apabila satu pemohon dikenakan Rp 1,8 juta, total punglinya yakni Rp 7.560.000.000.

Jumlah pungli ini berpotensi lebih tinggi dalam kenyataannya. Sebab, merujuk keterangan warga yang menjadi korban, besaran pungli bervariasi antara Rp 1,8 juta hingga Rp 4,5 juta per pemohon.

Simulasi kedua menggunakan jumlah pemohon yang sudah mengisi formulir, yakni sebanyak 4.800.

Apabila satu pemohon dikenakan Rp 1,8 juta, total punglinya yakni Rp 8.640.000.000.

Tentu, lagi-lagi jumlah ini hanyalah perkiraan di atas kertas. Selain nilai pastinya perlu dibuktikan secara hukum, perlu dicek pula apakah program PTSL di kelurahan lain juga diwarnai praktik serupa atau tidak.  

Baca juga: Kasus Pungli Sertifikat Tanah di Lebak, Polisi Tak Akan Berhenti Sampai Pegawai 

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Presiden RI, Jokowi Swafoto dengan Rakyat Manggarai Barat sebelum menyerahkan sertifikat tanah gratis di Aula Kantor Bupati Manggarai Barat, Selasa, (21/1/2020). (HANDOUT/Kades Galang/Ari Samsung)

Pengecekan ini perlu. Toh pada 2019, Presiden Joko Widodo juga telah mempersilakan warga pemohon PTSL yang menjadi korban pungli untuk melaporkannya ke kepolisian.

Sebab, Presiden menegaskan, biaya pengurusan sertifikat lahan tidak akan sampai menelan jutaan rupiah.

"Laporkan saja, ini sudah ada anggaran dari pemerintah. Ke Saber Pungli, ke polisi, terserah. Kalau seperti ini enggak bener. Enggak bener. Ya biasalah ada oknum-oknum yang ambil manfaat dari setiap program, pasti ada," ujar Jokowi di Alun-Alun Kota Bekasi, Jumat (25/1/2019).

Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala BPN Hadi Tjahjanto pada Rabu (22/6/2022) juga telah menegaskan bahwa akan menindak tegas anak buahnya yang terlibat pungli.

"Ini yang perlu dicatat, petugas tidak melayani dengan baik, petugas (terbukti) melakukan pungli, saya tidak segan mencopot kepala kantor pertanahan. Ini supaya rakyat tenang tidak ada pungli, tidak ada yang menyulitkan. Saya sudah perintahkan semua siap untuk melayani masyarakat," kata Hadi.

Jawaban RT dan Pokmas

Demi mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif, laporan praktik pungli dari warga ini kemudian kami konfirmasi ke salah satu ketua RT di RW 01, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, yakni Ketua RT 02 bernama Azis.

Kalimat pertama yang terlontar dari mulutnya justru pertanyaan, “yang ngadu siapa dulu? Ya kalau kita boleh tahu.”

Kami kemudian menjelaskan bahwa warga korban pungli yang menjadi narasumber tidak bersedia untuk diungkapkan identitasnya. Berdasarkan kode etik jurnalistik, seorang jurnalis berkewajiban untuk merahasiakan identitas narasumber yang tidak ingin diketahui identitasnya.

Azis melanjutkan, dirinya tidak memiliki wewenang untuk menjawab persoalan pungli dalam program PTSL. Ada tim yang sudah disiapkan untuk menjawab persoalan itu.

“Kalau memang mau lebih jelasnya, ada tim di base camp yang akan jelasin lah,” kata dia tanpa mau membeberkan lebih lanjut siapa tim yang dimaksud.

Base camp yang dimaksud Azis adalah sebuah tim yang terdiri dari RT, RW, Kelompok Masyarakat dan perwakilan BPN Kota Bekasi.

Mereka adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pengurusan administrasi pemohon PTSL. Sehari-hari, tim itu beraktivitas sebuah bangunan berbentuk rumah di RT 07, RW 02, Kelurahan Jatimurni.

Baca juga: Kades di Sidoarjo Tersangka Pungli Pengurusan Surat Tanah, Kapolres: Yang Tak Bayar, Lama Diproses

Azis melanjutkan, sejauh ini tidak ada warganya yang mengutarakan protes secara terang-terangan perihal pungutan jutaan rupiah untuk sertifikasi lahan.

Sebaliknya, justru warga merasa terbantu sehingga ikhlas memberi uang agar lahannya mendapatkan kedudukan di mata hukum.

“Warga justru sangat terbantu. Malah kalau bahasanya, ada yang ngomong, Pak Haji, saya juga kan punya pikiran, kalau sudah rapi (jadi sertifikat), timbang rokok saja masak enggak ngasih?” ujar Azis.

Apalagi, pungutan itu juga turut dinikmati petugas BPN. Ia menyebut, uang itu menjadi pemicu kinerja mereka.

“Ya jujur saja, kadang-kadang kalau ‘sambutannya’ kurang kan dia (petugas BPN) juga kurang kinerjanya. Karena itu (proses PTSL) bisa tiga empat kali pengukuran dalam sehari,” ungkap Azis.

KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO
Bangunan yang menjadi base camp tim PTSL Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi.

Setelah bertemu Azis, kami kemudian berupaya menemui Lurah Jatimurni di kantornya. Tetapi, Bu Lurah disebut sedang keluar sehingga kami dipertemukan dengan Kelompok Masyarakat (Pokmas) Kelurahan Jatimurni bernama Sonny Rompas.

Dengan gamblang, Sonny mengakui, pihaknya memberlakukan pungutan sebesar yang diungkapkan warga pemohon PTSL pada bagian awal artikel, yakni antara Rp 1,8 juta hingga Rp 4,5 juta.

“Memang iya, ada pembebanan itu. Ya sekitar itulah yang kita coba sampaikan kepada masyarakat pemohon,” ungkap Sonny.

Ia sekaligus mengakui bahwa pungutan itu tidak memiliki payung hukum. Sebab, bila merujuk pada aturan yang ada, biaya administrasi yang mesti dipenuhi pemohon hanya sekitar Rp 150.000.

Baca juga: Seluruh Tanah Sudah Harus Disertifikasi pada Tahun 2025

Sonny melanjutkan, penetapan pungutan jutaan rupiah itu merupakan hasil rembuk antara RT, RW, dan Kelompok Masyarakat, bukan hasil rembuk dengan warga. Nominal pungutan ditetapkan secara sepihak berdasarkan pengalaman pengurusan program PTSL di kelurahan lain.

Hasil rembuk tersebut tidak hanya berlaku pada pungutan utama sebesar Rp 1,8 juta hingga Rp 4,5 juta, tetapi juga pungutan Rp 10.000 per meter yang dibebankan kepada pemohon dengan status lahan yang bukan atas namanya.

Uang itu digunakan sebagai upah lelah perangkat RT, RW, dan Kelompok Masyarakat yang membantu menjalankan roda administrasi program PTSL. Mulai dari sosialisasi, pemberkasan, pengukuran, hingga distribusi sertifikat tanah.

“Kami juga sewa base camp. Itu kami yang kontrak loh, bukan BPN. Di sana ada wifi untuk kelancaran proses pemberkasan antara tim lapangan RT RW dengan BPN Kota Bekasi. Termasuk katakanlah biaya pulsa saya,” ujar Sonny.

Namun, ia mengakui, tidak memiliki rincian alokasi pungutan yang terencana.

KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO
Bangunan yang menjadi base camp tim PTSL Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi.

Sonny mengklaim, pungutan itu tidak bersifat saklek alias wajib. Pemohon bisa membayarnya secara sukarela atau tidak perlu membayar apabila memang merasa keberatan.

“Yang jelas kuncinya satu, kami tidak pernah mau membebankan. Karena kalau kami membebankan, kami salah. Kami hanya mengajak paling tidak bantu kami,” tutur Sonny.

“Karena yang namanya orang kerja, maaf saja, kalau dia merokok, kan kudu merokok. Kalau dia ngopi, kan kudu beli kopi. Makan juga kan kudu pagi siang sore,” imbuh dia.

Baca juga: Ini Alasan Jokowi Bagi-bagi Sertifikat Tanah Gratis Setiap Kunjungan ke Daerah

Ia sekaligus menekankan bahwa pemohon yang tidak membayar pungutan, berkas permohonan sertifikasi lahannya akan tetap diurus sampai rampung.

Pasalnya, ia menemukan beberapa pemohon yang berlatar belakang aparat, pejabat, tokoh politik, dan tokoh masyarakat yang menolak untuk membayar pungutan. Akhirnya, Sonny dan kawan-kawan membebaskan mereka dari pungutan.

“Di (kelurahan) sini ada yang dari anggota dewan, atau TNI/Polri aktif, ada pengurus partai politik. Nah, untuk dia-dia ini kalau mau kasih, alhamdulilah. Tapi kalau pun enggak kasih, ya sudah, kami tetap akan proses,” ujar Sonny.

“Bahkan, ada yang sudah menerima sertifikatnya, cuma bilang, oke Pak Sonny terima kasih. Ya sudah, mau bilang apa saya? Padahal di awal sudah saya omongin, nanti kalau sudah selesai, tolonglah buat rokok,” lanjut dia.

Hingga Juni 2022, dari total jumlah pemohon PTSL sebanyak 4.800, baru 1.004 pemohon yang telah memegang sertifikat. Sisanya akan menyusul didistribusikan dalam satu atau dua bulan ke depan. 

Temuan Pungli di PTSL Kota Bekasi

Pengawasan perlu diperkuat

Kepala BPN Kota Bekasi Andi Bakti menegaskan bahwa sejatinya warga pemohon PTSL tak dipungut biaya sepeser pun. Sebab, anggaran sertifikasi lahan telah dibebankan ke dalam APBN alias dibiayai negara. 

Kalaupun pemohon PTSL merogoh kocek, itu hanya untuk proses administrasi, yakni untuk meterai, patok, dan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan). Besarannya pun tidak lebih dari Rp 150 ribu. 

Oleh sebab itu, Andi menekankan, praktik pungli dalam program PTSL di Kelurahan Jatimurni dilakukan oleh oknum. 

"Jadi kalau ada yang melakukan (pungli), itu oknum yang melakukan. Kalau petugas BPN ya tidak ada seperti itu," kata Andi saat dihubungi JEO Kompas.com, Senin (27/6/2022). 

Ia pun mendukung agar aparat penegak hukum turun tangan mengusut tuntas oknum pelaku pungli PTSL. 

"Yang melakukan itu harus bertanggung jawablah. Kalau BPN tidak ada pungutan-pungutan seperti itu," ujar Andi. 

Baca juga: Tancap Gas, Hadi Tjahjanto Ingin Tuntaskan 3 Masalah Pertanahan

Ketika ditanya apakah BPN Kota Bekasi memiliki mekanisme pengawasan untuk meninimalisasi praktik pungli, Andi tidak menjawab spesifik. Ia hanya mengatakan bahwa sebelum pelaksanaan sertifikasi tanah, pihaknya telah melaksanakan sosialisasi. 

Dalam sosialisasi yang dihadiri warga, RT, RW, kelurahan, Polri, dan kejaksaan itu, telah ditekankan bahwa program PTSL bebas dari pungutan. Semua pihak yang terlibat diminta untuk mematuhi ketetapan itu. 

KOMPAS.com/ACHMAD NASRUDIN YAHYA
Peneliti ICW Lalola Easter usai diskusi publik di Kantor DPP PKS, Jumat (29/11/2019).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Esther menambahkan, PTSL adalah salah satu program prioritas Presiden Jokowi yang kurang pengawasan di lapangan. 

Padahal, PTSL ini sejak awal sudah diidentifikasi sebagai program yang mengharuskan adanya pertemuan antara warga pemohon, perangkat pemerintah daerah di tingkat bawah, dan petugas BPN.

"Praktik pungli ini memang fenomena yang kerap ditemukan dalam program pemerintah yang memang menempatkan pertemuan antara warga dengan pegawai pemerintah secara langsung," terang Lalola saat dihubungi JEO Kompas.com, Senin (27/6/2022). 

Sejak program itu dimulai, semestinya kementerian/lembaga terkait mengoptimalkan fungsi pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya. 

Pertama, menggencarkan sosialisasi bahwa program itu bebas biaya. Dalam sosialisasi itu mestinya diinformasikan pula ke mana masyarakat bisa melapor apabila ada praktik yang menyimpang. 

Kedua, kementerian/lembaga terkait harus menerjunkan tim independen untuk memeriksa apakah program itu berjalan baik atau tidak di lapangan.

Bila ditemukan ada praktik yang menyimpang, segera identifikasi serta diselesaikan sesuai aturan yang berlaku. 

"Kementerian ATR/BPN harus memaksimalkan fungsi inspektoratnya. Memang tugas dia itu di pemerintah pusat, tetap apabila ada penyimpangan yang terjadi akibat delegasi ke tatanan pemerintahan tingkat bawah, pasti ada mekanisme kontrol internalnya," tutur Lalola. 

Baca juga: Kasus Pungli Sertifikat Tanah, Pegawai BPN Lebak Dituntut 18 Tahun Penjara

Ia menegaskan, apabila ditinjau dari sisi peraturan, Indonesia tidak kekurangan peraturan. Apalagi peraturan yang menyasar praktik penyimpangan. 

Di sisi lain, pemerintah juga telah memiliki Tim Sapu Bersih Pungli yang bertugas menerima laporan pungli sampai ke penindakan. 

Hanya saja, diperlukan kemauan untuk menjalankan aturan dan instrumen yang sudah ada secara tegas.

"Jadi, lagi-lagi kita sebenarnya sudah kelebihan berbagai macam tools. Tapi masalahnya ya karena pada tataran implementasi tidak maksimal, jadi tidak terlihat progres yang baik," ucap Lalola. 

Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni yang kami konfirmasi terakhir berjanji akan menindaklanjuti praktik pungli di Bekasi ini. 

"Saya evaluasi internal," ujar dia.