JEO - Peristiwa

Rezim
Soekarno, Soeharto,
dan 20 Tahun Reformasi,
dalam Hal Ekonomi

Kamis, 7 Juni 2018 | 20:15 WIB

REZIM Orde Baru dengan kekuasaan 32 tahun Soeharto diklaim sebagai antitesa rezim sebelumnya yang dipimpin Soekarno. Ideologi pembangunan disebut pula sebagai roh kekuasaan Soeharto.

Pada era Soekarno, kekuatan politik disebut terlalu mendominasi. Selain perjuangan mempertahankan kemerdekaan, aneka pemberontakan dan perseteruan partai politik yang adu kuat pengaruh menjadi tantangan era Orde Lama.

IPPHOS - Dok. KOMPAS
Berdasar Tap MPRS No XIII/1966, Presiden Soekarno menugaskan Letjen Soeharto selaku Pengemban Tap MPR No IX/1966 untuk pembentukan Kabinet Ampera. Letjen Soeharto menjadi Ketua Presidium kabinet tersebut. Bung Karno sedang mengumumkan susunan kabinet tersebut pada tanggal 25 Juli 1966. Letjen Soeharto dan Adam Malik duduk mendengarkan.

Ekonomi bukan tak diurus oleh Soekarno. Namun, tantangan-tantangan itu belum banyak memberi ruang untuk menghasilkan perubahan ekonomi yang menyejahterakan. Ini salah satu pembeda utama rezim Orde Lama dan Orde Baru, setidaknya menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (LP3ES, 1988).

Sebaliknya, Soeharto langsung tancap gas menggenjot perekonomian begitu mengambil alih kekuasaan sejak 1966. Sayangnya, ideologi itu juga menjadi dalih Soeharto untuk melakukan berbagai kebijakan represif, atas nama "stabilitas" demi pembangunan.

Rezim Soeharto diuntungkan pula dengan booming minyak pada 1970-an, yang memasok pundi-pundi untuk membiayai pemerintahan dan kebijakan pembangunannya. Kebijakan luar negeri kompromistis dengan negara-negara kapitalis yang punya modal, menjadi poin tambahan.

ANTARA - Dok KOMPAS
Presiden Soeharto saat menandatangani tanda terima Supersemar.

Meski begitu, Soeharto melewatkan salah satu perspektif Samuel P Huntington dalam buku Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) tentang pelembagaan masyarakat di negara berkembang.

Ketika suatu negara mulai bertumbuh ekonominya dan kelas menengah bertambah sebagai akibatnya, pelembagaan sipil juga harus kembali mendapat ruang untuk mewadahi aspirasi kelompok baru yang relatif lebih terdidik dan terberdayakan itu.

Pada saat yang sama, pembangunan yang menghadirkan kemajuan juga mulai memunculkan sisi lain berupa ketimpangan dan pelanggaran hak, termasuk persoalan lingkungan hidup dan penggusuran.

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Wahana Lingkungan Hidup dan Lembaga Bantuan Hukum menjadi ujung tombak keberpihakan pada kaum termarjinalkan.

Bersamaan, era booming minyak berlalu. Arus kas ke dalam negeri susut, tetapi kebijakan ekonomi yang bertumpu pada subsidi dan birokrasi tak berubah. Korupsi dan nepotisme juga semakin kasat mata.

Makin bermunculanlah kelas-kelas menengah yang jengah dengan gaya kepemimpinan Soeharto pada 1980-an. Terlebih lagi, ekonomi pun dianggap salah urus dan kolaps diterpa gelombang efek krisis moneter global pada 1997.

Soeharto pun tumbang, mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Pergantian kekuasaan ini membawa serta Indonesia memasuki fase baru yang dinamakan era reformasi.

Simak juga: VIK Kejatuhan (daripada) Soeharto

Kompas.com merangkum sejumlah catatan peristiwa dan data ekonomi seputar kejatuhan Soeharto dan era sesudahnya, dengan berita di harian Kompas dan Kompas.com sebagai rujukan utama, ditambah sejumlah referensi yang relevan.

Krisis Ekonomi dan IMF

BERMULA dari hantaman krisis ekonomi yang menerpa Thailand pada Juli 1997, ekonomi Asia turut terempas, tak terkecuali Indonesia.

Pada titik terburuknya, nilai tukar rupiah anjlok sampai kisaran Rp 17.000 per dollar AS di tengah perdagangan spot, meski ditutup terburuk di kisaran Rp 16.800 per dollar AS.

Ekonomi pun tersungkur dengan pertumbuhan minus (-)13,7 persen pada 1998 menurut data Laporan Perekonomian Indonesia yang dilansir Bank Indonesia, atau versi Badan Pusat Statistik (BPS) minus (-) 13,13 persen.

Perbankan nasional mengalami mimpi buruk berupa penarikan dana dari banyak nasabah dalam waktu bersamaan (rush). Kolaps.

Menurut ekonom Universtitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasentiantono, ada tiga penyebab mengapa Indonesia dan beberapa negara di Asia terkena krisis ekonomi pada 1998.

Pertama, kurs mata uang yang sampai 1997 dipatok fixed atau tetap. Akibatnya, rupiah mengalami over value alias kemahalan terhadap dollar AS. Bersamaan, harga-harga barang juga melambung.

Kedua, tekor utang. Indonesia dan beberapa negara seperti Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan terbelit utang luar negeri yang menggunakan denominasi dollar AS, tanpa ada kemampuan membayar.

Saat itu, utang luar negeri Indonesia mencapai 130 miliar dollar AS, sementara cadangan devisa hanya  20 milliar dollar AS.

Rasio utang yang jauh melampaui cadangan devisa membuat kemampun membayar utang sangat lemah. Terlebih lagi, banyak utang Indonesia pada saat itu adalah utang-utang jangka pendek dengan tenor sekitar 5 tahun.

Ketiga, sembrono mengelola bank. Masih lemahnya kontrol dari Bank Indonesia (BI) membuat bank-bank sembrono dalam menyalurkan kredit. Kredit macet pun terjadi di banyak bank.

Sebagai catatan, paket deregulasi perbankan yang dilansir pada 27 Oktober 1988 (Pakto 88) merupakan awal dari menjamurnya bank-bank swasta dan bank perkreditan rakyat (BPR). Sebelumnya, pemberian izin untuk usaha perbankan sangat ketat bahkan nyaris tidak terjadi sejak 1971-1972.

Salah satu pangkal maraknya perbankan seiring terbitnya Pakto 88 adalah syarat tingkat kesehatan dan aset bank dipatok minimal Rp 100 juta. Izin pendirian cabang bank juga dipermudah.

Sebelumnya, aturan pengucuran kredit juga diperlunak lewat deregulasi pada 1 Juni 1983. Deregulasi ini juga memungkinkan perbankan menentukan sendiri besaran bunga simpanan dan pinjaman kepada nasabahnya, kecuali untuk sektor tertentu.


Malapraktif IMF


Di tengah krisis, Dana Moneter Internasinal (IMF) datang menawarkan obat untuk ekonomi Indonesia yang sedang sakit. Namun, bukannya sembuh, ekonomi Indonesia justru kian jatuh.

KOMPAS/JB SURATNO
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Michel Camdessusmenyaksikan Preisden Soeharto menandatangani nota kesepakatan bantuan di Jalan Cendana, Jakarta, pada 15 Januari 1998.

Menurut Tony, ada tiga kesalahan IMF. Pertama, menyuntikkan obat dengan dosis yang tidak pas. Bak Superman, IMF datang memberikan bantuan dana 1 miliar dollar AS setiap bulan kepada Indonesia.

Namun, bantuan dana itu tak mampu menutup lebarnya gap kemampuan Indonesia membayar utang sebesar 130 miliar dollar dan cadangan devisa yang hanya 20 miliar dollar AS.

Situasi bantuan IMF jauh berbeda saat krisis melanda Mexico pada 1984. Saat itu, IMF menyuntikkan dana 30 miliar dollar AS dan ekonomi Mexico bisa sembuh. Menurut Tony, total bantuan dana dari IMF kepada Indonesia hanya separuhnya yakni 15 miliar dollar.

Kedua, meminta pemerintah memangkas subsidi BBM. IMF percaya ekonomi yang baik adalah ekonomi yang tanpa subsidi. Hal inilah yang diinginkan IMF di Indonesia.

Karena mengharapkan suntikan dana IMF, pemerintah menyanggupi permintaan itu. Namun situasi justru bergejolak. Masyarakat menentang keputusan itu karena membuat harga BBM dan harga-harga kebutuhan pokok melonjak.

Ketiga, IMF meminta pemerintah menutup 16 bank pada 1 November 1997, termasuk bank yang dimiliki keluarga Presiden Soeharto. Tujuannya, kepercayaan rakyat kepada pemerintah muncul.

Alih-alih, pasar menyambut negatif keputusan itu. Masyarakat juga malah panik dan berbondong-bondong menarik dananya dari bank.

Untuk menghentikan rush, pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) terpaksa mengambil dua langkah. Pertama, menjamin 100 persen semua simpanan di bank. Kedua, menaikkan suku bunga deposito hingga 60 persen.

Tujuan kedua langkah pemerintah itu adalah agar masyarakat percaya menyimpan dananya di bank dan tetap memegang rupiah. Tanpa kepercayaan itu, dollar AS akan kian perkasa, sementara rupiah kian terpuruk.

Pada kurun waktu menjelang berakhirnya kekuasaan Soeharto ini juga, sistem nilai tukar mata uang rupiah beralih ke sistem mengambang mengikuti pergerakan kurs di pasar uang.

Reformasi dan Masa Transisi

WIKIMEDIA/CREATIVE COMMONS
Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998.

Era Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1998)

PEMERINTAHAN BJ Habibie dikenal sebagai pemerintahan transisi. Meski begitu, Pemerintahan Habibie adalah pionir reformasi di bidang ekonomi.

KOMPAS/ALIF ICHWAN
BJ Habibie.

Berikut ini beberapa hal yang dilakukan oleh Pemerintahan Habibie di bidang ekonomi:


Data BPS
Pertumbuhan ekonomi: 0,79 persen pada 1999, naik dari  1998 yang sempat -13,13 persen.
Tingkat kemiskinan: 23,4 persen pada 1999, menurun dari 1998 yang mencapai 24,2 persen.
Ketimpangan atau gini ratio pada 1998-1999 sebesar 0,3.

 

Abdurahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2000)


PEMERINTAHAN
Presiden Abudrrahman Wahid tak berlangsung lama, hanya 8 bulan. Di waktu yang sedemikain singkat itu, ada beberapa kebijakan ekonomi pemerintah yang dinilai fundamental.

KOMPAS/JB SURATNO
Presiden Abdurrahman Wahid (kedua dari kanan) didampingi Wapres Megawati Soekarnoputri, Selasa (10/10/2000) Menyambut Ketua DPR Akbar Tanjung dan Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno (Kanan) serta para anggota DPR lainnya, sesaat sebelum mengadakan Rapat Konsultasi di Istana Negara Jakarta.

Di era Gus Dur inilah, implementasi desentralisasi fiskal dilaksanakan sebagai tindak lanjut otonomi daerah sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Lewat kebijakan ini, diterapkanlah pajak daerah dan retribusi daerah. Selain itu, diimplementasikan pembagian dana perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh juga lahir di era Gus Dur. Dengan undang-undang tersebut, hak-hak berserikat kaum buruh dijamin oleh Negara.

Data BPS
Pertumbuhan ekonomi pada 2000 sebesar 4,92 persen, naik dari tahun sebelumnya yang hanya 0,79 persen.
Tingkat kemiskinan sebesar 19,1 persen, turun dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 23,4 persen.


Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004)


PEMERINTAHAN
Megawati menjadi rezim yang memutuskan mengakhiri program bantuan dari IMF pada 10 Desember 2003. Hal itu dilakukan setelah adanya desakan agar Indonesia tak lagi menerima bantuan IMF.

ALIF ICHWAN
Presiden Megawati Soekarnoputri memberikan sambutan dalam rangka acara halal bi halal keluarga besar Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) dengan masyarakat sekitanya, di kediaman Presiden di Jalan Kebagusan Besar IV No 45, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Minggu (22/12/2002).

Desakan ini muncul lantaran hanya Indonesia negara yang terjangkit krisis 1998 yang masih menerima bantuan IMF pada saat itu.

Sesudah mengumumkan tak akan lagi menerima bantuan IMF, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan pra dan pasca IMF. Isinya, kebijakan untuk menjaga stabilitas sektor keuangan, restrukturasi dan reformasi sektor keuangan, serta meningkatkan investasi dan penyerapan tenaga kerja.

Di era Pemerintah Megawati, banyak BUMN yang sahamnya dijual ke asing. Hal ini dilakukan agar pemerintah mendapatkan dana untuk menambal defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).

Saat itu, penjualan BUMN ke asing dilakukan pemerintah karena masih sulit mendapatkan utang di tengah pemulihan krisis. Beberapa BUMN yang diprivatisasi saat era Megawati antrara lain PT Telkom, PT Indosat, dan PT Tambang Batubara Bukit Asam.

Data BPS
Pertumbuhan ekonomi pada era Megawati mengalami grafik yang naik.
Pada 2001 saat Megawati diangkat jadi Presiden, ekonomi tumbuh 3,64 persen. Sementara pada 2004, angkanya naik jadi 5,03 persen Adapun angka kemiskinan juga turun dari 18, 4 persen pada 2001 menjadi 16,7 persen pada 2004.

Era Pemilu Presiden
secara Langsung

SALAH satu perubahan terbesar dalam 20 tahun perjalanan era reformasi sampai saat ini adalah digelarnya Pemilu Presiden secara langsung sejak 2004.

Hasil dari pemilu langsung pertama pada 2004 adalah kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla yang menjabat sampai 2009. SBY melanjutkan periode kedua sebagai presiden (2009-2014), berpasangan dengan Boediono.

Baca juga: 20 Tahun Reformasi, Catatan Perubahan Indonesia di Bidang Politik

KOMPAS/AGUS SUSANTO
Seorang karyawan ercetakan tengah melihat cetakan surat suara pemilu presiden dan wakil presiden 2004, Minggu (30/5/2004).

Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014)


MASA
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi awal perkembangan ekonomi Indonesia pasca-krisis ekonomi. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di atas 6 persen ditunjang booming harga komoditas.

Pada masa pemerintahan ini pula Indonesia masuk ke dalam kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia yakni G-20.

KOMPAS.com/SANDRO GATRA
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gambar diambil pada 15 Agustus 2013.

Meski begitu, pemerintahan Presiden SBY bukan tanpa masalah. Bergejolaknya kondisi ekonomi global berakibat kepada Indonesia. Akibatnya, pemerintah mengambil beberapa kebijakan. Berikut beberapa di antaranya:

Gonjang-ganjing Harga BBM

Pemerintahan Presiden SBY diawali oleh booming harga komoditas di dunia. Indonesia sebagai negara eksportir CPO dan batubara mendapatkan manfaat tersebut. Nilai ekspor melonjak, pundi-pundi devisa negara bertambah.

Namun, masalah datang saat harga minyak ikut-ikutan naik. Indonesia sebagai net importir minyak harus merogoh kantong lebih dalam saat mengimpor BBM.

Hal ini otomatis ikut membebani APBN. Opsi menaikkan harga BBM pun diambil. Tercatat, sepanjang 10 tahun SBY jadi Presiden, harga BBM naik 4 kali, meski 3 kali kembali diturunkan. Hal ini terjadi karena fluktuasi harga minyak dunia.

Namun apa pun alasannya, setiap keputusan kenaikan harga BBM selalu disambut aksi protes dan demontrasi besar masyarakat. Sebab, setiap kenaikan harga BBM berdampak kepada kenaikan harga kebutuhan pokok.

Subsidi BBM

Meski begitu, kenaikan harga BBM tak lantas membebaskan pemerintah dari beban. Pada saat itu, subsidi BBM menembus kisaran rata-rata Rp 100 triliun per tahun.

Subsidi BBM 2010-2014

Akibat membengkaknya subsidi BBM, APBN jadi tidak produktif. Anggaran digunakan bukan untuk hal-hal yang produktif misalnya pembangunan infrastruktur secara masif.

Belum lagi, pemerintah juga mengeluarkan anggaran untuk program perlindungan bagi masyarakat miskin yaitu program Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Namun, program yang bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat tak merosot akibat kenaikan harga BBM ini justru lebih banyak dinilai politis.

Krisis 2008

Setelah sepuluh tahun krisis ekonomi 1998 terlewati, krisis keuangan global melanda pada 2008. Ekonomi nasional pun terkena dampaknya.

Namun, dengan daya beli masyarakat yang dijaga, ekonomi tumbuh positif 4,6 persen pada 2009. Saat itu, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia, hanya kalah dari China yang tumbuh 9,4 persen dan India 8,5 persen.

Bailout Bank Century

Krisis keuangan 2008 kembali membawa memori krisis 1998, terutama di sektor perbankan. Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik. Dana Rp 6,7 triliun pun disuntikkan.

Namun, suntikan kebijakan itu menuai banyak kritik tajam. Bahkan, 503 anggora DPR menggulirkan hak angket atas keputusan itu.

Hasilnya, 315 anggota menyatakan bahwa suntikan ke Bank Century menyimpang dan merugikan negara.

Sementara itu, KPK juga mengusut kasus tersebut dan menetapkan beberapa tersangka dari Bank Indonesia, yaitu Budi Mulya dan Siti C Fadjrijah.

Data BPS

Pertumbuhan ekonomi pada 10 tahuan era Presiden SBY ada di kisaran 4–6 persen. Paling rendah terjadi saat terimbas krisis keuangan 2008, yakni 4,6 persen pada 2009, dan yang paling tinggi 6,2 persen pada 2010.
Tingkat kemiskinan pada 2014 atau tahun terakhir era SBY mencapai 11,3 persen, lebih kecil dari awal periode SBY 2004 lalu yang angkanya mencapai 16,7 persen.


Joko Widodo (20 Oktober 2014 – sekarang)


SAMA
seperti presiden-presiden terdahulu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi punya tantangan ekonomi tersendiri. Terlebih lagi, situasi dan kondisi ekonomi global masih diliputi ketidakpastian.

Terkait ekonomi, berikut ini sejumlah kebijakan yang dijalankan Jokowi setelah memenangi Pemilu Presiden 2014 berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Realokasi Subsidi

Bila sebelumnya booming harga komoditas terjadi di era SBY, Presiden Jokowi kebagian anjloknya harga komoditas.

Bagi Indonesia, anjloknya harga komoditas CPO dan batubara, tentu saja berakibat kepada merosotnya nilai ekspor.

Bersamaan, harga minyak dunia rontok. Harga minyak mentah dunia yang sempat menyentuh angka 132 dollar per barrel pada Juli 2008 di era SBY, anjlok ke angka 47,1 dollar AS per barrel pada awal pemerintahan Jokowi, yaitu pada Januari 2015.

Harga dan Subsidi BBM

Setahun kemudian, harga minyak mentah dunia kembali anjlok dan menyentuh angka terendah selama 10 tahun terakhir yakni 29 dollar per barrel, pada Januari 2016.

Momentum ini dimanfaatkan Pemerintahan Jokowi untuk merealokasi anggaran subsidi BBM sebesar Rp 211,3 triliun untuk program yang diklaim lebih produktif, di antaranya pembangunan infrastruktur, sekalipun harga BBM menjadi mengikuti mekanisme pasar selain yang dikecualikan.

Infrastruktur

Sejak awal kabinet kerja pemerintahan Jokowi terbentuk, pembangunan infrastruktur menjadi prioritas utama.

Rencana Pengalihan Dana Subsidi BBM dalam RAPBN 2015

Dalam rentang waktu 2015-2017 saja, alokasi dana pemerintah untuk pembangunan infrastruktur mencapai Rp 990 triliun.

Rinciannya, Rp 290 triliun pada 2015, Rp 313 triliun pada 2016, dan melonjak menjadi Rp 387 triliun pada 2017. Pada 2018, anggarannya  mencapai Rp 409 triliun.

Kebutuhan Dana untuk Infrastruktur 2015-2019

Pemerintah mengklaim 300 kilometer jalan tol telah terbangun, juga 2.623 kilometer jalan nasional mulai dari Trans-Papua, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Timur.

Ada pula pembangunan jembatan yang mencapai 25.149 meter, 81 pelabuhan, tujuh bandara baru, pembenahan 439 bandara, pembangunan ratusan km rel kereta api, hingga 33 waduk.

Pemerintah mengakui, Rp 990 triliun bukanlah uang yang cukup untuk mengejar ketertinggalan infrastuktur Indonesia dari negara lain. Hingga 2019 mendatang, pembangunan infrastruktur di Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 4.700 triliun.

Namun, dari total kebutuhan anggaran itu, pemerintah hanya mampu membiayai 33 persen atau sekitar Rp 1.551 triliun saja. Adapun 25 persennya atau Rp 1.175 triliun berasal BUMN. Sisanya, sebesar 42 persen atau Rp 1.974 triliun, didorong berasal dari swasta.

Tax amesty dan reformasi pajak

Pemerintahan Jokowi menggulirkan program pengampunan pajak atau tax amnesty mulai 1 Juli 2016. Tujuanya, harta-harta WNI di dalam dan luar negeri yang selama ini tak tercatat dilaporkan ke negara, dan bisa dibawa pulang ke Indonesia.

Meski awalnya disambut pesimistis, program itu mengungkap banyaknya harta yang belum dilaporkan kepada negara.

Secara total, jumlah harta yang dideklarasikan sebesar Rp 4.881 triliun, terdiri dari deklarasi dalam negeri senilai Rp 3.698 triliun, deklarasi luar negeri Rp 1.036 triliun, dan repatriasi Rp 146,69 triliun.

Sementara itu, uang yang langsung masuk ke kas negara mencapai Rp 134,99 triliun, terdiri dari uang tebusan Rp 114,2 triliun, pembayaran tunggakan Rp 19 triliun, dan pembayaan bukper sebesar Rp 1,75 triliun.

Data tax amnesty menjadi pijakan program reformasi pajak yang juga dilakukan oleh pemerintah. Sejak akhir 2016, pemerintah meluncurkan tim reformasi perpajakan.

Tim ini dipimpin langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai ketua tim pengarah. Pembentukannya bertujuan mendukung pelaksanaan reformasi di tubuh institusi pajak dan bea cukai yang meliputi bidang teknologi, sumber daya manusia, dan organisasi.

Dana Desa

Di era pemerintahan Jokowi juga amanah  pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dijalankan. Pemerintah pusat mengalokasikan anggaran untuk desa dengan nama dana desa.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Warga melintasi spanduk pemberitahuan anggaran pendapatan dan belanja desa di Balai Desa Bojongsari, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Minggu (9/7/2017). Setiap desa seharusnya memasang baliho di balai desa terkait laporan penggunaan dana desa. Ini untuk transparansi penggunaan dana desa.

Sejak 2015 hingga 2017, alokasi dana desa sudah mencapai Rp 127,8 triliun. Rinciannya, Rp 20,8 triliun pada 2015, Rp 47 triliun pada 2016, dan Rp 60 triliun pada 2017. Alokasi dana desa diberikan sebagai upaya untuk meningkatkan pembangunan dari pedesaan.

Meski begitu, sejumlah catatan membayangi penyaluran dana desa ini. Indonesian Corruption Watch (ICW), misalnya, mencatat sudah ada 112 orang perangkat desa termasuk kepala desa yang terlibat penyalahgunaan dana desa pada periode 2015-2017.

Kerugian negara akibat korupsi dana desa mencapai Rp 47,5 miliar. Rinciannya, Rp 9,1 miliar pada 2015, Rp 8,3 miliar pada 2016, dan Rp 30,1 miliar pada 2017.

Data BPS

Pertumbuhan ekonomi:  5,01 persen pada 2014, 4,88 persen pada 2015, 5,02 persen pada 2016, dan 5,07 pada 2017.
Tingkat kemiskinan: 11,3 persen pada 2014, 11,2 persen pada 2015, 10,9 persen pada 2016, dan 10,6 persen pada 2017.
Ketimpangan: 0,41 pada 2014, 0,40 pada 2015, 0,39 pada 2016, 0,39 pada 2017.
Pengangguran: 5,70 pada 2014, 6,18 pada 2015, 5,61 persen pada 2016, dan 5,33 persen pada 2017.

 

 

Catatan Ekonom
untuk 20 Tahun Reformasi



"Tentu saya tidak mungkin menjawab apakah ekonomi sudah pada relnya atau belum.
Bagi saya, ekonomi pasca-reformasi ada positif dan negatifnya."


~Ekonom UGM, A Tony Prasentiantono~
 
 
THINKSTOCKS/SAPUNKELE

 

Ekonom UGM Tony Prasetiantono

TENTU saya tidak mungkin menjawab bahwa apakah ekonomi sudah pada relnya atau belum. Bagi saya ekonomi pasca-reformasi ada positif dan negatifnya.

Positifnya adalah, baru kali ini ada presieden yang memiliki gairah membangun infrastruktur seperti Pak Jokowi. Itu harus diakui. Meskipun kebijakan itu ada dampak negatifnya juga.

Jadi saat Pak Jokowi mulai jadi Presiden, Oktober 2014 itu dia start dengan utang pemerintah Rp 2.700 triliun. Nah, dalam waktu 3,5 tahun ini, Pak Jokowi sudah nambah utang Rp 1.300 triliun, sehingga sekarang utang menjadi Rp 4.000 triliun.

Jadi, banyak orang mengkritik utang pemerintah banyak. Namun, sebenarnya utang itu digunakan untuk infrastruktur dan utang itu masih terukur dalam batas aman.

Ada dua kriteria untuk menakar batas aman soal utang. Pertama, total utang pemerintah jangan lebih dari 60 persen dari PDB.

PDB kita Rp 13.000 triliun, jadi kalau utangnya Rp 4.000 triliun itu tidak sampai 30 persen dari PDB. Masih jauh dari batas 60 persen PDB yang dizinkan oleh UU Keuangan negara.

Kedua, pemerintah seyogyanya itu APBN tidak boleh defisitnya melebihi 3 persen dari PDB. Tahun lalu rata-rata defisit APBN 2,5 persen. Tahun ini dipangkas hanya 2,19 persen.

Jadi, utang kita masih aman.

KOMPAS.com/ANDRI DONNAL PUTERA
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono

Namun, kritik saya, neraca perdagangan kita dari tahun ke tahun surplusnya masih rendah, hanya 12 miliar dollar AS. Paling tidak seharusnya 50 miliar dollar AS, syukur bisa 100 miliar dollar AS. Dengan surplus neraca perdagangan saya yakin rupiah akan anteng, tidak sensitif.

Intinya, kita belum berhasil melakukan diversifikasi ekspor. Kita masih banyak komponen ekspor sumber daya alam. Padahal, ke depan harus menuju ke arah manufaktur. Ini yang belum ditangani hingga saat ini.

Kemudian, kemandirian fiskal, Nawa Cita di bidang fiskal. Sulit APBN tidak defisit, hanya yang penting kita harus berusaha mengurangi defisit itu sehingga tidak banyak nambah utang, Caranya, dengan meningkatkan penerimaan pajak.

Saat ini penerimaan pajak kita dibandingkan total PDB hanya 10 persen, tahun lalu penerimaan pajak Rp 1.298 triliun sementara PDB kita Rp 13.000 triliun. Itu jauh dari ideal.

Thailand, Malaysia dan Filipina rata-rata pajak dibandingkan PDB-nya sudah 13-15 persen. Jadi kita masih jauh. Ini PR besar ke depan.

 
 






"Yang harus ditekan adalah indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan yang angkanya cenderung memburuk."

~Ekonom Indef, Bhima Yudistira~
 
THINKSTOCKS/ARTISTICCO

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira


ANGKA kemiskinan harus diakui menurun  dari 24 persen pada 1998 menjadi 10,1 persen pada 2017. Namun,  yang harus ditekan adalah indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan yang angkanya cenderung memburuk.

Artinya, ada kemiskinan kronis yang belum tersentuh oleh program-program pemerintah.

KOMPAS.com/BERNARDIN MARIO PN
Ekonom Indef, Bhima Yudistira, dalam Entrepreneur Networking Forum, di Lampung, Rabu (13/12/2017).

Berbeda dengan kemiskinan yang cenderung turun, angka ketimpangan pasca-reformasi justru menunjukkan kenaikan. Pada 1998, rasio gini ada di angka 0,3. Data terakhir BPS tahun 2017 angkanya 0,39.

Kesenjangan

Naiknya angka ketimpangan salah satu faktornya karena otonomi daerah justru menciptakan raja-raja kecil, penguasaan tanah di segelintir kelompok, dan pemusatan penyaluran bantuan pemerintah yang dinikmati oknum pejabat daerah. 

Memang, tantangan ekonomi masih cukup berat. Namun, saya optimistis perbaikan-perbaikan kebijakan akan terus dilakukan.

Tantangannya, tinggal menjaga konsistensi dan komitmen pemerintah pusat dan daerah agar iklim ekonomi semakin kondusif sehingga mendatangkan investasi yang berkualitas.

Loading...