PRESIDEN Joko Widodo memberi ultimatum. Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme) harus selesai pada Juni 2018.
Jika tidak disahkan pada batas waktu tersebut, Jokowi akan memilih jalan pintas merevisi UU Antiterorisme dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Ultimatum Kepala Negara itu merespons serangan teroris yang kembali terjadi di Tanah Air, mulai dari serangan bom oleh satu keluarga ke tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, hingga serangan ke Mapolrestabes Surabaya.
Mirisnya, para pelaku melibatkan anak-anak mereka dalam aksi bunuh diri.
Jokowi menyebut, serangan tersebut sebagai tindakan biadab, di luar batas kemanusiaan. Para pelaku dianggap Presiden sebagai pengecut.
Presiden memerintahkan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengusut tuntas jaringan pelaku.
“Saya perintahkan untuk membongkar jaringan itu sampai ke akar-akarnya,” tegas Presiden.
Sorotan kemudian mengarah kepada Kepolisian yang diberi kuasa untuk memberantas teroris.
Namun, Polri kembali mengeluhkan keterbatasan kewenangan yang diberikan untuk menindak, khususnya sebelum serangan dilakukan.
Polri kembali mengeluhkan keterbatasan kewenangan yang diberikan untuk menindak, khususnya sebelum serangan dilakukan.
Alasan ini selalu dilontarkan para pimpinan Polri ketika sel-sel teroris bangun dari tidur.
Saat serangan teroris terjadi di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta, pada Januari 2016, pemerintah langsung mengajukan revisi UU Antiterorisme. Polri meminta kewenangan tambahan agar bisa bertindak represif untuk preventif.
Namun, pembahasan revisi antara pemerintah dan DPR tak berjalan mulus hingga akhirnya mandek. Dampaknya, Densus 88 Antiteror Polri bergerak dengan keterbatasan.
Publik, khususnya netizen, kemudian ramai-ramai mendesak agar RUU Antiterorisme segera disahkan. Mereka tidak ingin kejadian serupa terulang dan kembali memakan korban.
Lambatnya pembahasan RUU Antiterorisme juga ditunggangi kepentingan politik. Di jagat media sosial, muncul ajakan agar netizen tidak memilih parpol tertentu pada pemilu 2019 karena dicap menghambat pembahasan di DPR.
Padahal, pengesahannya tak semudah yang dibayangkan. Pembahasannya selama ini alot, terjadi perdebatan mengenai beberapa hal.
Bahkan, di antara institusi pemerintah pun sempat tidak sejalan. Akhirnya, pemerintah meminta penundaan pembahasan.
"DPR sebenarnya 99 persen sudah siap ketuk palu sebelum reses masa sidang yang lalu. Namun, pihak pemerintah minta tunda karena belum adanya kesepakatan soal definisi terorisme," kata Ketua DPR Bambang Soesatyo saat dihubungi, Senin (14/5/2018).
PEMBAHASAN revisi UU Antiterorisme di Panitia Khusus RUU Antiterorisme di DPR tak berjalan mulus. Sejumlah hal dalam draf RUU dipermasalahkan.
Setidaknya, ada tujuh poin yang menjadi bahan perdebatan di dalam pembahasan.
Seperti apa rinciannya?
Ketua Pansus RUU Antiterorisme Muhammad Syafi'i mengungkapkan, dalam pembahasan terakhir terjadi perbedaan pendapat antara DPR dan Pemerintah terkait definisi terorisme.
Dalam Pasal 1 angka 1 draf RUU Antiterorisme, DPR menginginkan definisi terorisme memasukkan unsur politik.
Artinya, seorang pelaku kejahatan bisa dikategorikan sebagai terorisme jika melakukan tindakan kejahatan yang merusak obyek vital strategis, menimbulkan ketakutan yang masif, untuk mencapai tujuan tertentu utamanya di bidang politik.
Selain itu, pelaku juga harus dibuktikan memiliki atau terlibat dalam suatu jaringan kelompok teroris.
Di sisi lain, pemerintah memandang tak perlu ada unsur tujuan politik dalam definisi terorisme.
Pemerintah memandang tak perlu ada unsur tujuan politik dalam definisi terorisme.
"Redaksional yang mereka (pemerintah) sajikan itu hanya untuk tindak pidana biasa, mereka yang melakukan kejahatan dengan maksud menimbulkan ketakutan yang masif, korban yang massal dan merusak obyek vital yang strategis. Ini kan tindak pidana biasa," kata Syafi'i.
"Harusnya dengan motif politik yang bisa mengganggu keamanan negara, misalnya. Nah, itu baru bisa disebut teroris. Mereka (pemerintah) enggak sepakat dengan itu," tambah dia.
Sementara itu, anggota Pansus RUU Antiterorisme dari Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan, sebagian besar fraksi di DPR menginginkan ada definisi yang ketat terkait terorisme.
Suatu kejahatan bisa dikategorikan terorisme apabila pelaku memiliki motif politik, motif ideologi, dan menimbulkan ancaman terhadap keamanan negara.
"Karena memang tidak bisa ditutupi, termasuk PPP, ingin agar tidak gampang sedikit-sedikit peristiwa, katakanlah bom, langsung diterapkan UU Terorisme," kata Arsul.
Menurut Arsul, unsur motif, ideologi, dan mengancam keamanan negara harus ada dalam definisi sebagai unsur pembeda antara tindak pidana biasa dengan kejahatan terorisme.
Di sisi lain, keterlibatan pelaku dalam suatu jaringan kelompok terorisme juga penting dibuktikan oleh penegak hukum.
"Karena begitu dicap teroris, maka stigma itu akan terus menempel. Kecuali kalau perbuatannya itu karena dia anggota jaringan teroris, dia sudah ikut pelatihan dan lain-lain, itu baru boleh dikenakan (UU Antiterorisme)," ujar dia.
Pasal terkait pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme juga sempat menimbulkan perdebatan panjang.
Kalangan masyarakat sipil menilai, pasal itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang jika tak diatur secara ketat.
Selain itu, TNI dianggap tak memiliki kewenangan menindak pelaku terorisme dalam ranah penegakan hukum.
Meski demikian, pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati pasal pelibatan TNI diatur dalam UU Antiterorisme.
Syafi'i mengatakan, aturan detail soal mekanisme pelibatan TNI diserahkan kepada Presiden melalui penerbitan peraturan presiden (perpres).
Aturan detail soal mekanisme pelibatan TNI diserahkan kepada Presiden melalui penerbitan peraturan presiden (perpres)
"TNI terlibat dalam pemberantasan terorisme itu kan sebuah keniscayaan. Tentang bagaimana pelibatannya sudah disepakati lebih lanjut akan diatur dalam perpres yang harus selesai paling lama setahun setelah UU disahkan," ujar dia.
Secara terpisah, Arsul Sani mengatakan, pasal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme pada dasarnya mengacu pada kerangka Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
Pasal tersebut menyatakan, TNI bisa dilibatkan dalam operasi militer selain perang.
"Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Ini adalah terjemahan dari Pasal 7 ayat 2 UU TNI. Itu kemudian disepakati, detailnya itu akan dituangkan dalam peraturan presiden," kata Arsul.
"Jadi UU terorisme tidak secara detail mengatur tentang peran TNI dalam terorisme, tapi menyepakati peran itu akan diatur secara detail dalam bentuk peraturan presiden," lanjut dia.
Arsul menjelaskan, pelibatan TNI harus berada di bawah kewenangan Presiden karena pemberantasan terorisme merupakan tugas pemerintah.
Selain itu, Polri dan TNI sama-sama berada di bawah kendali Presiden sebagai panglima tertinggi.
"Jadi biar Presiden yang mengatur peran itu. Tetap dalam koridor UU yang ada," tutur Arsul.
Implementasi dari pelibatan TNI nantinya, pemerintah akan mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI. Rencana itu sudah disetujui Presiden Joko Widodo.
Implementasi dari pelibatan TNI nantinya, pemerintah akan mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI
Koopsusgab merupakan gabungan tentara dari seluruh satuan elite di TNI, baik matra darat, laut, maupun udara.
Satuan elite yang dimaksud, yakni Satuan Penanggulangan Teror 181, Korps Pasukan Khas, Bataliyon Intai Amfibi, dan Detasemen Jala Mengkara.
Tugas Koopsusgab TNI nantinya membantu Polri melaksanakan tugas pemberantasan terorisme.
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menjelaskan, bantuan tersebut dapat berupa pengerahan intelijen hingga pengerahan personel ke titik operasi.
"Tergantung kebutuhan di lapangan saja. Mereka setiap saat bisa digerakkan ke penjuru mana pun dalam tempo yang secepat-cepatnya," ujar Moeldoko.
Pasal 31 draf UU Antiterorisme sempat mengatur mekanisme penyadapan yang tak perlu izin dari pengadilan negeri.
Dalam UU Antiterorisme saat ini, penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Selain itu, penyadapan juga harus dilaporkan kepada atasan penyidik.
Dalam RUU Antiterorisme, syarat tersebut hilang. Akhirnya, disepakati penyadapan tetap harus mendapatkan izin dari pengadilan negeri seperti tercantum dalam draf RUU Antiterorisme per 18 April 2018.
Dalam draf tersebut dinyatakan, penyadapan dilakukan setelah mendapat izin tertulis dari ketua pengadilan negeri berdasarkan permohonan secara tertulis penyidik atau atasan penyidik.
Kalangan masyarakat sipil mengkhawatirkan pasal ini berpotensi membatasi kebebasan berekspresi jika tak diatur secara ketat.
Hasil rapat Tim DPR dan Pemerintah per 16 Maret 2018 sepakat menambahkan kata "dapat" agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga kebebasan menyatakan pendapat.
Pasal tersebut berbunyi, "... setiap orang yang memiliki hubungan dengan jaringan terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun."
Awalnya, Pasal 43A dalam draf revisi UU Antiterorisme mengatur soal kewenangan penyidik dan penuntut untuk menahan seseorang yang diduga terkait kelompok teroris selama enam bulan.
Pasal 43 A ini disebut dengan istilah "Pasal Guantanamo", merujuk pada nama penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba. Di situ, ratusan orang ditangkap dan disembunyikan karena diduga terkait jaringan teroris.
Pasal baru tersebut dianggap sarat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan menunjukkan ketidakmampuan penyidik dalam melakukan pengusutan dalam waktu cepat. Akhirnya, pasal tersebut dihapuskan.
Pasal 12b ayat (5) RUU Antiterorisme menyebutkan, selain pidana tambahan seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya, warga negara Indonesia yang merupakan pelaku tindak pidana terorisme dapat dicabut kewarganegaraannya oleh pejabat yang berwenang.
Namun, ketentuan tersebut dihapus. Berdasarkan Pasal 12B ayat (4) draf RUU Antiterorisme per 18 April 2018, setiap warga negara Indonesia yang dijatuhi pidana terorisme dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama lima tahun.
Dalam pembahasan, sempat muncul usulan agar masa penahanan terduga teroris diperpanjang dari 7x24 jam menjadi 30 hari. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 25.
Namun, dalam RUU Antiterorisme per 18 April 2018, ketentuan ini dihapus. Pasal 25 mengatur perpanjangan masa penahanan terhadap tersangka tindak pidana terorisme.
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu paling lama 120 hari.
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu paling lama 120 hari.
Penahanan dapat diperpanjang selama 60 hari, kemudian dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penyidik kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 20 hari.
Menteri Koordiantor Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan, dalam pembahasan terakhir, tinggal masalah definisi teroris dan pelibatan TNI yang belum mencapai kesepakatan.
Setelah rentetan serangan teroris belakangan ini, parpol pendukung pemerintah sepakat untuk mempercepat pembahasan RUU Antiterorisme.
“Hambatan-hambatan tentang revisi UU Antiterorisme sudah kita sepakati bersama sehingga dalam waktu singkat revisi itu mudah-mudahan dapat kita undangkan," ujar Wiranto.
"Sudah ada kesediaan dalam berbagai pihak untuk bersama-sama menyelesaikan konsep terakhir," tambah dia.
DI LUAR perdebatan pasal-pasal tersebut, Polri berharap mendapat tambahan kewenangan untuk dapat bertindak preventif.
Menyikapi rentetan aksi teroris belakangan ini, Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian berharap, Polri diberi kewenangan baru dalam pemberantasan terorisme.
Dengan UU Antiterorisme sekarang ini, Polri merasa tidak bisa bertindak dini sebelum serangan teroris dilakukan.
"(Kewenangan tambahan) ini akan membuat kita tidak terdadak-dadak seperti ini karena kita tahu sel-selnya mereka," ujar Kapolri dalam jumpa pers di Mapolda Jawa Timur, Senin (14/5/2018).
Kapolri memberi contoh, kendala dalam penindakan terhadap mereka yang kembali ke Indonesia dari daerah konflik seperti Irak dan Suriah.
Setidaknya, ada sekitar 500 WNI kembali dari Suriah yang diduga terkait dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Saat ini, tidak ada aturan yang memberi kewenangan Polri untuk menindak terkait keterlibatan mereka dalam terorisme di luar negeri.
Polisi hanya bisa menindak ketika mereka melanggar pidana yang sudah diatur seperti pemalsuan paspor atau KTP.
"Sementara kelompok yang datang gelombangnya cukup banyak dari luar negeri. Ini perlu kita tangani, harus ada kekuatan hukum karena hukum kita tidak bisa proses hukum mereka yang kembali dari Suriah," ujar Kapolri.
Kapolri mengungkapkan, ada juga keluarga yang kembali ke Indonesia setelah dideportasi oleh otoritas Turki. Keluarga tersebut ditangkap aparat Turki saat hendak menuju Suriah.
Setelah kembali ke Tanah Air, kata Kapolri, pimpinan keluarga tersebut melakukan doktrinisasi kepada keluarga pelaku serangan teroris di Surabaya. Dampaknya, pelaku suami istri itu sampai melibatkan empat anaknya dalam serangan ke tiga gereja di Surabaya.
"Satu keluarga ini adalah salah satu ideolog kelompok ini," ucap Kapolri.
Selain itu, Polri juga berharap ada aturan yang dapat menetapkan suatu organisasi sebagai organisasi teroris yang terlarang. Hal itu sudah diatur di negara lain.
Polri juga berharap ada aturan yang dapat menetapkan suatu organisasi sebagai organisasi teroris yang terlarang.
Kapolri mengatakan, dalam persidangan, organisasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sudah berkali-kali disebut terlibat dalam rentetan aksi teror di Indonesia.
Kapolri memberi contoh, misalnya, lewat penetapan pengadilan atau oleh BNPT, organisasi tersebut dinyatakan sebagai kelompok teroris dan terlarang di Indonesia.
Setelah ada penetapan, Polri kemudian ingin ada aturan untuk menindak mereka yang terlibat organisasi tersebut.
"Ada pasal yang kita kehendaki, siapapun yang membantu, tergabung, kita bisa proses pidana mereka," kata Kapolri.
MASALAH hak asasi manusia (HAM) menjadi sorotan dalam upaya pemberantasan terorisme selama ini. Bukan hanya dalam pembahasan revisi UU Antiterorisme, tetapi juga ketika penindakan di lapangan.
Polri terkesan gamang dalam bertindak lantaran keterbatasan kewenangan. Di satu sisi, Polri harus melindungi masyarakat dari serangan teroris.
Di sisi lain, Polri mesti berhadapan dengan tembok HAM ketika menumpas jaringan teroris yang bergerak dalam sel-sel kecil. Setiap saat, mereka bisa “bangun dari tidur”.
Menteri Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyoroti soal HAM dalam upaya pemberantasan terorisme selama ini.
Ia mengingatkan, terorisme menjadi ancaman nyata dan serius bagi keamanan negara. Oleh sebab itu, penanganan terorisme tidak bisa menggunakan langkah biasa.
"Harus keras kita melawan kekerasan itu (terorisme), jangan sedikit-sedikit HAM, sedikit-sedikit HAM," ujar Ryamizard saat memberikan pernyataan pers kepada media, Jakarta, Senin (14/5/2018).
Ia menjelaskan, para pelaku teror belakangan ini adalah teroris generasi ketiga, yakni milisi-milisi ISIS yang pernah berperang di Suriah. Mereka kembali ke Tanah Air pascakekalahan ISIS.
Adapun generasi pertama adalah teroris pascatragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat, sementara generasi kedua adalah para teroris ISIS. Generasi ketiga teroris ini adalah kelompok yang mengakui terbentuknya ISIS di Asia Tenggara.
Menhan mengungkapkan, aksi teror di Indonesia merupakan perintah dari pimpinan ISIS di Timur Tengah. Bahkan, perintah itu menyatakan basis ISIS di Marawi akan dipindahkan ke Indonesia.
"Artinya mereka sudah persiapan benar-benar matang, matang harus jadi. Ini disiapkan enggak nanggung-nanggung," ucap dia.
"Ya, kita mungkin biasa-biasa. Memang menjadi musuh yang enggak kelihatan itu pertama kali memang mengagetkan gitu. Mudah-mudahan kita enggak biasa-biasa lagi, tetapi luar biasa (menanganinya)," tambah pensiunan tentara berpangkat jenderal ini.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, pihaknya mendukung upaya DPR dan pemerintah untuk mempercepat pembahasan RUU Antiterorisme.
Meski demikian, Anam mengingatkan, revisi RUU Antiterorisme harus sesuai dengan sistem peradilan pidana yang mengedepankan akuntabilitas dan prinsip-prinsip HAM.
Revisi RUU Antiterorisme (tetap) harus sesuai dengan sistem peradilan pidana yang mengedepankan akuntabilitas dan prinsip-prinsip HAM.
"Terdapat beberapa hal yang harus mendapatkan perhatian dalam proses revisi diantaranya penguatan paradigma criminal justice system dalam penanganan tindak pidana terorisme yang mengedepankan proses hukum yang akuntable dan menjunjung tinggi HAM," ujar Anam melalui keterangan tertulisnya, Senin (14/5/2018).
Selain itu, Anam juga menyoroti ketentuan mengenai penyadapan yang dianggap belum sepenuhnya jelas antara upaya penegakan hukum intelijen.
Menurut Anam, jika penyadapan dimaknai dalam proses penegakan hukum, maka aturan soal jangka waktu selama satu tahun dan bisa diperpanjang lagi sangat tidak rasional.
Anam juga memandang ketentuan soal jangka waktu penyadapan itu bertentangan dengan asas hukum cepat, sederhana dan biaya ringan.
"Sebaliknya, jika merupakan tindakan intelijen, maka perlu dikembalikan pada ketentuan UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara," tuturnya.
Pasal lain yang juga harus menjadi perhatian adalah terkait penangkapan dan penahanan.
Anam menegaskan bahwa penangkapan terduga terorisme harus memenuhi bukti permulaan yang cukup serta terdapat dua aspek yang harus dipenuhi, yakni lokasi penempatan dan jangka waktu.
Menurut Anam, pasal terkait jangka waktu penangkapan dalam RUU Antiterorisme saat ini sangat rawan pelanggaran HAM. Pasal tersebut menyatakan jangka waktu penangkapan terduga teroris untuk kepentingan penyelidikan mencapai 21 hari.
Di sisi lain, Anam juga mendorong agar diatur pula mengenai kewajiban kepolisian menetapkan atau memberitahukan lokasi penahanan saat menangkap dan memeriksa seorang terduga teroris.
"Hal itu untuk menghindari potensi pelanggaran HAM dan memastikan akuntabilitas dan pengawasan serta akses keluarga atau kuasa hukumnya," kata Anam.
Meski begitu, melihat urgensi pascarentetan serangan teroris, semua pihak terkait sepakat untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Antiterorisme untuk disahkan menjadi UU.
Ditargetkan, pengesahan dilakukan sebelum Lebaran 2018. Dengan demikian, Presiden Jokowi tak perlu sampai menerbitkan Perppu.
Kini, komitmen pemerintah dan DPR tersebut ditunggu publik.