Pandemi seperti bukan penghalang. Dalam empat tahun terakhir, tingkat Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) bagi anak di bawah satu tahun di Kota Solo, selalu menyentuh angka di atas 95 persen.
Tetapi, masih ada persoalan pada pemahaman masyarakat yang membuat pencapaian selalu saja tak sempurna. Bahkan, berpotensi menghalau kerja-kerja perlindungan anak terhadap penyakit berbahaya di masa depan.
DELAPAN kali sudah Asih Sri Wahyuni (38) berkunjung ke rumah Putri di Kelurahan Sangkrah, Pasar Kliwon, Kota Solo, Jawa Tengah, pada pertengahan 2021 hingga Maret 2022.
Putri bukanlah nama sebenarnya. Ia adalah satu dari sekian banyak ibu di Solo yang menolak buah hatinya diimunisasi. Mereka percaya cairan imunisasi mengandung babi alias haram.
Kedatangan Asih yang berulang tidak lain untuk memberi pemahaman agar Putri bersedia mengimunisasikan sang anak secara lengkap demi kesehatan di masa mendatang.
Sebab, catatan Asih menunjukkan, bayi Putri baru diberikan imunisasi jenis Hepatitis B (HB) saja tak lama setelah dilahirkan.
Idealnya, sebelum menginjak usia satu tahun, setiap anak mendapatkan lima jenis imunisasi.
Selain Hepatitis B, ada imunisasi BCG dan Polio 1 pada usia sebulan, DPT/HB1 dan Polio 2 pada usia dua bulan, DPT/HB 2 dan polio 3 pada usia tiga bulan, DPT/HB 3 dan polio 4 pada usia empat bulan, serta campak pada usia sembilan bulan.
Sementara, bayi Putri sudah menginjak usia sembilan bulan pada Maret 2022 ini.
Maka, wajar apabila Asih sebagai Ketua Posyandu Mawar Sari yang melingkupi empat RW di Kelurahan Sangkrah berkewajiban mendorong setiap anak di wilayahnya menerima imunisasi lengkap.
Segala cara telah ditempuh supaya Putri mau mengimunisasi sang bayi. Asih menyampaikan informasi bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mubah dalam hal imunisasi yang menggunakan enzim babi.
Mubah dalam konteks hukum Islam adalah sesuatu yang mulanya diharamkan, tetapi karena ada faktor tertentu menyebabkan perbuatan tersebut dihalalkan.
Lantas, apa jawaban Putri?
“Rasah wae, Mbak. Menawa lara, sing nanggung aku dhewe. (Enggak usah saja, Mbak. Seumpama anak saya sakit, yang menanggung saya sendiri),” ujar Asih menceritakan jawaban Putri saat berbincang dengan tim JEO Kompas.com di Posyandu Mawar Sari, Senin (7/3/2022).
Rasah wae, Mbak. Menawa lara, sing nanggung aku dhewe.
Asih tak hilang akal. Ia mengetuk hati suami Putri agar sang buah hati diimunisasi. Sebab, keteguhan Putri bersumber dari sang suami.
Selain berbincang empat mata, Asih mengikutsertakan suami Putri ke dalam program Bapak Sadar Gizi tingkat RW. Sayang, upaya itu tetap belum membuahkan hasil.
Pernah pada satu titik, Asih sulit mengendalikan emosinya. Sebal karena Putri dan suami membatu, Asih sampai menyindir keluarga itu yang di satu sisi menolak imunisasi, tetapi di sisi lain menerima dengan lapang bantuan lain dari pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH).
Ujung-ujungnya, Asih merasa sedih karena upaya baiknya tetap tak terwujud. Padahal, semua dilakukan demi kebaikan keluarga Putri sendiri di masa mendatang, terutama kebaikan bagi si anak.
“Akhirnya ya keluarga ini menolak untuk dikunjungi lagi. Tapi saya sudah berkomunikasi dengan petugas kesehatan di Puskesmas Sangkrah (untuk tak berhenti membujuk),” ujar Asih.
Hal yang tak kalah menyedihkan bagi Asih adalah hubungan sosialnya menjadi terganggu karena tugasnya ini. Beberapa keluarga yang menolak imunisasi memilih menutup pintu komunikasi sama sekali dengan Asih beserta keluarganya.
Asih tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menerimanya sebagai sebuah risiko pekerjaan.
“Konflik ada. Sampai sekarang ada juga keluarga yang mendiamkan saya, bahkan ke semua anggota keluarga saya. Ya tidak apa-apa. Saya jelaskan juga ke keluarga saya bahwa ini risiko yang bisa terjadi meski niat kita adalah berbuat baik,” ungkap Asih.
Yang saya lihat sendiri, untuk balita yang tidak diimunisasi, tumbuh kembangnya sekarang bermasalah.
Bagaimanapun, Asih tetap bersyukur. Dalam dua tahun terakhir, dari tujuh keluarga di wilayah layanan posyandu-nya yang awalnya menolak imunisasi, tinggal tersisa dua keluarga yang belum bersedia. Termasuk keluarga Putri.
Asih tidak sendirian. Sejumlah petugas posyandu di Kota Solo juga mengalami tantangan yang sama.
Dyah Retno (51) yang bertugas sebagai kader kesehatan di Puskesmas Sibela, Kelurahan Mojosongo mengalami hal serupa. Tidak sedikit orangtua yang menolak anaknya diimunisasi lantaran menganggap vaksin mengandung babi.
Pernah suatu ketika Dyah datang hanya untuk sekadar mengambil dokumentasi sebagai data di puskesmas. Kedatangannya ditolak mentah-mentah.
Peristiwa itu membuatnya merasa miris. Dyah yang sudah bertugas selama 15 tahun itu menjadi saksi bagaimana tumbuh kembang anak bisa terganggu di masa depan karena tidak diimunisasi secara lengkap.
“Yang saya lihat sendiri, untuk balita yang tidak diimunisasi, tumbuh kembangnya sekarang bermasalah,” ungkap dia.
Tim JEO Kompas.com mencoba mewawancarai warga yang ditengarai menolak imunisasi. Dari tiga kelurahan yang disambangi, hanya ada seorang yang bersedia berbincang-bincang, meski tak mau disebut identitasnya dan perbincangan tak berlangsung lama.
Seorang yang merupakan warga Kelurahan Mojongsongo itu sebut saja bernama Rudi.
Ia mengaku, memilih tidak mengakses imunisasi bagi sang anak karena sumber yang ia baca di media sosial menunjukkan bahwa cairan imunisasi mengandung babi.
“Informasinya kan (imunisasi) itu masih mengandung zat dari babi. Ya saya tidak mau,” ujar Rudi saat ditemui di pekarangan rumahnya, Selasa (15/3/2022).
Urusan sehat-sakit ini biar saya serahkan saja ke Allah ya.
Rudi baru akan bersedia mengimuninasi anak bila vaksin yang tersedia dipastikan benar-benar halal.
Di media sosial, Rudi juga mengaku menemukan pandangan yang menyatakan imunisasi mengandung babi sebenarnya dibolehkan bagi Muslim. Tetapi, persoalannya ada klausul bahwa imunisasi itu dibolehkan hanya dalam kondisi darurat.
Sementara, Rudi berpendapat, tidak ada unsur kedaruratan bagi sang anak untuk segera disuntikkan imunisasi.
“Nyatanya anak saya sehat-sehat saja,” ungkap dia sembari menunjuk anak pertamanya yang berusia dua tahun dan anak keduanya yang berusia 11 bulan.
Saat ditanya apakah Rudi mengkroscek informasi yang didapat di media sosial ke ulama atau dokter anak agar mendapatkan informasi yang komprehensif, ia menolak menjawabnya.
Ia pun mengakhiri pembicaraan dengan mengatakan, “urusan sehat-sakit ini biar saya serahkan saja ke Allah ya”.
Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo mencatat, tingkat imunisasi lengkap di wilayahnya selalu berada di atas 95 persen selama empat tahun terakhir.
Capaian ini termasuk pada 2020 dan 2021 ketika pendemi Covid-19 melanda Indonesia.
Lihat saja infografik berikut ini:
Meski capaian terbilang tinggi, tetapi tetap saja tak pernah sempurna. Orang-orang seperti Putri dan Rudi sebagaimana yang dikisahkan sebelumnya adalah penyebabnya.
Bila hanya merujuk pada Kota Solo, mungkin angkanya kecil. Tetapi, bila angka tersebut diakumulasikan dengan daerah lain se-Indonesia, jumlahnya dipastikan menjadi besar.
Kepala Dinas Kesehatan Solo dr. Siti Wahyuningsih mengungkapkan, tantangan terbesar imunisasi di wilayahnya adalah anggapan bahwa cairan imunisasi haram.
“Menurut saya, harus 100 persen ya cakupan imunisasi ini. Maka dari itu, kami akan tetap melakukan pendekatan-pendekatan terhadap kelompok-kelompok tertentu yang belum menerima imunisasi. Saya tidak bicara ‘menolak’ ya,” beber dia, ketika ditemui di ruang kerjanya, baru-baru ini.
Salah satu kelompok yang paling banyak menolak imunisasi berasal dari klaster sekolah, di samping dari kewilayahaan RT dan RW.
Di wilayah binaan Puskesmas Sangkrah misalnya. Dari 24 SD, ada tiga SD yang mayoritas wali muridnya menolak untuk diimunisasi atas alasan haram. Selebihnya ada kasus serupa, tetapi tidak sampai setengahnya.
Tak ada yang bisa dilakukan sekolah terkait hal itu. Sebab, keputusan itu mutlak diambil oleh wali murid masing-masing.
Puskesmas setempat telah melaporkan hal itu ke Dinas Kesehatan Solo agar ditindaklanjuti dengan sosialisasi.
Sejauh ini, orangtua yang menolak anaknya diimunisasi hanya dimintai surat pernyataan bahwa orangtua telah menerima sosialisasi imunisasi, tetapi menolak untuk diikutsertakan.
Wahyuningsih melanjutkan, pihaknya telah menempatkan persoalan imunisasi menjadi pekerjaan bersama, bukan hanya pekerjaan dinasnya saja.
Di lingkup organsiasi perangkat daerah (OPD) Pemerintah Kota (Pemkot) Solo sendiri misalnya, program imunisasi turut didengungkan oleh Dinas Pendidikan Solo, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat (PPPAPM) Solo, serta Dinas Pengendalian Pendudukan dan Keluarga Berencana (DPPKB) Solo.
“Jadi kami koordinasi. Ditekankan bahwa imunisasi ini bukan tugas bidang kesehatan saja, tetapi semua sektor. Di wilayah juga ada Pemerintah Kelurahan, kader kesehatan, kader PKK, tokoh masyarakat, yang kami libatkan,” ungkap dia.
Pemkot juga telah menggandeng layanan kesehatan swasta, organsiasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Solo, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Solo, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Solo, dan organsiasi masyarakat terkait seperti Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Solo.
Tokoh agama pun tak lupa dilibatkan. Jadi, Pemkot sudah melakukan banyak pendekatan, termasuk kelembagaan pemerintah, agama, tokoh masyarakat, dan organisasi sosial.
“Sayangnya masih ada kelompok yang ngomong enggak mau (imunisasi). Kami pun hanya bisa menunggu mereka sadar,” ungkap Wahyuningsih tanpa mau menyebutkan kelompok itu.
Ke depannya dia menyampaikan, DKK akan mencoba lebih gencar lagi melakukan pendekatan terhadap masyarakat yang masih menolak imunisasi. Sebab, semenjak pandemi, fokus pihaknya mau tidak mau terbagi dua.
“Intinya masalah imunisasi adalah masalah bersama. Dengan adanya pandemi ini, kami coba ingatkan kepada yang lain, jangan terus-terusan hanya berkutat dengan Covid-19,” tutur dia.
Penolakan orangtua terhadap imunisasi memang menjadi persoalan yang sulit diatasi. Perlu pendekatan halus dan intens agar orangtua mengizinkan sang buah hati diimunisasi.
Diperlukan keteguhan hati dari para petugas agar imunisasi berjalan sukses.
Ketua Posyandu di Kelurahan Sangkrah, Asih Sri Wahyuni bercerita, salah satu strategi khusus yang ditempuh adalah membangun komunikasi informal yang baik dengan ibu dari bayi sasaran imunisasi.
Mereka menolak karena takut dengan suaminya yang menganggap imunisasi haram.
Setelah komunikasi terbangun baik, seringkali ibu dari bayi mencurahkan isi hatinya bahwa penolakan imunisasi sebenarnya paksaan dari suami.
Pada titik inilah Asih meyakinkan bahwa imunisasi aman dan sangat penting bagi masa depan buah hati. Bahkan bila memungkinkan, suami tidak perlu mengetahui sang buah hati telah diimunisasi. Cara ini pun seringkali sukses.
“Ada yang minta saya antar juga (untuk imunisasi). Ya saya bersedia membantu. Jadi, mereka menolak karena takut dengan suaminya yang menganggap imunisasi haram,” lanjut Asih.
Asih tidak memandang strategi ini sebagai kecurangan. Baginya, hal yang paling penting adalah sang anak mendapatkan perlindungan dari penyakit tertentu di masa depan.
Pandemi Covid-19 sedikit banyak mempengaruhi upaya menggencarkan imunisasi. Tetapi, banyak puskesmas yang mencari cara agar imunisasi tetap dapat berjalan tanpa terpengaruh pandemi.
Kepala UPT Puskesmas Sangkrah, drg. Nurul Hidayati mengakui, wabah membuat orangtua takut mendatangi fasilitas layanan kesehatan, termasuk puskesmas. Hal ini sempat menjadi faktor lain selain anggapan haram yang menyebabkan terhambatnya capaian imunisasi anak.
“Bagaimanapun, pandemi ini memengaruhi banyak hal, termasuk upaya pendekatan terhadap warga yang menolak imunisasi ini. Meski begitu, kami tetap berupaya semaksimal mungkin dengan memanfaatkan sumber daya yang ada,” ungkap Nurul.
Salah satu caranya adalah mendatangi langsung bayi sasaran imunisasi.
Cara ini dinilai sangat ampuh untuk mengejar capaian imunisasi. Terutama pada waktu posyandu diliburkan dari segala macam kegiatan atas alasan meminimalisasi penularan virus.
“Solusinya, petugas kami mendekat. Kami sempat door-to-door untuk imunisasi, kemudian mendatangi posyandu ketika sudah dibuka lagi. Sambil kami sampaikan ke warga bahwa pelayanan sakit dan sehat di puskesmas sudah dipisah,” ujar dia.
Anggapan cairan imunisasi mengandung zat pada babi, tidak sepenuhnya benar. Tetapi tidak sepenuhnya salah pula.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Solo, dr. Hari Wahyu Nugroho, Sp.A (K) mengungkapkan, beberapa jenis imunisasi anak memang menggunakan enzim tripsin dalam proses produksinya.
Enzim tripsin bersumber dari sistem pencernaan mamalia. Biasanya diambil dari pankreas babi.
Tetapi yang perlu ditekankan, enzim tripsin bukanlah bahan baku utama vaksin. Enzim tripsin hanya digunakan pada tahapan di hulu saja.
Hari memaparkan, enzim tripsi berfungsi sebagai katalisator memecah protein menjadi peptida dan asam amino. Zat ini adalah bahan makanan bagi kuman atau virus yang akan dijadikan bahan utama vaksin.
Dalam proses pembiakkan ini, kuman atau virus kemudian difermentasi. Selanjutnya, diambil polisakarida dari tubuhnya sebagai unsur utama pembentuk vaksin.
Terakhir, unsur yang bersifat antigen itu akan melalui proses purifikasi dan ultrafiltrasi. Pada proses ini, unsur tersebut diencerkan hingga tingkat 1/67,5 miliar kali sampai terbentuk produk vaksin.
Dulu pernah ada penelitian dari MUI untuk lebih meyakinkan, vaksin yang sudah jadi diminta untuk diperiksa, apakah masih ada DNA babi atau tidak? Hasilnya tidak ada.
"Jadi, enzim tripsin itu tidak masuk ke dalam vaksinnya," papar Hari, Sabtu (19/3/2022).
"Dulu pernah ada penelitian dari MUI untuk lebih meyakinkan, vaksin yang sudah jadi diminta untuk diperiksa, apakah masih ada DNA babi atau tidak? Hasilnya tidak ada," lanjut dia.
Merujuk pada tahapan produksi vaksin tersebut, Hari pun mempunyai analogi yang mungkin dapat meluruskan sesat paham segelintir otangtua tentang vaksin mengandung babi.
Ia mengibaratkan enzim tripsin adalah jaring ikan yang terbuat dari kulit babi. Sementara, belum ada jaring berbahan lain yang tersedia sehingga jaring itulah yang mau tidak mau dipakai.
“Lantas, pertanyaannya apakah ikan lele yang kita tangkap dengan jaring itu menjadi halal atau haram untuk dimakan? Ini analogi untuk menjelaskan proses produksi vaksin,” ungkap Hari.
Oleh sebab itu, IDAI mendorong orangtua untuk mempelajari terlebih dahulu soal imunisasi sebelum menolaknya. Apalagi, belum belum sudah melabeli imunisasi itu haram.
Lagipula, lanjut Hari, tak seluruh jenis imunisasi yang diperuntukkan sebagai imunisasi dasar anak memanfaatkan enzim tripsin dalam proses persiapan produksinya.
Jenis imunisasi yang dibuat dengan menggunakan enzim itu hanya polio serta measles dan rubella (MR).
“Sayangnya, ada masyarakat kita yang membabi buta, menolak semua vaksin dengan alasan bersinggungan dengan enzim dari babi. Padahal tidak begitu,” jelas dia.
Hari sempat beberapa kali mendatangi komunitas masyarakat di Solo yang masih menolak imunisasi. Dia terkejut ketika mereka mengatakan, menerima imunisasi bisa mengurangi ketahuhidan.
“Saya tanya, ‘kenapa sampai begitu?’. Dijawab mereka, ‘karena kami jadi percaya bahwa kami sehat, tidak kena penyakit itu karena vaksin, bukan karena Allah’. Saya kehabisan kata-kata juga untuk menjawab pernyataan seperti itu,” tutur dia.
IDAI Solo bersama pemerintah kota setempat sempat mengundang beberapa tokoh agama yang ditengarai mengampanyekan penolakan imunisasi. Sayangnya, tak ada satu pun yang merespons undangan tersebut.
Selain itu, Hari sering mendengar banyak orangtua yang menolak imunisasi beralasan bahwa anak-anaknya terlihat sehat-sehat saja meski tidak divaksinasi.
Secara medis, hal itu memang bisa terjadi karena lingkungan sekitarnya telah diimunisasi atau mencapai herd immunity.
Namun, Hari berpendapat, tindakan semacam itu kurang tepat dilakukan oleh para orangtua apabila memang ingin memberikan perlindungan terbaik untuk buah hatinya.
“Sayangnya di Solo ini kondisinya perlu menjadi perhatian dan harus diperjuangkan terus karena yang menolak imunisasi cenderung ngumpul jadi satu (berada dalam satu kawasan). Nah, mereka jadi lebih rentan terkena penyakit,” tutur dia.
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo Abdul Kholiq Hasan menegaskan, MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi.
Bagian awal fatwa itu memang menyatakan, imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci. Sementara, imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis, hukumnya adalah haram.
Kadang orang-orang suka memotong sampai di awalnya saja, imunisasi dengan vaksin yang haram atau najis hukumnya adalah haram. Padahal ada kelanjutannya. Ini yang jadi masalah.
Tetapi, fatwa itu tidak putus sampai di situ saja. Masih ada kelanjutannya.
Fatwa itu juga menunjukkan, imunisasi dengan vaksin haram dan/atau najis tidak dibolehkan kecuali digunakan dalam kondisi al-dlarurat dan al-hajat.
Al-dlarurat adalah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi, dapat mengancam jiwa manusia.
Sedangkan, al-hajat adalah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi, maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.
“Nah, kadang orang-orang suka memotong sampai di awalnya saja, imunisasi dengan vaksin yang haram atau najis hukumnya adalah haram. Padahal ada kelanjutannya. Ini yang jadi masalah,” ungkap Kholiq.
Merujuk fatwa yang sama, dijelaskan pula vaksin haram tidak boleh digunakan selama belum ditemukan vaksin yang halal dan suci, serta adanya keterangan pihak berkompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.
Bahkan, di dalam fatwa itu telah ditegaskan, apabila seorang ahli dan pihak yang dapat dipercaya mengatakan bahwa tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, maka imunisasi hukumnya wajib.
MUI juga menerbitkan Fatwa Nomor 33 tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR (Measles Rubella) Produk dari SII (Serum Intitute of India) untuk Imunisasi.
Memiliki format yang sama seperti Fatwa 4/2016, bagian awal Fatwa 33/2018 juga tertulis bahwa vaksin MR produk SII hukumnya haram karena dalam produksinya memanfaatkan bahan yang berasal dari babi.
Tetapi, Dosen Pascasarjana UIN Raden Mas Said Surakarta itu memandang, penggunaan vaksin MR produk dari SII sampai sekarang diperbolehkan atau mubah.
Sebab, ada kondisi keterpaksaan (dlarurat syar’iyyah), belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci.
Selain itu, ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dapat dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal.
“Hal ini yang menurut saya perlu terus disampaikan ke banyak pihak. Kalau perlu, diadakan dialog. Kadang itu kan teman-teman yang agak kenceng (keras), bersikap sepihak, tak mau mendiskusikan. Menganggap vaksin haram, ya sudah tidak mau,” ungkap dia.
Padahal, kata Kholiq, imunisasi ini penting diperoleh anak-anak untuk menjadikan tubuh mereka kebal dari penyakit atau tetap sehat dan kuat.
Wali Kota Jambi, Syarif Fasha siap tanggung dosa jika Vaksin Measles-Rubella (MR) haram. Wali Kota Jambi nilai penanganan campak dan rubella di Jambi lamban cakupan imunisasi di Jambi baru 33 persen. Sementara, MUI telah perbolehkan Vaksin MR. pic.twitter.com/cQDT5Fz9DY
— KOMPAS TV (@KompasTV) September 18, 2018
Kholiq melanjutkan, salah satu pegangan soal vaksinasi yang masih diproses dengan bahan haram adalah pandangan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid.
Ia adalah imam masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota Khobar, Arab Saudi.
Syaikh Muhammad Shalih pernah menyampaikan pendapat bahwa vaksin yang di dalamnya terdapat bahan haram atau najis tetap boleh dikonsumsi apabila telah melalui proses kimia atau ditambahkan bahan lain sehingga mengubah nama dan sifat karakternya.
Proses ini dikenal dengan istihalah, yakni perubahan wujud suatu benda dari satu bentuk dengan sifatnya menjadi bentuk lain dan dengan sifat yang berubah juga.
Beberapa kali pengalaman saya, setelah adanya dialog, akhirnya mereka mau (menerima imunisasi). Yang terpenting itu siapa saja mau terbuka.
Perubahan wujud benda bukan hanya dapat diawali dari benda haram lalu menjadi halal, namun bisa juga sebaliknya, dari halal ke haram.
Sebagai contoh, buah anggur yang pada awalnya adalah halal atau suci, tetapi ketika diubah melalui proses menjadi alkohol, maka itu bisa berubah menjadi haram.
Pada kasus ini, vaksin telah bersinggunggan dengan benda haram kemudian dicuci bersih jutaan kali sehingga pada akhirnya terbentuk vaksin yang terbebas dari zat haram.
Kholiq menyampaikan, dalam bab fikh, ada juga istilah istihlak. Istihlak adalah bercampurnya benda najis atau haram pada benda yang suci sehingga mengalahkan sifat najis, baik rasa, warna, dan baunya.
“Logikanya kalau dalam mahzab safii, taruhlah di bak mandi kita terkena najis. Kemudian, airnya dipenuhi air bersih, maka jadi melebur, yang najis dikalahkan. Nah itu logika fikh semacam itu,” terang dia.
Kholiq pun menegaskan, MUI Solo sangat siap apabila Pemkot Solo atau unsur masyarakat ingin mensosialisasikan imunisasi anak.
Berdasarkan pengalaman pernah turun ke lapangan, Kholiq melihat ada beberapa penyebab masyarakat menolak imunisasi dengan anggapan haram. Salah satunya adalah mengikuti pandangan ustaz mereka dan kurang tabayyun ketika menerima informasi dari luar, terutama dari media sosial.
“Masyarakat ini beragam. Ada yang menolak karena bentuk keyakinan dengan pendapat ustaznya. Tetapi, beberapa kali pengalaman saya, setelah adanya dialog, akhirnya mereka mau (menerima imunisasi). Yang terpenting itu siapa saja mau terbuka. Kami juga mau menyapa dengan baik,” ungkap dia.
Disinggung tentang masih adanya vaksin imunisasi yang belum dilengkapi label halal MUI, Kholiq berpendapat, hal itu memang tidak bisa dipaksanakan.
Apabila memang vaksin itu belum 100 persen halal, MUI tidak akan memberikan label halal.
“Label halal itu kan diberikan apabila dari proses sampai akhir suatu produk tak ada unsur keharamannya. Kalau misalnya vaksin haram karena ada unsurnya itu (enzim babi) lalu dilabeli halal kan jadi masalah,” kata Kholiq.
Namun, dia menegaskan kembali, bahwa persoalan penggunaan imunisasi ini bukan hanya terkait halal dan haram, melainkan ada pertimbangan lain soal kedaruratan.
Sebagaimana fatwa MUI dan pandangan para ulama besar, semestinya umat Islam tak perlu lagi mendebat tentang imunisasi anak.
“Jika sudah ditemukan bahan pengganti dari bahan yang halal, maka hukum penggunaan bahan haram itu jelas adalah haram. Tidak ada lagi darurat. Oleh sebab itu, kami berharap para ahli terus mengkaji sehingga seluruh vaksin bisa terbuat dari bahan yang halal,” ungkap Kholiq.