JEO - Insight

Skizofrenia Tak Berarti Vonis Pasungan, Terlantar di Jalanan, apalagi Hilang dalam Keberadaan

Rabu, 9 Oktober 2019 | 20:57 WIB
Penderita yang terlantar di jalanan atau dipasung pada dasarnya punya situasi yang sama, tertolak oleh keluarga dan atau masyarakatnya. Padahal, dengan pemahaman dan penanganan yang tepat, penderita skizofrenia sekalipun terbukti punya kontribusi besar bagi kemanusiaan.
 
Ini fakta kontradiktif perilaku masyarakat kita menyikapi orang-orang dengan gangguan kesehatan jiwa. Namun, ini juga catatan dari sebagian mereka yang bangkit dan menjadi penyintas gangguan kesehatan jiwa, tertuang pada bagian terakhir tulisan.

 
JOHN Forbes Nash Jr membuktikan, skizofrenia tak menghalangi kontribusinya sebagai manusia bagi ilmu pengetahuan.
 
Namun, bukan hanya dia yang berdaya sebagai penyintas skizofrenia. Di sekitar kita pun ada, meski bukan Nobel atau Abel Prize capaian mereka.
 

Baca juga: Bercermin dari Joker, John Nash, dan 13 Reasons Why soal Kita dan Kesehatan Jiwa

 
Faktanya, masih saja ada orang dengan gangguan kesehatan jiwa hidup menggelandang. Ada banyak kasus pula orang dengan gangguan kesehatan jiwa hidup dalam pasungan.

Berdasarkan data Riset Dasar Kesehatan 2018 yang dilansir Kementerian Kesehatan,  masih ada ratusan ribu rumah tangga di Indonesia yang memiliki anggota rumah tangga menderita skizoprenia, sebagaimana infografik interaktif berikut ini:

Loading...

 

Sebagai pembanding, Global Health Exchange pada 2017 melansir data prevalensi penderita gangguan mental dan gangguan jiwa per negara, termasuk Indonesia. Datanya seperti terlihat pada grafik berikut ini:

Prevalensi Gangguan Jiwa Per Jenis - (LITBANG KOMPAS)

Bersamaan, kisah-kisah tentang praktik pemasungan juga masih terus bermunculan. Berdasarkan pemberitaan Kompas.com setidaknya dalam kurun lima tahun terakhir, kasus-kasus ini masih saja terjadi bahkan dalam kurun sebulan terakhir.

Salah satunya, bocah 12 tahun dipaksa hidup di kandang ayam bahkan pernah dikubur dengan dalih upaya pengobatan karena berkelakuan "beda" di Pamekasan, Jawa Timur.

Dari Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, dua penderita skizofrenia pun mengalami pemasungan oleh warga setempat. 

Baca juga: Pakai Psikoterapi Rukiah, Ponpes Ini Bisa Sembuhkan Ratusan Orang Gila

Praktik pemasungan ini pun menjadi temuan dari Riset Dasar Kesehatan 2018 Kementerian Kesehatan. Meskipun, lagi-lagi data pada riset ini merujuk kepada rumah tangga dengan anggota keluarga menderita skizofrenia, bukan data orang per orang penderita.

Prevalensi Praktik Pemasungan Penderita Skizofrenia Berbasis Rumah Tangga - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Masih terus adanya kasus pemasungan terasa kontradiktif ketika survei Litbang Kompas mendapati 59,8 persen dari 535 responden menyatakan mau menerima penderita gangguan jiwa di lingkungan mereka.

TERJEBAK MITOS
DAN KETIDAKPAHAMAN

KETIDAKPAHAMAN. Dalam banyak persoalan, ini adalah akar masalahnya. Lalu, terbitlah mitos. Menyusul kemudian, salah kaprah, pembiaran, bahkan kesengajaan menyikapi.

Ini juga yang dihadapi skizofrenia dan para penderitanya. Bukan hal aneh ketika penderita skizofrenia dianggap terkena guna-guna, misalnya. 

Anggapan tersebut muncul karena halusinasi dan isi pikiran yang tak sesuai kenyataan (waham) merupakan bagian dari gejala skizofrenia. 

Sederhananya, penderita skizofrenia ibarat hidup di dalam dinding ilusi. Penderita terpisah dengan realita.

Baca juga: Pasien Gangguan Jiwa Sering Dikira Kena "Guna-guna"

Padahal, skizofrenia sejatinya bisa diobati. Peran keluarga penting dalam pengobatan dan penanganan penderita skizofrenia. 

Karena, tak boleh dimungkiri pula, skizofrenia memang bisa kambuh dan sejumlah gejala tidak sepenuhnya hilang seperti dalam kasus penerima Nobel Ekonomi 1994, John Nash.

Salah satu faktor penyebab kekambuhan skizofrenia juga adalah kurangnya dukungan keluarga. Terlebih lagi, di luar faktor genetik ada juga masalah trauma dan hal-hal lain seperti tekanan hidup yang dapat menjadi pemicu skizofrenia.

Baca juga: Ini yang Sebabkan Gejala Skizofrenia Kambuh

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang bisa terjadi pada siapa pun. Pasien skizofrenia mengalami gangguan otak yang kronis, sehingga kesulitan memroses pikirannya.

 

Gejala skizofrenia mulai dari berhalusinasi, waham atau keyakinan yang salah, suka marah-marah, kehilangan minat dan motivasi, hingga menarik diri dari lingkungan.

Nah, gejala skizofrenia itu dapat dikendalikan dengan pemberian obat dan terapi yang tepat. Namun, gejala bisa saja kambuh karena berbagai faktor.

Semakin cepat terdeteksi dan tertangani, efek dari gejala-gejala skizofrenia bisa diminiminalkan sehingga penderita tetap dapat berdaya bahkan membuat karya.

Baca juga: Jangan Halangi Pasien Gangguan Jiwa Jalani Pengobatan

Penelitian yang dilansir di Science edisi 8 Februari 2018 mendapati, pola ekspresi gen di otak penderita skizofrenia dan bipolar ternyata punya kemiripan dengan penyandang autis.

Di antara kesamaan yang ditemui adalah pengaktifan astrosit dan penekanan gen yang ada pada sinaps, percabangan di antara neuron.

Individu dengan kondisi seperti itu cenderung punya gangguan dalam kemampuan bahasa, mudah tersinggung, dan agresif. Pengidap tiga kelainan tersebut juga menunjukkan adanya variasi genetik tertentu.

Baca juga: Autis, Bipolar, dan Skizofrenia Ternyata Punya Kemiripan Gen

Mitos dan Fakta Skizofrenia - (KOMPAS.com/DHAWAM PAMBUDI)

KISAH DAN HARAPAN
PARA PENYINTAS

JOHN Nash jelas bukan satu-satunya penyintas skizofrenia yang pernah ada. Para penyintas ini juga datang dari segala kalangan, seperti halnya risiko gangguan kesehatan jiwa yang bisa terjadi pada siapa saja pula, termasuk kita.

SHUTTERSTOCK/STUNNING ART
Ilustrasi penderita skizofrenia

Dari Kota Bandung, Jawa Barat, misalnya, ada Widya (42 tahun, nama samaran). Jejak skizofrenia yang masih tampak di dirinya sekarang adalah gerak kaki yang terlihat berat. 

Namun, bukan berkurangnya fungsi motorik yang paling menyusahkan Widya. 

“(Dulu), saya tidak bisa tidur. Orang-orang bilang saya seperti zombie. Tapi saya tidak sadar. Malah, dalam  pandangan saya, orang-orang yang terlihat seperti mayat hidup. Matanya cekung hitam,” tutur dia sembari tertawa. 

Sekarang, Widya bisa menceritakan itu dengan tertawa. Namun, saat menjalaninya dulu, kekhawatiran dan delusi adalah temannya sehari-hari. Tidak ada ketenangan. 

Menurut Widya, gejala skizofrenia menyeruak setelah ayahnya meninggal pada 2012. Kehilangan sang ayah dia akui membuatnya sangat terpukul. 

Peran ayah begitu besar dalam hidupnya dari kecil. Setiap ada masalah, ayahnya menjadi tempat bercerita dan berkeluh kesah.

“Saat papa meninggal, saya merasa ingin mati. Saya ingin ikut bersama papa. Bahkan, dalam shalat saya, saya berdoa untuk pergi bersama beliau. Dalam kondisi itu, saya merasa hilang,” tutur Widya.

Sejak itu, dia mulai merasakan delusi atau waham. Setiap saat Widya selalu merasa diawasi dan digunjingkan oleh rekan-rekan kerjanya. Padahal, teman-temannya itu tidak sedang memperbincangkannya.

“Saya bahkan dibilang jauh dari agama. Padahal, saat saya dalam kondisi itu, saya selalu istighfar.”

Bisikan-bisikan yang mendorong dia untuk bunuh diri kian nyata dan menghantui. Saat itu, dia bekerja sebagai staf di salah satu sekolah di Bandung.

“Pernah suatu ketika, saya sengaja pulang bersama anak saya yang juga bersekolah di sana. Saya merasa orang-orang mau menjahati kami, padahal tidak ada apa-apa,” ujar dia.
 
Kondisi ini berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Suami Widya sempat membawanya ke pemuka agama untuk mendapatkan ketenangan batin, tetapi hasilnya nihil.
 
“Saya bahkan dibilang jauh dari agama. Padahal, saat saya dalam kondisi itu, saya selalu istighfar,” kenang Widya.
 
Delusinya semakin menjadi. Dia menganggap anak dan suaminya bukan manusia, tetapi makhluk jahat yang menyerupai keluarganya.
 
“Anak saya sampai menangis. Di sana saya sadar, ada yang tidak beres dengan diri ini. Saya memutuskan berkonsultasi di Poli Kejiwaan, sekitar pertengahan 2013. Di sana, saya divonis mengidap skizofrenia.”
 
Widya menjalani pengobatan sendirian. Tidak ada dukungan penuh dari suami dan keluarga besar. Padahal, dia sudah memberitahukan gangguan tersebut kepada keluarganya.
 
Karena tidak ada yang mendampingi, konsultasi dan pengobatannya tidak berjalan dengan maksimal.
 
“Bayangkan saja, saya berobat sendiri. Suami hanya menunggu dari luar. Padahal, harus ada pendamping sehingga konsultasi berjalan dengan baik, karena saya tidak bisa mengendalikan informasi yang masuk ke kepala. Di sana, saya merasa kerdil,” ujar Widya.
 

Demi anak

 
Tanpa pendampingan, pengobatan Widya tidak optimal tidak hanya karena konsumsi yang tak teratur tetapi juga obat pun tidak berdasarkan resep dokter. Kondisi ini dia jalani hingga empat tahun setelah dinyatakan skizofrenia.
 
“Empat tahun yang sangat melelahkan. Bisikan halusinasi hampir saya rasakan setiap hari. Saya sering merasa diikuti, padahal tidak ada yang menguntit. Saya hanya minum obat kalau mulai pusing. Tidur malam pun jarang. Saya benar-benar seperti mayat hidup,” ujarnya.
 
Kondisi itu pun berdampak pada kesehatan tubuhnya. Widya sering merasa tidak enak badan. Kepala berat dan tidak semangat beraktivitas. Bahkan, kaki sebelah kiri menjadi berat digerakkan sampai terlihat terseret. 
 
Hanya ada satu motivasi terbesarnya untuk tetap melawan agar tidak terlalu tenggelam dengan delusi tersebut, yaitu kehidupan kedua anaknya.
 
Bisikan waham yang datang tidak boleh dihindari. Seharusnya, bisikian tersebut dilawan dengan logika berpikir.
 
“Saya merasa diikuti, meresa dibisiki hampir setiap hari. Namun, saya terus melawannya. Semua bayangan dan bisikan itu tidak saya hiraukan. Yang penting anak-anak menganggap saya tidak apa-apa,” ujarnya.
 
Pertengahan 2017 menjadi titik balik bagi Widya. Ternyata, tekanan di pekerjaan dan merasa diabaikan oleh keluarga menjadi pemicu terbesar delusinya. Dia memutuskan berhenti dari pekerjaan dan berpisah dengan suaminya.
 
Setelah itu, Widya melakukan hal yang dia sukai, yaitu menulis artikel-artikel di forum daring. Yang dia tuliskan jauh dari pengalaman atau delusi yang sering mengganggunya.
 
Widya lebih suka menyalurkannya dengan tulisan artikel motivasi dan artikel perjalanannya ke beberapa destinasi.
 
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Widya memilih menjadi staf administrasi di sebuah kantor notaris.
 
Namun,  penyesuaian ulang di awal pekerjaan sempat membuatnya relaps pada 2018. Relaps adalah kondisi saat gejala-gejala waham kembali muncul dan mengganggu aktivitas penyintas.
 
Bedanya, pada 2018 itu dia sudah mendapatkan dukungan dari organisasi yang menaungi penyintas skizofrenia, yaitu Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bandung.
 
Setelah mendapatkan konsultasi di KPSI, Widya menyadari, bisikan waham yang datang tidak boleh dihindari. Seharusnya, bisikian tersebut dilawan dengan logika berpikir.
 
“Saya jadi sering bertanya ke diri sendiri, bukan menafikkan. Benarkah orang tersebut meledek saya? Memangnya saya kenal? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang bisa mengurangi delusi. Kalau kita menghindari orang-orang, artinya kita sepakat dengan waham itu. Semua jadi semakin buruk,” tuturnya.

Peran pendamping

Meskipun bisa menjalani sendirian, Widya menyayangkan masa lalunya yang menjalani delusi tanpa pendamping.
 
WIdya mengaku beruntung bahwa motivasi untuk bisa merawat anak-anak membuat dia tetap bertahan dari delusi.
 
“Kalau saya tidak memikirkan anak, saya tidak tahu lagi masih bisa bertahan atau tidak,” ungkap Widya.

Berbeda dengan Widya, Ardi (32), penyintas dari Cijerah, Bandung, mendapatkan dukungan penuh dari keluarga saat divonis skizofrenia pada 2011.
SHUTTERSTOCK/LIGHTSPRING
Ilustrasi skizofrenia.

Saat itu, Ardi merasa diintimidasi dan dihina karena belum mendapatkan pekerjaan  setelah lulus kuliah pada 2010.

 
“Pernah ada anak-anak yang bermain di depan rumah saya, tertawa. Saya merasa, mereka menghina saya yang selalu menangis karena merasa tidak berguna. Pokoknya hidup tidak tenang,” ujar Ardi.
 
Sang ibu yang pertama melihat gelagat tidak beres Ardi dan memutuskan berkonsultasi di Rumah Sakit Jiwa Islam Klender, Jakarta Timur. Pada tahun itu juga, Ardi mendapatkan diagnosa skizofrenia.
 
“Di sana, saya selalu ditemani ibu dalam pengobatan. Selain itu, keluarga, termasuk ayah saya, selalu melihat perubahan dalam diri. Ketika (saya) tenang, dia mengapresiasi perubahan diri saya,” tutur Ardi.
 
Bagi Ardi, sosok Ibu sebagai pendamping sangat dibutuhkan. Bahkan, saat bekerja di Bandung, dia harus pulang paling tidak tiga kali dalam sebulan.
 
“Saya tidak bisa kalau tidak bertemu dengan ibu. Kemarin saya sempat tidak bisa pulang karena ada tugas. Akhirnya halusinasi muncul kembali, seperti ada perempuan yang teriak di kamar kos saya,” kata dia.
 

Harapan penyintas

 
Kondisi kejiwaan yang berbeda ini membuat para penyintas berharap lingkungan bisa menerima kekurangan mereka. Mereka masih khawatir dikucilkan lingkungan karena stigma skizofrenia adalah gangguan jiwa yang membahayakan dan mengganggu aktivitas.
 
Karena alasan tersebut, baik Widya maupun Ardi sengaja tidak sembarangan membuka kondisinya ke lingkungan luar. Hal ini juga membuat mereka menggunakan nama samaran saat bersedia menerima wawancara ini.
 
“Cukup Ardi saja, saya tidak ingin orang-orang tahu saya skizofrenia,. Posisi saya di pekerjaan bisa terancam,” ujar Ardi yang sekarang bekerja sebagai guru.
 
Pilihan menutupi kondisi kesehatan kejiwaan ini bukan tanpa risiko. Mereka kerap kesulitan jika mendapatkan tuntutan yang sama dengan orang lain dalam kondisi kejiwaan pada umumnya.
 
Pernah merasakan pekatnya hidup dalam dilusi, para penyintas tidak ingin hilang dalam keberadaan. 
 
Ardi mencontohkan, dia butuh waktu hingga satu minggu untuk mengoreksi tugas dari para siswanya, sementara koleganya bisa merampungkan pekerjaan yang sama dalam waktu dua hari.
 
“Kami menamakan itu mental block. Jadi merasa cepat lelah dan merasa tidak sanggup. Kalau manusia menganggap itu berjalan, kami menganggap itu berlari. Saya juga ingin menyelesaikan tugas seperti orang lain tetapi itu sulit," ungkap Ardi.
 
Di sinilah, kata Ardi, para penyintas butuh pendampingan, termasuk dari masyarakat dan lingkungan, agar potensi mereka tak terkendala kondisi kesehatan jiwa itu.
 
Paling tidak, harap Ardi, stigma masyarakat tentang skizofrenia bisa hilang agar mereka bisa diterima dengan segala keterbatasannya.
 
“Kalau sudah berobat dan terapi, kami bisa beraktivitas seperti orang-orang pada umumnya. Tetapi, kami tetap masuk dalam kategori disabilitas. Kami butuh bantuan untuk menjaga pikiran tidak relaps lagi,” kata dia.
 
Bila penerimaan itu memang ada, Widya dan Ardi pun berharap tak perlu lagi menutupi keadaan mereka seolah mereka manusia berbeda. 
 
Sembari merapikan meja dan bersiap pergi, Widya mengutarakan optimismenya bahwa penyintas skizofrenia bisa hidup berdampingan dengan lingkungan tanpa dibeda-bedakan.
 
Pernah merasakan pekatnya hidup dalam dilusi, mereka tidak ingin hilang dalam keberadaan. Di luar sana, ada juga orang-orang dengan perjalanan serupa yang juga mampu membuktikan ke dunia bangkit dan berkontribusi bagi kehidupan dan kemanusiaan.
 
Maukah kita ikut menjadi jalan terang bagi orang-orang ini?
 

Tulisan JEO ini adalah bagian dari rangkaian tulisan kerja bareng Kompas.com, harian Kompas, Kompas TV, dan Kontan, bertajuk Voice for Voiceless. Analisis dari Litbang Kompas juga dapat dibaca di Kompas.id.

Ikuti rangkaian pemberitaan terkait topik orang dengan gangguan jiwa di Kompas.com lewat liputan khusus Peduli Kesehatan Jiwa.

Artikel terkait tips menjaga kesehatan jiwa, pengenalan gelagat awal gangguan kesehatan jiwa, kasus-kasus terkini yang terkait dengan gangguan kesehatan jiwa, serta beragam mitos terkait kesehatan jiwa dapat dikulik dalam lipsus ini.

Liputan dengan topik yang sama tayang di harian Kompas dan Kontan sejak Senin (7/9/2019). Adapun Kompas TV menayangkan hasil liputan Jangan Pasung Saya di Berkas Kompas edisi Selasa (8/9/2019).