JEO - Insight

Tradisi Natal
dan Maknanya:
Dari Pohon Natal
sampai Pandemi

Kamis, 24 Desember 2020 | 14:21 WIB

Tradisi cenderung ikut melekat dalam setiap hari raya keagamaan, tak terkecuali Natal. Tidak berdosa apabila tidak menjalankannya, meski mungkin jadi ada yang terasa kurang.

Sebaliknya, semata buta menjalankan tradisi bisa juga berbahaya bagi iman. Kita bisa kehilangan makna bahkan menyalahi dogma.

δ

SEBAGAIMANA memperingati sebuah peristiwa kelahiran, Natal kerap kali disambut gemerlap dan gegap gempita oleh umat Kristen sedunia.

Lampu kerlap-kerlip dipasang, pohon Natal didirikan, musik dialunkan, makanan-makanan beraroma lezat disajikan, kado-kado dibagikan.

Hingar bingar perayaan Natal seperti ini terus berlanjut dari tahun ke tahun dan menjadi tradisi bagi umat Kristen. Hampir tak muncul pertanyaan tentang semua kebiasaan itu.

Lantas, apa kata gereja atas tradisi ini? Dan yang paling penting, adakah makna dari tradisi yang selama ini kita kenal itu? 

Loading...


 TRADISI NATAL 

DIKUTIP dari Direktorium Kesalehan Umat dan Liturgi Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), tradisi perayaan Natal rupanya justru bersifat reflektif dan personal. 

 Lingkaran Adven 

SHUTTERSTOCK/FLOYDINE
Ilustrasi lingkaran Adven

Lingkaran Adven adalah memasang empat lilin pada daun-daun hijau yang dirangkai berbentuk lingkaran.

Dalam gereja Katolik dikenal pula masa Adven, yakni masa satu bulan persiapan umat menjelang perayaan Natal. 

Pada pekan pertama masa Adven, umat menyalakan lilin pertama pada rangkaian daun-daun hijau.

Lalu, pada pekan kedua dilanjutkan dengan penyalaan lilin kedua. Hal serupa dilakukan hingga pekan terakhir, tepatnya pada setiap 24 Desember malam, sehari sebelum Natal.

Setiap kali lilin dinyalakan, umat dapat mengiringinya dengan doa atau pembacaan Kitab Suci, khususnya mengenai sejarah keselamatan yang terjadi sebelum kelahiran Yesus.

 Novena Natal 

Novena Natal merupakan salah satu ungkapan kesalehan dan keimanan umat Kristen kepada Yesus Kristus.

Novena Natal terdiri dari serangkaian doa yang dipanjatkan sembilan kali berturut-turut, dilakukan pada setiap kurun 17-23 Desember.

Ini bisa dan dilakukan di gereja atau bersama keluarga. Periode waktu tersebut ditetapkan karena merupakan hari-hari terdekat menjelang perayaan Natal.

Dengan Novena Natal, umat Katolik diharapkan semakin dipersiapkan imannya untuk menerima kedatangan Yesus.

 Kandang natal 

Kandang natal adalah miniatur kandang domba tempat Yesus Kristus dilahirkan. Miniatur simbolis ini biasa diletakkan di gereja dan di rumah.

SHUTTERSTOCK/ALEXANDER HOFFMAN
Ilustrasi kandang natal

Terdapat sejumlah unsur dalam Kandang Natal itu. Beberapa di antaranya adalah patung-patung Bunda Maria, Yosef, bayi Yesus yang terbaring di atas tumpukan jerami, domba, lembu, keledai dan tiga orang Majus yang datang mengunjungi Yesus.

Tradisi pembuatan kandang natal ini menurut catatan gereja dimulai pertama kali oleh Fransiskus Asisi saat merayakan Natal di Greccio, salah satu kota di Italia, pada abad ke-13.

Dalam praktik di Indonesia, kandang natal biasa dibuat pada saat memasuki masa adven.

 Pohon natal 

Pohon natal lazimnya adalah miniatur pohon cemara yang dihias dengan berbagai ornamen.

Ornamen yang jamak ada di pohon natal antara lain lampu kerlap-kerlip, hiasan berbentuk malaikat, kado-kado kecil, dan bintang kejora yang dipasang di pucuk pohon. 

PEXELS/OLEG ZAICEV
Ilustrasi pohon natal.

Tradisi pendirian pohon natal ini diperkirakan dipraktikkan pertama kali oleh umat Kristen di Eropa pada abad ke-17.

Menjelang Natal, wilayah itu memasuki musim dingin, sehingga satu-satunya pohon yang masih memiliki daun adalah cemara. 

Karenanya, mereka mulai menghias pohon cemara dengan lampu agar tampak meriah. Tradisi ini kemudian diteruskan dan menyebar ke seluruh dunia hingga saat ini.

 Perjamuan natal 

SHUTTERSTOCK/ODUA IMAGES
Ilustrasi perjamuan natal

Perjamuan natal secara sederhana dapat diartikan sebagai momen kumpul seluruh anggota keluarga.

Tuan rumah dibantu anggota keluarga yang lain menyediakan aneka ragam makanan untuk disantap bersama-sama.

Namun, tidak menutup kemungkinan apabila ada anggota keluarga yang membawa makanan untuk juga disantap bersama-sama di meja makan.

Perjamuan ini tidak lupa pula didahului pemanjatan doa. Bahkan, di beberapa negara ada yang menambahkan rangkaian perjamuan natal dengan sesi sharing di antara anggota keluarga.

Perjamuan natal dapat dimaknai sebagai ungkapan syukur atas karunia Tuhan di dalam keluarga.

 Bingkisan Epifani 

Bingkisan Epifani adalah pemberian kado atau hadiah. Kado atau hadiah ini dapat dibagikan kepada anggota keluarga atau kepada anak-anak miskin dan di panti asuhan.

Dalam praktiknya, di tengah keluarga dan di kalangan remaja, pemberian bingkisan ini jamak pula dimodifikasi dengan acara tukar kado.

SHUTTERSTOCK/DRAGON IMAGES
Ilustrasi memberikan kado Natal.

Tradisi pemberian kado ini merujuk pada tindakan tiga orang Majus—Baltasar, Kaspar, dan Melkior—yang memberikan bingkisan kepada Yesus yang baru saja lahir.

Namun, gereja Katolik mengingatkan bahwa tukar kado tetap harus mempertahankan ciri khas Kristiani.

Kado yang dipertukarkan hendaknya merupakan ungkapan tulus kesalehan umat, serta jauh dari kemewahan, unsur pamer, dan pemborosan.

 

 KATA GEREJA 

TRADISI Natal yang beraneka ragam dalam rangkaian panjang memang beririsan erat antara ritual dan budaya umat.

Apa kata gereja tentang tradisi ini? Bagaimana juga seruan gereja untuk perayaan Natal di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang?

 Kata KWI 

Sekretaris Komisi Liturgi Konferensi Wali Gereja Indonesia John Rusae menjelaskan, sebenarnya masih banyak lagi tradisi umat Katolik dalam merayakan Natal.

Gereja Katolik membagi tradisi perayaan Natal ke dalam tiga periode waktu. Pertama, sebelum hari raya Natal. Kedua, pada saat Natal. Ketiga, setelah perayaan Natal.

Gereja pun menyadari bahwa belum semua umat Katolik memahami tradisi Natal dengan baik, bahkan ada yang menyimpang. 

Tidak hanya yang berkaitan langsung dengan liturgi, tradisi itu juga membantu mendekatkan umat pada pemaknaan misteri Natal.

Salah satunya, keberadaan Sinterklas yang dirupakan sebagai  kakek berjanggut putih, berpakaian serba merah, dan memikul karung berisi hadiah untuk anak-anak.

Asal-usul Sinterklas menjadi salah satu perbincangan rutin menjelang Natal.

Berikut ini video petikan wawancara Kompas.com dengan John Rusae tentang tradisi Natal, dengan penjelasan dari soal pohon natal sampai Sinterklas tercakup di dalamnya:

Gereja Katolik mengingatkan, tradisi-tradisi itu hendaknya tidak dilaksanakan hanya untuk rutinitas. Harapannya, tradisi dijalankan umat semata demi mendekatkan kepada pemaknaan Natal yang sejati. 

“Misalnya apa? Dengan melihat kandang natal, kita melihat kesederhanaan, ketulusan. Diharapkan pun umat merayakan Natal dengan sederhana dan tulus,” ujar John.

Demikian pula pada tradisi pohon natal. Pohon natal yang dirangkai oleh seluruh anggota keluarga secara bersama-sama dapat dimaknai sebagai upaya membangun komunitas yang gemar  membantu sama lain.

John pun menyebut Natal kaya makna. Kelahiran Yesus, lanjut John, dapat dimaknai sebagai pemberian Allah yang paling berharga, yakni kehidupan.

Dia pun menyebut pemaknaan ini menjadi sangat relevan di situasi pandemi seperti sekarang. 

“Bayangkan, di situasi-situasi pandemi ini, membela kehidupan sama saja dengan kita mempraktikkan protokol kesehatan. Protokol kesehatan Covid-19 itu adalah suatu bentuk perwujudan dari menghormati dan membela kehidupan,”ujar John.

Karenanya, John pun mengajak umat untuk menghayati Natal termasuk dengan mempraktikkan ketat protokol kesehatan. 

"(Karena) dengan itu, kita menghormati dan membela nilai-nilai kehidupan,” ujar dia.  

Gereja Katolik juga berharap umat meningkatkan rasa solidaritas di tengah pandemi ini dengan membantu mereka yang kekurangan atau terdampak wabah.

 Kata PGI 

Tradisi Natal di kalangan umat Protestan tidak jauh berbeda dengan umat Katolik.

Dari pendirian pohon natal dan pernak-perniknya sampai doa pada 24 Desember, tradisinya relatif sama, dengan ketentuan lebih detail—terutama terkait ritual—dikembalikan kepada masing-masing gereja. 

Namun, tradisi yang paling populer di umat Protestan adalah berkumpul bersama keluarga besar usai melaksanakan ibadah malam Natal pada 24 Desember.

Hanya saja, pandemi Covid-19 bisa jadi bakal berdampak pada tradisi ini.

Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom meminta umat bersabar untuk sementara waktu, dengan tidak menggelar pertemuan keluarga besar. 

"Jadi, kalau christmas eve di rumah masing-masing silakan, tapi keluarga inti saja. Jangan dengan keluarga besar," ucap Gomar saat dihubungi Kompas.com, Selasa (22/12/2020).

KOMPAS.com/SANIA MASHABI
Ketua PGI Gomar Gultom Usai Bertemu Menko Polhukam, Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/2/2020)

Komunikasi dengan keluarga besar, lanjut Gomar, disarankan lewat layanan panggilan video yang sekarang bisa dilakukan melalui banyak platform

 

 NATAL 
 DALAM PANDEMI 

SHUTTERSTOCK/ADRIAVIDAL
Ilustrasi merayakan Natal secara virtual.

PANDEMI Covid-19 memang mengubah banyak tatanan, bahkan terkait perayaan hari besar keagamaan. Perayaan Natal pada 2020 pun berada di tengah pandemi yang belum tampak reda.

Direktur Medik RS PGI Cikini Jakarta, Inolyn Panjaitan, menyarankan umat tidak berkumpul, termasuk bersama keluarga besar, saat melaksanakan ibadah Natal 2020.

Jangan sampai, kata dia, ada risiko peningkatan kasus Covid-19 dari klaster keluarga.

Ia menyadari kondisi ini memang akan membuat Natal berlangsung berbeda dari biasanya. Sebab, perayaan Natal di Indonesia identik dengan kumpul keluarga dan makan bersama.

"Kami bukannya anti-keluarga, tetapi kalau boleh kumpul keluarga itu sangat diminimalkan. Kita online saja," kata Inolyn dalam konferensi pers di BNPB, Senin (21/12/2020).

Jika acara berkumpul benar-benar tak terhindarkan, Inolyn menyarankan semua yang datang disiplin mengenakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Makan dan minum bersama pun dia sarankan untuk dihindari.

Inolyn punya penjelasan. Makan bersama berarti membuat orang-orang membuka maskernya. Sebagai alternatif, dia menyarankan tradisi makan bersama diganti dengan penyiapan makanan dalam kotak untuk dibawa pulang.

"Kalau ada jamuan makan-minum setelah ibadah, sebaiknya (dikemas) dalam kotak saja. Jadi masing-masing bawa pulang saja, jangan makan bareng-bareng lagi," kata Inolyn.

Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom pun menyadari suasana Natal pada tahun ini akan berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Biasanya, Natal berlangsung dalam suasana meriah, contohnya saat ibadah malam Natal.

Pada saat itu, kata dia, seseorang yang biasanya jarang ke gereja juga pasti akan datang untuk menyambut suka cita Natal. Gereja pun menjadi membeludak.

"Tapi untuk tahun ini pasti akan berbeda. Kami sudah mengeluarkan imbauan agar gereja-gereja menyelenggarakan ibadah Natal secara virtual, orang bisa mengikuti dari rumahnya masing-masing," ucap dia.

Panduan Ibadah Natal dalam Pandemi - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

 Hikmah 

Menurut Gomar, ada dua hikmah yang bisa dipetik dari suasana Natal yang lebih sunyi dan jauh dari hingar bingar seperti pada tahun ini.

Hikhmah pertama, sebut Gomar, umat jadi kembali belajar tentang kesederhaan, seperti halnya kelahiran Yesus Kristus ke dunia.

"Dia datang menyapa umat manusia dalam kesederhanaan yang luar biasa. Dengan keadaan yang sekarang, kita tentu bisa merayakannya lebih sederhana," ucap Gomar.

Selain tentang kesederhaan, kata Gomar, hikmah lain yang bisa didapat dari suasana Natal tahun ini adalah semangat untuk merekatkan kembali hubungan dengan anggota keluarga inti.

"Ini sesuatu yang belum tentu bisa dilakukan pada Natal tahun-tahun sebelumnya," kata dia.

Lebih lanjut, Gomar menyebut perayaan Natal juga bisa jadi refleksi keprihatinan terhadap musibah Pandemi Covid-19 yang sudah hampir sepuluh bulan berlangsung di Indonesia.

"Jadi, daripada gemerlap lampu-lampu dan kemeriahan kemewahan Natal, lebih baik itu semua diwujudkan dalam bentuk kepedulian terhadap sesama yang banyak kurang beruntung akibat pandemi ini," kata Gomar.

 

 NATAL
 YANG BEDA...
 

Ilustrasi Natal - (SHUTTERSTOCK/IGOR ALEKS)

EDUWARD Ambarita (30) cukup bersedih pada perayaan Natal tahun ini. Pandemi Covid-19 membuat ia tidak bisa merayakannya bersama keluarga besar seperti tahun-tahun lalu.

Biasanya, setidaknya 30 anggota keluarganya berkumpul bersama di kediaman anggota keluarga tertua saat hari Natal.

Usai ibadah Natal di gereja HKBP, Edu—sapaan akrabnya—sekeluarga bergabung dengan anggota keluarga besar untuk saling mengucapkan selamat Natal dan makan bersama.

Khusus bagi anak-anak muda ada juga acara khusus yang ditunggu-tunggu di situ, yakni tukar kado.

“Ya di satu sisi bersyukur gue dan orangtua masih bisa merayakan Natal di tahun yang berat ini. Di sisi lain agak sedih juga karena Natal cuma sama keluarga di rumah, enggak bisa sama opung, tulang, dan namboru,” ujar Eduward kepada Kompas.com, Selasa (22/12/2020). 

Rencananya, demi melepas kerinduan berkumpul bersama-sama, Ia dan keluarga akan menggelar video call dengan keluarga lain. 

Sang ibunda juga telah bersiap mengirim makanan untuk sejumlah sanak keluarga. Meski tatap muka tidak ada penggantinya, kiriman makanan ini diharapkan mampu mengobati kerinduan satu sama lain.

Edu pun percaya masa sulit ini akan berakhir dan suatu saat ia bisa berkumpul lagi bersama keluarga besar.

δ

Sama seperti Edu, Birgitta Ajeng (30) merasakan Natal tahun ini lebih "sunyi" dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Dahulu, salah satu tradisi yang tidak pernah ia lewatkan selain memasang pohon dan kandang natal adalah saling berkunjung ke tetangga yang juga merayakan Natal. Bahkan, ia dikunjungi oleh tetangga yang beragama lain. 

Tradisi silaturahim selayaknya hari raya Idul Fitri ini berlangsung di lingkungan rumahnya di Citayem, Depok, Jawa Barat, selama bertahun-tahun. Indah sekali.

Namun kini, ibu satu anak ini merasa ada yang hilang. Riuh rendah para tetangga yang biasanya datang rombongan tidak akan ia dengar lagi.

“Mungkin nanti diganti dengan saling kirim makanan. Ya walaupun sedih, itu mungkin cukup sedikit mengobati,” ujar Ajeng.

Pohon natal kecil yang ia rangkai bersama suami dan anaknya yang masih berusia empat tahun juga menjadi obat kesunyian Natal pada tahun ini.

SHUTTERSTOCK/KYTAN
Ilustrasi pohon natal mini.

Meski tidak sebesar pada tahun lalu, pohon natal yang dia pasang pada tahun ini tetap dihias bersama oleh keluarga kecil Ajeng.

“Suasana Natal tetap dapat kalau dikerjakan bareng suami dan anak. Apalagi anak sebenarnya senang banget mau Natal. Dia cuma sedih kenapa enggak bisa ketemu teman-temannya di gereja,” ujar Ajeng.

Sang buah hati, Sheryl, rupanya sudah mampu mengingat kemeriahan Natal pada tahun lalu meski waktu itu baru berusia tiga tahun. 

“Sampai pas sekeluarga lagi jalan-jalan ke mal, dia langsung pegang topi dan bando yang ada di salah satu toko ya. Dia bilang, itu mau dijadikan kado untuk temannya. Aduh, agak terharu saya, (melihat) dia saking kangennya (dengan teman-teman),” tutur Ajeng.

δ

Di tengah kesunyian Natal, Ajeng dan Edu pun menyadari sesuatu.

Tradisi, sekalipun ditujukan untuk mendekatkan umat pada makna Natal sesungguhnya, tetap bukan sesuatu yang mutlak dan harus, terutama jika tak terkait ritual ibadah utama.

Suka cita  Natal yang sesungguhnya saat ini rupanya hadir dalam bentuk berbeda. Wujudnya bukan gegap gempita, melainkan dalam kesederhanaan, kesunyian, bahkan kesendirian.

Suka cita Natal seolah kembali ke masa dua ribuan tahun lalu, ketika sang juru selamat lahir di kandang domba yang jauh dari kenyamanan dan pesta pora.

Saat itu tidak hadir pula banyak orang. Hanya ada Bunda Maria, Yosef, serta tiga orang dari timur yang datang belakangan membawa bingkisan sederhana.

Tidak ada juga makanan lezat beraroma menggugah. Bahkan, tak ada hiasan lampu kerlap-kerlip.

SHUTTERSTOCK/ESSTOCK
Ilustrasi hamper Natal berupa butter cookies.

Berbahagialah kita yang saat ini tidak kehilangan makna dan justru punya kesempatan menemukan suka cita Natal dalam kesendirian, tulus, tanpa intervensi.

Selamat hari Natal!