PROKLAMASI kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 adalah tonggak baru perjalanan bangsa.
Melalui acara sederhana yang digelar di tempat tinggal Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur, Nomor 56, Jakarta Pusat itu, Soekarno-Hatta sebagai perwakilan rakyat menyampaikan pemberitahuan resmi bahwa bangsa Indonesia telah terbebas dari belenggu penjajahan.
Dokumentasi momentum proklamasi yang dilaksanakan tanpa panitia resmi ini pun menjadi penting bagi generasi yang akan datang.
Tanpa teks, foto, video dan audio tentang acara itu, kita tidak memilki bukti otentik bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia pernah diproklamirkan.
“Rekaman informasi faktual peristiwa yang sangat penting ini merupakan memori kolektif sejarah perjalanan perjuangan bangsa yang mengandung nilai-nilai mendasar bagi pendidikan karakter serta jati diri bangsa,” ujar Direktur Kearsipan Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Azmi (Kompas, 25 Agustus 2020).
Sayangnya, dokumentasi peristiwa bersejarah yang kita lihat saat ini bukan bersumber dari orang-orang yang terlibat dalam proklamasi kemerdekaan.
“Rekaman informasi faktual peristiwa yang sangat penting ini merupakan memori kolektif sejarah perjalanan perjuangan bangsa yang mengandung nilai-nilai mendasar bagi pendidikan karakter serta jati diri bangsa,”
-Azmi-
Bahkan kita tidak mengetahui pasti, apakah mereka turut berpikir bahwa mendokumentasikan momen proklamasi sangat penting artinya bagi anak cucu mereka atau tidak.
Hal-hal yang dipersiapkan saat itu berupa teknis penyelenggaraan acara, misal mikrofon, tiang bendera, dan penyebaran berita proklamasi ke seluruh wilayah.
Kepala ANRI Imam Gunarto mengatakan, boleh jadi kegentingan situasi saat itu membuat orang-orang yang terlibat dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia luput memasukan dokumentasi sebagai bagian penting dari acara.
“Mungkin karena situasi saat itu juga yang masih genting. Karena tentara Jepang di Jakarta juga banyak,” ujar Imam saat berbincang dengan JEO Kompas.com, Senin 15 Agustus 2021.
Tentara Jepang memang bisa datang dan mengacau jalannya proklamasi sewaktu-waktu. Setelah kalah dari sekutu, gerak-gerik tentara Jepang tidak dapat diprediksi.
Ketua Barisan Pelopor dr. Moewardi sampai memerintahkan anak buahnya berjaga di sekitar kediaman Soekarno dengan senjata lengkap. Mereka diperintahkan melepaskan tembakan bila tentara Jepang datang untuk menggagalkan proklamasi.
Atas kedaruratan situasi saat itu, maka wajar bila momentum proklamasi kemerdekaan berjalan dengan kurang satu dua hal.
Imam menambahkan, perihal dokumentasi boleh jadi pula luput dari perencanaan lantaran pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno rencananya akan disiarkan langsung melalui radio swasta milik Belanda, NIROM (Nederlandsch-Indische Radio-Omroep Maatschappij).
“Tapi berdasarkan sejumlah kesaksian, kabelnya itu dipotong oleh Jepang sehingga tidak ada siaran langsung. Mikrofon yang ada itu boleh jadi hanya didengar oleh masyarakat yang berkumpul di sekitaran lokasi itu saja,” ujar Imam.
ANRI sendiri belum bisa menjadikan cerita itu sebagai fakta sejarah. Sebab hanya didasarkan wawancara lisan. Informasi itu mesti dilacak kebenarannya terlebih dahulu.
Dalam konteks kearsipan, arsip proklamasi kemerdekaan sebagai salah satu kronik sejarah bangsa ini meliputi beberapa hal, yakni arsip proses perumusan naskah, penulisan konsep, pengetikan konsep, penandatanganan naskah, hingga pembacaan resmi naskah teksnya oleh Soekarno.
Merujuk perkembangan teknologi perekaman informasi di Tanah Air saat itu, paling tidak akan tercipta empat jenis arsip, yakni arsip teks, foto, film, dan suara.
Namun sebagaimana yang telah disampaikan di atas, situasi keamanan dan politik yang tak kondusif saat itu membuat tak seluruh momen historis proklamasi dapat terekam dalam empat jenis arsip tersebut.
Lantas, bila saat ini kita dapat melihat jejak proklamasi kemerdekaan melalui foto, video dan suara, dari mana arsip itu berasal?
Ketersediaan arsip proklamasi rupanya tetap ada berkat jasa insan pers, baik dalam maupun luar negeri.
Mari kita simak kisah mereka...
Tanggal 15 Agustus 1945 kediaman Soekarno kedatangan banyak orang. Kebanyakan dari kelompok pemuda.
“Bung, kami diutus oleh pemuda dan rakyat untuk meminta Bung Karno supaya menentukan sikap sekarang. Bung tahu Jepang sudah kalah dan sudah meminta damai,” ujar Wikana, perwakilan kaum muda.
Ia juga menjelaskan bahwa rakyat, petani dan buruh sudah siap dan menunggu perintah untuk melakukan revolusi.
Soekarno dan Hatta saat itu tegas menolak menempuh jalan revolusi. Alasannya, mereka tidak ingin rakyat kecil menjadi korban.
Mendengar tuntutannya ditolak Soekarno, amarah Wikana memuncak. Ia berkata, bisa saja pemuda menghabisi siapapun yang menghalangi kemerdekaan Indonesia. Tetapi Soekarno-Hatta tetap bergeming.
Momen inilah yang mendorong para pemuda membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok pada waktu dini hari.
Baca juga: Kisah Kapten Masrin di Balik Peristiwa Diboyongnya Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok
Tujuan utamanya masih sama, yakni mengamankan Soekarno-Hatta dari pengaruh Jepang sekaligus mendesak keduanya untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya.
Aksi para pemuda itu menuai respons dari anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Achmad Soebarjo. Ia meyakinkan kaum muda untuk tidak tergesa-gesa memproklamasikan kemerdekaan.
Bahkan, ia sampai bertaruh nyawa kepada kaum muda bahwa kemerdekaan Indonesia akan diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Jaminan itu membuat kaum muda mengalah dan bersedia mengembalikan Soekarno-Hatta ke Jakarta.
Kabar Soekarno-Hatta telah tiba kembali ke Jakarta ini diterima oleh Burhanuddin Muhammad (BM) Diah, salah seorang jurnalis di Radio Hosokyoku dan harian Asia Raja milik pemerintah Jepang.
BM Diah diketahui juga diam-diam aktif dalam perjuangan kemerdekaan melalui Gerakan Angkatan Baru Indonesia bersama-sama dengan Sukarni, Sudiro, Syarif Thayeb, Wikana dan Asmara Hadi.
BM Diah pun turut menjadi saksi pada saat Soekarno-Hatta mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh PPKI untuk menyusun naskah proklamasi di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di jalan Meiji Dori (kini Jalan Imam Bonjol Nomor 1). Peristiwa itu berlangsung tanggal 16 Agustus 1945 malam.
Soekarno awalnya menulis draf teks proklamasi pada selembar kertas putih berukuran panjang 25,8 sentimeter, lebar 21,3 sentimeter dan tebal 0,5 milimeter. Kertas itu disobek dari sebuah buku kecil.
Setelah diutak-atik oleh Soekarno-Hatta dan sejumlah tokoh PPKI, akhirnya jadilah sebuah draf teks proklamasi yang akan dibacakan keesokan harinya.
Soekarno menyerahkan secarik kertas tersebut ke Sayoeti Melik untuk ditulis ulang menggunakan mesin ketik.
Baca Juga: Sejarah Perumusan Teks Proklamasi Kemerdekaan RI
Karena mereka telah memiliki teks proklamasi yang sudah rapih menggunakan mesin ketik, secarik kertas draf tadi dibuang ke keranjang sampah.
Tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan secara pasti siapa yang membuang kertas draf tersebut. Apakah Soekarno, Sayoeti Melik atau orang lain di ruangan itu.
“Tidak ada bukti sejarahnya. Yang jelas, setelah ada teks proklamasi dalam bentuk naskah untuk dibacakan, Bung Karno tidak lagi memegang (draf). Karena yang dipegang tentu saja yang sudah jadi,” ujar Kepala ANRI Imam Gunarto.
Rupanya naluri jurnalistik BM Diah bekerja. Beberapa saat setelahnya, ia mengambil draf teks proklamasi itu dari keranjang sampah dan menyimpannya.
Secarik kertas tersebut tampak sudah tidak bagus lagi kondisinya.
“Sudah dikuwel-kuwel. Makanya kalau kita lihat sekarang kan ada bekas kerut-kerutan di kertas itu. Ya karena itu tadinya sudah dikuwel-kuwel lalu dibuang ke tempat sampah,” ujar Imam.
Baca juga: Penyusunan Teks Proklamasi yang DIbarengi Sahur Bersama
Setelah kemerdekaan benar-benar diproklamasikan oleh Soekarno tanggal 17 Agustus 1945, BM Diah segera menuju kantor berita radio untuk menyiarkannya.
Di belakang teks, diberi catatan tulisan tangan BM Diah, “Berita istimewa, berita istimewa. Pada hari ini, tanggal 17 bulan 8, 1945, telah dioemoemkan proklamasi kemerdekaan Indonesia jang boenjinya: Proklamasi, Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan, kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dllnja, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya. Djakarta, 17-8-1945”.
Oleh Hatta, BM Diah kemudian diperintahkan untuk mencetak naskah teks proklamasi itu di percetakan Siliwangi.
Pada tahun 1967 ketika menjabat Menteri Penerangan, BM Diah menyampaikan secara terbuka bahwa draf teks proklamasi berupa secarik kertas dengan tulisan tangan dan penuh coretan itu disimpan sendiri olehnya.
Sementara, teks proklamasi yang dibacakan Soekarno merupakan salinan dari naskah asli yang ada pada dirinya.
Pada tahun 1992, ia menyerahkan draf tersebut kepada negara dan kemudian disimpan di ANRI, Jalan Ampera Raya, Cilandak, Jakarta Selatan, hingga kini.
Peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki oleh sekutu pada awal Agustus 1945 merupakan puncak kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua.
Peristiwa itu cepat menyebar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia yang saat itu masih terbelenggu oleh penguasaan Jepang.
Adalah Frans Soemarto Mendur, seorang jurnalis foto Asia Raya dan kakaknya, Alexius Impurung Mendur, kepala bagian foto kantor berita Domei.
Mereka terus memantau apa dampak dari kekalahan Jepang tersebut bagi situasi politik di Tanah Air.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Frans menerima kabar dari salah seorang jurnalis asal Jepang bahwa Bung Karno dan Bung Hatta akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di tempat tinggalnya, Jalan Pegangsaan Timur, Nomor 56, Jakarta. Kabar ini juga diketahui oleh Alex.
Baca juga: Kisah Kecil di Rumah Laksamana Maeda
Meski, masih diliputi rasa ragu akan kebenaran informasi, keduanya tetap berangkat menuju kediaman Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 05.00 WIB.
Kamera Leica miliknya disembunyikan agar tidak terlihat oleh tentara Jepang.
Kepercayaan mereka mulai tumbuh ketika melihat kediaman Soekarno dijaga ketat oleh para pemuda bersenjata lengkap.
Di dalam rumah itu, Frans dan Alex juga melihat sejumlah tokoh pergerakan sedang berunding. Mereka tidak hanya berasal dari Jakarta saja, melainkan juga dari sejumlah daerah.
Sekitar pukul 09.50 WIB, ratusan orang yang berdiri menghadap rumah Soekarno tiba-tiba berteriak, “hidup Indonesia!” dan “Indonesia merdeka!”.
Dari dalam rumah, muncul Bung Karno, Bung Hatta dan sejumlah tokoh lain. Mereka berjalan menuju ke halaman depan.
Baca Juga: Kisah Mendur Bersaudara, "Kucing-kucingan" dengan Jepang demi Abadikan Proklamasi
Suasana hening seketika. Terdengar aba-aba hadirin untuk bersiap.
Kemudian Bung Karno mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Alex dan Frans berhasil mengabadikan momen bersejarah tersebut.
Setelah Soekarno mengakhiri pidatonya, pekik “merdeka!” pecah. Orang-orang meneriakkan kata itu dengan mengepalkan tangan ke udara. Tak sedikit yang bersujud dan menitikkan air mata.
Frans yang larut emosinya nyaris lupa melepaskan tombol rana kameranya. Untungnya, ia sempat mengabadikan momen pengibaran bendera merah putih yang sudah mencapai ujung tiang bendera.
Sayangnya, dalam perjalanan ke kantor, kamera Alex dirampas oleh tentara Jepang. Rol filmnya dimusnahkan.
Sementara Frans yang juga dikejar tentara Jepang berhasil lolos dan bersembunyi di kantornya. Ia mencari cara agar rol filmnya itu dapat dicetak.
“Frans memasukkan roll film ke kotak mentega, lalu menguburnya di tanah selama tiga hari,” ujar cucu dari Bernard Mendur, anak ketiga dari 10 Mendur bersaudara (Kompas, Senin 19 Agustus 2019).
Frans setelah itu sempat tertangkap tentara Jepang. Ia mengatakan bahwa kameranya telah dirampas Barisan Pelopor sehingga selamatlah hasil jepretan bersejarah itu.
Meski demikian, hasil bidikan Frans baru dapat diterbitkan enam bulan kemudian. Tepatnya 20 Februari 1946 di halaman pertama Harian Merdeka karena terkena sensor Jepang.
Baca juga: Kisah Mendur Bersaudara, Kucing-kugingan dengan Jepang Demi Abadikan Proklamasi
Kepala ANRI Imam Gunarto mengatakan, seiring berjalannya waktu, hak cipta foto-foto itu kemudian menjadi milik IPPHOS (Indonesian Press Photo Service).
IPPHOS merupakan perusahaan jasa foto yang didirikan oleh Mendur bersaudara bersama Justus dan Frans ‘Nyong’ Umbas, sesame fotografer dari Minahasa.
Berkat mereka, gambar hari paling bersejarah bagi bangsa Indonesia bisa kita lihat hingga kini.
“Fotonya ada dua macam. Pertama, foto Bung Karno lagi membaca teks proklamasi kemerdekaan dan terlihat berdiri di belakangnya ada Bung Hatta, Laksamana Meda, Sukarni dan lain-lain. Kedua, foto saat pengibaran bendera,” ujar Imam.
Ia melanjutkan, sebenarnya, ada satu arsip foto lagi yang menggambarkan suasana proklamasi, yakni foto Wali Kota Jakarta Soewirjo sedang berpidato.
Meski, Imam mengakui, pihaknya perlu menelurusi lebih lanjut mengenai dalam konteks apa Soewirjo menyampaikan pidato tersebut.
Rasa penasaran Jusuf Ronodipuro pada 15 Agustus 1945 pagi, akhirnya terjawab.
Rupanya, wajah suram yang tampak pada wajah pejabat Jepang di kantornya, Radio Hoso Kanri Kyoku sedari pagi bersumber dari peristiwa yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki.
“Bachtar Lubis memberitahukan kepada saya bahwa dia mendengar dari (adiknya) Mochtar Lubis yang waktu itu bekerja pada dinas monitoring pemerintah balatentara Jepang, bahwa Amerika Serikat telah menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima dan bahwa pemerintah Jepang telang menyerah,” tutur Jusuf (Kompas, 16 Agustus 1975).
Karena kebetulan pimpinan radio yang merupakan orang Jepang juga menghentikan siaran ke luar negeri, Jusuf yang bekerja sebagai penyiar di radio itu pergi ke kediaman Mr. Oetoyo Ramelan bersama Bachtar Lubis.
Oetoyo Ramelan ketika itu merupakan pejabat tertinggi orang Indonesia yang bekerja di Radio Hoso Kanri Kyoku.
Setelah menerima kabar dari Jusuf dan Bachtar, Oetoyo bergegas ke kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 untuk melapor.
Sementara itu, Jusuf sendiri pergi ke Gedung Menteng Raya, Nomor 31. Di sana, Jusuf memang sering mengikuti ‘kursus politik’ bersama gerakan pemuda.
Baca Juga: Media Penyebaran Proklamasi Kemerdekaan
“Di gedung itu, saya melihat tokoh-tokoh pemuda yang sedang berapat. Waktu melihat saya, Chaerul Saleh, Sukarni dan Wikana keluar dari ruangan rapat dan Chaerul Saleh menyambut saya dengan ucapan, ‘ha, ini dia orangnya yang kita cari’,” ujar Jusuf.
Rupanya mereka telah mengetahui informasi kekalahan Jepang atas sekutu. Mereka pun sedang berkumpul menyusun rencana untuk menduduki kantor-kantor berita milik Jepang dan Belanda di Jakarta. Jusuf diikutsertakan ke dalam skenario perebutan itu.
Ia diminta pergi ke Gedung Siaran Radio 4-5 di Jalan Medan Merdeka Barat dan menunggu kedatangan pemuda untuk menyiarkan pengumuman penting.
Pengumuman apa? Para pemuda tidak mengatakannya.
Sekitar pukul 17.00 WIB, Jusuf meninggalkan Menteng 31 menuju gedung siaran radio tempat ia bekerja. Ia cukup terkejut begitu sampai karena orang Jepang lebih banyak dari biasanya di gedung itu.
“Ternyata mereka adalah anggota Kenpetai (Polisi Militer Jepang) yang berpakaian preman kemeja putih dan celana putih. Mereka menjaga ruangan-ruangan penting di seluruh gedung radio,” ujar Jusuf.
Di dalam kantor, diam-diam Jusuf menceritakan kepada Bachtar Lubis bahwa para pemuda akan merebut kantor radio itu dan menyiarkan pengumuman penting.
Baca juga: Mengapa Golongan Pemuda Menolak Proklamasi Lewat PPKI?
Ia sekaligus meminta kawan-kawannya di bagian teknik untuk menyambungkan saluran siaran dengan kediaman Soekarno, bersiap-siap menyiarkan pengumuman penting dari sana.
Namun penjagaan Kenpetai yang begitu ketat membuat rencana-rencana itu sulit dilakukan. Bergerak ke sana sini saja sulit, apalagi mesti menyiapkan saluran relay dengan Pegangsaan Timur.
Jusuf sendiri kesulitan menghubungi kelompok pemuda lantaran saluran telepon tidak boleh dipakai dan orang-orang yang sudah berada di dalam gedung tidak diperkenankan untuk keluar.
“Kita tidak bisa berbuat lain kecuali menunggu apa yang mungkin terjadi, sambil bekerja menyelenggarakan siaran seperti biasa,” ujar Jusuf.
Baca Juga: Kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya
Keesokan harinya, salah seorang pejabat perusahaan radio itu mengumumkan bahwa pemerintahan Dai Nippon telah menyerah kepada sekutu. Sejak pengumuman itu, seluruh wilayah pendudukan Jepang berada di bawah kekuasan sekutu, termasuk siaran radio.
Balatentara Jepang bertanggung jawab atas ketertiban situasi sampai tibanya tentara sekutu.
Seluruh pegawai radio, termasuk Jusuf, tak diperbolehkan keluar gedung hingga tentara sekutu datang. Makanan dipasok agar mereka tidak kelaparan.
Meski begitu, rasa cemas tetap hinggap di antara mereka yang seharian tidak melakukan apa-apa.
Pada malam harinya, Sukarni dan sejumlah tokoh pemuda datang. Mereka memaksa masuk untuk menyiarkan pengumuman penting di radio itu. Namun, Kenpetai dan perwira Angkatan Laut Jepang menghalaunya. Adu mulut tidak terhindarkan.
Jusuf tidak dapat melihat peristiwa itu. Dari dalam, ia hanya mendengar ada keributan di pintu depan.
“Karena usahanya tidak berhasil, Sukarni dan rombongan meninggalkan pintu halaman gedung radio sambil meneriakkan pesan: Tunggu pengumuman besok pagi,” tutur Jusuf.
Tanggal 17 Agustus 1945 siang, salah seorang rekan Jusuf di bagian teknik berhasil masuk ke dalam gedung radio dan memberitahukan bahwa Soekarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tetapi penjagaan Kenpetai di penjuru gedung semakin ketat sehingga Jusuf dan kawan-kawan tidak berkutik.
Sekitar pukul 18.30 WIB, jurnalis kantor berita Domei berhasil memasuki gedung siaran dengan memanjat tembok belakang. Ia membawa catatan tentang naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia untuk disiarkan di kantor radionya.
Jusuf sempat memberitahukan hal itu ke Oetoyo Ramelan. Namun, Ramelan lepas tangan.
“Ia menyambutnya dengan ketus: Terserah kepada saudara-saudara (apakah proklamasi kemerdekaan Indonesia akan disiarkan atau tidak). Kalau terjadi apa-apa kemudian, adalah tanggung jawab saudara-saudara,” kenang Jusuf.
Jusuf yang menghadap Ramelan bersama Bachtar menjawab, mereka sepakat memikul segala risiko.
“Bahkan, matipun kami siap,” lanjut dia.
Baca Juga: Peristiwa Jepang Menyerah pada Sekutu
Akhirnya, tepat pukul 19.00 WIB, berita mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia mengudara lewat kantor radionya.
Naskah berbahasa Indonesia dibacakan oleh Jusuf. Sementara naskah berbahasa Inggris dibacakan oleh rekannya, Suprapto.
Jusuf bercerita, siaran itu dapat terlaksana karena kelengahan Kenpetai yang tidak menjaga studio siaran luar negeri.
“Mungkin mereka berpikir, ruangan tersebut tidak digunakan lagi. Sementara itu di studio dan kamar kontrol di mana siaran masih dilakukan, kami putar piringan-piringan hitam yang tidak kamu masukan ke pemancar, hanya ke loud speaker saja,” ujar Jusuf.
“Sehingga orang-orang Jepang yang menjaganya enak-enak duduk mendengarkan lagu merdu yang diputar, tanpa curiga bahwa di tempat lain sedang disiarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia,” lanjut dia.
Kepala ANRI Imam Gunarto menambahkan, Jusuf menjadi sosok penting bagi kelengkapan arsip proklamasi kemerdekaan RI, meski tidak hadir saat proklamasi dikumandangkan.
13 tahun selewat proklamasi, Jusuf yang menjabat sebagai Kepala RRI meminta Bung Karno untuk membacakan ulang teks proklamasi untuk disimpan sebagai arsip negara.
Sebab, rupanya pembacaan naskah proklamasi 17 Agustus 1945 luput dari perekaman audio.
Sejumlah wartawan yang hadir di sana dihalang-halangi oleh tentara Jepang sehingga tidak dapat merekam pernyataan Soekarno dengan baik.
"Pak Jusuf merayu-rayu Bung Karno untuk membacakan ulang proklamasi. Sebab, ketika proklamasi, tidak ada rekamannya. Waktu itu Bung Karno menolak. Kata beliau, masak saya membacakan proklamasi dua kali," ujar Imam.
"Tapi karena berbagai pertimbangan, akhirnya Bung Karno bersedia melakukan pembacaan ulang untuk direkam," lanjut dia.
Imam bercerita, ada fakta menarik di samping peristiwa itu.
Ada penelitian yang meneliti suara Bung Karno. Menurut penelitian itu, suara Bung Karno di tahun 1958 cukup berbeda dibandingkan dengan suara asli Bung Karno pada saat proklamasi kemerdekaan tahun 1945.
"Suara Bung Karno yang kita dengan sekarang ini adalah suara beliau yang sudah lebih tua. Ada perubahan suara ketika beliau di umur 45 (tahun 1945) dengan suara beliau 13 tahun kemudian (tahun 1958). Soal kelantangannya dan sebagainya," lanjut Imam.
Baca Juga: Kapan Soekarno Rekaman Suara Pembacaan Teks Proklamasi Indonesia?
Namun demikian, audio tersebut tetap dimasukkan ke dalam arsip negara dan kini kita semua bisa melihat kembali bukti sejarah tentang tegaknya bangsa Indonesia.
Kepala ANRI Imam Gunarto mengatakan, hingga saat ini pihaknya masih mencari arsip yang berkaitan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pihaknya meyakini, masih ada arsip, baik berupa teks, foto, film, atau audio, yang berada di dalam penguasaan individu atau perusahaan.
"Karena barangkali dokumentasi yang dimiliki dari orang-orang yang ada di sana, wartawan di sana, kemudian jadi koleksi pribadi, turun temurun dikasih ke anak cucu. Maka itu, proses penelusuran arsip ini terus dilakukan," ujar Imam.
Apalagi, Imam mengatakan, masih banyak cerita yang beredar dari mulut ke mulut terkait arsip terkait.
Arsip-arsip tersebut tentunya dapat memperkaya perspektif rakyat Indonesia atas salah satu momen penting bangsanya.
Siapa sangka, memungut kertas tergumpal dari keranjang sampah, menekan tombol pelepas rana dan memencet tombol alat rekam menjadi aksi besar dalam menyelamatkan bangsa Indonesia dari kegelapan identitas.
Apa yang mereka lakukan membuat bangsa Indonesia sekarang hingga yang akan datang tetap memiliki bukti otentik bahwa kita telah memproklamasikan kemerdekaan dari belenggu penjajahan.
Selamat memperingati hari kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia...