JEO - Tokoh

Wawancara Khusus Zulkifli Hasan

Jumat, 10 September 2021 | 07:44 WIB

PARTAI Amanat Nasional (PAN) memutuskan mendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang tersisa 37 bulan.

Keputusan itu diambil melalui Rapat Kerja Nasional II yang digelar di Rumah PAN, Jakarta, 31 Agustus 2021.

“Rakernas menyetujui PAN berada di posisi partai koalisi pemerintah dalam rangka perjuangan politik untuk membawa kebaikan dan memberi manfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara,” kata Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi, usai Rakernas.

Keputusan itu disepakati oleh seluruh Dewan Perwakilan Daerah (DPW) se-Indonesia yang hadir.

Baca juga: PAN Resmi Gabung ke Koalisi Pemerintah

Posisi baru PAN ini tentu tak semengejutkan Gerindra yang memutuskan berkoalisi dengan pemerintah Jokowi-Ma’ruf pada pertengahan Oktober 2019 lalu.

Catatan pemberitaan menyebut, partai yang memiliki 44 kursi di DPR RI itu memang kerap keluar masuk pemerintahan Jokowi sejak periode pertama.

Pada Pilpres 2014, PAN berdiri di belakang pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa melawan Jokowi-Jusuf Kalla. Saat itu, Hatta merupakan Ketua Umum PAN.

Posisi PAN langsung berbalik ketika Zulkifli Hasan didapuk menjadi Ketua Umum PAN pada 1 Maret 2015. PAN era Zulkifli memutuskan berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi-Kalla.

Sebagai ganjaran politiknya, salah seorang kader PAN, Asman Abnur dipercaya Presiden Jokowi menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB).

Menjelang Pilpres 2019, partai yang didirikan pada 23 Agustus 1998 itu kembali mengubah posisi politiknya di pemerintahan.

Bursa calon presiden yang mengerucut ke nama Jokowi dan Prabowo lagi membuat PAN memilih ‘kawan lamanya’ untuk diusung kembali dalam Pilpres 2019.

Tak jadi soal meskipun Asman Abnur mengundurkan diri dari kursi menteri sebagai konsekuensi logis partainya yang memilih mendukung rival politik Jokowi.

“Saya rasa, posisi saya sebagai Men PAN RB dengan partai saya di luar koalisi kerja tidak mengenakkan dan membebani Bapak Presiden,” ujar Asman, 14 Agustus 2018.

Baca juga: Ingin Mundur dari Kabinet, Menpan-RB Akui Ada Tuntutan dari Parpol Koalisi

Rupanya, Pilpres 2019 kembali dimenangkan Jokowi.

Sekadar catatan, perolehan suara PAN pada Pileg 2019 yang berlangsung serentak dengan Pilpres hanya naik tipis dibandingkan Pileg 2014.

Pada Pileg 2014, PAN meraup suara 9.481.621. Sementara pada Pileg 2019, PAN meraup suara 9.572.623.

Meski demikian, dari sisi peringkat, PAN anjlok dari posisi 6 pada Pileg 2014 menjadi posisi 8 pada Pileg 2019. Perolehan kursi di parlemen juga menurun dari 48 menjadi 44 kursi.

Meski untuk kedua kalinya berada di kubu yang kalah, hubungan PAN dengan Jokowi cukup baik. Hal itu terbukti dari pertemuan empat mata antara Zulkifli dengan Jokowi yang berlangsung Maret 2020 dan Agustus 2021.

KOMPAS.com/Fabian Januarius Kuwado
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan saat diwawancarai Kompas.com di rumah dinasnya, kawasan Widya Chandra, Jakarta, 6 September 2021.

Tim JEO Kompas.com berkesempatan mewawancarai Zulkifli, 6 September 2021 lalu di rumah dinasnya sebagai Wakil Ketua MPR RI, Jalan Widya Chandra IV, Jakarta Selatan.

Nyaris satu jam, Zulkifli membeberkan sejumlah informasi mengenai di balik bergabungnya PAN kembali dengan pemerintahan Jokowi.

Banyak kalimat menarik yang terlontar dari Bang Zul, sapaan akrabnya.

Di antaranya adalah soal narasi Jokowi tiga periode, perombakan kabinet, hingga tugas PAN sebagai bagian dari pendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. 

Wawancara Zulkifli terbagi menjadi tiga topik. Anda bisa membaca artikel di bawah ini secara runut atau langsung klik topik berikut ini:

 Koalisi dan kursi menteri 

 

T: Selamat siang Pak Zulkifli. Sebagai pertanyaan pertama, kami mau langsung straight to the point. Sebenarnya apa alasan PAN kembali lagi bergabung ke pemerintahan Pak Jokowi?

J: "Loh? Saya itu memang dari dulu dukung Pak Jokowi kan. Dari awal kami memang mendukung pemerintahan Pak Jokowi. Mendukung itu dalam artian, yang baik tentu kita dukung penuh. Kalau ada yang kurang, kami sampaikan dengan cara-cara yang menurut kami sesuai adat dan budaya kita.

Misalnya soal pandemi, saya sampaikan kepada Pak Presiden. Pak, kebijakan pandemi yang dilaksanakan pemerintah ini bagus, tetapi tidak konsisten. Pertama, dulu istilahnya PSBB, sekarang PPKM, oke tepat. Tapi, baik PPKM atau PSBB harus diikuti vaksinasi. Tanpa vaksinasi, begitu selesai PSBB, ya kumat lagi.

Respons Pak Jokowi waktu itu bagus banget. (Pembelian vaksin) kita paling duluan. Orang-orang banyak tidak tahu, tetapi saya tahu. Karena, sejak Oktober Pak Luhut dan Pak Erick sudah kontrak sama Sinovac. Barat belum mau ngasih. Vaksin mereka untuk orang kulit putih dulu. Tapi karena hubungan Pak Jokowi dengan Tiongkok bagus maka Sinovac ngasih ke kita.

Terbanglah waktu itu Pak Luhut dan Pak Erick ke Tiongkok yang dibikin di Dubai. Harusnya sudah 10 juta pada Desember itu kemudian Juni 70 juta. Berarti kan policy-nya pemerintahan Pak Jokowi ok. Sudah duluan kita.

Tetapi waktu itu harusnya Kementerian Kesehatan (menemui hambatan) yang soal bayar membayar kan. Diulur-ulur sehingga tidak jadi. Tidak ada itu pembayaran seolah-olah pada waktu itu Kementerian Kesehatan tidak setuju. Padahal kan policy sudah diambil.

Saya dengar ada salah satu kementerian, Menko, tapi saya tidak sebut mana ya, juga mendukung ini sehingga teman-teman (menteri yang mengurusi vaksinasi) terkesan main-main. Sehingga akhirnya tidak ter-delivery. Makanya pada Desember kita itu kita cuma dapat 900.000. Terlambat ini.

Maksud saya, kalau menyangkut anak cucu kita jangan main-main dong. kalau bidang lain, (misalnya) soal batu bara mungkinlah. Tapi ini menyangkut hidup mati. Tidak boleh dong kita main-main. Sampai ada yang di-reshuffle waktu itu, saya tidak sebut nama.

KOMPAS.com/Ihsanuddin
Presiden Joko Widodo bertemu Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Pertemuan keduanya berlangsung di Istana Bogor, Rabu (22/5/2019) siang.

T: Jadi, Pak Zul melihat kebijakan dari Presiden sudah oke, tetapi belum dilaksanakan sepenuhnya oleh anak buah?

J: Ya, itu satu. Jadi, PPKM atau PSBB, vaksin, pemerintah sudah punya. Tapi, seperti itu saya bilang, masih ada yang begitu-begitu.

Selain itu juga, (korban) pandemi itu kan (seharusnya diberikan) bantuan langsung, orang susah.

Saya kemarin ke Bali, sepi yang dagang-dagang tidak ada yang beli. Jadi memang bantuan harus langsung. Apa susahnya sih kalau ada nama-namanya tinggal dikirim duitnya. Kenapa mesti diputer-puter sembako lah macam-macam.

 

T: Harusnya berupa uang tunai ya, bukan paket sembako?

J: Iya, kirim (uang) saja. Kenapa mesti diputer-puter? Mesti sembako lah, macam-macam yang tidak karu-karuan. Harusnya jangan main-main. Ini saya sampaikan pada Pak Presiden. Pak Presiden berterima kasih pada apa yang kita sampaikan. Itu contohnya ya.

Jadi, dari awal kami ini mendukung, kritis, solutif.

 

T: Meski PAN Anda sebut sudah mendukung, tetapi sudah beberapa kali reshuffle, kader PAN belum ada yang masuk kabinet nih?

J: Kami (mendukung) tidak pakai syarat kok. Mendukung, mendukung saja. Soal reshuffle kan urusannya Presiden, bukan urusan kami.

 

T: Lantas, apa yang PAN upayakan sekarang ini?

J: Gini, Pilpres kan sudah usai. Tetapi kenapa kita masih terbelah sampai ke dusun-dusun? Nah, saya berpendapat PAN ini kan partai tengah, partai terbuka, dasarnya Pancasila, tetapi basisnya karena Indonesia ini 80 persen Muslim, maka basis pemilihnya yang paling banyak Muslim. Apalagi kita NKRI ini sudah punya pegangan. Mimpi generasi ’45 apa? Ayo merdeka.

Pengorbanannya sudah banyak agar kita bersatu. Jadi, adanya Pilkada, Pilpres, sebenarnya itu untuk mempersatukan. Tapi kenapa sekarang terjadi Pilpres, Pileg, Pilgub, Pilbup kok jadi jalan untuk pecah belah sampai ke dusun-dusun, kampret sama cebong. Kan sudah salah arah kita.

Bayangkan kita pernah punya 22 butir dalam Piagam Jakarta. Ada keberatan dari saudara-saudara kita di Indonesia Timur. Piagam Jakarta disusun cuma setengah jam tidak sampai, selesai. Ulama-ulama zaman itu jiwanya luar biasa. Itu 76 tahun yang lalu. Masak 76 tahun merdeka lebih mundur lagi? Justru kita ini sudah kapok. Sudah kapok pecah belah, sudah kapok saling ngata-ngatain. Makanya kita dijajah lama tidak mau lagi begitu. Sampai kita merdeka lho kok sekarang balik lagi. Ini yang jadi keprihatinan PAN.

Oleh karena itu, PAN ini mengajak, ayo dong kita kembali ke jati diri kebangsaan kita itu. Mimpi-mimpi anak Indonesia yang melahirkan kemerdekaan agar kita bersatu, agar kita berdaulat.

Soal berdaulat, kalau bisa, yang kita pikirkan jangan impor beras lagi dong, jangan impor garam lagi. Ayo kita didik anak-anak kita. Kita sudah masuk era globalisasi kok malah mundur lagi soal agama, soal suku.

Kalau sudah bersatu, bisa menciptakan stabilitas, kita bisa fokus mencerdaskan, bisa fokus membangun manusia Indonesia yang akan berperan di dunia. Setelah mencerdaskan, pemerataan, baru kita bisa berperan (di dunia).

Semestinya, nanti pada 2045, itu yang kita capai. Kita sudah setara Jepang, setara Korea Selatan, Tiongkok. Dulu kita tidak kalah jauh dari Jepang, dari Korea Selatan. Kita bangun pabrik baja duluan lho, Krakatau Steel. Tapi kenapa mereka yang lebih maju dari kita? Karena kita ribut terus. Ribut yang tidak karu-karuan tidak ada gunanya.

Makanya kami mendukung pemerintah. Tujuannya agar kita bisa memberikan konsep, gagasan, saran-saran agar bisa dijalankan. Kalau di luar kita teriak-teriak saja bagaimana bisa?

 

T: Apakah gagasan-gagasan itu cukup hanya disampaikan lisan ke Presiden dan dikerjakan sendiri oleh PAN tanpa ada perwakilan PAN di kabinet?

J: Sekali lagi, kalau soal itu, hak penuh Presiden sebagai pimpinan. Saya sebagai mantan ketua MPR tahu dan saya menyadari.

Saya kan tidak mendukung (Jokowi dalam Pilpres). Yang kami dukung itu Pak Prabowo walaupun Pak Prabowo sekarang sudah jadi menteri. Cawapresnya juga sudah jadi menteri. Itu saya tahu, saya ini mantan ketua MPR. Itu hak Pak Presiden.

KOMPAS.com/Ihsanuddin
Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan diterima Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (14/10/2019).

T: Bukankah seharusnya dukungan politik harus ada…

J: Apa? Harusnya transaksional?

 

T: Iya dong…

J: Enggak harus.

 

T: Kenapa PAN jadi berprinsip begitu? Transaksi politik semacam itu bukan kah sudah lumrah?

J: Memang dari awal setelah dua tahun kami tidak ada meminta. Serahkan saja kepada Pak Presiden. Tidak gara-gara itu kami jadi tidak mendukung.

 

T: Tapi bukan kah sebentar lagi Presiden akan melakukan reshuffle? PAN pasti dapat kursi donk?

J: Kamu lihat saja nanti. Saya tidak mengajukan siapa-siapa. Cek saja di kantor PAN. Karena kalau begitu (mengajukan nama calon menteri), saya mestinya rapat dulu dong.

 

 Narasi Jokowi tiga periode 

 

T: Salah satu yang menarik dari PAN bergabung kembali mendukung pemerintah ini adalah bahwa keputusan itu diiringi dengan kemunculan isu amandemen UUD 1945 yang dinarasikan sebagai jalan menjadikan Jokowi tiga periode. Apa tanggapan Pak Zul?

J: Nah ini kadang-kadang simpang siur. Saya ceritakan satu per satu ya.

Dimulai dari babak pertama nih, waktu saya Ketua MPR, saya juga Ketua PAN. Ketika itu kami berpendapat, selama 20 tahun reformasi kok jadi begini? Banyak juga yang bagus, tapi banyak juga yang enggak bagus. Lembaga-lembaga merasa paling hebat semua. MPR paling hebat, MK paling hebat, DPR paling hebat, pokoknya semua merasa paling hebat. Gubernur dan bupati merasa paling hebat karena punya wilayah.

Maka, zaman saya jadi Ketua MPR, kami berdialog dengan semua kalangan, menerima berbagai kalangan termasuk dari kampus-kampus. Dan wacana untuk amendemen itu banyak sekali.

Saya juga mendapat warisan dari MPR sebelumnya. Ada tujuh rekomendasi setelah melalui perdebatan. Ada yang ingin kita kembali UUD, ada yang merasa yang sekarang sudah bagus jangan diubah-ubah lagi.

Dari perdebatan itu, cuma satu yang disepakati oleh seluruh partai politik, yakni perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara. Sifatnya filosofis dan ideologis.

Misalnya seperti di India, program ruang angkasa siapapun perdana menterinya tidak boleh diubah-ubah. Pengembangan IT tidak boleh diubah-ubah siapapun perdana menterinya. Baru itu yang disepakati.

Tetapi pada zaman saya itu, tidak terjadi amendemen. Oleh karena itu, pada rapat paripurna kita rekomendasikan tapi sudah ada barangnya. Kalau waktu itu baru rekomendasi, sekarang sudah ada pokok-pokoknya.

Nah, masuk ke babak kedua nih ketika saja jadi Wakil Ketua MPR dan Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR waktu sidang tanggal 14 (Agustus 2021) berkunjung ke Pak Jokowi di Bogor. Di sana kami diterima.

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Presiden Joko Widodo (kanan) menyambut pimpinan MPR sebelum pertemuan di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (8/7/2020). Pertemuan tersebut membahas sejumlah isu-isu kebangsaan.

Dalam pertemuan itu, ada pertanyaan dari Pak Syarif Hasan, beliau bertanya "Pak Presiden, mengenai tiga periode…".

Presiden merespons, "Saya ini mau apalagi, bolak balik sudah saya jelaskan. Sekarang kalau ada begini-begini kok saya yang disalahkan".

Beliau kesel juga kali. Kan paling gampang menyalahkan presiden. Padahal ini (amendemen) ranahnya MPR, ranahnya parlemen, ranahnya pimpinan partai, ranahnya legislatif, bukan ranahnya pemerintah. Kira-kira seperti itu.

Pak Basarah (Wakil Ketua MPR RI fraksi PDI-P) nyahut, biasa kan becanda-becanda, "jangan-jangan Pak SBY (yang ingin tiga periode), kan bisa tiga kali juga". Ketawa Pak Syarif. Itu satu babak sendiri.

Sekarang saya cerita babak yang ketiga. Saya diundang Pak Pramono Anung ke Istana enam hari sebelum pertemuan (ketua umum partai politik pendukung pemerintah, 25 Agustus 2021) itu. Awalnya, saya tidak tahu bahwa pertemuan itu digelar ramai-samai bersama ketum parpol lain.

Sehari sebelumnya, Sekjen saya tiba-tiba bilang "Tum (Ketum), kita diundang oleh presiden untuk acara di Istana, saya juga diundang oleh partai-partai koalisi".

Jadi, saya baru tahu malam sebelumnya (bahwa pertemuan dengan Presiden sebagaimana undangan Pramono Anung adalah bersama ketua umum parpol koalisi lain). Karena saya diundangnya oleh Mas Pram. Saya kira, saya aja. Tapi ini kan bareng-bareng. Ya sudah saya datang. Diundang presiden masak enggak datang? Itu suatu kehormatan buat saya.

Sampai sana, memang sudah ada perwakilan partai-partai koalisi. Presiden menyampaikan soal penanganan pandemi, kedua Presiden menyampaikan soal perkembangan pandemi yang dihadapi dan sebagainya, perkiraan pertumbuhan ekonomi dan sebagainya, kira-kira sejam.

Juga dibahas kenapa (kebijakan vaksinasi terkesan) lambat. Karena hubungan antara pemeritah pusat, provinsi dan kabupaten kadang-kadang tidak efektif. Tidak cepat karena kadang-kadang pemerintah daerah punya aturan sendiri, punya apa-apa sendiri. Presiden bilang, kalau terlambat mohon dimaklumi termasuk soal vaksin itu.

Setelah itu, ketua-ketua partai menyampaikan tanggapan. Dimulai dari Ibu Mega, Pak Prabowo, dan lain-lain. Saya dapat giliran sebelum yang terakhir. Sudah selesai habis itu makan bakso, bubar. Di situ, tidak ada bicara soal amendemen. Tidak ada.

Jadi, yang membahas soal amendemen itu waktu di Bogor. Yang ngomong Pak Syarif Hasan.

Pertemuan dengan ketua parpol ini juga tidak ada ngomong soal reshuffle, tidak ada ngomong soal koalisi, tidak ada ngomong amendemen. Tidak ada. Kalau setelah itu ramai soal amendemen, ya namanya juga demokrasi.

 

T: Jadi, sebenarnya narasi amandemen dan jabatan peresiden tiga periode semestinya sudah case closed ya?

J: (Amendemen) kan memang boleh. Itu memang kerjanya MPR sekarang yang merupakan rekomendasi dari MPR yang dulu. Nah, yang baru disepakati baru soal Pokok-Pokok Haluan Negara.

Di zaman saya tidak terjadi. Apalagi sekarang tambah ruwet. Tapi tetap, rekomendasi itu harus dijalankan oleh MPR.

Kemenpora
Presiden Joko Widodo memberikan sambutannya dalam peringatan Haornas ke-38. 

T: Apakah ada peluang jabatan presiden menjadi tiga periode dalam rekomendasi itu?

J: Yang bilang tiga periode siapa? Tanya deh sama Ketua MPR. Jangan pembahasannya dicampur. Yang jelas sampai sekarang, baru soal Pokok-Pokok Haluan Negara. Sudah.

Kalau soal presiden tiga periode kan dari (narasi) luar, dari berita kan. Kalau di MPR tidak ada.

 

T: Kalau begitu, siapa aktor yang ‘menggoreng’ narasi itu, Pak?

J: Ya kamu wartawan yang tahu, kan tiap hari diskusi ini.

 

T: Sikap PAN saat ini sendiri bagaimana menanggapi amandemen dalam waktu dekat?

J: Kami sepakat karena sudah dulu sudah sepakat soal Pokok-Pokok Haluan Negara. Tapi, zaman saya nyatanya tidak terjadi, apalagi sekarang?

Menurut saya, hampir tidak akan terjadi. Karena banyak sekali kepalanya nih. Merumuskan satu saja perlu tiga tahun. Itu pun tidak jadi. Apalagi banyak. Ini kan soal isi kepala. Sulit sekali.

 

T: Mengingat narasi itu sampai saat ini masih dimunculkan dan jadi polemik publik, apakah Presiden Jokowi perlu merespons lagi?

J: Ya namanya demokrasi, apa sih yang tidak digoreng-goreng?

 

T: Presiden Jokowi perlu merespons lagi atau tidak?

J: Ya tanya Pak Jokowi dong. Masak tanya saya. Tetapi, Presiden sudah ngomong bolak-balik soal itu kan.

 

T: Jadi, tidak perlu lagi Presiden merespons ya?

J: Sudahlah.

Tapi, MPR itu bekerja sesuai rekomendasi. Kan saya kasih rekomendasi. Masak saya bilang tidak? Kan ada tanda tangan saya rekomendasinya untuk melanjutkan itu. Namanya PPHN. Ada tujuh poin.

Tapi, soal amendemen tiga periode tidak ada, tidak pernah kita bahas. Kalau ada yang bahas, tanya ke orang yang membahas kok tanya ke saya.

KOMPAS.com/Fabian Januarius Kuwado
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan saat diwawancarai Kompas.com di rumah dinasnya, kawasan Widya Chandra, Jakarta, 6 September 2021.

 Kepercayaan publik dan tugas baru PAN 

 

T: Dengan bergabungnya PAN ke pemerintah, praktis partai politik yang menyatakan diri oposisi adalah PKS dan Demokrat. Sebab, sebagian besar partai politik parlemen maupun non-parlemen merapat ke pemerintah.

 

Dalam kondisi elite yang sudah terkonsolidasi seperti ini, kok masih banyak suara-suara miring, bully, mencaci sampai menghina pemerintah ya, Bang? Khususnya kepada sosok Presiden Jokowi. Fenomena terakhir yang muncul adalah mural dan vandalisme yang sebenarnya terulang.

 

Sebenarnya, konsolidasi elite ini mengakar kuat hingga ke akar rumput atau enggak sih?

J: Begini, demokrasi itu ukurannya suara kan. Waktu Pemilu, yang suaranya paling banyak PDIP. Kalau marah-marah kok PDIP yang menang? PAN kan posisi kedelapan. Kan yang milih rakyat, mereka juga yang memenangkan itu, ya kan?

Jadi, tanya dong sama yang marah-marah, kan kamu yang milih, kenapa marah-marah? Coba milih PAN dulu banyak, kan enak gitu, ya kan, gimana? Kamu enggak milih PAN, kamu enggak milih PAN, milih yang kamu pilih, kok marah-marah?

Belum kelar sudah dimarah-marahi, berarti milih dulu kenapa? Itu pertanyaannya. Apa karena sembako? Apa karena uang? Ya salahnya sendiri dong, sudah milih kok.

Pemenang pertama PDI Perjuangan, pemenang kedua Gerindra, lah kamu marah sama Gerindra, Gerindra suaranya banyak kamu yang milih, kok marah sama yang lain? Marah sama Gerindra dong, kenapa milih Gerindra dulu? Kenapa milih PDI-P, kenapa milih Golkar? Coba milih PAN, kan keren.

Itulah, jadi yang marah pun enggak konsisten. Wong dia pilih sendiri kok marah sendiri. Ya kan? Saya paling kecil suaranya, nomor delapan. Makanya milih hati-hati dong, besok-besok milih PAN aja deh. Kalau milih PAN Insya Allah lebih baik.

KOMPAS.com/WAHYU ADITYO PRODJO
Mural sosok Jokowi di sebuah tembok di Jalan Kebagusan Raya, Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada Selasa (31/8/2021) siang. Mural tersebut menyindir wacana Jokowi untuk maju menjadi presiden tiga periode.

T: Jadi apa arti suara-suara itu sebenarnya menurut Anda?

J: Ya tanya sama yang kritik. Tapi dalam demokrasi kan biasa. Karena orang itu baru disebut manusia kan kalau dia bebas bicara. Kalau ngomong saja enggak bisa, belum manusia itu. Makanya kita merdeka dulu itu agar bisa ngomong, bisa menyampaikan pikiran.

Kalau kasar-kasar itu, nah itulah yang saya enggak setuju, yang harus kita perbaiki. Kita ini kan bersaudara, sebangsa setanah air, bisa nyampaikan kritikan, sampaikan pikiran. Tapi kok sekarang ini bukan sampaikan pikiran, saling menghujat itu lho, saling memaki, saling menjelek, saling menghina, menista. Katanya kita ini negara yang ramah tamah, sopan santun, saudara, NKRI. Kenapa jadi begitu?

Kalau sekarang menjelekan, saling menyerang saling memfitnah, apa itu menyelesaikan soal? Saling menyakiti, kan sudah bersaudara, kita ini sesama saudara Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebangsa setanah air, terus apa happy-nya sih?

Tiongkok itu dulu waktu perang saudara enggak maju-maju, Jepang juga, Korea juga. Setelah mereka bersatu, wah coba lihat sekarang Tiongkok itu, Amerika pun ngeri kan, karena dia sudah satu. Nah kita ini kan sudah 76 tahun, satu kita. Tapi masak ribut terus kayak gini? Nah itu yang kita enggak mau.

PAN ini mencoba, ya walaupun masih dipilih nomor delapan, tapi kita tetap mencoba membantu menyelesaikan ini karena 76 tahun yang lalu saja sudah kita sepakati bahwa sebangsa setanah air, bersaudara.

Kalau kita masih begini terus, bisa saja Indonesia maju, tapi rakyatnya enggak karu-karuan, bisa saja. Ekonominya tumbuh, tapi kan rakyatnya enggak karu-karuan. Kalau sesama Islam aja enggak akur, bagaimana kita bisa maju? Apalagi sudah sesama Islam enggak akur, Islam dengan yang lain enggak akur lagi, waduh, terus kita mau ke mana?

PAN itu tengah-tengah. Sudah, jangan diajak-ajak lagi mau ke kiri, kanan, jangan begitu, tengah kita ini, sudah disepakati. Dan Pancasila itu sudah kesepakatan optimal, tapi Pancasila jangan nyanyian aja, jangan slogan untuk kampanye, jangan begitu dong. Ya praktikkan, PAN ingin mempelopori itu.

Tapi kadang-kadang ngajak kebaikan itu kan enggak diberitakan ya. Beda kalau saling ngatain, di dalam apa itu, mural. Satu aja sudah “waduh”. Coba ngomongin yang baik, sampai serak suara saya, belum tentu dimuat.

Tapi kami enggak akan lelahlah untuk terus mengajak persatuan. Karena kita ini baru 76 tahun merdeka terdiri dari bangsa-bangsa, suku-suku, belum selesai kita ini, belum, Makanya persatuan ini terus-menerus kita perkuat. Respek satu dengan yang lain, terserah kamu pilih apa ya terserah kamulah, tapi kita saling menghargai dong, saling respek dong sudah. Nanti kalau enggak suka kan pemilu lagi 2024, gitu ya kan.

Makanya saya minta juga hukum adil lah Pak Polisi. Tegakkan keadilan.

 

T: Maksudnya dalam kasus yang mana?

J: Ya semua. Agar keadilan ikut dirasakan publik. Jadi, kalau memang orang ini memecah belah ya diproses aja, mau dari mana pun, enggak apa-apa asal adil tadi. Kalau kerjaan cuma tiap hari adu domba, pecah belah, proses dong. Enggak ada yang kebal-kebal kan?

Jadi kami concern-nya terus kita meneguhkan janji kita ini lho, persatuan, kebangsaan.

Kalau ada yang tadi kasar-kasar gitu, kita cari juga dong apa penyebabnya. Apa kemiskinan, apa orang ini memang hopeless, ada juga orang kita yang hopeless. Kerjaan enggak punya, harapan enggak ada, mau nongkrong warung kopi enggak bisa bayar, mau nonton enggak punya uang, enggak ada apa-apa kan. Datang satu yang menghibur, surga surga', wah ya dia bisa terlena. Sebetulnya hopeless orang ini dan itu banyak. 

 

T: PAN sendiri dari elite hingga akar rumput, apakah solid?

J: 100 persen. Tapi masak kami tidak bisa kritik? Kan tidak mungkin benar semua juga, ada yang salah. Yang penting kritiknya tetap dengan cara-cara Indonesia.

 

T: Target perolehan suara PAN sendiri di 2024 bagaimana?

J: Insya Allah 60 kursi di DPR. Kalau sudah 60 kursi, saya kira masih bisa mewarnailah.

Partai Islam misalnya, wah saya paling benar, saya paling benar. Begitu sudah megang satu kementerian enggak boleh (diganggu) orang lain. Jangan begitu dong. Kalau semua begitu, gimana kita ini? Kalau PAN enggak begitu.

Siapa saja yang punya dasar kompetensi, prestasi, oke. Mau luar Jawa, Jawa. Kami terbuka, ahlusunah wal jamaah, tengah, tradisional, modern, moderat, tengah, karena di situ kita bisa maju. Kalau seperti itu lagi, tarik sana, tarik sini, wah sudah.

kompas.com/Firmansyah
Suasana kampanye PAN di Bengkulu

T: Memangnya Bapak melihat ada partai yang mematok kursi menteri seperti itu?

J: Ada juga yang begitu kan. Misalnya kamu jadi menteri apa, enggak boleh orang lain, harus kamu semua. Waduh gimana coba kayak begitu? Sampai tukang kebunnya juga dari kamu nanti, waduh gimana kayak gitu? Kan repot kalau begitu. Nanti seperti itu satu, yg lain begitu juga, enggak begitu dong.

Ayo apalagi (pertanyaannya)? Sudah serak nih suara saya.

 

T: Hahaha…Pertanyaan terakhir, Pak. Apa yang kurang di sisa pemerintahan Jokowi dan mesti digenjot?

J:  Kami PAN ingin membantu pemerintah untuk menjembatani komunikasi dengan kelompok-kelompok yang kata kamu tadi keras-keras itu. Kita akan mencoba nih jadi jembatan karena sisa tiga tahun ini…Eh bukan sisa ya. Periode kedua ini…Sisa itu kan bahasanya jelek.

Jadi periode kedua ini, saya berharap, PAN bisa berperan untuk merangkul. Kan persaingan sudah usai, Kami ingin diperankan untuk merangkul. Kami harap pemerintah merangkul sebanyak-banyaknya sisa-sisa persaingan pilpres 2014 dan 2019.

Nah peran kami untuk merangkul itu dan problem-problem yang ada saatnya tidak saling menyalahkan, tapi cari jalan keluarnya. Kalau menyalahkan enggak habis-habis, wong kita ini memang banyak salahnya, namanya juga Indonesia. Kita cari apa yang menyebabkan gitu.

Tadi misalnya, orang hopeless. Kenapa hopeless?Anak-anak muda enggak ada harapan, kita cari. 'Oh dia enggak ada modal, enggak bisa usaha'. Harusnya pemerintah kasih peluang dong. Eh ini ada tambang, ini pemerintah kasih modal kasih alat, nanti untungnya bagi sama pemerintah, ini misalnya lho.

Ini ada anak-anak sekolah baru lulus, enggak punya uang untuk lanjut. Oh ini dikelola ya kan, Nanti peran BUMN masuk. Ada jalan keluarnya gitu. Mereka perlu keterampilan, dikasih modal untuk terampil agar dia tidak keras sikapnya gitu.

Petani juga kita cari persoalannya. Misalnya apa? Pupuk subsidi, itu kita selesaikan. Seperti itu kan lebih penting ketimbang kita cari salah terus enggak kelar-kelar.

Itulah yang ingin kita perankan PAN bisa menjembatani berbagai kelompok masyarakat yang tadi itu berbeda pandangan atau yang dianggap sangat keras itu untuk kita jembatani, saatnya kita ini merangkul, cari sebabnya apa, yang perlu diatasi yang perlu diselesaikan.

Cara memukul sudah enggak zaman. Mau dipukul gimana? Ini saudara kita semua. Saya pukul kamu, kamu kan saudara saya, masak saya pukul lagi pukul lagi, mau ke mana kita ini? Kita ini keluarga besar. Sudah hentikan, mari merangkul sehingga periode kedua ini luka-luka Pilpres 2014-2019 pelan-pelan kita bisa obati.

Oh iya satu lagi. PAN ingin memberikan dukungan kepada pemerintah soal penagihan kasus BLBI. Kan sekarang sudah ada satgas yang mengurus itu. PAN mendukung pemerintah untuk menekan pengutang BLBI untuk membayar. Ingat, situasi negara sedang susah. PAN sangat mendukung langkah pemerintah itu.

Dok. Youtube Kementerian Keuangan
Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Ketua Harian Satgas BLBI Rionald Silaban ketika menyita aset milik salah satu obligor BLBI di daerah Lippo Mall Karawaci, Tengerang, Jumat (27/8/2021).