JEO - Lifestyle

Anak dengan HIV
Bisa Berprestasi dan Tidak Perlu Dibedakan

Senin, 22 Juli 2019 | 11:07 WIB

Fakta mendapati anak dengan HIV/AIDS (ADHA) bisa tumbuh sehat dan bahkan berprestasi.

STIGMA tentang anak dengan HIV/AIDS (ADHA), kerap kali jadi penghalang bagi anak-anak ini untuk mendapatkan akses pendidikan. Bahkan hak untuk bermain bersama teman sebaya pun bisa terberangus.

Padahal, ADHA—terutama anak-anak dengan HIV—dapat tumbuh sehat seperti anak-anak lain, selama rajin mengonsumsi obat. Mereka tetap dapat bersekolah bahkan mengembangkan potensi masing-masing.

"Anak-anak ini tidak perlu diistimewakan, selain minum obat rutin, tidak ada yang beda. Jangan membeda-bedakan atau memberi label," ujar dr Nia Kurniati SpA(K), Rabu (17/7/2019).

Seandainya guru atau sekolah mengetahui kondisi anak, mereka bisa melihat sisi positifnya. Misal, sebut Nia, lebih mengerti untuk memberi izin ADHA berobat rutin agar mendapatkan obatnya.

Yang patut jadi catatan, kondisi ADHA bisa naik turun, tergantung pada kepatuhannya dalam mengonsumsi obat.

"Kalau ada masalah-masalah lain guru bisa melindungi. Penyelesaian masalah bisa dengan duduk bersama, tidak perlu menyentuh. Anak ini enggak tahu statusnya, jadi mengapa disalahkan," kata dokter anak yang bertugas di Unit Pelayanan Terpadu HIV RSCM Jakarta ini.

Yang patut jadi catatan, kondisi ADHA bisa naik turun, tergantung pada kepatuhannya dalam mengonsumsi obat.

"Ketika sedang down, virusnya bisa muncul lagi. Kalau sudah begini, kita berusaha supaya dicarikan obat baru atau minta dia memperbaiki kepatuhan minum obat, atau menyelesaikan problem lainnya," papar Nia.

Selain konsumsi obat, anak dengan HIV/AIDS ini juga sudah diajarkan sejak dini agar mandiri dengan cepat. Ketika terjatuh dan terluka, misalnya, mereka diajari untuk dapat menolong diri sendiri tanpa bantuan orang lain. 

"Dibanding anak lain, anak-anak ini lebih mandiri. Misalnya kalau jatuh sudah diajarkan untuk segera ke kamar mandi, mencuci lukanya, lalu pakai plester. Kami selalu menyelipkan informasi seperti itu," paparnya.

 KUNCINYA: MINUM OBAT

OBAT untuk HIV adalah antiretroviral (ARV) yang harus dikonsumsi setiap hari untuk menekan jumlah virus HIV sehingga kekebalan tubuh tetap terjaga.

Nia mengatakan, mayoritas ADHA dalam kondisi sehat dan jarang sakit. Mereka pun bisa tumbuh sehat layaknya anak yang tidak terinfeksi.

"Kalau pun sakit frekuensinya sama dengan anak yang tidak HIV, seperti ketularan pilek di sekolah. Jadi kita jangan menghakimi ADHA pasti gampang sakit," ujarnya.

Ia menuturkan, memang 30 persen ADHA dalam kondisi yang lemah dan sakit. Tapi, sebagian besar berada dalam kondisi yang sehat.

"Mereka bahkan protes kenapa harus minum obat setiap hari dan periksa ke dokter rutin karena merasa tidak sakit," kata dia. 

Baca juga: Peta Interaktif - Merata Se-Indonesia, Sebaran Anak dengan HIV/AIDS

Seperti anak-anak pada umumnya, ADHA juga terkadang susah diminta disiplin dan bosan mengonsumsi obat. Padahal, jika tidak minum obat berisiko tubuhnya kebal obat sehingga harus mengonsumsi obat lini kedua yang harganya jauh lebih mahal.

Obat ARV tersebut dijamin ketersediaannya oleh pemerintah dan diakses gratis oleh masyarakat.

Ilustrasi HIV/AIDS
SHUTTERSTOCK/HAFIEZ RAZALI
Ilustrasi HIV/AIDS

"Pasien mendapatkan ARV dari rumah sakit yang sudah terdaftar. Memang tidak semua rumah sakit dan dokter bisa meresepkan karena pemberian ARV ini lebih rumit dari tatalaksana pengobatan biasa," kata Nia.

Kepatuhan dalam mengonsumsi obat, lanjut dia, akan berpengaruh besar pada kesehatan ADHA.

"Saya kenal ADHA yang sudah minum obat sejak bayi karena ia tertular dari orangtuanya. Sampai sekarang di usia sekitar 25 tahun ia tetap sehat dan sudah dua tahun lalu lulus kuliah dan sudah bekerja," kata Nia.

Di negara maju, tak sedikit orang dengan HIV/AIDS yang hidup sehat dan produktif walau tertular HIV sejak bayi.

Di negara maju, tak sedikit orang dengan HIV/AIDS yang hidup sehat dan produktif walau tertular HIV sejak bayi.

"Dalam hal pengobatan kita sama dengan negara-negara lain karena lini pengobatannya sesuai standar WHO," ujarnya.

Pekerjaan rumah yang masih dimiliki Indonesia, imbuh Nia, adalah pencegahan penularan dari ibu ke bayi.

"Di seluruh dunia arahnya ke sana, tidak ada lagi pasien bayi baru. Thailand sudah mengklaim tidak ada lagi penularan ke bayi, Malaysia sudah satu sampai dua persen. Kita masih 30 persen," katanya.

Menurutnya, ada banyak faktor yang membuat pencegahan penularan itu belum mencapai target.

"Kita tidak bisa menyalahkan ibu, karena kadang-kadang si ibu tidak tahu kalau dia HIV. Jadi banyak hal yang masih harus diperkuat, koordinasi kita kurang kuat," ujarnya.

Di lain pihak, Hikmah menilai pada anak yang mulai remaja, paparan pornografi, dan narkoba juga harus dicegah untuk mencegah penularan HIV.

Ia menjelaskan, anak remaja yang terpapar pornografi atau menjadi korban kekerasan seksual lebih beresiko melakukan hubungan seksual yang tidak aman.

"Keterpaparan anak dari pornografi harus kita cegah, termasuk penanganan anak korban kekerasan harus sampai tuntas agar tidak ada korban baru," katanya.

 

CERITA DARI SOLO

SALAH satu bukti ADHA bisa berprestasi, datang dari Solo, Jawa Tengah. Ini kisah M (14), salah satu anak penyintas HIV/AIDS yang tinggal di Yayasan Lentera Solo. 

Di kelas, di salah satu SMP Negeri di kota itu, M menempati peringkat pertama di antara 26 siswa sekelas. 

Saat ditemui Kompas.com, ternyata M memang berprestasi sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

"Dulu waktu SD memang dapat peringkat dua atau empat. Terus kemarin pas kelas satu SMP, dapat ranking satu," ucap M sambil tertawa manis, Rabu (17/7/2019).

M menceritakan, tak ada cara belajar khusus yang diterapkan. Dia hanya mengulangi pelajaran yang diberikan di sekolah pada malam hari.

Baca juga: ADHA, Data Sebaran Interaktif Per Provinsi

"Kalau aku (minta bantuan) pelajaran Matematika saja. Kalau ada yang tidak bisa itu baru tanya ke mbaknya (pengasuh)," ujar dia.

Anak kelahiran Kediri, Jawa Timur ini mempunyai cita-cita mulia, yakni menjadi seorang guru matematika.

Saat ujian tiba, M belajar lebih giat disbandingkan hari-hari biasa. Tak beda dengan anak-anak lain, bukan?

“Kalau ujian (saya) sore belajar, malam belajar. Di sekolah pas pagi belajar lagi,” tutur dia.

Cerita hidup

M bergabung di Yayasan Lentera sejak empat tahun lalu, ketika ia duduk di kelas 5 SD.

Anak perempuan ini mempunyai seorang adik yang juga terdeteksi terkena virus HIV/AIDS. Mereka kini sama-sama tinggal di Yayasan Lentera. 

Singkat cerita, setelah Ibu mereka meninggal dunia, mereka mengalami didiskriminasi dari masyarakat kampung asalnya. 

"Mereka kemudian diberi ruang di kelurahan, sebelum kami bawa ke Lentera," ujar salah satu pendiri Yayasan Lentera Yunus Prasetyo.

Secara fisik, tak ada yang membedakan M dengan anak lainnya. Anak ini tumbuh menjadi gadis cantik dengan rambut di bawah bahu.

M mudah akrab dengan orang asing yang ditemuinya, asalkan dia nyaman.

Seperti penuturan Nia, disiplin minum obat dan kemandirian mewarnai keseharian M, justru karena situasi dan kondisi yang dia hadapi. 

Sekali dalam sebulan, M harus kontrol ke rumah sakit daerah di Solo.

"Harus ikut kalau kontrol, karena kalau anaknya (yang sakit) tidak ikut, obatnya tidak bisa diambil," tutur M.

Setiap jadwal kontrol tiba, anak-anak dari Yaysan Lentera izin tidak bersekolah.

Menurut M, sehari dia harus dua kali minum obat yang didapat, pada siang dan malam. 

Anak-anak di yayasan ini juga terlatih mandiri sejak kecil. Mereka terbiasa mencuci dan menyetrika baju sendiri.

"Setiap kamar harus dibersihkan sendiri. Kasurnya harus ditata. Kalau sudah besar menyetrika sendiri. Bantu jagain adeknya yang masih bayi," ucap M sambil tersenyum.

Letak sekolah M terbilang lumayan jauh dari lokasi yayasan. Ketika berangkat ke sekolah, M diantar oleh pengasuh. Namun, M harus naik kendaraan umum saat pulang.

"Berani (naik BST). Awal MOS udah naik BST," tutur dia.

Anak-anak di sini juga mendapat fasilitas telepon genggam, meski dengan batasan pemakaian. 

"Kalau kita sekolah, habis pulang sekolah dikasih dua jam (menggunakan telepon genggam), kalau malam satu jam," ujar M.

Aktivitas yang diceritakan M tak banyak berbeda dengan cerita anak-anak sebayanya, bukan?

Baca juga: ADHA, Menantang Arus Deras Stigma HIV/AIDS

JEO ini merupakan bagian dari serangkaian tulisan dan informasi mengenai ADHA yang menjadi tema peliputan bersama Kompas.com, harian KompasKompas TV, dan Kontan, mulai edisi 22 Juli 2019.

Bagi kami, ADHA merupakan bagian dari mereka yang termarjinalisasi. Kami menyebut kolaborasi kerja 4 K—empat huruf depan nama media kami—sebagai "Voice for Voiceless".

"Salah satu tugas jurnalisme, menyuarakan mereka yang suaranya tidak terdengar. Kami mencoba menyuarakannya dalam bentuk liputan khusus, Voice for Voiceless. Rangkul Anak dengan HIV/AIDS menjadi tema pekan ini," ungkap Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Sutta Dharmasaputra, selaku "dirigen" dari kerja bareng ini, Minggu (21/7/2019).

Kompas TV akan menyajikan pula rangkaian peliputan dan eksperimen sosial terkait ADHA dalam program Berkas Kompas yang akan tayang pada Selasa (23/7/2019), bertepatan dengan peringatan Hari Anak Se-Dunia.

Saatnya merangkul ADHA.

#RangkulADHA #VoiceForVoiceless #4K