JEO - Insight



Anomali
Mobil Elektrifikasi
di Tengah Pandemi

Kamis, 19 November 2020 | 12:55 WIB

Mobil elektrifikasi tidak sebatas mobil listrik (BEV). Ada juga mobil hybrid (HEV) dan plug-in hybrid (PHEV).

Tren industri otomotif nasional dan mobil elektrifikasi dikupas tuntas di sini, termasuk perkembangan situasi di tengah pandemi. 

PANDEMI masih berlangsung di Indonesia. Semua sektor industri di Indonesia terpukul, termasuk otomotif nasional.

Menariknya, justru semakin banyak merek-merek otomotif yang menjajakan mobil elektrifikasi di pengujung tahun ini.

Apakah ini anomali?

Kondisi pasar otomotif lagi menukik, sektor keuangan atau pembiayaan sebagai penopang utama penjualan mobil baru terpuruk. Uang pangkal melilit, kredit otomatis lebih sulit cair.

Namun, mengapa mobil berteknologi elektrifikasi justru bermunculan di tengah situasi yang kontraproduktif terutama kondisi perekonomian masyarakat?

ERA mobil elektrifikasi merupakan keniscayaan. Namun, seberapa cepat Indonesia menerima kemajuan teknologi ini akan sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur dan kekuatan ekonomi konsumen.

Terlebih lagi, harga mobil elektrifikasi punya banderol relatif lebih mahal ketimbang mobil konvensional. 

Status mobil sebagai kebutuhan tersier membuat posisinya bisa digantikan oleh kebutuhan primer dan sekunder, apalagi di tengah situasi pandemi seperti sekarang.

Bicara mobil listrik (battery electric vehicle alias BEV), sampai saat ini pasarnya belum ada di Indonesia. Paling cepat, BEV baru akan masuk Indonesia pada 2021.

Namun, mobil elektrifikasi tak sekadar bicara BEV. Ada teknologi lain yang juga masuk kategori mobil elektrifikasi, yaitu hybrid electric vehicle (HEV) dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV).

Seperti umumnya standar keputusan bisnis prinsipal otomotif dunia, jika memang ada pasar yang menjanjikan di Indonesia untuk mobil elektrifikasi maka produk-produk dan merek-merek unggulan pasti bermunculan dengan sendirinya.

Namun, kesiapan infrastruktur untuk BEV dan PHEV masih belum terpenuhi untuk mencapai ekosistem yang ideal.

Belum lagi, ada tuntutan perubahan budaya pengguna produk otomotif dalam penggunaan mobil elektrifikasi. Perubahan budaya ini bisa disebut dari hal terkecil seperti kebiasaan isi bensin yang butuh waktu lima menit jadi cas baterai minimal 30 menit.

Proses perawatan mobil elektrifikasi pun butuh edukasi panjang pada sumber daya manusia yang bekerja di sektor pendukung utama seperti bengkel.

Perubahan juga jadi tuntutan dalam kebiasaan merawat kendaraan dan proses daur ulang baterai mobil elektrifikasi. Ini butuh penyesuaian tersendiri dalam jangka menengah dan panjang.

Baca juga: Sebelum Punya Mobil Listrik, Belajar Dahulu Cara Merawat Baterainya

Pertanyaan besarnya, apakah minat serta kekaguman pada mobil elektrifikasi cukup membuat teknologi ini eksis di Indonesia?

Ini ulasan lengkapnya....

 

 MENU ARTIKEL: 

 Klik menu di bawah ini untuk langsung melompat ke topik yang dikehendaki 

           
    
    

Gulirkan layar untuk langsung membaca secara berurutan...

⏰ Waktu baca: 4 menit 

 SITUASI PASAR
OTOMOTIF NASIONAL

PENJUALAN kendaraan bermotor roda empat di pasar domestik tahun ini mengalami penurunan tajam dibandingkan tiga tahun sebelumnya.

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), realisasi distribusi dari pabrik ke diler (wholesales) selama Januari-Agustus 2020 hanya berada di angka 323.507 unit.

 

Capaian tersebut melemah sebesar 51,3 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya yang mencapai 664.134 unit. Sementara pada 2017 dan 2018, realisasi penjualan mobil nasional mampu mencapai 714.114 unit serta 763.344 unit.

"Tahun ini memang terasa berat karena ada pandemi Covid-19 yang berdampak pada berbagai sektor, seperti perusahaan pembiayaan," kata Business Innovation and Sales & Marketing PT Honda Prospect Motor (HPM) Yusak Billy kepada Kompas.com, Minggu (27/9/2020).

Menurut Yusak, pada masa pandemi berbagai perusahaan pembiayaan melakukan pengetatan seleksi untuk pemberian kredit. Salah satunya, dengan cara membuat uang muka atau down payment (DP) tinggi sampai 50 persen.

"(Padahal), sebagaimana kita tahu, 50-60 persen konsumen di Indonesia mengandalkan kredit saat membeli mobil," ujar Yusak.

Pengetatan seleksi pemberian kredit bisa dipahami juga. Ini adalah upaya menghindari kredit macet di kemudian hari sebagai dampak lanjutan pandemi.

Baca juga: Penjualan Mobil Bisa Pulih Cepat, Industri Otomotif Harus Bertahap

Meski demikian, pelonggaran pelahan mulai terjadi. Pasar pun dinilai punya potensi mulai tumbuh lagi. 

"Pada saat April-Mei lalu, DP mencapai 40-50 persen. Itu sangat memberatkan konsumen. Tapi sekarang sudah berada di level 20-25 persen, bahkan ada yang 15 persen," sebut Yusak.

Marketing Director PT Toyota Astra Motor (TAM) Anton Jimmy Suwandi mengatakan, pasar akan bergerak positif jika momentum pada Juni-Agustus terjaga dengan baik.

"Tidak mengherankan karena pada kondisi ini (pandemi), leasing sudah berdampak sehingga mengeluarkan berbagai kebijakan seperti pengetatan DP dan semakin selektif dalam memilih nasabah," kata Anton.

Ilustrasi penjualan mobil
KOMPAS.com/STANLY RAVEL
Ilustrasi penjualan mobil

Langkah pemerintah merangsang ekonomi yang mampat karena pandemi pun diyakini akan merembes ke industri otomotif.

"Dari Suzuki, kita terus monitoring keadaan terkini dan memberikan stimulus yang efektif serta efisien," ucap Head of 4W Brand Development & Marketing Research PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) Harold Donnel.

Soal penjualan, mobil keluarga murah dengan kapasitas tujuh penumpang alias low multi purpose vehicle (LMPV) menjadi kontributor utamanya selama empat tahun berturut-turut (2017-2020).

Secara rinci, pada Januari-Agustus 2017 Avanza Cs berhasil menguasai pasar hingga 23,7 persen dari penjualan nasional. Kemudian satu tahun setelahnya, terjadi sedikit penurunan menjadi 23 persen.

Sebab, sebagian besar kue dari LMPV dan LSUV beralih ke low cost green car (LCGC). Kala itu, pasar mobil murah mengalami lonjakan dari 22,7 persen menjadi 30,4 persen.

Kemudian di 2019, saat terjadi perlambatan penjualan imbas tahun politik, pasar LMPV masih bisa menahan pangsa pasarnya sebesar 22,8 persen. Sedangkan LCGC turun jadi 20,6 persen.

Meski total penjualan di 2019 melemah secara signifikan, pangsa pasar LMPV tetap berada di level 20 persen dengan volume 151.936 unit. Adapun LCGC, kini berada di 19,7 persen.

 

 



 

TREN PASAR
MOBIL ELEKTRIFIKASI
DI INDONESIA 


KEMENTERIAN Perhubungan (Kemenhub) telah mengeluarkan 2.278 surat sertifikasi uji tipe (SRUT) untuk kendaraan berbasis listrik, terhitung sampai September 2020. Dari jumlah itu, 229 SRUT dikeluarkan untuk kendaraan berbasis listrik beroda empat. 

Selain SRUT, Kemenhub telah mengeluarkan pula surat uji tipe (SUT). Hingga September 2020, ada 29 unit kendaraan berbasis listrik beroda empat yang telah mendapat SUT. 

SRUT adalah sertifikasi yang diberikan kepada kendaraan yang siap digunakan di jalan.

“SRUT diperlukan sebagai salah satu syarat kendaraan mendapatkan STNK (surat tanda nomor kendaraan bermotor),” ucap Kepala Seksi Sertifikasi pada Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Jabo Nur Utip, kepada Kompas.com, belum lama ini.

Baca juga: Mengenal SRUT, Dokumen Penting Kendaraan yang Sering Luput dari Perhatian

Adapun SUT adalah pengujian terhadap fisik kendaraan bermotor atau penelitian terhadap rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor sebelum diproduksi atau dirakit atau diimpor secara massal.

“Setelah mendapatkan SUT, model mobil listrik mereka baru bisa diproduksi atau diimpor,” kata Jabo.

Ilustrasi perakitan mobil menggunakan mesin yang juga dibuat lokal Indonesia.
KOMPAS.com/AGUNG KURNIAWAN
Ilustrasi perakitan mobil menggunakan mesin yang juga dibuat lokal Indonesia.

Beberapa merek yang telah mendaftarkan mobil listrik dan mendapatkan SRUT di antaranya, ARRTU, Tesla, BYD, Mitsubishi, dan Hyundai.

Jika berkaca dari data wholesales—penjualan dari pabrik ke dilerGaikindo, sejak tahun lalu rupanya sudah ada mobil elektrifikasi yang terjual, yaitu, Mitsubishi Outlander PHEV. Mobil ini telah terjual 20 unit di sepanjang 2019.

Kemudian pada periode Januari hingga Agustus 2020, terlihat ada peningkatan penjualan. Mitsubishi Outlander PHEV, misalnya, terdistribusi dari pabrik ke diler sekitar lima unit, dan Hyundai Ioniq EV sebanyak 22 unit.

Artinya, secara total mobil listrik berdasarkan data Gaikindo pada Januari-Agustus 2020 baru mencapai 27 unit, berselisih 202 unit dengan data SRUT dari Kemenhub.

Berikut ini kendaraan berbasis listrik dengan roda empat yang telah mendapatkan SRUT:

 


MOBIL ELEKTRIFIKASI
YANG TERSEDIA
DI PASAR

BICARA mobil elektrifikasi di Indonesia sejatinya tidak melulu soal mobil listrik atau battery electric vehicle (BEV).

Mobil listrik alias BEV murni memanfaatkan baterai dan motor elektrik sebagai sistem penggerak. Namun, teknologi BEV belum lazim di Indonesia. Di dunia pun porsinya masih kecil.

Adapun konsep elektrifikasi adalah kendaraan yang memanfaatkan baterai dan motor elektrik tetapi tidak sepenuhnya, karena masih menggunakan mesin konvensional juga.

Teknologi kendaraan elektrifikasi yang seperti ini disebut juga sebagai hybrid atau hibrida.

Jenisnya ada berbagai macam, seperti hybrid electric vehicle (HEV) dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV).

Jenis HEV dan PHEV ini yang sudah dijual secara umum ke konsumen di Indonesia. Adapun BEV masih minim dan kalaupun sudah ada lebih banyak dimanfaatkan oleh kendaraan niaga untuk operasional.

Spesifikasi dan Data Toyota Corolla Cross Hybrid - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Meski demikian, upaya menyambut era kendaraan listrik di Indonesia mulai dilakukan. Pabrikan mulai menghadirkan produk terbaiknya untuk pasar Tanah Air.

Spesifikasi dan Data Toyota All New Camry Hybrid - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Penciptaan ekosistem kendaraan listrik juga didukung oleh para penyedia transportasi non-pribadi alias massal seperti taksi konvensional dan berbasis aplikasi.

PT BlueBird Tbk, misalnya, pada semester pertama 2019 resmi meluncurkan dua kendaraan taksi listrik di Indonesia. Mereka menggunakan 25 unit BYD e6 dan empat Tesla Model X 75D.

Spesifikasi dan Data BYD e6 - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Khusus Tesla Model X yang notabene mobil listrik segmen premium, layanannya ditawarkan untuk moda Silverbird alias layanan premium mereka.

Spesifikasi dan Data Tesla Model X 75D - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Satu tahun setelahnya, Grab Indonesia menghadirkan 20 unit Hyundai Ioniq Electric dengan status angkutan sewa khusus (ASK), yaitu taksi online berpelat hitam.

Mobil ini bisa dinikmati masyarakat Indonesia lewat pemesanan di aplikasi Grab hasil kerja sama perseroan dengan PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia.

Menariknya, Ioniq juga mau dijual massal oleh Hyundai Indonesia dalam waktu dekat. Tentu, model yang dilego akan sedikit berbeda dengan yang menjadi armada angkutan Grab.

Spesifikasi dan Data Hyundai Ioniq - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Presiden Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menyatakan, mobil ini bisa ditemui konsumen di Terminal 3 dan 2 Bandara Soekarno-Hatta.

Adapun pabrikan otomotif lain yang memasarkan mobil serupa hingga saat ini ada juga BMW dengan i3S, Nissan Kicks e-Power, dan Mitsubishi Outlander PHEV. 

Spesifikasi dan Data BMW i3s - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)


KONDISI PASAR
MOBIL ELEKTRIFIKASI
SAAT INI

KONDISI pasar mobil yang tengah berat menghadapi pandemi yang disusul resesi ekonomi, otomatis juga dialami oleh mobil berteknologi listrik mulai tipe hybrid, plug-in hybrid (PHEV), hingga battery electrified vehicle (BEV).

Meskipun, dalam beberapa tahun terakhir tren elektrifikasi semakin ramai. Beberapa merek mulai mengeluarkan jagoannya di sejumlah segmen.

Misalkan, Toyota yang pada tahun ini memiliki sekitar lima mobil elektrifikasi, yang terdiri dari Prius PHEV, Camry Hybrid, Corolla Altis Hybrid, C-HR Hybrid, dan Corolla Cross Hybrid.

Spesifikasi dan Data Toyota C-HR Hybrid - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Lexus juga punya tiga perwakilan di segmen mobil elektrifikasi, yaitu sedan mewah ES 250H dan ES 300H, serta SUV UX 250H.

Kabar terbaru, Lexus UX 300e yang adalah BEV alias mobil listrik murni, direncanakan meluncur ke Indonesia pada 2021.

Spesifikasi dan Data Lexus UX 300e - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

"Kami akan menghadirkan kendaraan listrik untuk pasar retail melalui brand Lexus. Dari studi kami, yang paling siap menyerap teknologi tersebut ialah segmen premium," kata Direktur Marketing TAM Anton Jimmi Suwandy, dalam konferensi virtual, Rabu (18/11/2020).

Adapun Hyundai, Mitsubishi, dan BMW masing-masing punya satu kendaraan di pasar mobil elektrifikasi.

Spesifikasi dan Data Mitsubishi Outlander PHEV - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Bicara data penjualan sepanjang Januari hingga Agustus 2020, mobil elektrifikasi mau tidak mau kena pula dampak pandemi Covid-19.

Menurut data Gaikindo, selama 8 bulan berjalan mobil elektrifikasi hanya bisa terjual 476 unit. Turun drastis dari capaian pada 2019 yang mencapai 852 unit.

Spesifikasi dan Data Nissan Kicks e-Power - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Padahal, perolehan tahun lalu sudah meningkat pesat dibandingkan pada 2018 yang hanya bisa mencatakan penjualan 44 unit selama setahun.

Harga yang tergolong mahal dibandingkan mobil-mobil bermesin konvensional membuat segmen mobil elektrifikasi punya kantong kosumen tersendiri.

Spesifikasi dan Data Hyundai Kona Electric - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Karakter konsumen mobil elektrifikasi adalah mereka dengan kondisi ekonomi mapan yang cenderung sadar teknologi.

 

 


KESIAPAN INDUSTRI
MOBIL ELEKTRIFIKASI

Submenu bagian ini:
   
    

BERBAGAI mobil berteknologi elektrifikasi yang sudah seliweran di Indonesia khususnya Ibu Kota, statusnya masih terbatas. Semua mobil berteknologi maju ini diimpor utuh alias completely built up (CBU) dari negara lain. Artinya, belum ada yang diproduksi lokal.

Bicara pemberdayaan ekonomi, status impor tentu saja tidak bernilai banyak bagi Indonesia. Paling penting adalah bisa memproduksi mobil elektrifikasi itu secara lokal.

Ketika produksi dilakukan di dalam negeri alias lokal, ini akan berarti investasi terserap, tercipta tenaga kerja baru, dan industri pendukung bertumbuh, sehingga keberadaannya punya pengaruh besar pada ekonomi negara.

Para produsen kendaraan bermotor di dalam negeri menyambut baik upaya pemerintah mempercepat era kendaraan listrik nasional sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2019.

Upaya yang mulai terlihat mulai dari komunikasi berkelanjutan dengan prinsipal hingga hadirnya beragam produk kendaraan rendah emisi di pasar, baik dari tipe hybrid, plug-in hybrid (PHEV), maupun yang berteknologi listrik sepenuhnya (battery electric vehicle/BEV).

Akan tetapi, baru segelintir pabrikan yang telah menyatakan kesiapan untuk produksi jenis kendaraan tersebut secara lokal.

Toyota Group

Di antara pabrikan yang telah menyiapkan produksi kendaraan elektrifikasi di Indonesia adalah Toyota Group. Ini dilakukan lewat investasi berkelanjutan sebesar Rp 28 triliun dengan masa kesepakatan 2019-2024.

"Investasi ini untuk pengembangan Toyota, Daihatsu, dan Hino di Indonesia," kata Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono kepada Kompas.com.

Warih belum dapat merinci lebih lanjut soal penggunaan investasi tersebut. 

"Tapi di dalamnya sudah termasuk persiapan program elektrifikasi," ujar dia.

Terkait pengembangan mobil elektrifikasi ini, Warih menyebut produksi mobil listrik di Indonesia butuh persiapan besar. Ini terutama menyangkut perubahan lini produksi seiring dengan berubahnya komponen yang diperlukan.

Baca juga: Bertemu Kemenperin, Toyota Pastikan Produksi Mobil Hybrid pada 2022

Sembari menunggu persiapan itu, Toyota Indonesia meluncurkan beberapa jenis mobil untuk merangsang dan sosialisasi ke konsumennya.

Model yang sudah beredar itu adalah Alphard hybrid, C-HR hybrid, Camry hybrid, Prius hybrid, Corolla Cross hybrid, serta Prius PHEV.

Toyota Prius Hybrid di GIIAS 2019
KOMPAS.com/STANLY RAVEL
Toyota Prius Hybrid di GIIAS 2019

Terbaru, Toyota berencana pula meluncurkan mobil listrik murni (BEV) dari kelas premium mereka, Lexus UX 300e, pada 2021. 

Mitsubishi

Komitmen juga datang dari Mitsubishi Motors Corporation (MMC). Pabrikan ini berencana meluncurkan Xpander Hybrid (HEV/hybrid electric vehicle) di Asia Tenggara pada 2023.

Langkah ini masuk pada rencana bisnis jangka menengah perseroan tahun fiskal 2020-2023. 

"Benar, MMC memiliki rencana untuk mengembangkan Xpander HEV. Tapi saat ini kami belum dapat berkomentar lebih detail," kata HR & GA Director PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia (MMKI) Prianto saat dikonfirmasi Kompas.com belum lama ini.

Sebagaimana diketahui, produsen asal Jepang ini menjadikan Indonesia sebagai basis produksi untuk model Xpander.

"Terkait Xpander, MMKI adalah pabrik induk untuk model ini. Perakitan Xpander di luar Indonesia diharapkan dapat meningkatkan ekspor CKD yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi MMKI," lanjut Prianto dalam kesempatan terpisah.

Mitsubishi Xpander Cross Rockford Fosgate Black Edition
DOK MMKSI
Mitsubishi Xpander Cross Rockford Fosgate Black Edition

Sebelumnya, pada konferensi pers virtual, Senin (27/7/2020), Presiden Direktur PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia (MMKSI) Naoya Nakamura menyatakan, Xpander HEV akan menjadi kendaraan hibrida pertama yang mereka kembangkan sendiri.

Harapannya, pengembangan tersebut mampu memenuhi permintaan pasar Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara akan mobil keluarga yang ramah lingkungan. Harga juga jadi pertimbangan. 

"Xpander merupakan kendaraan MPV dengan target konsumen yang beragam, sehingga kami ingin menyediakan produk yang terjangkau," ujar Nakamura.

Hyundai

Kabar lain datang dari pabrikan dari Korea Selatan, Hyundai Motor Company. Mereka tengah melakukan percepatan pembangunan pabrik mobil di kawasan Deltamas, Bekasi, Jawa Barat. Targetnya, pembangunan rampung pada 2021.

Kapasitas produksi yang direncanakan di pabrik tersebut adalah 300.000 unit per tahun. Rencananya, di sini pula dilakukan perakitan kendaraan listrik terlarisnya, yakni Ioniq dan Kona.

"Keduanya ini bagian dari banyak lini produksi yang dipersiapkan Hyundai untuk Indonesia," ujar Presiden Direktur Hyundai Motor Asia Pasifik Young Tack Lee dalam keterangan resminya.

Kendati demikian, perseroan belum mengungkapkan secara pasti rencana produksi itu dilaksanakan. Pada tahap awal, pengadaan Ioniq dan Kona listrik di Tanah Air statusnya adalah completely built-up (CBU).

Honda, Suzuki, dan Nissan

Pabrikan otomotif lain seperti Honda, Suzuki, dan Nissan masih melaksanakan diskusi intensif dengan prinsipal. Akan tetapi, mereka tetap meramaikan pasar dengan kehadiran produk serupa dengan status impor secara utuh.

Nissan, misalnya, mendatangkan Nissan Kicks dari Thailand, sementara Suzuki memboyong Suzuki Ertiga Diesel Hybrid dari India.

Adapun Honda Motor Company menyebut sudah berinvestasi ke Indonesia tetapi kendaraan listrik belum tercakup di dalamnya. Nilai investasinya mencapai Rp 5,1 triliun. 

"(Itu investasi) untuk periode 2019-2023, untuk pengembangan model baru dan lokalisasi. Kami sangat komitmen dengan lokalisasi. Ini belum (termasuk alokasi) kendaraan listrik," kata Business Innovation and Sales & Marketing Director PT Honda Prospect Motor (HPM) Yusak Billy.

Langkah Honda Indonesia yang tampak tak seagresif pabrikan lain ini terkait dengan belum adanya petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) turunan dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019. 

"Studi kami untuk kendaraan listrik sudah berjalan. Kami baru akan action jika juknis sudah keluar," ujar Billy.

Studi yang dilakukan Honda Indonesia, ungkap Billy, memasukkan pula soal model yang cocok untuk konsumen Indonesia, sembari menanti kepastian aturan turunan tadi.

"Begitu (aturan turunan) diundangkan, kami akan bergerak dan buatkan strategi bagaimana jalannya Honda di Indonesia untuk kendaraan listrik. Soal produknya, opsi kami banyak, tinggal dicocokkan untuk kebutuhan pasar," lanjut Billy.

 


CITA-CITA INDONESIA

MENTERI Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBL BB) di dunia.

Pasalnya, Indonesia memiliki hampir seperempat cadangan bijih nikel dunia yang sekaligus menjadikannya sebagai sumber paling besar. Nikel merupakan bahan utama produksi baterai kendaraan ramah lingkungan tersebut.

"Teknologi kendaraan listrik relatif lebih mudah dikembangkan dan Indonesia memiliki nikel terbesar di dunia sebagai bahan baku pembuatan baterai," kata Luhut belum lama ini.

Berdasarkan hal itu, Luhut kemudian memperkirakan 80 persen komponen kendaraan listrik dimiliki Indonesia, tinggal bagaimana pengolahannya saja.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut B Pandjaitan sebelum pelantikan menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Presiden RI Joko Widodo mengumumkan dan melantik Menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju serta pejabat setingkat menteri.
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut B Pandjaitan sebelum pelantikan menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Presiden RI Joko Widodo mengumumkan dan melantik Menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju serta pejabat setingkat menteri.

Untuk mengembangkan kendaraan listrik, Luhut menyatakan Indonesia dapat menggandeng sejumlah negara seperti China yang teknologi industri di sektor itu sudah sangat maju.

Baca juga: Luhut Sebut Indonesia Mampu Jadi Pemain Kunci Industri Mobil Listrik

Bagaimanapun, kata dia, China memiliki pengalaman sangat lama dalam mengembangkan kendaraan listrik.

Namun, tegas Luhut, ke depan harus ada transfer teknologi yang nantinya bisa dikembangkan sendiri oleh tenaga-tenaga ahli orang Indonesia.

"Untuk itu Indonesia sudah mengirimkan banyak tenaga-tenaga ahli dari berbagai universitas terkemuka, dikirim ke China, untuk belajar kendaraan listrik. Kita pelajari keberhasilannya juga kesalahan yang pernah mereka alami," kata Luhut.

Hal senada diungkapkan Penasihat Khusus Bidang Kebijakan Inovasi dan Daya Saing Industri Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Satryo Soemantri.

"Kita tentunya tidak ingin menjadi importir kendaraan terus-menerus, tapi harus bisa memproduksi kendaraan listrik. Dari sisi teknologi sebenarnya Indonesia sudah bisa menguasai," kata Satryo.

Menurut Satryo, untuk tahap pertama Indonesia akan mencoba mengembangkan dua hal. Pertama, mengembangkan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Kedua, mengembangkan baterai lithium sebagai komponen penggerak utama kendaraan listrik.

Ilustrasi baterai untuk mobil elektrifikasi
SHUTTERSTOCK/ROMAN ZAIETS
Ilustrasi baterai untuk mobil elektrifikasi

Seiring dengan itu, Pemerintah tengah melakukan percepatan proses konstruksi dan investasi dalam persiapan membangun industri mobil listrik berupa pabrik bahan baku.

Satu di antaranya ialah di Harita Nickel yang berada di Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara.

"Untuk cell batery, akhir tahun ini atau awal 2021 sudah ada industri yang menghasilkan baterai di sana," kata Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika.

Dalam catatan Kompas.com, fasilitas yang sebagian sahamnya akan dimiliki PT Pertamina (Persero) Tbk tersebut disasar untuk menjadi basis produksi baterai oleh kolaborasi perusahaan China dan Perancis.

Total investasi yang digelontorkan untuk fasilitas itu mencapai Rp 144 triliun. Kendati demikian, pihak Kemenperin belum ingin memberikan informasi lebih lanjut mengenai hal itu.

"Jika perencanaan sesuai target, akan ada langkah besar dari Indonesia. Ini sejalan dengan berbagai keunggulan yang kita miliki, mulai dari biaya tenaga kerja dan energi lebih murah, bahan baku baterai (nikel dan kobalt) melimpah, dan lainnya, sehingga amat kompetitif," kata Putu.

Adapun Pertamina mengaku tengah menjajaki bisnis baru sebagai produsen baterai ini. Salah satu tujuannya, mendukung elektrifikasi di bidang otomotif.

Andianto Hidayat, Vice President R&T Planning & Commercial Research & Tehcnology Center Pertamina mengatakan, bisnis pabrik baterai lithium di Indonesia rencana realisasinya pada 2021 dengan lokasi pabrik berada di Jawa Barat.

"Saya belum bisa ngomong detail sekarang, tapi ya kita satu line dulu. Kami terbuka, sinergi BUMN juga ada, karena ada beberapa BUMN yang juga mau kerja sama," kata Andianto.

 

Suplai produksi baterai Pertamina bakal didukung pabrik bahan baku baterai di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park, Sulawesi Tengah, yang pernah diklaim bakal menjadi terbesar di dunia.

"(Ini) kelanjutan dari proses di Morowali. Di sana kan punya Inalum (Indonesia Asahan Alumunium) akan bikin komponen baterai. Kami enggak masuk di sana (Morowali). Kami cuma ambil hasil dari sana untuk menjadi anoda dan katoda," ucap Andianto.

Produk baterai yang diproduksi Pertamina dikatakan bakal menyesuaikan permintaan, di antaranya jenis lithium nickel manganese cobalt oxide (NMC) dan lithium ferrophosphate (LFP).

Kabar terbaru, Luhut menyatakan bahwa Tesla telah membuka komunikasi untuk turut berinvestasi di Indonesia, terkait industri mobil elektrifikasi. Luhut mengaku telah berbicara lewat telepon dengan perwakilan Tesla.

Baca juga: Soal Mobil Listrik, Tesla Sudah Komunikasi dengan Indonesia

Luhut juga telah berada di Amerika Serikat sejak Minggu (15/11/2020) dengan agenda semula bertemu Elon Musk, CEO Tesla. Rencana itu batal karena Musk dinyatakan positif Covid-19.

Batal bertemu Musk, Luhut yang terbang ke Amerika bersama Wakil Menteri Luar Negeri, Mahendra Siregar, akan menemui sejumlah investor.

Baca juga: Batal Bertemu Bos Tesla, Luhut akan Temui Beberapa Investor Besar di AS 

Jalan panjang hilirisasi

Akan tetapi, langkah ini mendapat kritik dari sebagian kalangan. Ekonom senior Faisal Basri, adalah salah satu yang memberi kritik tajam soal ini.

Faisal menyebut langkah percepatan era kendaraan listrik saat ini malah banyak merugikan Indonesia. Kritik ini antara lain dia unggah dalam tulisan di laman pribadinya pada 8 September 2020.

Ia mengatakan, produksi bijih nikel Indonesia meningkat tajam pada 2012 dan 2013 akibat rencana pemberlakuan pelarangan ekspor bijih nikel mineral mulai 2014.

Namun, setelah kebijakan itu berlaku, produksi nikel justru turun signifikan akibat fasilitas pengolahannya belum siap.

Bahkan, selama 2015-2016, ekspor betul-betul nihil. Ujung-ujungnya, dilakukan relaksasi pelarangan ekspor mineral mentah.

Setelah relaksasi barulah ada lagi realisasi ekspor bijih dan konsentrat nikel (HS 2604) sebanyak 4,9 juta ton pada 2017; 19,8 juta ton pada 2018; dan 32,4 juta ton pada 2019.

Larangan ekspor bijih nikel kembali diberlakukan mulai 1 Januari 2020, dipercepat dari yang tadinya ditetapkan mulai 2022.

Proses pengolahan nikel PT Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan. Gambar diambil pada 30 Maret 2019.
AFP/BANNU MAZANDRA
Proses pengolahan nikel PT Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan. Gambar diambil pada 30 Maret 2019.

Tarik ulur kebijakan larangan ekspor ini tentu saja sangat memukul perusahaan tambang nasional yang saat itu mulai bersiap diri membangun fasilitas smelter.

Tak ayal, perusahaan-perusahaan smelter asal China yang paling siap memanfaatkan peluang emas karena harga bijih nikel domestik anjlok akibat larangan ekspor.

Perusahaan smelter itu leluasa membeli bijih nikel dengan harga hanya sekitar separuh harga internasional.

Perusahaan smelter asal China juga berbondong-bondong datang ke Indonesia. Ini karena mereka mendapat fasilitas luar biasa dari pemerintah.

Fasilitas itu mulai dari tax holiday, nihil pajak ekspor, tak bayar pajak pertambahan nilai, hingga boleh membawa pekerja kasar sekalipun tanpa pungutan 100 dollar AS per bulan bagi pekerja asing.

Mereka pun bebas mengimpor apa saja yang dibutuhkan. Tak pula harus membayar royalti tambang.

"Tentu saja Indonesia sangat diuntungkan jika terjadi peningkatan proses nilai tambah di dalam negeri," kata Faisal.

Menurut dia, industri berbasis bijih nikel nasional bisa berkembang pesat ketika proses pemberian nilai tambah berlangsung di dalam negeri hingga menghasilkan produk akhir atau semi-akhir seperti baterai. 

"Pidato (Kenegaraan) Presiden bahwa kita telah berhasil mengolah bijih nikel menjadi ferro nikel, stainless steel slab, dan lembaran baja, benar adanya. Tapi, beberapa produk itu sudah cukup lama dihasilkan, antara lain oleh PT Antam (Persero), PT Valle, dan PT Indoferro," lanjut Faisal.

Baca juga: Naskah Lengkap Pidato Kenegaraan Jokowi 2020

Aktivitas pekerja di smelter PT Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan. Gambar diambil pada 30 Maret 2019.
AFP/BANNU MAZANDRA
Aktivitas pekerja di smelter PT Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan. Gambar diambil pada 30 Maret 2019.

Yang jadi tantangan, sampai sekarang tidak ada fasilitas produksi untuk mengolah bijih nikel menjadi hidroksida nikel—kadar nikel (Ni) 35 persen sampai 60 persen—dan nikel murni berkadar 99,9 persen yang menjadi bahan utama produksi beterai.

Menurut Faisal, hasil produksi perusahaan-perusahaan smelter yang menjamur belakangan ini baru mencapai sekitar 25 persen menuju produk akhir.

Karenanya, kata dia, tidak bisa dikatakan mereka telah menjalankan industrialisasi atau menjadi ujung tombak industrialisasi di Indonesia.

"Jadi, kalau menggunakan istilah hilirisasi, perjalanan menuju hilir masih amat panjang," tegas Faisal.

Perusahaan smelter tersebut, ungkap Faisal, pada umumnya mengekspor produk seperempat jadi ke negara asalnya untuk kemudian diolah lebih lanjut dan hasilnya diekspor lagi ke Indonesia.

"(Yang kembali ke Indonesia) misalnya untuk kebutuhan sektor migas dan otomotif," jelas dia.

Faisal berpendapat, saat ini belum ada sama sekali pijakan untuk mengembangkan bijih nikel menjadi bahan utama baterai lithium.

"Belum ada rute menuju ke sana," tegas dia.

Yang terjadi, lanjut Faisal, Indonesia sejauh ini hanya dimanfaatkan sebagai penopang industrialisasi di China dengan ongkos sangat murah dibandingkan kegiatan serupa di China.

Nilai tambah yang Indonesia nikmati dari skema saat ini tak sampai 10 persen dari keseluruhan nilai tambah yang tercipta dari model hilirisasi yang ada sekarang.

"Itu pun belum sepenuhnya dinikmati oleh negara," imbuh dia.

Atas dasar tersebut, Ia meminta pemerintah mengaji ulang langkah percepatan kendaraan listrik mulai hulu ke hilir agar cita-cita Indonesia menjadi pemain besar global tercapai, yang pada akhirnya dapat memperbaiki defisit transaksi berjalan nasional.

 


KENYATAAN
INFRASTRUKTUR

INFRASTRUKTUR pendukung mobil elektrifikasi bisa menjadi kartu truf bila pasar Indonesia mau berkembang.

Fasilitas pengecasan baterai mobil listrik atau PHEV yang bisa mencolok untuk pengisian daya mutlak dibutuhkan. Namun, saat ini jumlahnya masih terbatas.

Pengisi daya ini sebetulnya juga bisa memanfaatkan pengecas baterai di rumah. Namun, memasang fasilitas cas baterai mobil listrik di rumah tidak semudah yang dibayangkan.

Deputy Director Marketing Communication PT Mercedes Benz Distribusi Indonesia (MBDI), Hari Arifianto, mengatakan, charger Wallbox yang digunakan untuk Mercedes-Benz E 350 e-plug-in hybrid yang tersedia di pusat perbelanjaan Plaza Indonesia relatif sulit jika dipasang di rumah.

Selain itu harganya juga relatif mahal, yakni Rp 18 juta per unit.

"Kalau pasang Wallbox seperti di sini (Plaza Indonesia) harus diatur ulang kelistrikan dan dayanya diambil langsung dari line utama. Tidak bisa jika diambil dari sistem kelistrikan rumah,” kata Hari saat ditemui usai acara peluncuran charging station, Senin (24/9/2018).

Untuk membangun satu fasilitas cas mobil listrik di Plaza Indonesia, Hari menyebut total biaya yang digelontorkan perusahaan mencapai Rp 800 juta. Biaya tersebut sudah mencakup harga charger dan ongkos pemasangan, serta biaya sewa tempat selama setahun.

Mercedes-Benz Privilege Parking with EQ Power Charging yang di Plaza Indonesia, Jakarta, tepatnya di area parkir P2. Fasilitas pengisian baterai untuk mobil listrik dan mobil ramah lingkungan tersebut disediakan oleh Mercedes Benz Distribution Indonesia khusus untuk pelanggannya mulai Senin (24/9/2018).
KOMPAS.com/ALSADAD RUDI
Mercedes-Benz Privilege Parking with EQ Power Charging yang di Plaza Indonesia, Jakarta, tepatnya di area parkir P2. Fasilitas pengisian baterai untuk mobil listrik dan mobil ramah lingkungan tersebut disediakan oleh Mercedes Benz Distribution Indonesia khusus untuk pelanggannya mulai Senin (24/9/2018).

Adapun untuk pengisian baterai di rumah, konsumen bisa memanfaatkan home charger. Perangkat ini diberikan gratis sebagai tambahan saat pembelian mobil.

Namun, kabel cas ini hanya bisa digunakan di rumah dengan kapasitas listrik di atas 2.200 Watt.

Masalahnya, porsi listrik rumah tangga di Indonesia itu mayoritas ada di kisaran 450 VA hingga 1.300 VA.  

Merujuk Statisitk PLN 2019 dan Laporan Tahunan PLN 2019, hingga akhir 2019 tercatat ada 75.705.614 pelanggan listrik dari perusahaan pelat merah ini. 

 

Data PLN tidak merinci lebih lanjut jumlah pelanggan berdasarkan untuk golongan yang sama tetapi berbeda daya terpasang. 

Rincian datang dari Kementerian ESDM, meski sejumlah data juga dengan akumulasi akhir yang tidak tepat sama dengan data PLN. 

Pada 4 Mei 2020, misalnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif membeberkan data rinci pelanggan dari kelompok rumah tangga ke Komisi VII DPR, terkait kebijakan subsidi listrik.

 

Terlihat dari paparan data Menteri ESDM di atas, pelanggan listrik PLN di segmen rumah tangga dengan daya terpasang minimal 2.200 VA hanya berjumlah 4,6 juta dari total 70,1 total pelanggan segmen ini.

Buat pengingat, satuan Watt pada akhirnya tidaklah berbeda dengan satuan VA.

Ini ditilik dari rumus dasar perhitungan daya (P) yang menggunakan satuan Watt sebagai hasil kali dari tegangan yang bersatuan Volt dan besaran arus listrik (I) yang menggunakan satuan Ampere. 

Penggunaan satuan VA untuk daya terpasang memudahkan kita melihat tegangan yang dipakai dalam jaringan dan batas arus listrik yang dapat dikonsumsi pelanggan.

Saat ini di Indonesia menggunakan tegangan 220 Volt untuk jaringan ke pengguna akhir. Negara lain masih ada yang menggunakan tegangan 110 Volt untuk jaringan ke pengguna akhir. 

Perbedaan tegangan ini akan berpengaruh kepada alat yang kompatibel. Butuh konverter agar alat yang dirancang untuk penggunaan di jaringan dengan voltase tertentu bisa dipakai di jaringan bertegangan beda. 

Soal kelistrikan

Untuk mendukung proses percepatan elektrifikasi di Tanah Air, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) melakukan evaluasi terhadap peta jalan pembangunan infrastruktur kendaraan listrik pada tahun ini.

Sebelumnya, PLN menargetkan jumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) akan terus bertambah hingga menjadi 167 unit pada 2020.

SPKLU itu tersebar di sembilan kota yakni Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Bali, Surabaya, Medan, Makassar, dan Balikpapan.

Penyesuaian tersebut dilakukan terhadap penambahan SPKLU dan pengadaan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) bagi motor listrik yang kini mulai memasuki tahap uji coba.

"Salah satu kendala menggunakan kendaraan listrik, khususnya motor, adalah jarak tempuh yang berdasarkan kapasitas baterainya. SPBKLU memudahkan orang untuk beralih ke kendaraan ini di samping pengadaan SPKLU," kata Direktur Mega Project PT PLN M Ikhsan Asaad kepada Kompas.com belum lama ini.

Pengadaan SPBKLU merupakan amanat dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, beserta turunannya.

Terkait situasi pandemi Covid-19, PLN diakui pula oleh PLN akan memperlambat realisasi pengembangan SPKLU. Paparan Ikhsan mengenai perkembangan situasi ini dapat dibaca dalam dokumen paparannya yang dapat diakses di link ini

Aturan lebih khusus lagi soal SPBKLU tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 13 tahun 2020 yang mengatur tentang penyediaan infrastruktur pengisian listrik untuk kendaraan bermotor listrik (KBL) berbasis baterai.

Dalam beleid tersebut, ada sejumlah hal yang diatur, mulai dari ruang lingkup infrastruktur pengisian listrik untuk KBL berbasis baterai, penugasan kepada PT PLN (Persero), skema usaha dan tarif pengisian listrik, hingga aturan mengenai keselamatan instalasi dan SPBKLU.

“Namun, karena adanya pandemi Covid-19, beberapa hal berubah terutama terkait demand. Sehingga, target pembangunan SPKLU tahun ini kami masih evaluasi," ujar Vice President Public Relations PLN Arsyadany Ghana Akmalaputri.

Baca juga: ESDM Kejar Investasi Rp 12 R untuk Infrastruktur Mobil Listrik

Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Hendra Iswayudi dalam kesempatan terpisah mengungkapkan, dalam rentang 15 tahun mendatang kementeriannya bertekad terus mendorong percepatan penggunaan kendaraan bermotor listrik (KBL).

“Kalau kita lihat dari roadmap tahun 2020-2030, kita inginkan ada peningkatan investasi sekitar Rp 309 miliar di 2020 menjadi Rp 12 triliun pada 2030 untuk membangun 7.000-an SPKLU,” katanya.

Lonjakan kebutuhan atas SPBKLU juga tergambar dalam roadmap yang sama. 

“Untuk swap baterai (sepeda motor listrik) yang bisa dilakukan di SPBKLU diperkirakan meningkat hingga 22.500 unit dari 4.000-an unit,” sebut Hendra.

Adapun payung hukum penyediaan infrastruktur untuk mendukung program KBL berbasis baterai tertuang dalam Peraturan ESDM Nomer 13 Tahun 2020. Dari beleid ini akan ada 11 aturan turunan lagi dari 16 kementerian dan lembaga terkait. 

 


UPAYA PENUNJANG
DAN REGULASINYA

Ilustrasi mobil listrik
SHUTTERSTOCK/PAUL CRAFT
Ilustrasi mobil listrik

SEJUMLAH regulasi turunan dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 saat ini telah terbit pula untuk mendorong percepatan kendaraan elektrifikasi di Indonesia.

Aneka regulasi ini memayungi beragam aspek, mulai dari keselamatan hingga pemberian insentif sektor keuangan untuk kehadiran kendaraan elektrifikasi.

Keselamatan

Untuk memenuhi aspek keselamatan, kendaraan bermotor roda empat atau lebih dengan penggerak listrik yang dipasarkan di Indonesia harus mengeluarkan suara.

Aturan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Pengujian Tipe Fisik Kendaraan Bermotor Dengan Tenaga Penggerak Menggunakan Motor Listrik yang resmi diundangkan pada 16 Juni 2020.

Kendaraan tanpa suara dianggap membahayakan baik diri sendiri maupun pengguna jalan lain.

Lebih detail, pada Pasal 32 ayat 6 Permenhub Nomor 44 Tahun 2020 disebutkan bahwa frekuensi tertinggi kendaraan listrik adalah 75 desibel. Suara tersebut dihasilkan dari komponen yang dipasangan di kendaraan, seperti speaker atau sejenisnya.

Bila kendaraan tidak bersuara, aturan ini meminta produsen memberi suara buatan, disesuaikan dengan kategori jenis kendaraan dan suara mesinnya.

Adapun kewajiban ini berlaku untuk kendaraan dengan kategori mobil penumpang, bus, serta mobil barang (M, N dan O).

“Dalam hal Kendaraan Bermotor Listrik tidak dilengkapi dengan komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hasil pengujiannya ditambah 3 (tiga) desibel dari nilai ambang batas,” tulis aturan tersebut.

Industri

Melalui Kementerian Perindustrian (Kemenprin), Pemerintah berusaha untuk terus mendorong persiapan pembangunan industri kendaraan listrik di Tanah Air, meski hingga saat ini belum juga keluar regulasi yang menaungi di Indonesia.

Regulasi turunan ini merupakan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.

Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kemenperin Putu Juli Ardika mengatakan, upaya tersebut juga selaras dengan tren dunia yang terus bergerak ke penggunaan kendaraan yang hemat energi dan ramah lingkungan.

"PP 55/2020 merupakan wujud nyata pemerintah untuk memacu industri otomotif nasional segera merancang dan menyiapkan era kendaraan listrik di Indonesia, beserta ekosistemnya," ujar Putu melalui keterangan tertulis pada akhir Agustus 2020.

Putu melanjutkan, adapun pengembangan ekosistem kendaraan listrik, dibagi menjadi dua hal. Pertama, pembagian tugas-tugas bagi kementerian, antara lain penyediaan infrastruktur, penelitian dan pengembangan, serta regulator.

Kedua, mendukung implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 2013 yang terkait dengan sistem fiskal perpajakan yang akan mengacu pada tingkat emisi kendaraan.

“Nantinya keseluruhan perkembangan teknologi dan regulasi kendaraan listrik akan berlaku pada tahun 2021 mendatang. Diharapkan seperti itu,” kata Putu.

Namun, pemerintah memberi waktu 2-3 tahun bagi industri untuk melakukan investasi. Kemudian, produsen juga bakal diberikan kesempatan impor dalam bentuk mobil jadi (completely built-up/CBU) dalam periode tertentu.

“Perpres kendaraan listrik ini pun akan mengatur tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) kendaraan listrik produksi Indonesia hingga dapat mencapai 35 persen,” ujar Putu.

Sebagai tambahan, dalam catatan Kompas.com, PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah telah diubah melalui PP Nomor 22 Tahun 2014 lalu dicabut dengan PP Nomor 73 Tahun 2019

Masih terkait industri, Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Berbasis Baterai memuat pula sejumlah klausul bagi kalangan industri yang berminat ikut berkecimpung di segmen kendaraan ini.

Percepatan penggunaan

Adapun kementerian Energi dan Sumber Daya Minera (ESDM) mendorong percepatan penggunaan kendaraan bermotor listrik (KBL) dalam rentang 15 tahun mendatang.

Hal tersebut akan diwujudkan dengan menciptakan infrastruktur yang memadai berupa stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) serta stasiun penukaran baterai kendaraan listik umum (SPBKLU).

Menurut Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi, komitmen tersebut sesuai dengan peta jalan alias roadmap ESDM yang sudah tersusun saat ini.

"Kalau kita lihat dari roadmap tahun 2020-2030, kita inginkan ada peningkatan investasi sekitar Rp 309 miliar di 2020 menjadi Rp 12 triliun pada 2030 untuk membangun 7.000-an SPKLU," kata Hendra dalam sebuah diskusi virtual, beberapa waktu lalu.

"Sementara untuk swap baterai yang bisa dilakukan di SPBKLU diperkirakan meningkat hingga 22.500 unit dari 4.000-an unit," lanjut Hendra.

Meski demikian, pihak pemerintah khususnya ESDM bakal melihat kembali terkait kebutuhan dan lokasi yang memungkinkan untuk ditempatkan fasilitas tersebut.

 

Insentif tarif

Tak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mulai mengeluarkan ragam keringan melalui insentif guna mendukung populasi kendaraan listrik.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Insentif Pajak Balik Nama Kendaraan Bermotor atas Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (BEV) untuk Transportasi Jalan.

Bab II Pasal 2 ayat (2) Pergub DKI Nomor 3 Tahun 2020 membebaskan bea balik nama kendaraan bermotor listrik (KBL) berbasis baterai. 

Topik tentang pajak dan bea balik nama dikaji pula di Kementerian Dalam Negeri dan melahirkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2020.  

Sejumlah insentif dari beragam sektor juga menyentuh soal tarif.

Misal, PLN memberikan diskon 30 persen tarif bagi pelanggan rumah tangga dengan daya terpasang lebih dari 1.300 VA persen serta pelanggan bisnis dengan daya di atas 6.600 VA yang memiliki mobil listrik.

Dalam Laporan Keberlanjutan (Sustainibility Report) PLN 2019, insentif tarif ini menggenapi dukungan PLN terhadap akselerasi kehadiran mobil listrik di Indonesia.

Sejumlah dukungan lain juga disebutkan PLN, seperti membuat uji coba SPKLU di sejumlah kota besar. PLN juga membuat kesepakatan bisnis fasilitas pengisian baterai bagi taksi listrik dengan pemberian insentif diskon biaya tambah daya hingga 50 persen. 

Insentif sektor keuangan

Kemudahan juga datang dari Bank Indonesia (BI). Bank sentral meniadakan batas minimum uang muka pembiayaan mobil elektrifikasi. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Oktober 2020.

Menggunakan terminologi kendaraan berwawasan lingkungan, BI memberikan insentif ke kendaraan elektrifikasi ini sekaligus untuk merangsang pertumbuhan kredit di tengah pandemi Covid-19. 

Seluruh kendaraan yang diklasifikasi sebagai kendaraan berwawasan lingkungan oleh pemerintah mendapatkan keistimewaan dengan terbebas dari uang muka atau DP nol persen.

"BI akan menurunkan batasan minimum uang muka dari 5-10 persen menjadi 0 persen," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.

Menurut Perry, sejauh ini yang dimaksud kendaraan berwawasan lingkungan adalah kendaraan bermotor listrik. 

Baca juga: Kredit Kendaran Bermotor Ramah Lingkungan Bakal Bebas Uang Muka

Keringanan diberikan pula oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam rupa sederet insentif dari industri keuangan untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBL BB).

Wujud insentif sebagaimana disampaikan dalam siaran pers OJK tertanggal 4 September 2020 adalah sebagai berikut:

  1. OJK meminta bank umum konvensional menyediakan dana kepada debitur untuk pembelian KBL BB maupun pengembangan industri hulu yang dikategorikan sebagai pemenuhan ketentuan penerapan keuangan berkelanjutan. Industri hulu yang dimaksud seperti produsen baterai, charging station, dan komponen.

  2. Penyediaan dana dalam rangka produksi KBL BB beserta infrastrukturnya dapat dikategorikan sebagai program pemerintah yang mendapatkan pengecualian Batas Maksimum Pemberian Kredit dalam hal dijamin oleh lembaga keuangan penjaminan atau asuransi BUMN dan BUMD.

  3. Penilaian kualitas kredit untuk pembelian KBL BB dan/atau pengembangan industri hulu dari KBL BB dengan plafon sampai dengan Rp 5 miliar dapat hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok atau bunga. Hal ini sesuai dengan penerapan POJK Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.

  4. Kredit untuk pembelian maupun pengembangan industri hulu KBL BB baik perorangan atau badan usaha UMK, dapat dikenakan bobot risiko 75 persen dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).

 


PENDEKATAN TEKNOLOGI
KE MASYARAKAT

UPAYA pemerintah mendorong penciptaan ekosistem kendaraan listrik berbasis baterai di Indonesia tak hanya pada kendaraan pribadi tapi juga transportasi umum.

PT Transportasi Jakarta (TransJakarta), misalnya, berniat menggunakan kendaraan ramah lingkungan tersebut pada seluruh armada secara bertahap hingga 2030 mendatang.

Namun, lagi-lagi, pandemi Covid-19 menyebabkan perseroan melakukan relaksasi capaian target. Ini merupakan dampak pengalihan APBD untuk penanganan pandemi virus corona alias Covid-19 di Ibu Kota.

"Ini bukan berarti targetnya dihilangkan, tapi direlokasi. Misalkan di 2020 seharusnya ada 100 bus listrik yang operasional. Karena fokus APBD diprioritaskan untuk penanganan pandemi, jadi digeser," jelas Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta.

Pelaksana Tugas Direktur Utama PT TransJakarta Yoga Adiwinarto menargetkan bahwa hingga lima tahun mendatang, yakni 2025, 50 persen armada TransJakarta yang beroperasi di Ibu Kota telah menggunakan kendaraan listrik.

Karyawan mengendarai bus listrik saat uji coba di Kantor Pusat PT Transjakarta, Cawang, Jakarta, Senin (6/7/2020). PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) melakukan uji coba dua bus listrik EV1 dan EV2 rute Balai Kota - Blok M dengan mengangkut penumpang.
ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA
Karyawan mengendarai bus listrik saat uji coba di Kantor Pusat PT Transjakarta, Cawang, Jakarta, Senin (6/7/2020). PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) melakukan uji coba dua bus listrik EV1 dan EV2 rute Balai Kota - Blok M dengan mengangkut penumpang.

“Menurut proyeksi jangka panjang pengadaan armada TransJakarta, pada 2025 itu ada 8.882 unit. Jadi, harapannya 4.441 unit di antaranya sudah diremajakan jadi kendaraan listrik,” ujar Yoga.

Menurut Yoga, rencana itu bukan hanya mencakup bus melainkan seluruh armada yang dikelola TransJakarta. Peremajaan pun sudah mulai dilakukan pada tahun ini.

“Kami tetap melakukan peremajaan dengan mengganti armada yang ada dengan kendaraan listrik,” ujar dia.

Rencana serupa dinyatakan Perum Damri yang akan mengoperasikan bus listrik bagi angkutan perkotaan ke bandar udara di kawasan DKI Jakarta.

“Dalam waktu dekat ini, Damri akan menguji coba dahulu bus listrik. Jika hasilnya sesuai harapan, tidak menutup kemungkinan akan dapat diimplementasikan pada seluruh armada di Indonesia,” ucap Harys Kristanto, pejabat Komunikasi Korporasi dan Protokol Perum Damri.

Uji coba, lanjut Harys, kemungkinan melibatkan dua bus, yaitu satu bus bandara dan satu bus untuk jalur transjakarta. Pelaksanaan yang terdekat, kata dia, adalah uji coba untuk bus bandara.

Penggunaan mobil elektrifikasi untuk transportasi umum telah pula diterapkan untuk taksi. Dalam hal ini, Bluebird Group jadi pionir alias yang pertama.

Direktur PT Blue Bird Tbk., Adrianto Djokosoetono, mengatakan, langkah Bluebird Group menghadirkan E-Bluebird dan E-Silverbird dinilai berhasil mengenalkan kendaraan listrik ke masyarakat.

Pengemudi melakukan pengisian daya listrik pada armada taksi E-Silverbird di Mampang, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Bluebird saat ini telah mengoperasikan armada taksi listriknya sebanyak 25 unit E-Bluebird dan 5 unit E-Silverbird. Pengoperasian ini merupakan upaya perusahaan untuk melakukan inovasi dengan merespons perkembangan teknologi kendaraan listrik sebagai armadanya.
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Pengemudi melakukan pengisian daya listrik pada armada taksi E-Silverbird di Mampang, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Bluebird saat ini telah mengoperasikan armada taksi listriknya sebanyak 25 unit E-Bluebird dan 5 unit E-Silverbird. Pengoperasian ini merupakan upaya perusahaan untuk melakukan inovasi dengan merespons perkembangan teknologi kendaraan listrik sebagai armadanya.

“Hal ini juga diiringi oleh perhatian pemerintah yang terus gencar melakukan pengembangan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Tanah Air,” ucap Adrianto.

Dia pun mengatakan bahwa kehadiran mobil listrik di armadanya mendapat respons positif masyarakat. Menurut dia, para pengguna merasa naik taksi listrik memiliki sensasi berkendara yang senyap.

Respons positif datang juga dari para pengemudi. Adrianto mengatakan, para pengemudi menyebut bahwa unit mobil listrik jarang mengalami kendala selama dikendarai dengan jarak tempuh yang dapat diandalkan ketika mengantar penumpang.

“Pastinya kendaraan listrik bisa jadi opsi sebagai kendaraan di masa depan, termasuk untuk industri transportasi Indonesia,” kata Adrianto.

 


MOBIL ELEKTRIFIKASI
DI PASAR MOBIL BEKAS

Ilustrasi mobil bekas
SHUTTERSTOCK/CALLAHAN
Ilustrasi mobil bekas

DEWASA ini, berbagai pabrikan mulai memasarkan kendaraan ramah lingkungan di Tanah Air. Harga jualnya pun mulai lebih ramah dibanding sebelumnya.

Dengan dana di bawah Rp 500 juta, kita sudah bisa menggarasikan salah satu produk ini.

Sebagai contoh, Toyota. Sejak beberapa tahun lalu pabrikan ini rajin meluncurkan mobil hybrid. Belakangan, Toyota merilis Corolla Cross hybrid yang dibanderol Rp 497,8 juta.

Tak ketinggalan, Nissan punya Kicks e-Power dengan harga Rp 449 juta.

Namun, bagaimana permintaan mobil listrik di para mobil bekas? Apakah sulit menjual mobil hybrid bekas? Bagaimanapun, konsumen Indonesia masih banyak yang memikirkan resale value saat menentukan pilihan mobil.

Presiden Direktur Mobil88, Halomoan Fischer, mengatakan, mobil hybrid mulai banyak tersedia di diler-diler mobil bekas yang berada di kota besar.

Mobil hybrid punya segmentasi sendiri, seperti halnya mobil mewah atau mobil sport.

Menurut dia, mobil hybrid secara populasi memang tidak sebanyak mobil dengan mesin konvensional. Sebab, mobil hybrid punya segmentasi sendiri, seperti halnya mobil mewah atau mobil sport.

“Menjual mobil hybrid enggak sulit. Orang sudah mulai cari. Cuma, memang pasarnya masih sangat segmented,” ujar Fischer.

Menurut dia, situasi itu tidak unik terjadi pada mobil hybrid terutama dalam konteks keberadaannya sebagai produk teknologi baru. 

“Seperti mobil matik waktu baru keluar, orang masih meraba-raba. Kenyamanannya gimana, perawatan gimana, mahal apa enggak. Jadi, pasarnya masih dibangun. Nanti kalau sudah terbentuk, lebih gampang,” kata dia.

Sementara itu, Senior Manager Bursa Mobil Bekas WTC Mangga Dua, Herjanto Kosasih, mengatakan, peminat mobil hybrid terbilang masih jarang.

Konsumen mobil bekas biasanya mempertimbangkan harga jual sekaligus biaya perawatannya.

Pasalnya, kata Herjanto, konsumen mobil bekas biasanya mempertimbangkan harga jual sekaligus biaya perawatannya. Terlebih lagi, harga mobil hybrid bekas tidak bisa dibilang murah. 

“Misalkan sudah ada di showroom, belum tentu langsung laku. Bisa satu atau dua bulan di tangan pedagang,” ucap Herjanto.

Belum lagi, harga baterai mobil yang juga terbilang tinggi, yang bisa puluhan juta rupiah. Pertanyaan yang kerap muncul juga soal bengkel servis. 

"Kan enggak semua bengkel bisa," kata Herjanto.

Meski stoknya bisa terbilang teramat terbatas, harga mobil hybrid bekas ternyata masih masuk akal. Kisarannya saat ini masih berada di rentang Rp 200 juta hingga Rp 300 jutaan.

Artinya, buat Anda yang punya dana untuk beli Low MPV atau Low SUV, sebetulnya punya pilihan juga untuk membeli mobil hybrid, meski dalam kondisi bekas.

Fischer mengatakan, depresiasi harga mobil hybrid mirip dengan sedan-sedan bermesin konvensional. 

“Kalau kita ambil contoh Camry, harga yang model hybrid dengan yang biasa mirip-mirip. Tapi kalau dibandingkan Innova jelas kalah, karena depresiasi harga sedan pasti lebih tinggi,” ujar dia

Sementara itu, Herjanto menyatakan depresiasi harga mobil hybrid bekas terbilang tinggi lantaran peminatnya masih sedikit ketimbang mobil konvensional.

“Depresiasi bisa mencapai 50 persen. Apalagi jika odometer mobil sudah banyak, karena baterai ada usianya dan mesti diganti kalau sudah mencapai masanya,” ucap Herjanto.

Daftar Harga Mobil Elektrifikasi Bekas - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)
 


AKANKAH
JADI ANOMALI SEMATA?

KEHENDAK dan situasi tak selalu sejalan. Langkah yang ditempuh pun kerap berhadapan dengan detail yang terlewatkan.

Cita-cita Indonesia untuk menjadi pemain kunci di industri mobil elektrifikasi pun berhadapan dengan kenyataan yang sama. Ada banyak langkah yang harus ditempuh secara simultan, paralel bergerak dari banyak lini.

Mau melangkah dulu dari sisi industri otomotif, ada tantangan regulasi dan infrastruktur yang menggunung.

Ujung-ujungnya, pasar pun tak akan jadi massif bila persoalan-persoalan dasar keseharian— termasuk keterjangkauan harga dan keleluasaan pemakaian—tak mendapatkan jawaban konkret.

Sebaliknya, hendak bermain dari sisi industri penunjang seperti baterai untuk mengangkat perekonomian nasional terlebih dahulu, tantangan yang ada tak kalah panjang daftarnya.

Industri tambang secara umum sudah jadi benang ruwet persoalan lama, terutama dengan tak kunjung tumbuhnya industri pengolahan yang memberi nilai tambah. Salah-salah, Tanah Air kita cuma lagi-lagi dikeruk tapi hasil tak sepadan yang didapat anak bangsa.

Ini belum membahas problem tambang dari aneka sudut pandang lain.

Jadi, akankah kedatangan mobil-mobil elektrifikasi dari beragam merek ke Indonesia sejauh ini hanya menjadi semacam anomali dan cek ombak situasi ataukah benar-benar akan mewujud nyata? Apakah kehadirannya juga akan menjadi solusi bagi industri bernilai tambah di dalam negeri?  

Mari kita pantau bersama....