JEO - Insight



Apa Kabar
Perfilman Indonesia
di Masa Pandemi?

Jumat, 28 Agustus 2020 | 13:19 WIB

Perfilman Indonesia terhantam keras pandemi dari segala lini. Produksi terkendala, bioskop tutup pula. Bagaimana juga dengan bayangan untuk era kenormalan baru (new normal)?

 UPDATE 17 Oktober 2020 

Sejumlah bioskop di Indonesia sudah mulai beroperasi kembali. Hingga Sabtu (17/10/2020), misalnya, jaringan Bioskop XXI telah buka lagi di Ternate, Jayapura, Pontianak, Bandung, Banjarmasin, dan Samarinda.

Baca juga: 7 Bulan Tutup, Bioskop XXI Akhirnya Kembali Buka

Pemprov DKI Jakarta sejatinya juga sudah mengizinkan bioskop kembali beroperasi. Namun, ada syarat maksimal kapasitas hanya 25 persen penonton. Belum ada pembaruan informasi tentang bioskop di Ibu Kota yang sudah buka.

BAK petir di siang bolong. Begitu kira-kira perumpamaan yang menggambarkan kemunculan wabah Covid-19 atau bagi industri film di Indonesia.

Sebagai bagian dari sektor hiburan, perfilman tentu saja tidak bisa terhindar dari dampak “kilat” varian baru virus corona (SARS-CoV-2) ini.

Meski kasus Covid-19 telah tersiar sejak akhir 2019, industri film Indonesia nyatanya benar-benar terhenyak, begitu wabah ini dinyatakan masuk Indonesia pada Maret 2020.

Ilustrasi bioskop dalam aneka pernak-pernik yang terkait dengannya - (SHUTTERSTOCK/BALABOLKA)

Pencegahan penularan virus corona membuat ruang gerak masyarakat untuk berkumpul jadi dibatasi. Bioskop dan insan perfilman ikut terdampak. Mereka mau tidak mau harus menghentikan kegiatan operasional dan produksi film.

Seperti apa nasib dadakan yang harus dihadapi industri perfilman Indonesia akibat pandemi Covid-19? Bagaimana insan perfilman menyikapinya? 

Apakah era "new normal" akan bisa seketika mengembalikan napas industri perfilman Indonesia? Atau malah muncul alternatif peluang baru yang tak dinyana? Seperti apa pula proyeksi situasi perfilman Indonesia pada masa mendatang?

Simak semua di sini....

PERFILMAN INDONESIA
DI MASA PANDEMI

BILA dilihat dari kacamata pegiat film, dampak yang paling umum tetapi sangat krusial dari masa ini adalah matinya kegiatan produksi film.

Ilustrasi - (SHUTTERSTOCK/SASHKIN)

Kita tahu bahwa produksi sebuah film melibatkan banyak sekali orang. Menjalani syuting di saat seperti ini bisa diartikan dengan sama saja membiarkan penularan terus terjadi.

Lalu?

Bos rumah produksi Starvision, Chand Parwez, mengaku memakai "waktu istirahat" yang panjang selama pandemi untuk tetap berusaha mengerjakan proses pra-produksi.

“Perfilman Indonesia ini memang di masa pandemi praktis tidak ada produksi, tapi bukan berarti tidak ada kreativitas. Penulisan naskah masih berjalan, pre-producion masih berjalan. Produksi saja yang terhenti, karena ada pembatasan sosial,” ucap Parwez kepada Kompas.com, Rabu (17/6/2020).

Pada Maret 2020, Starvision merilis satu film kolaborasi dengan Falcon Pictures. Judulnya, Mariposa.

Namun, baru beberapa hari tayang, film yang dibintangi dua artis muda berbakat Angga Yunanda dan Adhizty Zara itu harus dijadwal tayang ulang. Kapan? Kalau bioskop sudah dibuka kembali.

Film lain produksi Starvision, Tarung Sarung, juga masih harap-harap cemas menanti kelanjutan nasibnya di bioskop. Pada 2020, Parwez sedianya melepas enam dari sembilan judul film produksinya.

Dari nanggung sampai rombak total

Lain lagi situasi yang dihadapi sutradara Hanung Bramantyo. Dua film garapannya yang sudah siap dirilis—Tersanjung The Movie dan Miracle in Cell No.7—jadi tertunda karena pandemi.

Produksi film lain garapan Hanung pun harus terhenti. Saat ini, dia sedang memproduseri film Surga yang Tak Dirindukan 3 dan Ibunda, di bawah rumah produksi Dapur Film.

“Itu (produksi) kurang lima hari lagi (tapi harus) terhenti. Syuting yang seperti itu yang susah," ujar Hanung saat dihubungi Kompas.com, Kamis (18/6/2020).

Menurut Hanung, merampungkan "sisa" produksi yang tinggal sedikit itu berat. Karena, kata dia, sudah banyak yang kadung diproduksi. Konsepnya sudah tak bisa juga diubah.

"Sudah telanjur syuting di rumah warga. (Kalau dilanjutkan) sekarang, warganya pasti (bereaksi), ‘Mau ngapain?’ (Dijawab), ‘Mau syuting,’ (bakal dijawab), 'Entar dulu. Karantina dulu’,” tutur Hanung.

Untuk setiap produksi film, Hanung mengaku punya sekitar seratus orang kru. Karena itu, tidak mungkin juga kalau dia harus mengarantina orang sebanyak itu selama 14 hari di lokasi yang berdekatan dengan rumah warga yang dipakai syuting.

Selain film yang sudah kadung digarap lalu terhenti, Hanung juga diketahui punya rencana memproduksi film besar berjudul Satria Dewa: Gatotkaca.

Gara-gara pandemi, ia pun mendadak harus merombak total konsep film tersebut. Perombakan dilakukan dari cerita sampai pengurangan adegan baku hantam yang identik dengan film-film superhero.

“Kalau persiapan sekarang, kayak Gatotkaca, saya langsung mengubah konsep. OK, lokasinya (syuting) saya enggak mau yang ada warga," ujar dia.

Untungnya, lanjut Hanung, dia punya studio Gamplong di Yogyakarta.

"Saya pindahkan semua di studio. Masih bisa. Artinya secara kreatif, saya harus melakukan kompromi dengan keadaan,” tutur Hanung.

Dengan beragam perombakan itu, Hanung berencana mengemas film produksi Satria Dewa Studio itu menjadi sebuah drama wayang modern.

Tantangan kreativitas

Pandemi ternyata berimbas pula pada kreativitas para pekerja film. Setidaknya, ini yang diakui Ernest Prakasa. 

Gara-gara pandemi, Ernest memutuskan tahun ini absen merilis film terbaru. Keputusan itu dia ambil setelah lima tahun berturut-turut konsisten merilis film setiap Desember sejak 2015.

Ernest mengaku tak punya cukup energi untuk menulis skenario film selama pandemi ini.

“Waktu sebenarnya luang, cuma mood-nya kali ya (yang terganggu). Gue ngerasanya energi kreatifnya yang enggak cukup untuk menyelesaikan sebuah skenario. Dengan kondisi yang normal saja berat banget apalagi harus bekerja dengan kondisi seperti ini,” kata Ernest.

Namun, pekerja film di Fourcolours Film, Agustiya Herdwiyanto, menyebut situasi pandemi ini sebenarnya justru momentum yang juga menguji level kreativitas orang-orang kreatif.

"Termasuk kreatif bertahan hidup," ujar Agustiya sembari tergelak, saat dihubungi Kompas.com lewat telepon, Rabu (22/7/2020).

Menurut Agustiya, produksi film pun sebenarnya tak benar-benar terhenti oleh Covid-19. Ini, ujar dia, terkait pula dengan sumber pembiayaan film.

"Kalau film dibiayai investor, misalnya, ada kewajiban menyelesaikan produksi, setidaknya harus ada progress," kata Agustiya yang antara lain terlibat dalam film Kucumbu Tubuh Indahku dan Mountain Song ini, memberi contoh.

Di sini, ungkap dia, kreativitas untuk tetap menggelar produksi tanpa melanggar protokol kesehatan pun diuji.

"Ada yang rombak total (konsep dan naskah film) kalau sama sekali belum produksi. PIlihan lain, lokasi diubah atau cari rumah besar lalu dipecah jadi set. Syuting per set, per titik. Secara teknis bisa kok dicari," papar Agustiya.

Untuk dapur tetep ngebul, kreativitas pun kembali jadi kata kunci. Sejumlah film, ungkap Agustiya, malah mendapatkan celah peluang baru.

"Ada yang jadi bisa tembus jaringan tv streaming, ada yang jadi original production Netflix. Ada pula film yang sudah selesai produksi tapi belum tayang di mana-mana jadi eksklusif tayang di Netflix," sebut Agustiya.

Dari perusahaan tempatnya bernaung, Agustiya menyebut sejumlah film telah pula dibeli tv streaming dan TVRI, sekalipun non-eksklusif sehingga tak sebegitu mahal. 

JUNGKIR BALIK
KRU FILM
BERTAHAN HIDUP

SELAIN produser, sutradara, dan pemain, yang juga turut mengecap pahitnya musibah ini adalah para kru film.

Mereka harus jungkir balik memenuhi kebutuhan hidup karena penghasilan nihil saat syuting terhenti.

“Ya menderita, enggak ada pemasukan. 'Pemasukan' saya sekarang dari tabungan, lumayanlah untuk saya sama anak-anak saya. Tapi kru yang lain kan kasihan hidupnya,” kata Hanung.

Hanung yang memiliki rumah produksi Dapur Film ini terpaksa merumahkan para kru karena tidak ada produksi yang dilakukan. Ia hanya mampu menggaji mereka hingga Juli 2020, kecuali bila produksi dapat dimulai lagi.

Ilustrasi di balik layar pengambilan gambar dalam produksi sebuah film yang melibatkan banyak kru.
SHUTTERSTOK/GNEP PHOTO
Ilustrasi di balik layar pengambilan gambar dalam produksi sebuah film yang melibatkan banyak kru.

Lalu, banyak kru film yang harus benar-benar memutar otak mencari sumber pengganti pundi-pundi selama pandemi.

“Wah gila itu, struggle banget sih. Mau enggak mau. Jualan macam-macam. Pokoknya aneh-aneh deh. Anything to survive," ujar Ernest.

Dia menyebut, ada saja kru film yang jadi jualan kue bahkan jamu sembari menanti pandemi berlalu.

Beruntung, lanjut Ernest, kekeluargaan telah berurat berakar di kalangan film dari jatuh bangun produksi selama ini.

"Kami melakukan apa pun yang kami bisa untuk membantu satu sama lain. Kalau ada kru yang jualan pasti gue akan pesan, pasti gue akan promosiin,” ucap Ernest.

Hal itu mungkin cukup meringankan beban, tetapi pertanyaannya, mau sampai kapan?

Agustiya pun mengaku pada masa-masa tersulit dari pandemi pun mengandalkan penghidupan dari "makan tabungan" alias menggunakan tabungan yang terkumpul selama ini.

Menurut Agustiya, salah satu yang membuat dampak pandemi ini terasa sekali adalah saking banyaknya pekerja film yang berstatus freelance.

"Di semua level, dari kru sampai artisnya," kata Agustiya.

Begitu produksi tak berjalan, otomatis tak ada juga yang merekrut mereka. Lalu, ungkap Agustiya, asosiasi pekerja film di Indonesia juga belum dapat disamakan dengan praktik di luar negeri.

"Asosiasi di sini ada beberapa, tapi hampir semua masih cenderung bersifat community base," sebut dia.

Praktik di luar negeri, tutur dia, asosiasi sampai merambah manajerial, termasuk besaran honor sesuai kompetensi dan jam terbang, juga advokasi pekerja film termasuk untuk kondisi luar biasa seperti sekarang.

 

Gambaran antara kondisi perfilman sebelum dan selama pandemi muncul antara lain dalam perbincangan ringan dalam forum Bincang Nalar, Rabu (22/7/2020) malam.

Optimisme yang merebak hingga awal 2020 tetapi lalu seketika nyungsep dalam hitungan bulan—bahkan hari—pun tergambar dalam percakapan dengan Ketua Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (Kafein) Tito Imanda dan sutradara Sugeng Wahyudi ini.

Namun, optimisme juga tak lalu hilang sama sekali. Seperti kata Agustiya, namanya orang kreatif ya dalam kondisi sulit pun harus tetap kreatif.

"(Termasuk) kreatif untuk bertahan hidup. Mau bagaimana lagi?" ujar Agustiya.

Tito dan Sugeng pun menyebut ada sejumlah cara yang kemudian menjadi alternatif penghidupan bagi pekerja film di tengah situasi pandemi. Cara yang dipilih itu tak selalu terkait film.

"Di balik dinding ini saya pelihara lele," kata Sugeng sembari tertawa.

Simak perbincangan pecah dan renyah tentang perfilman tersebut di video berikut ini:


MENYONGSONG
NORMAL BARU

SITUASI yang ternyata berlarut-larut membuat para sineas mulai bergerak merancang protokol kesehatan untuk perfilman Indonesia.

“Protokol produksi dan seluruh aspek produksi lainnya, kita buatin protokolnya," kata Chand Parwez.

Sutradara Hanung Bramantyo juga mengaku telah menyusun protokol kesehatan. Tentu, protokol ini dikomunikasikan dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Sutradara film Bumi Manusia itu menyadari pemerintah terlalu sibuk dengan urusan yang jauh lebih genting sehingga ia membuat inisiatif ini.

Hanung pada pertengahan Agustus 2020 telah memulai syuting film Gatotkaca. Syuting berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya.

Pemeran Gatotkaca, Rizky Nazar, mengaku Hanung wanti-wanti soal protokol ini.

"Kesiapan fisiknya harus terjaga," ujar Rizky dalam wawancara lewat aplikasi conference call, Kamis (13/8/2020).

Baca juga: Bintangi Film Satria Dewa Gatotkaca, Rizky Nazar Ditempa Yayan Ruhian

Satu hal yang tak boleh dilupakan, protokol kesehatan itu sudah pasti akan banyak memberi pengaruh terhadap produksi film secara keseluruhan.

Dengan trik apa pun yang dipilih untuk produksi, biaya sangat mungkin membengkak. Itu pun, jumlah kru yang direkrut untuk produksi sebuah film bisa jadi tak akan sebanyak sebelum pandemi.

Meski tidak mudah, mengingat jumlah kasus baru Covid-19 tak kunjung menurun, pilihan yang tersedia tak terlalu banyak.

Sekilas akan terlihat seperti buah simalakama, para pelaku perfilman harus memilih antara diam di rumah lalu mati kelaparan, atau berani bergerak dengan persiapan meski angka kasus Covid-19 belum juga menurun.

“Kalau dibilang apakah keadaan sudah 100 persen aman, jelas belum. Di sisi lain, desakan untuk menggerakkan ini semua juga enggak gampang. (Ada) desakan ekonomi, terutama," kata Ernest.

Menurut Ernest, pada akhirnya semua kembali pada orang per orang di industri ini.

"(Ekonomi), itu yang paling berat sih. Orang-orang yang berkarya di film ini, penghasilan dan kehidupannya, siapa yang mau nanggung?" kata dia.

 

 

MASA DEPAN BIOSKOP...

Antrean penonton menuju loket penjualan tiket bioskop di Jakarta pada masa lalu. Foto diambil pada Februari 1982.
KOMPAS/MARSELLI
Antrean penonton menuju loket penjualan tiket bioskop di Jakarta pada masa lalu. Foto diambil pada Februari 1982.

ANDAI kenormalan baru (new normal) dengan protokol kesehatan sudah diberlakukan, tantangan industri film akibat pandemi Covid-19 tak serta-merta berakhir.

Tantangan pertama dan utamanya, menarik minat masyarakat untuk kembali menonton bioskop. Ini tentu tak semudah membalik telapak tangan.

Dalam kondisi ekonomi yang terguncang seperti saat itu, menonton bioskop bisa dibilang tidak termasuk dalam kebutuhan utama masyarakat. Belum lagi, risiko kesehatan yang masih ada.

Pembatasan jumlah kursi bioskop dalam satu kali penayangan film pun bukan tak bikin pusing.

“Pasti okupansinya menurun, karena bioskop saja pasti akan 50 persen (kursi) dikurangi. Misalnya, kita mestinya dapat dua juta penonton, jadi satu juta. Kalau begitu, berarti modal kita harus diturunin dong,” kata Hanung.

Risiko sepi penonton ini terutama membayangi film-film yang perilisannya ada di antrean pertama fase awal new normal. Itu juga kalau seluruh kursi yang jumlahnya telah dikurangi itu terisi.

Film-film yang sudah siap dirilis sepertinya harus menurunkan ekspektasi mereka terhadap angka jumlah penonton.

Kondisi ini membuat penikmat film memilih platform film digital untuk memberi makan kebutuhan menonton mereka.

Ernest menilai, film-film Hollywood yang memang sudah dinantikan dan memiliki penonton fanatik seperti Mulan atau Black Shadow sangat berpotensi menjadi jangkar yang akan menarik masyarakat untuk menonton bioskop.

Namun, Ernest merasa hal itu masih sulit diprediksi pada penonton bioskop di kota-kota besar.

Meskipun, para seniman itu pun meyakini bahwa lambat laun masa sukar ini pasti akan berakhir dan bioskop akan tetap ada di hati para penikmat film.

Sebab, kata mereka, tak ada yang bisa menggantikan pengalaman menonton sebuah karya film dalam bioskop dengan fasilitas audio dan visual yang baik.

Nostalgia saja?

Itu pun, alarm peringatan tetap disuarakan Sugeng Wahyudi. Menurut dia, bioskop pada akhirnya akan ditinggalkan oleh penonton. Karena, kata dia, masa depan tontonan pun akan ada di dunia digital.

"Suatu saat bioskop hanya bagian dari nostalgia saja," kata Sugeng.

Foto diambil pada 23 Juli 2016 ini memperlihatkan sederet baliho iklan film yang akan diputar di bioskop yang sebelumnya beroperasi di kawasan Senen, Jakarta Pusat.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Foto diambil pada 23 Juli 2016 ini memperlihatkan sederet baliho iklan film yang akan diputar di bioskop yang sebelumnya beroperasi di kawasan Senen, Jakarta Pusat.

Pandemi, lanjut dia, telah meningkatkan konsumsi layanan over the top (OTT) dan platform digital. Kalau pandemi berkepanjangan, termasuk penutupan bioskop untuk meminimalisasi risiko penularan, memulai lagi kejayaan bioskop juga dia nilai akan cukup berat.

"(Membuka kembali bioskop) dengan protokol kesehatan, hanya ada peluang terisi 50 persen, yang belum tentu terisi pula. Jumlah layar tetap tetapi penonton berkurang," imbuh dia.

Baca juga: Menyusuri Gedung Bioskop di Senen yang Gelap dan Mencekam...

Meski begitu, optimisme masih disuarakan Tito Imanda. Menurut dia, bioskop akan tetap ada untuk waktu yang panjang ke depan. Ada hal-hal, seperti reuni atau bahkan menraktir gebetan, yang menjadikan bioskop sebagai pilihan lokasi.

Namun, situasinya dia akui memang akan berubah. Ini terutama terkait model bisnis perfilman.

"Bahwa tadinya bioskop adalah satu-satunya tempat monetisasi film, jadi enggak lagi. Akan ada jalur-jalur lain, akan tumbuh terus seiring perkembangan teknologi media dan institusi medianya," ungkap Tito.

Dia memberikan contoh, perusahaan seperti Amazon pun sekarang sudah memulai memproduksi film. Biaya yang digelontorkan senilai pula dengan ongkos produksi film layar lebar di bioskop. Artinya, ini film yang digarap serius dengan standar layar lebar.

Namun, Tito melihat perubahan-perubahan seperti itu adalah niscaya. Bahkan OTT juga diyakini akan surut. Karena, ungkap Tito, jumlah layanan OTT bertambah tetapi mencari cara bertahan juga sulit dengan persaingan di antara sesama OTT untuk merebut penonton.

APA KABAR
JARINGAN BIOSKOP
DI INDONESIA?

UPAYA untuk mengurangi penyebaran Covid-19 yang hampir menyebar di sejumlah wilayah Indonesia. Dua jaringan bioskop di Indonesia terpaksa harus “istirahat” hingga waktu yang belum diketahui kapan akan berakhir.

Public Relation CGV Hariman Chalid membenarkan hal itu. Sampai saat ini, pihak bioskop CGV sebagai salah satu bioskop terbesar di Indonesia terpaksa harus menutup sementara.

“Kami menunggu surat edaran dari pemerintah yang menginstruksikan secara spesifik tentang industri bioskop boleh beroperasi kembali, seperti saat kami (bioskop) diminta tutup oleh pemerintah pada awal mewabahnya Covid-19 di Indonesia,” ucap Hariman Chalid saat dihubungi Kompas.com, Rabu (6/4/2020).

Seiring dengan tahapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi minggu ketiga di DKI Jakarta pada era new Normal ini, pada 15 Juni 2020, pemerintah telah mengizinkan 80 mal di Jakarta untuk beroperasi.

Namun, sebagai tempat hiburan yang menyatu dengan mal, bioskop hingga saat tulisan ini tayang masih tutup dan menunggu keputusan pemerintah.

Hariman mengatakan, CGV akan selalu menyambut baik rencana yang dikeluarkan pemerintah agar CGV dapat kembali memutar film-filmnya.

Bila bioskop telah kembali beroperasi, lanjut dia, para pengunjung juga tak perlu khawatir. Nantinya, kata dia, CGV akan selalu mengutamakan kebersihan dan kesehatan sesuai protokol kesehatan untuk Covid-19.

Head of Corporate Comminucations & Brand Management Cinema XXI, Dewinta Hutagaol, juga memastikan jaringan bioskopnya akan mengikuti instruksi pemerintah terkait protokol kesehatan.

“Kami mendukung upaya pemerintah pusat dan daerah untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi guna mendukung kesembuhan bangsa. Oleh karenanya, kami tetap mengikuti arahan Pemerintah dan belum kembali beroperasi,” kata Dewinta Hutagaol kepada Kompas.com, Selasa (16/6/2020).

Dewinta mengatakan, Cinema XXI terus berupaya bersiap serta akan selalu mengikuti prosedur dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Saat bioskop dapat beroperasi kembali, Hariman mengatakan,  CGV akan menerapkan pembayaran digital, jeda satu kursi di antara para penonton saat menonton film, dan membatasi jumlah penonton dalam satu penayangan film.

Cinema XXI juga akan menerapkan beberapa perubahan pada fase awal new normal atau kenormalan baru.

Di antara perubahan itu, kata Dewinta, adalah menerapkan physical distancing dengan jarak minimal satu meter, menyiapkan hand sanitizer di berbagai tempat area bioskop, mewajibkan setiap orang di area bioskop memakai masker, dan melakukan pengecekan tubuh sebelum masuk ke dalam bioskop.

“Penerapan physical distancing (minimal satu meter) di seluruh lingkungan bioskop termasuk di dalam studio,” ujar Dewinta Hutagaol. 

PLATFORM DIGITAL
BERJAYA

SELAMA pandemi Covid-19 ini, platform digital menjadi alternatif utama masyarakat untuk menemani selama masa karantina mandiri di rumah. Salah satunya, Netflix.

Selain Netflix sebenarnya ada juga banyak platform digital lain. Namun, terutama di Indonesia, platform lain relatif lebih sedikit pengguna. Ada tantangan jangkauan atau akses layanan, juga keharusan untuk menggunakan peranti tonton dengan sistem operasi tertentu saja. 

Ilustrasi platform digital untuk menonton film terutama di era pandemi Covid-19.
SHUTTERSTOCK/METAMORWORKS
Ilustrasi platform digital untuk menonton film terutama di era pandemi Covid-19.

Pada kuartal pertama di 2020, Netflix menyatakan jumlah pengguna baru di layanan mereka secara global bertambah 15,8 juta, menjadi total 183 juta pelanggan, sebagaimana siaran pers yang mereka kirimkan ke Kompas.com pada Rabu (24/6/2020).

Kinerja Netflix pada kuartal kedua 2020 pun kembali melampaui ekspektasi. Dalam paparan kinerja yang dipublikasikan pada Kamis (16/7/2020), Netflix mencatatkan tambahan 10,1 juta subscriber.

Proyeksi Netflix untuk kuartal yang berakhir pada 30 Juni 2020 ini adalah 7,5 juta, sementara pengamat menyebut angka 8,26 juta. Secara tahunan (yoy), tambahan pelanggan ini setara 27,3 persen.

Total pelanggan Netflix hingga akhir kuartal II 2020 pun cuma kurang tujuh juta dari 200 juta subscriber. Tambahan pelanggan Netflix dalam setengah tahun pertama 2020 adalah 26 juta orang, mendekati capaian 28 juta yang harus dikumpulkan setahun penuh pada 2019.

Pada kuartal pertama 2020, kawasan Asia Pasifik menambah 2,657 juta dollar AS pendapatan Netflix. Adapun pada kuartal kedua 2020, angkanya melonjak menjadi 6,259 juta dollar AS.

Meski demikian, Netflix pun mengumumkan proyeksi kinerja mereka pada kuartal III 2020 tak akan segemerlap capaian hingga akhir kuartal II 2020 ini. Imbasnya, meski kinerja setengah tahun pertama 2020 terbukti kinclong, harga saham Netflix malah turun.

Tak hanya berupaya menangguk untung, Netflix di Indonesia juga bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), mendukung proses belajar secara online di tengah pandemi. Meskipun, sejumlah kritik pun menyambangi kerja sama ini. 

“Sebagai bagian dari program Belajar dari Rumah, dan untuk pertama kalinya di dunia, film-film dokumenter Netflix ditayangkan melalui melalui saluran televisi (nasional).”

Sejak 20 Juni 2020, film-film dokumenter original Netflix tayang setiap Sabtu pukul 21.30 WIB dan tayang ulang setiap Minggu dan Rabu pada pukul 09.00 WIB. Tayangan-tayangan ini disiarkan melalui Televisi Republik Indonesia (TVRI).

Baca juga: Komisi X DPR Kritik Kemendikbud Gandeng Netflix terkait Film Dokumenter

Alternatif lain

Di tengah melejitnya platform digital, sejumlah alternatif cara menonton pun muncul. Misal, di sejumlah tempat menggeliat lagi drive-in theatre atau drive-in cinema.

Baca juga: Siap Hadir Drive-in CInema, Nonton Bioskop dari Mobil di Jakarta

Bukan cara yang benar-benar baru, memang. Namun, bagi sebagian kalangan cara ini cukup mengobati kerinduan menonton layar lebar.

Bedanya dengan bioskop, para penonton duduk di dalam mobil masing-masing selama menonton film layar lebar. 

Bioskop alternatif bernama Drive-In Senja di Tangerang, Banten.
DOK DRIVE-IN SENJA
Bioskop alternatif bernama Drive-In Senja di Tangerang, Banten.

Tak seperti menonton layar tancap juga praktik drive-in ini, termasuk dalam konteks pandemi. Penonton tetap dibatasi jumlahnya, perlu membayar tiket masuk ke lokasi, dan mutlak mengikuti protokol kesehatan.

Baca juga: Begini Gambaran Teknis Penyelenggaraan Drive-in Cinema di Indonesia

Tantangannya, alternatif ini butuh merogoh kocek cukup dalam. Keterbatasan tempat karena harus memasukkan mobil ke lokasi, adalah rasionalisasinya.

Salah satu penyelenggara Drive-in Cinema di Tangerang, Banten, mematok harga tiket mulai Rp 200.000 untuk layanannya.

Khusus untuk yang ini, mereka memasukkan tambahan inovasi teknis untuk audio. Penonton di dalam mobil tak perlu lagi membuka kaca jendela untuk mendengar audio film.

Penyelenggara menggandeng beberapa stasiun radio untuk dapat digunakan frekuensinya. Jadi, audio film dapat disimak dan diatur volumenya sesuai selera masing-masing penonton di dalam mobil.

Baca juga: Nonton Bioskop dari Mobil di Drive-in Senja, Mulai dari Rp 200.000-an

Kalau drive-in cinema masih terasa tak terlalu bioskop, masih ada pula alternatif lain. Layar lebar tetap dinikmati, protokol kesehatan tak dilanggar, bahkan sejumlah keunikan lain ditawarkan dalam alternatif model ini.

Kebanyakan dikemas semacam bioskop pribadi. Karenanya, protokol kesehatan bisa cukup ketat diberlakukan. Yang unik, pilihan film yang diputar tak selalu mainstream.

Simak di sini alternatif itu: Catat, 4 Bioskop Alternatif di Jakarta dan Tangerang

Bioskop tamat?

Terkait penutupan bioskop dan penundaan berbagai macam syuting film, memang dibutuhkan juga waktu untuk memulihkan kembali industri film seperti sedia kala.

Meski begitu, produser Chand Parwez mengatakan, dia percaya bahwa bioskop dan layanan streaming film sama-sama dapat berkembang dengan baik.

“Karena bioskop enggak ada, jelas jadi tersubstitusi. Kalau tergantikan, yang tentunya yang menggantikan akan mendapat yang jauh lebih besar," kata Chand Parwez.

Meski begitu, Chand Parwez berkeyakinan bioskop masih punya kans mendapat penonton ketika dibuka lagi, terutama dari kalangan yang terbiasa menonton bioskop.

"Kalau bioskop mau ada lagi, harus dengan prosedur yang tepat, untuk mengembalikan kebiasaan menonton yang selama beberapa bulan ini berubah,” ujar Chand Parwez.

Sutradara Hanung Bramantyo pun berpendapat bahwa cinema experience atau pengalaman menonton di bioskop tak akan bisa tergantikan dengan menonton secara digital.

“Meskipun ada portal film kayak di OTT di Netflix dan sebagainya, itu tetap tidak bisa mengubah habit orang menonton dari bioskop," tegas Hanung.

Menurut Hanung, bioskop tidak semata momentum bagi orang untuk menonton film. Namun, sinema juga adalah momentum untuk dapat bertemu dengan teman atau bahkan sesama penonton.  

KAPAN BIOSKOP
KEMBALI BEROPERASI?

SETELAH  bioskop tutup sejak akhir Maret 2020, Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) pernah sepakat untuk menghidupkan kembali operasional bioskop pada 29 Juli 2020.

Namun, rencana pembukaan itu batal. Kondisi pandemi di DKI Jakarta menjadi alasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melanjutkan pelarangan sejumlah aktivitas berisiko penularan Covid-19. Salah satunya, operasional bioskop ini.

Belakangan, wacana pembukaan kembali bioskop muncul lagi di pengujung Agustus 2020.

Ilustrasi menonton film di bioskop di tengah pandemi virus corona. Sesuai protokol kesehatan di bioskop aturan menjaga jarak diterapkan untuk menghindari potensi penularan Covid-19.
SHUTTERSTOCK/MELINDA NAGY
Ilustrasi menonton film di bioskop di tengah pandemi virus corona. Sesuai protokol kesehatan di bioskop aturan menjaga jarak diterapkan untuk menghindari potensi penularan Covid-19.

Wacana terkini yang mengemuka tak hanya muncul dari pemerintah daerah tetapi juga dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19. 

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, Rabu (26/8/2020), mengatakan bahwa pembukaan kembali bioskop dapat berkontribusi meningkatkan imunitas masyarakat.

Namun, kata dia, karyawan dan penonton bioskop tetap harus menjalankan protokol kesehatan.

Pembukaan bioskop juga sudah direncanakan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Baca juga: Ini Pertimbangan Pemprov DKI hingga Putuskan Buka Kembali Bioskop

Menurut Anies, protokol kesehatan harus ditaati oleh pelaku industri bioskop.

Hal itu untuk memberikan rasa nyaman dan aman kepada penonton tanpa adanya risiko tertular Covid-19.

Meski demikian, rencana pembukaan bioskop di DKI Jakarta masih menuai sejumlah kritik. Pendapat bahwa aktivitas di bioskop dapat membantu meningkatkan imunitas, misalnya, langsung ditentang oleh kalangan ilmuwan.

Baca: Bioskop Dibuka Bisa Tingkatkan Imunitas, Ahli Sebut Tak Ada Hubungannya

Jadi, para penanti tontontan bioskop pun jangan terlalu girang dulu, sepertinya. Hingga benar-benar terbukti bioskop beroperasi, semua masihlah wacana dan atau rencana.

Terlebih lagi, dalam hari-hari ini, angka kasus baru di DKI Jakarta dan nasional justru melonjak, bahkan berturut-turut mencetak "rekor" terbanyak selama pandemi.

Misal, data nasional hingga Kamis (27/8/2020), mencatatkan 2.719 kasus baru dalam sehari. Ini merupakan angka tertinggi hingga saat ini, selama pandemi Covid-19 menyambangi Indonesia.

Baca juga: 162.884 Kasus Covid-19 di Indonesia dan Rekor Penambahan Kasus Harian

DKI Jakarta, dalam data nasional tersebut menjadi penyumbang terbanyak kasus baru. Di data provinsi, yang tak setiap kali memperlihatkan tren sama dengan data nasional, juga mencatatkan "rekor" tertinggi selama pandemi. 

Bahkan, di data provinsi, hingga 27 Agustus 2020, kasus baru dalam sehari tercatat 820 kasus baru dalam sehari di DKI Jakarta.

Baca: Update 27 Agustus: Tambah 820 Kasus Covid-19 di Jakarta, Tertinggi selama Pandemi

 

Tak asal buka

Pembukaan kembali bioskop harus mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Menyambut segera beroperasinya kembali bioskop, Ernest menyambut dengan riang gembira.

Ernest mengatakan, industri film memang harus terus bergerak, tentunya dengan protokol kesehatan yang tepat di masa pandemi.

Baca juga: Bakal Dibuka Lagi, Berapa Lama Bioskop Bisa Pulih dari Kerugian?

Menurut dia, perfilman telah menjadi salah satu sumber penghidupan bagi banyak orang.

"Dari sudut pandang para pekerjanya, butuh mata pencaharian karena ini adalah penghidupan cukup banyak orang, dari mulai film maker, staf bioskop, bioskop yang sudah membangun ribuan layar industrinya harus berjalan," kata Ernest.

Produser Chand Parwez juga menyambut dibukanya kembali bioskop dengan bahagia.

Selain bioskop yang dibuka kembali, kata Parwez, aktivitas syuting pun kini sudah diperbolehkan asal menggunakan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan.

"Menurut saya, ini adalah sebuah angin segar di mana kita bisa mulai beraktivitas kembali, karena kan kita tidak mungkin kalau tidak melakukan apa pun," kata Chand Parwez.

Berikut protokol kesehatan yang dikeluarkan Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) untuk menonton bioskop selama pandemi Covid-19 yang juga dirujuk di situs BNPB:

15 Aturan Baru Operasional Bioskop - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)