JEO - Insight

Asal-usul Indonesia,
dari Catatan Bung Hatta sampai Peran STOVIA

Senin, 19 Agustus 2019 | 14:50 WIB

Nama Indonesia punya sejarah panjang, tak begitu saja diterima, dan melewati banyak peristiwa melibatkan banyak pemuda, sampai diproklamasikan sebagai sebuah negara pada 17 Agustus 1945. 

NAMA Indonesia, dari mana asalnya? Ada banyak versi dan sempat simpang siur. Lalu, apa pula kaitannya STOVIA yang adalah sekolah calon dokter dengan asal-usul Indonesia?

Adalah Mohammad Hatta yang jauh-jauh hari telah "merekap" asal-usul nama Indonesia di tengah sejumlah pro-kontra penggunaannya. .

Salah satu proklamator ini ketika bersekolah di Belanda, menulis artikel di media De Socialist edisi Nomor 10 terbitan 3 Desember 1928. Judul aslinya, Over de naam Indonesie.

Penerbit Kompas memunculkan kembali artikel yang sama pada 2015, menggunakan judul "Tentang Nama Indonesia".

Tulisan Hatta dalam versi lansiran Penerbit Kompas merupakan satu dari 36 artikel dalam buku Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1927-1977).

Asal-usul nama

Hatta menyusun artikel itu semula sebagai tangkisan terhadap sejumlah kelompok yang tak menyukai penggunaan nama Indonesia untuk cikal bakal negara ini. Ingat, 1928 adalah tahun yang sama dengan peristiwa Sumpah Pemuda, ikrar yang telah memakai kata Indonesia.

"Hanya mereka yang keberatan terhadap kemerdekaan segera Indonesia mencap (buruk) nama tersebut, yang mengandung gagasan kemerdekaan sebagai 'kata yang mengerikan'," kecam Hatta di bagian menjelang akhir tulisan tersebut.

Dalam artikel tersebut, Hatta dengan runut dan renyah bertutur soal sejarah nama Indonesia. 

Baca: Bung Hatta dan Asal-usul Nama Indonesia

Pertama, Hatta mengoreksi kredit yang sempat dilekatkan kepada orang Jerman bernama Adolf Bastian soal asal-usul penamaan Indonesia.

Bastian, Guru Besar Etnologi di Universitas Berlin kelahiran 1826 dan meninggal pada 1905 memang punya andil besar mengenalkan nama Indonesia.

Tepatnya, sejak dia menggunakan nama itu bagi penyebutan wilayah di Kepulauan Nusantara dalam artikel berjudul Indonesien order die Inseln des malayischen Archipels pada 1884.

Sejak itu, tulis Hatta, kata Indonesia jadi lazim dipakai dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu bangsa-bangsa dan ilmu bahasa.

Namun, lanjut Hatta, penelitian Kreemer yang kemudian ditulis dalam Kolonialiaal Weekblad  terbitan 3 Februari 1927, menyebutkan asal-usul nama Indonesia sudah lebih tua daripada itu.

Peta terbaru Indonesia yang diluncurkan pada 2017 oleh Badan Informasi Geospasial
BADAN INFORMASI GEOSPASIAL
Peta terbaru Indonesia yang diluncurkan pada 2017 oleh Badan Informasi Geospasial

Menurut Kreemer, nama Indonesia sudah dipakai ilmuwan Inggris bernama JR Logan pada 1850. Penamaan itu bisa ditemukan dalam artikel Logan berjudul The Ethnology of the India Archipelago dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia.

Kalau mau ditelisik lebih lanjut, ungkap Hatta, penyebutan mendekati kata "Indonesia" sudah lebih dulu lagi dimunculkan oleh GW Earl, ilmuwan Inggris juga.

Bedanya, Earl menggunakan terminologi "Indunesians" dan "Malayunesians", sebagai penyebut untuk penduduk yang tinggal di kawasan yang sama.

Bila Earl menyatakan kata "Indunesians" hanya dalam arti etnologis, tulis Hatta, Logan memberikan pada kata Indonesia suatu pengertian geografis murni untuk menyebut kepulauan yang sekarang masuk wilayah Indonesia.

“Sekalipun dia (Logan) bukan penganjur penambahan penamaan-penamaan Yunani, dia sama sekali tidak berkeberatan terhadap nama Indonesia, yang bagi orang Eropa bernada Yunani, karena menurut pendapatnya kata nusa (pulau) yang berasal dari bahasa Melayu itu mungkin sama tuanya dengan kata nesos Yunani,” papar Hatta.

Arti politik

Dalam artikel tersebut, Hatta menjabarkan runutan penggunaan nama Indonesia untuk tujuan politik. Menurut dia, nama Indonesia sudah terus dipakai oleh Perhimpunan Indonesia sejak 1922.

Indonesia, lanjut Hatta, juga resmi dipakai oleh Gerakan Perdamaian Internasional Sipil, untuk merujuk wilayah yang waktu itu disebut Belanda sebagai Hindia Belanda.

“Bagi kami orang Indonesia, nama Indonesia mempunyai arti politik dan menyatakan suatu tujuan politik. Dalam arti politik karena dia mengandung tuntutan kemerdekaan, bukan kemerdekaan Hindia-Belanda melainkan kemerdekaan Indonesia dari Indonesia (Indonesisch Indonesie),” ungkap Hatta.

Dia pun menjelaskan, penamaan Indonesia juga menyatakan suatu tujuan politik.

“Karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air di masa depan dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya,” tegas dia.

Tambahannya, Hatta menyebut bahwa pada saat tulisannya itu terbit sudah tak ada lagi satu pun koran Indonesia yang memakai kata Hindia Belanda sebagai terjemahan harfiah dari Nederlands-Indie.

Penjelasan lebih lanjut Hatta soal arti politik penamaan Indonesia, dimuat dalam artikel terpisah yang terbit di Indonesia.

Dalam buku Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan, Ekonomi, artikel terpisah ini dimuat menggunakan judul Sekitar Perjuangan untuk Indonesia, sebagaimana tulisan Hatta yang dimuat pada 1929 di Indonesia Merdeka.

Silang budaya

Sejarawan Peter Carey mengamini asal-usul nama Indonesia antara lain dicetuskan oleh Logan, sebagaimana disebut Hatta.

Carey melengkapi nama Logan—yang Hatta kutip sebagai JR Logan—adalah James Richardson Logan (1819-1869.

Menurut Carey, Logan adalah orang Skotlandia yang menjadi editor majalah Penang Gazette, wilayah Straits Settlement-kini Negara Bagian Penang, Malaysia.

Karena pekerjaan itu, ungkap Carey, Logan tinggal di wilayah tersebut pada kurun 1842-1847.

"Nama yang diperkenalkan adalah Indonesia untuk menyebut Kepulauan Hindia yang waktu itu merupakan jajahan Belanda sehingga disebut Hindia-Belanda," kata Carey, sebagaimana dikutip harian Kompas edisi 29 Oktober 2015.

Menurut Carey, bangsa Eropa mengenal dua wilayah Hindia.Yaitu, Hindia-Barat dan Hindia-Timur.

Hindia-Barat merupakan penyebutan untuk wilayah Kepulauan Karibia yang ditemukan Christopher Columbus. Semula daerah ini diyakini sebagai bagian dari wilayah India.

Adapun Hindia-Timur ditemukan lewat ekspedisi Vasco da Gama dan Magellan. Inilah yang kini merupakan Kepulauan Nusantara.

Baca: Asal-usul Nama Indonesia

Semua ekspedisi di atas pada dasarnya berburu rempah-rempah, komoditas paling dicari orang Eropa pada saat itu. 

Wilayah Nusantara merupakan persimpangan peradaban dan pengaruh budaya India dan Tiongkok.

Ilmuwan Perancis, Dennis Lombard, menyebutnya sebagai carrefour de civilization atau silang budaya.

Ada satu nama lagi dari tulisan Hatta yang belakangan "disempurnakan" datanya oleh sejarawan. Didi Kwartanda dari Yayasan Nation Building, menyebutkan nama Earl George Samuel Windsor (1813-1865), merujuk sosok yang dimaksud Hatta.

Menurut Didi, penyebutan alternatif nama Indonesia pada saat itu oleh Earl tertuang dalam karya ilmiah berjudul On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (1850).

Adapun buku Bastian yang juga dikutip Hatta, menurut Carey dan Didi berisi tentang hasil penelitiannya di Nusantara pada kurun 1864-1880.

Dalam lima jilid bukunya, kata Carey, Bastian membagi wilayah Nusantara dalam zona etnis dan antropologi.

Identitas politik

Sebagaimana telah pula dipaparkan Hatta, penamaan Indonesia juga punya arti politik.

Indonesia menjadi identitas politik ketika trio Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat), dan dokter Tjipto Mangunkusumo mengusung gagasan modern berpolitik dalam Indische Partij (Perhimpunan Indonesia).

Gagasan mereka adalah menjadikan orang-orang kelahiran Indonesia membangun kesadaran politik dan kebangsaan Indonesia tanpa membedakan sekat perbedaan suku-rasial dan keyakinan.

Sejarawan Remco Raben dan Ulbe Bosma dalam buku Being Dutch In The Indies: A History of Creolisation and Empire, 1500-1920, mengungkapkan, kesadaran sebagai "Putera Hindia" juga muncul di kalangan Indo-Eropa.

Bahkan, pernah terjadi unjuk rasa menuntut hak sebagai Putera Hindia pada 1840-an yang sangat tidak lazim di Hindia-Belanda yang sangat konservatif.

Pasalnya, orang Eropa mengacu Benua Eropa adalah Tanah Air-nya. Mereka hanya menjadi pemukim-trekker-yang suatu hari akan kembali ke Eropa dan tidak peduli masa depan Hindia.

Penulis buku Perang Napoleon di Jawa, 1811, Jean Rocher mengatakan, reformasi politik pertama pada zaman penjajahan Belanda dilakukan oleh tokoh yang tak populer dalam sejarah Indonesia, yakni Herman Willem Daendels.

Daendels memecat birokrat korup dan mencabut hak-hak bangsawan lokal yang berlebihan serta menjalankan efisiensi pemerintahan. Sejarah menempatkan Daendels pada posisi antagonis.

Mengenai pertumbuhan dan kesadaran politik, Peter Carey menjelaskan, Hindia-Belanda jauh tertinggal dibandingkan dengan Filipina yang merupakan jajahan Amerika Serikat dan India yang merupakan jajahan Inggris.

Kesadaran untuk mempersiapkan kemerdekaan negeri jajahan sudah disadari pihak AS dan Inggris.

Adapun kelahiran Indische Partij dan kemunculan gerakan Sarikat Islam (SI) oleh HOS Tjokroaminoto dan kawan-kawan pada zaman Gubernur Jenderal Idenburg memicu pergerakan kebangsaan lebih lanjut oleh para pemuda yang mengalami banyak tekanan.

Terlebih lagi, pada 1926 pemberontakan komunis ditumpas oleh Kolonial Belanda dan ruang aktivitas politik semakin diperketat.

Pada saat yang sama, krisis ekonomi global-malaise-melanda dunia dan memukul Hindia-Belanda yang ekonominya mengandalkan ekspor komoditas, seperti gula dan berbagai bahan mentah.

Pemanasan menjelang Sumpah Pemuda dimulai ketika pada 1927, WR Supratman dan Yo Kim Tjan, pemilik Toko Musik Populair di Pasar Baru, berkolaborasi merekam lagu Indonesia Raya yang kemudian digandakan di Inggris.

Kelanjutannya, pada 1928, para pemuda membuka Kongres Pemuda II di lahan Jong Katoliek Bond di Kompleks Katedral dan ditutup di rumah Sie Kong Liong di Jalan Kramat Raya 106, yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda.

Pemuda, seperti Mohammad Yamin, Amir Sjarifoeddin, dan Asaat, yang kelak menjadi pejabat presiden RI, pernah indekos di rumah Sie Kong Liong yang menyokong gerakan para pemuda hingga lahir Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober.

Sekilas pergerakan pemuda

Dalam catatan berbeda, sejarah pergerakan pemuda yang mendorong mewujudnya negara bernama Indonesia tak hanya memunculkan nama Perhimpunan Indonesia.

Satu nama yang tak banyak disebut adalah Tri Koro Dharmo. Dilansir dari buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2013), organisasi Tri Koro Dharmo merupakan perkumpulan pelajar yang berdiri pada 7 Maret 2015. 

Anggota pergerakan ini adalah pelajar bumiputera dari perguruan dan sekolah-sekolah di Jawa. Kebanyakan mereka berasal dari Jawa dan Madura.

Organisasi Tri Koro Dharmo—berarti tiga tujuan mulia, yaitu sakti, bukti, dan bakti—ini yang kemudian dikenal sebagai Jong Java.

Kehadiran jong ini juga yang kemudian mendorong lahirnya jong-jong lain, organisasi berbasis kedaerahan yang mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Adapun Perhimpunan Indonesia yang sebenarnya telah ada sejak 1908, dinilai baru punya gigi di Nusantara ketika para pentolannya pulang dari tempat mereka belajar di Belanda. 

Baca juga: Sejarah Sumpah Pemuda, Tekad Anak Bangsa Bersatu demi Kemerdekaan

Sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, ada terlebih dahulu Kongres Pemuda I yang berlangsung pada 30 April 1926 sampai 2 Mei 1926. Namun, persatuan belum bisa mewujud. 

Barulah pada Kongres Pemuda II yang digelar pada 27-28 Oktober 1928 persatuan itu dapat terjadi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Kongres Sumpah Pemuda.

Inilah perisitwa yang disebut sebagai momentum bersatunya pemuda untuk bergerak dan berjuang menuju Indonesia merdeka. 

Bicara pergerakan pemuda yang mendorong mewujudnya Indonesia, cerita soal Sekolah Dokter Jawa adalah bagian yang tak dapat dipisahkan. Pendiri dan tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia, Boedi Oetomo, dan Sumpah Pemuda, banyak yang berasal dari sekolah ini.

Bangsal tidur asrama mahasiswa kedokteran di Gedung STOVIA. Kini, gedung tersebut menjadi Museum Kebangkitan Nasional.
KOMPAS/WINDORO ADI
Bangsal tidur asrama mahasiswa kedokteran di Gedung STOVIA. Kini, gedung tersebut menjadi Museum Kebangkitan Nasional.

Sekolah Dokter Jawa belakangan berubah dan lebih dikenal sebagai School tot Opleiding van Inlandsche Astsen (STOVIA), ketika muridnya tak lagi berlatar priyayi Jawa. Kampusnya sekarang adalah Museum Kebangkitan Nasional di daerah Senen, Jakarta Pusat. 

Meski tujuan keberadaannya sejak awal adalah mendidik calon tenaga medis, sekolah ini justru melahirkan banyak tokoh penting dalam pergerakan menuju Indonesia merdeka. 

Setelah dibuka untuk murid selain dari Jawa, pemuda-pemuda Minangkabau menjadi rombongan pertama yang "menguasai" STOVIA bersama orang-orang Jawa yang lebih dulu ada.

Cerita soal STOVIA dipaparkan Rosihan Anwar di jilid ketiga serial Sejarah Kecil Indonesia. Di situ, Rosihan antara lain menyitir sejarawan Australia, MC Ricklefs, dari buku A History of Modern Indonesia, soal anak-anak sekolah dokter dari Jawa dan Minangkabau ini.

Menurut Ricklefs, adalah fakta historis bahwa Jawa dan Minangkabau merupakan tempat lahirnya pemimpin-pemimpin gerakan perubahan pada kurun waktu 1900-1927. Saat itu transformasi politik mencuat berupa gerakan antikolonial dan usaha reformasi.

Baca juga: Sekolah Dokter, Wartawan, dan Transformasi Politik Indonesia

Cerita soal "dominasi" Jawa dan Minangkabau dalam pergerakan pemuda pada masa-masa itu yang kemudian juga melahirkan "jalan tengah" bernama Bahasa Indonesia.

Meski sebagian besar pemuda pejuang pada saat itu adalah anak-anak Jawa, priyayi, dan berpendidikan, tetapi bahasa yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia justru berinduk ke bahasa Melayu, bahasa ibu orang Minangkabau. 

Ketika pada suatu pagi di tengah bulan Ramadhan pada Agustus 1945 sejumlah pemuda "menculik" Soekarno dan Hatta untuk mendesak segera diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia—dikenal sebagai peristiwa Rengas Dengklok—sejatinya ada proses panjang berjilid-jilid. 

Bahkan, nama Indonesia pun terbukti bukan baru lahir pada 17 Agustus 1945, hari ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bukan pula nama ini baru ada saat Sumpah Pemuda, momentum bersatunya para pemuda melepaskan ego politik identitasnya. 

Masih mau asal saja memaknai kemerdekaan dan nama Indonesia?