JEO - Peristiwa

Awas, Tanah Bergerak!

Senin, 27 September 2021 | 12:38 WIB

Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

 

 

BEGITULAH Indonesia menurut gambaran grup musik Koes Plus dalam sepenggal lagunya yang berjudul ‘Kolam Susu’.

Ya, Indonesia memang negeri yang subur dan kaya sumber daya alamnya. Tak heran beratus-ratus tahun lalu bangsa asing datang untuk menguasai komoditas yang tumbuh di Nusantara. 

Kesuburan di bumi Indonesia tak lain bersumber dari struktur geologis yang cukup rumit sekaligus unik ditambah letak geografis yang strategis.

Ditinjau dari segi geologis, kepulauan di Indonesia terbentuk dari aktivitas pertemuan berbagai lempeng, yakni dua lempeng benua (Lempeng Eurasia dan Lempeng Australia) serta dua lempeng samudera (Lempeng Samudera Hindia dan Lempeng Samudera Pasifik).

ilustrasi lempeng tektonik
britannica.com
ilustrasi lempeng tektonik

Proses subduksi lempeng-lempeng itu membentuk gunung-gunung api yang terbentang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, hingga kepulauan di Nusa Tenggara.

Total, terdapat 129 gunung api di Indonesia. Angka tersebut merupakan 13 persen dari gunung api aktif di seluruh dunia. 

Material vulkanik yang keluar dari gunung-gunung itu membuat tanah di wilayah sekitarnya menjadi subur dan menjadi anugerah bagi masyarakatnya. 

Secara geografis, kepulauan Indonesia juga terletak di garis khatulistiwa. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa. Segala yang tumbuh menerima cukup sinar matahari dan hujan melalui dua musimnya.

Kekayaan yang Indonesia terima dari proses alam merupakan sebuah anugerah Tuhan yang patut kita syukuri.

Tetapi, seluruh pesona itu juga menuai sebuah risiko yang harus diterima sekaligus harus dipersiapkan baik-baik oleh bangsa ini, yakni ancaman bencana.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by harum sekartaji (@harumanis)

Iklim tropis dengan dua musim ditambah pemanasan global menyebabkan perubahan suhu, cuaca dan arah angin yang cukup ekstrem.

Situasi tersebut dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia, contohnya bencana hidrometeorologi yakni banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan.

Keberadaan lempeng yang terus bergerak, gunung-gunung api serta dataran tinggi-rendah juga menyimpan potensi bencana alam berupa letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah bergerak.

Peristiwa bencana itu bisa terjadi di mana saja di penjuru Indonesia. Perkotan yang padat dengan gedung bertingkat, pedesaan yang asri oleh tanaman, pesisir pantai atau dataran tinggi yang sejuk bisa porak-poranda dalam sekejap.

Fenomena Tanah Bergerak

Laporan mengenai bencana mewarnai pemberitaan sejumlah media massa di awal 2021.

Di antara deretan bencana alam yang terjadi, muncul sebuah fenomena lama yang intensitasnya semakin marak dan patut menjadi perhatian kita semua, yakni tanah bergerak yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

Tanah bergerak adalah perpindahan massa tanah atau batu pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula. 

Pergerakan tanah mencakup rayapan, aliran dan longsoran. Dengan kata lain, bencana tanah longsor termasuk bagian dari tanah bergerak. 

Rumah-rumah bak hanyut dibawa arus. Kawasan permukiman yang ramai seketika sunyi sepi. Tanah perlahan ambles dan menyisakan lubang. Ngeri

Peristiwa-peristiwa itu telah kami rangkum berikut ini: 


Sukabumi

Tanah bergerak terjadi di Kampung Ciherang, Desa Cijangkar Kecamatan Nyalindung,  Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, 13 Desember 2020.

Tanah bergerak menyebabkan 56 kepala keluarga (KK) atau 168 jiwa mengungsi.

Baca juga: Rekomendasi PVMBG Tanam Pohon Berakar Kuat di Lokasi Tanah Bergerak Sukabumi


Lebak

Tanah bergerak terjadi di Kampung Jampang Cikoneng, Desa Sudamanik, Kecamatan Cimarga, Lebak, Banten.

Fenomena tersebut pertama kali terjadi sekitar awal 2019 lalu. Saat itu, tanah di bawah permukiman yang dihuni oleh 115 KK tiba-tiba bergeser.

Sejumlah rumah rusak dan roboh akibat pergerakan tanah di Kampung Jampang Cikoneng, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Senin (1/2/2021)
KOMPAS.COM/ACEP NAZMUDIN
Sejumlah rumah rusak dan roboh akibat pergerakan tanah di Kampung Jampang Cikoneng, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Senin (1/2/2021)

Total ada 36 rumah terdampak langsung dengan kondisi rusak ringan hingga roboh.

Kejadian yang terbaru terjadi secara bertahap, mulai dari Desember 2020 dan terus terjadi hingga awal Februari 2021. Ada 41 rumah yang terdampak.

Baca juga: Teror Tanah Bergerak di Lebak Banten, Mencari Penyebab dan Solusinya

 

Purbalingga

Tanah bergerak terjadi di Dusun Pagersari, desa Tumanggal, Purbalingga, Jawa Tengah, pada Kamis 3 Desember 2020.

Pergerakan tanah membuat 36 rumah rusak dan 165 KK mengungsi.

Puluhan rumah mengalami retak di bagian dinding dan beberapa di antaranya roboh.

Baca juga: Tanah Bergerak di Purbalingga, 36 Rumah Rusak, 165 KK Mengungsi

 

Banyumas

Tanah bergerak terjadi di Dusun Semaya, Desa Sunyalangu, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, pada Jumat 11 Desember 2020.

Terdapat sembilan rumah yang rusak karena tembok dan lantainya retak. Selain itu, ada satu area kebun yang tanahnya ambles hingga satu meter.

Baca juga: Fenomena Tanah Bergerak di Kabupaten Banyumas, 9 Rumah Warga Rusak

 

Ciamis

Pada 1 Januari 2021, tanah bergerak melanda Dusun Cilimus, Desa Indragiri, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Akibatnya, seluruh rumah di RT 012 /RW 010 terpaksa dikosongkan.

Baca juga: Saat Perkampungan di Ciamis Berubah Jadi Sunyi Akibat Tanah Bergerak

Gerakan tanah menyebabkan lantai tanah ambles sedalam 30 sentimeter di Dusun Cilimus, Desa Indragiri, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Foto Dokumen Kepala Dusun
Gerakan tanah menyebabkan lantai tanah ambles sedalam 30 sentimeter di Dusun Cilimus, Desa Indragiri, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Dinding dan lantai rumah warga mulai mengalami retakan kecil. Hari berikutnya, terjadi retakan yang cukup besar. 

Suara keramik lantai yang pecah perlahan-lahan terdengar jelas oleh warga. Sejumlah orang mengungsi ke rumah kerabat yang tak jauh dari kampungnya.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ciamis, ada 23 rumah yang terdampak bencana tanah bergerak ini.

Sebanyak 23 rumah tersebut dihuni oleh 26 KK atau sebanyak 74 jiwa.

 

Aceh Besar

Fenomena tanah bergerak terjadi di permukiman penduduk Desa Lamkleng, Kecamatan Kuta Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar, sejak Senin 11 Januari 2021.

Tanah bergerak itu telah membentuk rekahan besar dengan kedalaman lebih dari 5 meter.

Sebanyak 14 unit rumah warga yang berada di area tanah bergerak itu direkomendasikan untuk segera direlokasi ke tempat yang lebih aman.

Baca juga: Meneliti Penyebab Tanah Bergerak di Aceh Hingga Upaya Penyelamatan Warga

 

Purworejo

Tanah bergerak terjadi di Desa Tegalsari, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada Kamis 14 Januari 2021, sekitar pukul 02.00 WIB.

BPBD Kabupaten Purworejo mencatat, ada 14 KK yang terdiri dari 31 jiwa mengungsi di 8 pos pengungsian.

Baca juga: Bencana Tanah Bergerak di Purworejo, 3 Rumah Ambruk, 31 Jiwa Mengungsi

 

Brebes

Tanah bergerak terjadi Desa Gununglarang, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Senin 1 Februari 2021.

Sebanyak 9 rumah warga di RT 001/RW 001 Gununglarang rusak akibat tanah bergerak.

Baca juga: Longsor, Tanah Bergerak, Hingga Lubang Besar Muncul di Brebes

Tak hanya pada akhir 2020 dan awal 2021, peristiwa tanah bergerak terus terjadi di Indonesia. Berikut ini informasi terkait tanah bergerak yang terjadi setidaknya dua bulan terakhir. 

Penyebab tanah bergerak

Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Badan Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Budianto mengatakan, secara umum peristiwa tanah bergerak disebabkan oleh faktor alam dan manusia. 

“Tidak bisa hanya menyalahkan salah satu. Keduanya berperan saat terjadi bencana,”kata Agus kepada Kompas.com, Rabu 1 September 2021.

Faktor alam yang dimaksud, antara lain gempa bumi, erupsi gunung berapi, posisi kemiringan tanah, kondisi batuan sekitar, letak geografis di bantaran sungai, serta curah hujan.  

Di satu sisi, memang ada kasus di mana cukup satu faktor saja yang menyebabkan fenomena tanah bergerak. Tetapi tak jarang fenomena itu disebabkan oleh kombinasi dari beberapa faktor. 

Baca juga: Penyebab Tanah Bergerak Tak Cuma Karena Faktor Alam

Agus memberikan contoh, terdapat sebuah permukiman di lahan yang memiliki kemiringan tertentu. Ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi, terjadi perpindahan massa air ke dalam tanah.

Batuan di bawah lahan itu ternyata tidak padat sehingga tanah dengan mudah mengalami pergerakan. Rumah-rumah yang berdiri di atasnya otomatis runtuh karena tidak lagi memiliki pondasi kuat. 

Selain faktor alam, ada pula faktor campur tangan manusia, antara lain aktivitas tambang yang tanpa kajian dan rencana, pembukaan jalan, dan pembangunan permukiman penduduk liar. 

Agus mengingatkan bahwa bumi memiliki sistem. Oleh sebab itu, apabila manusia sebagai bagian dari sistem itu mengganggu salah satu unsurnya, maka akan muncul potensi fenomena yang dapat mencelakai manusia sendiri.  

“Karena kita berada di bumi, maka kondisi bumi dan tindakan manusia itu saling berhubungan satu sama lain, tidak bisa dipisahkan,” ujar Agus. 

Baca juga: Ini Beberapa Faktor Tanah Bergerak di Sukabumi Menurut PVMBG

Mengingat fenomena tanah bergerak disebabkan oleh banyak faktor, kita tak bisa menyamaratakan penyebab kasus-kasus yang terjadi sebagaimana telah ditulis pada bab sebelumnya. Masing-masing peristiwa di sebuah daerah harus diteliti satu per satu penyebab pastinya. 

Peneliti Ahli Madya Bidang Geoteknik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adrin Tohari secara khusus menyoroti fenomena tanah bergerak di Purworejo, Jawa Tengah. 

Berdasarkan kajiannya, peristiwa tanah bergerak yang terjadi di sana merupakan tipe nendatan/rayapan tanah. 

Pergerakan tanah tipe nendatan ini pada umumnya perlahan, bahkan tidak terasa. Apabila terus terjadi dalam kurun waktu tertentu, bisa menyebabkan jalan aspal terbelah dan amblas. Kerusakan serupa juga terjadi pada rumah yang berdiri di atas tanah yang bergerak itu. 

Adrin mengatakan, berdasarkan pengamatannya, umumnya fenomena tanah bergerak terjadi di daerah-daerah yang banyak lahan basah. Contohnya dekat persawahan, kolam, maupun daerah yang di bawahnya terdapat sungai.

"Beberapa sungai terdapat bebatuan yang membuat sulit air untuk merembes masuk, sehingga air merambat naik, mengenai bagian (lapisan tanah) yang lemah. Lalu terjadilah tanah bergerak," papar Adrin. 

 

Apa bedanya dengan likuefaksi?

Tentu masih lekat dalam ingatan ketika gempa bumi bermagnitudo 7,4 mengguncang pantai barat Sulawesi, awal September 2018 silam. Guncangan gempa bumi dirasakan antara lain di Kabupaten Donggala, Kota Palu, Kabupaten Parigi Moutong, bahkan hingga Kota Samarinda dan Balikpapan. 

Gempa bumi itu juga memicu tsunami setinggi lima meter dan menghantam pesisir Kota Palu dan sekitarnya. 

Beberapa saat setelah gempa berakhir, muncul fenomena mengerikan di Kelurahan Petobo dan Perumnas Balaroa Kota Palu yang belum pernah diketahui sebelumnya. 

Beberapa bagian tanah amblas hingga sedalam lima meter, sementara ada bagian tanah yang naik hingga tiga meter. Tak hanya itu, tanah bergerak serempak ke satu sisi seperti air mengalir. 

Fenomena itu tentu mematikan bagi kehidupan yang sebelumnya berdiri kokoh di atasnya. 

Baca juga: Dentuman Sebanyak Dua Kali Terdengar di Lokasi Tanah Bergerak Sukabumi

Menurut data, fenomena likuefaksi di Perumnas Balaroa menenggelamkan sekitar 1.747 unit rumah. Sementara di Kelurahan Petobo, sekitar 744 unit juga hilang bak ditelan bumi. Sekitar 84 orang dinyatakan meninggal dunia. 

Dilihat dari wujud fenomenanya, likuefaksi termasuk bagian dari tanah bergerak. Tetapi, yang membedakan terdapat pada penyebab serta proses terjadinya. 

Ahli geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Imam Achmad Sadisun menjelaskan, likuefaksi adalah perubahan karakter material tanah padat (solid) menjadi cairan (liquid) sebagai akibat dari adanya guncangan besar. 

Pada umumnya, tanah yang mengalami likuefaksi didominasi pasir yang sudah mengalami jenuh air alias tidak lagi dapat menyerap air. Oleh sebab itu, ketika ada guncangan hebat, tekanan air naik melebihi kekuatan gesekan tanah yang ada. 

"Proses itulah yang menyebabkan likuefaksi terjadi dan material pasir penyusun tanah menjadi seakan-akan melayang di antara air," kata Imam sebagaimana dikutip dari laman resmi ITB. 

Baca juga: Dentuman Terdengar Lagi di Kaki Gunung Beser Sukabumi, Warga Ketakutan

Imam menambahkan, bencana likuefaksi bisa jauh lebih parah dampaknya bagi manusia apabila posisi tanah terletak di kemiringan tertentu. 

Seolah-olah tanah terlihat berjalan, berpindah dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Tentu membawa serta segala yang ada di atasnya. Pohon, tiang listrik, rumah beserta manusianya. 

"Secara lebih spesifik, kejadian ini disebut sebagai aliran akibat likuefaksi atau flow liquefaction," ujar Imam.

Adrin Tohari menambahkan, pada zona sesar Palu, tempat likuefaksi terjadi, endapan sedimen memang berumur muda dan belum terkonsolidasi dengan baik alias mengalami pemadatan. Oleh sebab itu, daerah itu rentan mengalami likuefaksi apabila ada gempa bumi besar. 

Singkat kata, likuefaksi merupakan bagian dari tanah bergerak. Tetapi, belum tentu setiap pergerakan tanah disebut likuefaksi, meski sama-sama menghancurkan segala yang ada di atasnya. 

Menilik kesiapan kita

Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Kementerian ESDM Agus Budianto mengatakan, Indonesia sebenarnya memiliki peta kerentanan tanah. Peta itu diproduksi oleh Badan Geologi.

Peta kerentanan tanah itu merupakan hasil kajian dan analisis tentang letak dataran, jenis tanah, kadar air dalam tanah, jenis batuan dalam tanah dan potensi curah hujan seluruh wilayah di Tanah Air.

Hasil kajian dan analisis menunjukkan daerah mana saja di Indonesia yang masuk kategori aman, sedang, hingga rawan. 

Wilayah yang dikelir merah (zona merah) berarti memiliki risiko tinggi. Sementara wilayah yang berwarna kuning dan hijau masing-masing memiliki risiko sedang dan aman dari bencana yang berkaitan dengan tanah. 

"Peta ini yang semestinya menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam penataan kawasan tata ruang," ujar Agus. 

Meski demikian, Agus menekankan, kawasan zona merah bukan berarti sama sekali tidak boleh dibangun. Hanya saja, pemerintah daerah harus melakukan kajian terlebih dahulu apabila ingin melakukan pembangunan. 

Jika pemerintah daerah memilih untuk membangun kawasan berisiko tinggi tanah bergerak, maka kajian harus disertai dengan langkah antisipasi bencana. Misalnya, penanaman pohon, memperkuat lapisan tanah, memperkuat lapisan tebing atau membuat terasering. 

“Yang diperlukan adalah beradaptasi dengan kondisi alam. Misalnya cuma ada satu jalan menuju tempat di pelosok, ya masak tidak boleh dibangun jalan? Jadi perlu antisipasi dan identifikasi awal,” kata Agus. 

Baca juga: Melihat Kondisi Pengungsi Tanah Bergerak di Kaki Gunung Beser Sukabumi

Tidak hanya Badan Geologi, peta serupa dimiliki Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 

Di sisi lain, BNPB sebagai garda depan penanggulangan bencana juga memiliki peta mitigasi kebencanaan secara umum, tidak hanya soal tanah bergerak. Peta itu dapat diakses di inarisk.bnpb.go.id.  

Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menjelaskan, situs itu menampilkan informasi ancaman bencana, kerentanan (populasi, kerugian fisik, ekonomi, dan lingkungan), kapasitas, dan risiko bencana di Indonesia. 

Berdasarkan peta itu, BNPB akan segera berkomunikasi dengan pemerintah daerah setempat apabila terjadi fenomena alam yang berpotensi menimbulkan bencana. Curah hujan yang tinggi contohnya. 

"Misalnya dari BMKG melaporkan curah hujan tinggi. Kami akan membuat risiko penduduk untuk selanjutnya diserahkan kepada tingkat provinsi dan kabupaten, lalu sampai ke lurah dan camat untuk segera diantisipasi," ujar Abdul. 

 

Mitigasi bencana yang efektif, tetapi...

Tim JEO Kompas.com menyambangi salah satu desa di wilayah Lampung Barat yang dinyatakan rawan tanah bergerak oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung Barat.

Daerah itu merupakan jalur utama yang menghubungkan Lampung Barat dengan Sumatera Selatan dan Bengkulu.  

Warga rupanya sudah mengetahui rumah mereka didirikan di atas tanah yang berpotensi mengalami pergerakan. 

"Iya, sudah tahu, karena memang sering (longsor) di sekitar sini," ujar Arifin Djamal (35), salah seorang warga Desa Sumber Jaya, Lampung Barat.

Baca juga: Korban Bencana Tanah Bergerak Kaki Gunung Beser: Kami Minta Kejelasan...

Desa tersebut berada di lereng perbukitan dan memiliki tingkat kemiringan tanah yang cukup tinggi. 

Arifin mengatakan, warga desa telah membentuk satuan tugas penanggulangan bencana.  Tugas mereka, menerima laporan prediksi curah hujan. Apabila, intensitas hujan terlalu tinggi, satgas akan mengimbau warga untuk mengungsi karena khawatir terjadinya tanah longsor. 

"Ada satgas yang standby. Biasanya warga juga langsung bantu kalau ada apa-apa," lanjut Arifin. 

Kondisi jalan lintas Liwa (Lampung Barat) - Krui (Pesisir Barat) yang merupakan penghubung menuju Provinsi Bengkulu.
Dok. Satpol PP Lampung Barat
Kondisi jalan lintas Liwa (Lampung Barat) - Krui (Pesisir Barat) yang merupakan penghubung menuju Provinsi Bengkulu.

Kepala BPBD Lampung Barat Maidar menambahkan, satgas atau tim reaksi cepat bencana itu terdiri dari empat orang. 

"Mereka yang akan akan pertama kali tiba di lokasi. Jika bencananya besar, mereka langsung berkoordinasi dengan kabupaten," ujar Maidar. 

Sejauh ini, peristiwa longsor di desa itu tidak menelan korban jiwa. Sistem mitigasi bencana yang efektif di desa itu dinilai menjadi kunci masyarakat setempat lolos dari maut, meskipun potensi terjadi bencana tidak dapat hilang sepenuhnya. 

Meski demikian, tentu masih banyak daerah di Indonesia yang tidak dilengkapi perangkat mitigasi bencana seperti ini. Sadar atau tidak, kehidupan mereka pun dapat terenggut sewaktu-waktu. 

Banyak pula peristiwa tanah bergerak yang datang tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Tiba-tiba tanah bergerak dan menghancurkan rumah dan infrastruktur di atasnya. 

Mengurai persoalan

Harus diakui, fenomena tanah bergerak merupakan persoalan yang kompleks. Penyelesaian persoalan itu menuntut keinginan politik pemerintah pusat dan daerah yang tercermin pada rencana anggaran serta strategi aksi. 

Tak hanya itu, masyarakat juga dituntut untuk sadar akan bahaya yang mengancam sehingga mau terlibat aktif dalam pencegahan dampak negatif dari bencana tanah bergerak. 

Kompleksitas persoalan itu membuat perhatian terhadap fenomena tanah bergerak ini belum ideal jika dibandingkan dengan bencana gempa bumi atau letusan gunung api. Padahal, daya rusaknya sama-sama tinggi, meski memakan waktu perlahan. 

Pakar tata ruang Yayat Supriatna memaparkan, persoalan pertama terkait bencana tanah bergerak adalah keterlambatan hadirnya informasi mengenai peta kerentanan tanah di Indonesia. 

"Peta soal kerentanan tanah itu kan baru kita dapat baru-baru ini saja. Katakanlah lima-sepuluh tahun terakhir ini mulai update. Tetapi terkait tempat tinggal, orang mungkin sudah puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun turun temurun tinggal di wilayah yang berisiko tinggi," ujar Yayat saat berbincang dengan JEO Kompas.com, 7 September 2021. 

Rumah-rumah semakin terancam ambles akibat bencana tanah bergerak di Dusun Ciherang, Desa Cijangkar, Kecamatan Nyalindung, Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (25/3/2021).
KOMPAS.com/BUDIYANTO
Rumah-rumah semakin terancam ambles akibat bencana tanah bergerak di Dusun Ciherang, Desa Cijangkar, Kecamatan Nyalindung, Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (25/3/2021).

Persoalan kedua, setelah diketahui sebuah wilayah berisiko tinggi terjadi tanah bergerak, apakah pemerintah daerah memiliki keinginan politik untuk merelokasi warganya ke zona aman atau tidak. 

Sebab, relokasi warga bukan perkara mudah. Butuh sosialisasi, anggaran serta sumber daya yang cukup untuk melaksanakannya. 

Baca juga: Jenuh Menunggu Relokasi, Pengungsi Tanah Bergerak di Sukabumi Pulang ke Rumah

Hal yang menjadi persoalan ketiga, yakni lagi-lagi soal keinginan politik dari kepala daerah untuk melakukan antisipasi kerugian korban jiwa dan materi di wilayah berisiko tinggi tanah bergerak. 

"Kalau tidak ada dana relokasi, warga jadi tidak punya pilihan selain menetap kan. Dia sudah terlanjur bangun rumah. Nah, yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengurangi risiko kejadian atau potensi kerugiannya," ujar Yayat. 

Misalnya, dengan cara menanam pohon berakar di daerah rawan, penguatan struktur tanah, perbaikan drainase atau memberikan insentif untuk pembuatan rumah yang kokoh dan tahan terhadap tanah bergerak. 

Selain itu, diperlukan pula edukasi terus menerus kepada masyarakat mengenai potensi tanah bergerak di wilayahnya agar permukiman yang terlanjut terbangun tidak semakin berkembang. 

Petugas Badan Geologi dibantu relawan mengecek lokasi tanah bergerak di kaki Gunung Walat, Kampung Benda, Desa Karangtengah, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (9/10/2019).
KOMPAS.COM/BUDIYANTO
Petugas Badan Geologi dibantu relawan mengecek lokasi tanah bergerak di kaki Gunung Walat, Kampung Benda, Desa Karangtengah, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (9/10/2019).

Yayat menekankan, pemerintah daerah sebenarnya telah memiliki peraturan zonasi pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Melalui peraturan zonasi, pemerintah daerah dapat mengatur persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya yang disusun untuk setiap blok/zona peruntukan. 

Artinya, apabila sebuah wilayah masuk kategori berisiko tinggi bencana alam, pemerintah daerah boleh mengatur kegiatan apa saja yang dpat dilakukan di wilayah itu. 

"I adalah area yang diizinkan. T itu artinya terbatas untuk kegiatan tertentu. B itu bersyarat. Maksudnya, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan kegiatan. Dan X itu tidak boleh sama sekali," papar Yayat. 

"Jadi kalau memang di sebuah wilayah rawan bencana, ya kasih aja X. Tidak boleh ada bangunan. Ini baru namanya pembangunan berbasis mitigasi bencana," lanjut dia. 

Sekalipun memungkinkan untuk didirikan bangunan, maka pemerintah daerah memasukan wilayah itu dengan status B, yakni bersyarat. 

Baca juga: Cerita Penyintas Bencana Tanah Bergerak, Susuri Longsoran Demi Ikut Vaksinasi, Sampai Puskesmas Vaksin Habis

Salah satu contohnya adalah memperbolehkan dibangun permukiman dengan syarat spek bangunan disesuaikan dengan keamanan manusia yang tinggal di dalamnya. 

Hal inilah yang menjadi persoalan keempat. Pemerintah daerah dinilai longgar di dalam pengawasan peraturan zonasi ini sehingga tak heran banyak orang yang bermukim di area berisiko bencana. 

"Jadi, kuncinya ada di pemerintah daerah. Apakah ini semua adalah prioritas si kepala daerah atau enggak? Karena banyak kepala daerah yang enggak peduli dengan persoalan ini," lanjut Yayat. 

Bupati Semarang Mundjirin meninjau lokasi bencana tanah bergerak dan tempat pengungsian warga di Dusun Bendo, Desa Kandangan, Kecamatan Bawen, Rabu (24/1/2018) siang.
Dok BPBD Kabupaten Semarang
Bupati Semarang Mundjirin meninjau lokasi bencana tanah bergerak dan tempat pengungsian warga di Dusun Bendo, Desa Kandangan, Kecamatan Bawen, Rabu (24/1/2018) siang.

Pentingnya perekaman data

Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Kementerian ESDM Agus Budianto menambahkan, salah satu hal yang tidak kalah penting tetapi sering diabaikan pemerintah daerah adalah perekaman data. 

Menurut Agus, dokumentasi titik longsor atau tanah bergerak penting diinventarisasi serta dikaji untuk prediksi ke depan.

Data ini seharusnya diperbarui setiap bulan, sehingga bisa dianalisis, disajikan dalam peta sebagai acuan pemerintah daerah dalam pembangunan. 

Agus mengatakan, perekaman data wajib mencantumkan titik koordinat, karena data spesifik sangat berpengaruh terhadap analisis Badan Geologi.

“Daerah belum begitu aware terhadap titik koordinat yang didokumentasikan. Padahal itu sangat penting. Tanah bergerak ini tidak bisa dianggap remeh, karena bisa terjadi berulang, kapan saja,” kata Agus.

 

Anak menjerit-jerit, asap panas membakar, lahar dan badai menyapu bersih. 

Ini bukan hukuman. Hanya satu isyarat bahwa kita mesti banyak berbenah. 

∼ Ebiet G. Ade ∼