JEO - Insight

Berkaca Pada Negara yang Rajin Beli Mobil, Tetapi Tak Sumpek dan Berudara Bersih...

Rabu, 22 September 2021 | 08:24 WIB

PERNAHKAH Anda ke Tokyo?

Bila pernah, apa kesan Anda tentang kondisi lalu lintas di Ibu Kota Jepang itu?

Ya, sebagian besar dari Anda mungkin berpendapat relatif tidak macet seperti di Jakarta.

Sebab, lancar seharian penuh juga mustahil, bukan?

Benar saja. Merujuk Tomtom Traffic Index, Tokyo yang memiliki populasi sekitar 13 juta jiwa tidak pernah masuk sebagai 10 besar kota dengan kemacetan terparah di dunia.

Berbeda dengan Ibu Kota kita tercinta yang sebelum pandemi Covid-19 melanda, selalu berada di 10 besar kota termacet di dunia. Bersanding dengan Mumbai dan New Delhi di India dan Bogota di Kolombia.

Arus lalu lintas yang ramah di kota terbesar di Jepang itu pun berbanding linear dengan kualitas udara di sana.

Tahun 2018 misalnya. Kualitas udara di Tokyo, sebagaimana dipantau dari www.iqair.com, berada di peringkat 46 (sedang).

Sekadar catatan, semakin tinggi angkanya, semakin baik kualitas udaranya. Begitu pula sebaliknya.

Pada tahun setelahnya, indeks kualitas udara di kota dengan penduduk hampir 14 juta orang itu semakin membaik. Pada 2019, Tokyo berada di peringkat 63 (baik) dan pada 2020 berada di peringkat 72 (baik).

Sementara merujuk pada sumber yang sama, kualitas udara di Jakarta yang memiliki populasi 10 juta jiwa selalu masuk ke kategori ‘tidak sehat untuk kelompok sensitif’.

Pada 2018, Jakarta berada di peringkat 10. Kemudian anjlok ke posisi 5 pada 2019 dan kembali naik ke peringkat 9 pada 2020.

Ada fakta menarik di balik kondisi arus lalu lintas dan kualitas udara Tokyo. Siapa sangka Jepang rutin menempati peringkat teratas sebagai negara dengan angka pembelian mobil baru tertinggi di dunia.

Dengan populasi sekitar 136,3 juta jiwa (2019), Jepang duduk di peringkat ketiga dalam daftar negara dengan tingkat pembelian mobil tertinggi di dunia.

Sementara itu, Indonesia dengan populasi sekitar 270,6 juta jiwa nyaris tidak pernah masuk 10 besar.

Anomali ini tentu menarik ditelisik. Mengapa Tokyo bisa relatif bebas macet dan memiliki kualitas udara baik? Padahal warga negaranya ‘rajin’ membeli mobil baru.

Pertanyaan sebaliknya ditujukan bagi DKI Jakarta dan Indonesia. Mengapa Jakarta tak bisa menyelesaikan persoalan kemacetan di tengah rendahnya angka pembelian mobil baru di negeri ini?

Apa yang perlu kita contoh dari mereka?

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Yu (@yu6101_photo)

 

JEO Kompas.com akan membahas anomali ini dengan menyajikan beberapa topik pembahasan. Berikut ini adalah pilihan menunya:

Klik salah satu poin di atas untuk melompat langsung ke topik yang diinginkan, atau gulirkan layar untuk membaca secara runut keseluruhan naskah.

 Memperjuangkan udara   bersih 

DKI Jakarta hingga saat ini memang masih berjuang memperbaiki kualitas udaranya.

Di media massa, pemerintah, swasta, hingga masyarakat sipil menyatakan komitmennya menciptakan udara yang baik bagi kehidupan. Namun, kenyataannya masih jauh panggang dari api. 

Simak laporan www.iqair.com tentang tingkat pencemaran udara kota-kota di dunia berikut ini: 

Pada 4 Juli 2019, 31 orang domisili Jakarta dan sekitarnya yang merasa tak mendapatkan hak atas udara bersih menggugat Kepala Negara, sejumlah menteri dan kepala daerah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Gugatan warga negara atau citizen law suit itu persisnya digagas oleh aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Greenpeace Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Adapun, gugatan ditujukan tepatnya kepada Presiden RI, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.

Intinya, para penggugat ingin para tergugat melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kualitas udara di Ibu Kota.

Mengutip laman walhi.or.id, gugatan dilatarbelakangi oleh tingkat pencemaran udara Ibu Kota yang sering melampaui batas aman.

Penggugat mencantumkan penelitian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Maret 2019 yang menunjukkan sumber pencemaran udara di Jakarta didominasi oleh particulate matter atau yang berasal dari kendaraan bermotor.

Rupanya, kondisi itu telah terpupuk sejak lama. Merujuk riset Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) tahun 2012, sektor transportasi merupakan penyumbang terbesar pencemaran udara di Ibu Kota. Kontribusinya mencapai 47 persen.

Setelah melewati proses persidangan yang panjang dan diwarnai penundaan putusan, bahkan upaya mediasi di luar sidang, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan pada Kamis 16 September 2021. Majelis hakim yang diketuai Saifuddin Zuhri memenangkan penggugat dan mengabulkan sebagian gugatan.

Ringkasan putusannya sebagai berikut:

Masing-masing tergugat melontarkan respons berbeda. Juru Bicara Presiden Dini Shanti Purwono mengatakan, Presiden Jokowi sudah berkomunikasi dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya terkait putusan itu.

Dari komunikasi itu, Presiden Jokowi dan Menteri Siti sepakat menunggu salinan putusan pengadilan terlebih dahulu sebelum mengambil langkah selanjutnya.

“Posisi pada saat ini adalah menunggu salinan putusan pengadilan terkait untuk kemudian dipelajari terlebih dahulu sebelum diputuskan langkah selanjutnya yang akan diambil,” ujar Dini kepada JEO Kompas.com, Minggu 19 September 2021.

“Yang pasti, komitmen Presiden untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan publik tidak berubah. Jadi, sepanjang putusan pengadilan adalah sejalan dengan semangat tersebut, Presiden pasti akan mendukung,” lanjut dia.

KLHK sendiri mengatakan bahwa sebenarnya pihaknya telah melakukan poin putusan. Sebab, apa yang tertuang di dalam putusan itu merupakan tugas pokok KLHK.

Namun, salah seorang direktur jenderal di KLHK mengatakan bahwa pihaknya akan mengajukan banding atas putusan itu.

Sementara, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan patuh terhadap putusan dan tidak akan mengajukan banding.

Sebagaimana halnya Indonesia, Jepang pun masih berjuang untuk mendapatkan udara bersih. Hanya saja, mereka berangkat dari titik yang jauh lebih baik dibandingkan Indonesia.

Pemerintah Jepang menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 26 persen pada 2030 di bawah level periode 2013. Rinciannya, turun dari 225 Mt menjadi 163 Mt.

Menurut data salah satu perusahaan otomotif asal Jepang, 23 persen emisi karbon di Jepang disumbangkan oleh moda transportasi. Emisi karbon di Jepang meningkat signifikan sejak 1990 hingga saat ini dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 2035.

Oleh sebab itu, salah satu upaya yang akan dilakukan adalah memproduksi kendaraan generasi terbaru yang ramah lingkungan, hemat bahan bakar, mengadopsi eco-driving, meningkatkan kelancaran arus lalu lintas, dan menerapkan efisiensi penggunaan kendaraan.

Adapun, beberapa kebijakan pro terhadap penurunan emisi karbon telah diterapkan pemerintah Jepang. Di antaranya memberikan insentif berupa penurunan pajak bagi kendaraan ramah lingkungan.

 Sebaran mobil 

Sembari menunggu pemerintah Indonesia menelurkan kebijakan pro udara bersih, mari kita lanjutkan telisik atas anomali yang terjadi di Jepang tentang tingginya pembelian kendaraan bermotor dan udara bersih serta teraturnya lalu lintas di sana.

Seperti yang sudah disinggung pada awal tulisan, Jepang selalu menempati urutan teratas negara dengan pembelian mobil di dunia.

Mengutip laporan Organisasi Internasional Pembuat Kendaraan Bermotor (OICA), pada 2018, Jepang menempati urutan ketiga dengan total penjualan 5.271.985. Posisi Jepang di bawah China dan Amerika Serikat pada posisi pertama dan kedua. Sementara, Indonesia berada pada posisi 16.

Posisi tiga negara tersebut tidak berubah pada tahun 2019 dan 2020. Tetapi pada 2020, Indonesia turun ke peringkat 18 dengan total penjualan 532.027.

Sebagai negara yang warganya ‘rajin’ membeli mobil baru, rupanya ada sebuah faktor yang menyebabkan kota-kota di Jepang-terutama Tokyo-relatif bebas macet, yakni sebaran mobil di negara seluas 377.975 kilometer persegi itu cukup merata.

Mengacu pada data Automobile Inspection and Registration Information Association yang dikutip dari stats-japan.com, jumlah mobil di Tokyo memang tergolong banyak dibanding prefektur lain.

Namun, secara rasio per 100 populasi, jumlah mobil di Tokyo jadi yang paling rendah di Jepang.

Seperti Tokyo, fenomena yang sama juga terjadi di Osaka, kota terbesar kedua di Jepang. Osaka menempati peringkat kedua dari bawah dalam hal rasio kepemilikan mobil.

Catatan menariknya, peringkat bawah dalam hal rasio kepemilikan mobil di Jepang didominasi kota besar, termasuk prefektur-prefektur sekitar Tokyo Raya, yakni Chiba, Saitama, dan Kanagawa.

Penduduk Jepang yang hidup di kawasan urban, terutama di area metropolitan memang cenderung ‘malas’ memiliki mobil karena ketersediaan transportasi massal, ditambah dengan mahalnya bahan bakar, tarif tol, dan parkir.

Baca Juga: Beratnya Biaya Pemakaian Mobil Pribadi di Jepang

Karena minimnya penggunaan mobil pribadi, Pemerintah Metropolitan Tokyo berencana melonggarkan standar ketersediaan lahan parkir di fasilitas komersial, gedung perkantoran dan kondominium di pusat kota karena permintaan tempat parkir diperkirakan akan kian menurun.

Di Jepang, penggunaan mobil pribadi biasanya banyak di daerah-daerah yang relatif jauh dari area perkotaan (rural area). Karena ketersediaan transportasi massal di area tersebut tak sebaik di wilayah metropolitan.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Mungkin Anda sudah bisa menebaknya. Ya, sebaran mobil di Indonesia terpusat di daerah tertentu saja.

Baca Juga: Dari 1.000 Cuma 87 Orang yang Punya Mobil di Indonesia

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah mobil penumpang paling tinggi di Indonesia, yakni 3.652.233 unit. Namun, Angka tersebut tidak tersebar merata di seluruh provinsi seluas 35.377,76 kilometer persegi itu, melainkan hanya terpusat di daerah-daerah dekat dengan DKI Jakarta, misalnya Depok, Bogor dan Bekasi.

Posisi kedua ditempati oleh Ibu Kota Negara DKI Jakarta. Kota dengan luas 7.659,02 kilometer persegi itu tercatat menampung mobil penumpang sebanyak 3.365.467.

Sementara itu, provinsi lain di pulau terpadat di Indonesia, Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya, jumlah mobil penumpang hanya 1.363.756 dan 1.883.822.

Di provinsi luar Pulau Jawa, rerata jumlah mobil penumpang di bawah 500.000.

Penumpukan kendaraan di suatu daerah inilah yang membuat Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia masih berkutat pada persoalan kemacetan lalu lintas.

Belum lagi kita bicara faktor lain, misalnya kesiapan infrastruktur, tingkat kedisiplinan warga, hingga ketersediaan sarana transportasi umum.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara pada awal 2021 sempat menyebut, besarnya persentase angka penjualan mobil nasional di Jawa Barat dan DKI Jakarta lebih dipengaruhi oleh kondisi perekonomian.

"Dari dulu seperti itu, karena memang kondisi ekonominya lebih berpusat ke daerah itu kan, DKI sama Jawa Barat," kata Kukuh kepada Kompas.com pada sekitar Maret 2021.

Meski demikian, Gaikindo mencatat, belum meratanya mobil penumpang di Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan 15 hingga 20 tahun lalu.

"Dulu (mobil) di Jawa itu hampir 80 persen, sekarang mulai menurun di kisaran 60 persen," ujar Kukuh.

Baca Juga: Penjualan Mobil Indonesia Hanya Peringkat 17 Dunia

Pengunjung menyaksikan pameran otomotif Telkomsel Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (26/4/2019). Pameran otomotif terbesar ini akan berlangsung hingga 5 Mei 2019 mandatang.
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Pengunjung menyaksikan pameran otomotif Telkomsel Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (26/4/2019). Pameran otomotif terbesar ini akan berlangsung hingga 5 Mei 2019 mandatang.

 

 Pembatasan usia kendaraan 

Menjadi salah satu negara dengan pembelian mobil penumpang tertinggi di dunia tidak lantas membuat Jepang sumpek oleh mobil yang pada 2020 jumlahnya tercatat sebanyak 61,9 juta unit.

Selain mewajibkan inspeksi kendaraan setiap dua tahun, Pemerintah Jepang menerapkan kebijakan pembatasan usia kendaraan sehingga jumlah mobil tidak menumpuk dari tahun ke tahun.

Kendaraan yang usia pemakaiannya sudah lebih dari 13 tahun  dikenakan pajak 15 persen lebih mahal dibanding model baru karena adanya pajak atas emisi yang ditimbulkan. Kebijakan ini mengakibatkan banyak pengguna mobil lebih memilih membeli mobil baru.

Mobil-mobil tua biasanya dimiliki oleh kalangan penggemar mobil klasik yang memiliki mobil tersebut dalam rangka hobi.

Baca Juga: Mobil Tua Belum Tentu Disebut Mobil Klasik

Deretan mobil klasik yang meramaikan pameran Classic for The Young Generation yang diadakan Perhimpunan Penggemar Mobil Kuno Indonesia (PPMKI) di Maxxbox Lippo Village, Tangerang, Sabtu (31/3/2018).
Kompas.com/Alsadad Rudi
Deretan mobil klasik yang meramaikan pameran Classic for The Young Generation yang diadakan Perhimpunan Penggemar Mobil Kuno Indonesia (PPMKI) di Maxxbox Lippo Village, Tangerang, Sabtu (31/3/2018).

Di Jepang, konsumen mobil baru yang ingin pajak murah dan memiliki mobil untuk keperluan aktivitas harian biasanya lebih memilih membeli "Kei Car".

Seperti halnya Low Cost Green Car (LCGC) di Indonesia, pembeli Kei Car bisa menikmati regulasi perpajakan yang lebih ringan ketimbang mobil lain.

Jadi, bagi orang Jepang, terutama yang bukan penyuka otomotif, ketimbang memelihara mobil tua non-mobil klasik yang pajaknya mahal, lebih baik membeli mobil baru yang pajaknya lebih rendah.

Hal inilah yang membuat volume kendaraan di jalanan Jepang relatif terkontrol.

Sementara di Indonesia hingga saat ini belum ada satu pun provinsi yang memberlakukan pembatasan usia mobil, termasuk di DKI Jakarta.

Baca Juga: Dilema Ganjil Genap, Mobil Bekas Tahun Tua Bisa Tambah Polusi Udara

Bahkan kita masih bisa menemukan mobil tua non-mobil klasik yang harganya di bawah Rp 50 juta dan tak sama sekali dikenakan pajak tambahan terkait emisi.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by 77 R (@77rshop)

Pada 2015, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian sempat menggulirkan wacana penerapan wacana pembatasan usia mobil beroperasi maksimal 20 tahun. Apabila terealisasi, kebijakan itu dinilai bisa meningkatkan geliat industri agar ada terobosan dan pengembangan mobil baru.

Baca Juga: Batasan Usia Mobil 10 Tahun, Bagaimana jika Pajak Mobil Tua Dinaikkan?

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin saat itu, I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, pilihan pembatasan usia mobil hingga 20 tahun cukup ideal untuk Indonesia ketimbang pembatasan usia 10 tahun seperti yang dilakukan di Singapura.

"Pembatasan usia mobil sudah berlaku di beberapa negara. Ini sudah menjadi tren dunia," kata Putu kepada Kontan pada 21 Desember 2015 seperti dikutip dari laman Kemenperin.

Dari sisi industri, wacana pembatasan kendaraan tak hanya menguntungkan industri otomotif, tetapi juga baja. Sebab industri baja bisa mendapatkan bahan baku dari mobil-mobil yang dianggap tak lulus regulasi.

"Jika tidak ada kebijakan ini, Indonesia bisa kotor karena banyaknya mobil tua," ucap Putu.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Gudrims (@gud_rims)

Menurut Putu, di Jepang mobil tua dikenakan pajak yang tinggi.

"Di Indonesia mobil usia 40 tahun masih ada di jalan raya. Seharusnya mobil-mobil itu bayar pajak lebih mahal," ujar dia.

Khusus di DKI Jakarta, wacana pembatasan usia mobil sempat beberapa kali mengemuka, walaupun pada akhirnya tak jadi diberlakukan.

Baca Juga: Ahok Kaji Larangan Mobil 10 Tahun Beredar di Jakarta

Belum lama ini, Pemerintah Provinsi DKI melempar wacana melarang mobil yang berusia di atas 10 tahun untuk beroperasi di Jakarta. Hal ini muncul setelah aturan tersebut tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta No. 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.

Dalam aturan itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memerintahkan jajarannya untuk memperketat ketentuan uji emisi bagi seluruh kendaraan pribadi mulai dari tahun 2019. Namun, pada akhirnya wacana tersebut tak dilanjutkan.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo, mengatakan, kebijakan larangan mobil di atas 10 tahun masuk Ibu Kota belum bisa diterapkan.

"Karena undang-undang belum mengatur pembatasan usia kendaraan pribadi, maka tentu kami belum bisa melakukan eksekusi terhadap hal ini," ujar Syafrin di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa 9 Maret 2021.

Baca Juga: Aturan Usia Mobil 10 Tahun Berlaku 2025, Emisi Jadi Faktor Penting

Uji Emisi Kendaraan Bermotor di Kantor DLH Jakarta
KOMPAS.COM/STANLY RAVEL
Uji Emisi Kendaraan Bermotor di Kantor DLH Jakarta

 Ketersediaan transportasi   massal 

Tak bisa dipungkiri ketersediaan transportasi umum yang baik bisa meminimalkan tingkat kemacetan di suatu kota, apalagi jika itu transportasi berbasis rel.

Selain kapasitas angkutnya yang relatif lebih besar dibanding bus, transportasi umum berbasis rel tak rentan mengalami gangguan kemacetan lalu lintas.

Berbicara soal transportasi umum berbasis rel, sistem perkeretaapian di Tokyo sering dipuji sebagai salah satu sistem layanan kereta api perkotaan terbaik di dunia. 

Sistem perkeretaapian di Tokyo ditunjang oleh 121 rute berbasis rel di mana 102 rute melayani dalam kota Tokyo Raya dan 19 lainnya melayani rute ke prefektur-prefektur sekitar Tokyo Raya.

Luasnya jaringan rel, ditambah banyaknya operator yang terlibat, membuat layanan perkeretaapian benar-benar jadi tulang punggung dalam sistem transportasi umum di sana.

Laporan pada 2017 silam menyebutkan jumlah penumpang harian dari layanan perkeretaapian di Tokyo Area mengangkut hingga 40 juta orang per harinya. Sangat jauh bila dibandingkan dengan pengguna kereta api di Jabodetabek yang masih berkisar di angka 1 jutaan per hari.

Selain kereta api, Tokyo juga punya layanan bus. Bus beroperasi di area-area yang tak dilewati jalur kereta api.

Layanan bus di Tokyo merupakan layanan bus kota biasa, bukan bus rapid transit (BRT) seperti halnya Transjakarta di Indonesia. Meski bus tidak berjalan di lajur tersendiri, penumpang dapat dengan mudah mengakses bus dari halte yang berada di lajur kiri tanpa perlu naik turun jembatan penyeberangan orang (JPO).

Seperti halnya uang elektronik di Indonesia, pengguna transportasi umum di Tokyo tidak perlu selalu membeli tiket setiap akan naik transportasi publik. Ada kartu yang bisa memudahkan penumpang untuk bisa mengakses kereta dan bus hanya dengan satu kartu.

Baca Juga: Berkenalan dengan Sistem Bus Tokyo

Di Indonesia, Jakarta memang jadi kota dengan ketersediaan transportasi publik paling baik. Namun, bila dibandingkan kota-kota di negara maju, ketersediaan transportasi publik di Jakarta masih tertinggal, apalagi apabila diukur dari transportasi publik berbasis rel.

Saat ini, ketersediaan layanan transportasi publik berbasis rel di Jakarta bahkan masih kalah bila dibandingkan kota-kota di negara tetangga, misalnya Singapura, Kuala Lumpur atau Bangkok.

Baca Juga: Transportasi di Jakarta Harus Berbasis Rel

arrow-left
arrow-right
Transportasi Umum Berbasis Rel

Transportasi Umum Berbasis Rel

Peta jaringan transportasi umum berbasis rel yang menghubungkan Jakarta dan kota-kota sekitarnya, termasuk LRT Jabodebek dan MRT fase II yang masih dalam tahap pembangunan. Sumber: urbanrail.net.

1/4
Transportasi Umum Berbasis Rel

Transportasi Umum Berbasis Rel

Peta jaringan transportasi umum berbasis rel yang ada di Singapura. Sumber: urbanrail.net.

2/4
Transportasi Umum Berbasis Rel

Transportasi Umum Berbasis Rel

Peta jaringan transportasi umum berbasis rel yang ada di Kuala Lumpur, Malaysia. Sumber: urbanrail.net.

3/4
Transportasi Umum Berbasis Rel

Transportasi Umum Berbasis Rel

Peta jaringan transportasi umum berbasis rel yang ada di Bangkok, Thailand. Sumber: urbanrail.net.

4/4

Sejauh ini, baru ada dua transportasi publik berbasis rel di Jakarta yang benar-benar bisa diandalkan oleh masyarakat, yakni kereta rel listrik (KRL), mass rapid transit (MRT) dan Transjakarta.

Adapun layanan light rail transit (LRT) baru dibangun pada rute Velodrome-Kelapa Gading. Rute itu pun sepi peminat karena terlalu pendek dan tak terhubung ke rute transportasi berbasis rel lainnya.

Baca Juga: M Taufik: Saya Khawatir LRT Jadi seperti Kereta di Taman Mini

Ketertinggalan Jakarta dalam penyediaan transportasi massal berbasis rel di masa kini boleh dibilang sebuah ironi apabila kita berkaca pada masa lalu, tepatnya saat Ibu Kota masih berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

Dikutip dari tulisan berjudul "Memerdekakan Jakarta dari Jerat Kemacetan" yang sempat dimuat di arsip-interaktif.kompas.id, Jakarta disebut pernah punya sistem transportasi yang selangkah lebih maju daripada kota-kota besar terkemuka di Asia, tepatnya pada pertengahan era 1800-an.

Ketika jalur kereta pertama dibangun pada 1869 untuk menghubungkan Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor), kota-kota lain di Asia belum berpikir membangun jaringan rel kereta api. Belum pula ada jaringan kereta di Tokyo, Seoul, Beijing, apalagi di Singapura.

Tak cuma itu, Jakarta juga pernah punya trem, salah satu moda transportasi yang dianggap modern pada era 1800-an hingga awal 1900-an. 

Berdasarkan jurnal berjudul "Trem Batavia, Mutiara Transportasi Jakarta yang Terlupakan" yang ditulis co-founder Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ), Adriansyah Yasin Sulaeman, layanan trem di Batavia mencapai masa jaya pada 1934.

Saat masa pendudukan Jepang, sistem trem listrik tetap terus dikembangkan. Bahkan ada proyek penambahan rel ganda dari Gunung Sahari hingga Pal Putih.

Saat Jepang menyerah pada Agustus 1945, layanan trem diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Selama dua tahun berada di bawah pihak Indonesia, kualitas layanan trem menurun akibat banyaknya kasus pencurian. Trem bahkan sempat hanya beroperasi pada siang hari akibat banyaknya lampu trem yang dicuri.

Baca Juga: Idealnya, Panjang Transportasi Berbasis Rel di Jakarta 200 Kilometer

Layanan trem listrik di Jakarta kembali diambil alih oleh Belanda pasca-agresi militer 1947. Namun, dua tahun kemudian terjadi perombakan total dalam manajemen perusahaan operator trem, Bataviasche Verkeers Maatschappij (BVM), seiring penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada Indonesia pada 1949.

Awal dekade 1950-an menjadi titik awal kemunduran layanan trem di Jakarta. BVM dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia pada 15 April 1954 dan diganti namanya menjadi Maskapai Pengangkutan Djakarta yang kemudian berganti nama lagi menjadi Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) pada 1 Juli 1954.

Campur tangan orang Belanda pada layanan trem di Jakarta benar-benar hilang setelah eksodus besar-besaran pada 1957. Sejak 1959, PPD tak lagi menjalankan program perbaikan trem listrik karena ingin mengganti keseluruhan layanan ke bentuk bus kota.

Secara perlahan satu per satu rute layanan trem berhenti beroperasi. Sejak April 1960, layanan trem hanya tersisa satu rute yang menghubungkan Kramat ke Jatinegara.

Akhir cerita layanan trem di Jakarta terjadi pada 1962, tepatnya menjelang Asian Games. Pelebaran jalan antara Salemba dan Matraman mengorbankan jalur trem. Satu jalur trem yang tersisa harus ditutup dengan aspal dan berhenti beroperasi untuk selamanya.

Cerita dihapuskannya layanan trem demi infrastruktur jalan raya ini pernah disinggung Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro pada 2018 silam.

Menurut Bambang, kemacetan di Jakarta tak akan terselesaikan dengan terus menerus membangun flyover dan underpass. Menurutnya, pembangunan transportasi di Jakarta harus mulai berorientasi pada transportasi berbasis rel.

Baca Juga: Pemerintah Diminta Berkomitmen Jadikan Transportasi Berbasis Rel sebagai Primadona

Ia kemudian menyinggung layanan trem yang pernah eksis di masa Belanda tapi kemudian dihilangkan setelah Indonesia merdeka.

"(Trem) ini sebenarnya transportasi publik, tapi diganti jadi jalan untuk angkutan pribadi. Kita jangan terjebak terus untuk keinginan naik mobil pribadi," kata Bambang.

Melalui sederet fakta-fakta di atas, kita mungkin dapat berkesimpulan Jepang adalah salah satu contoh negara yang dapat menyeimbangkan kepentingan industri otomotifnya dengan pengendalian macet dan polusi di perkotaan.

Asal ditangani secara tepat, besarnya angka pembelian mobil baru ternyata tak berpengaruh begitu besar pada kemacetan dan polusi di kota-kota besar.

Indonesia tak ada salahnya berkaca pada Jepang. 

Sebagai negara dengan jumlah penduduk besar, industri otomotif di Indonesia masih jadi salah satu penopang perekonomian negara. Begitu banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.

Semakin industri ini tumbuh maka semakin banyak orang yang terhidupi. Tetapi bila industri ini lesu maka banyak yang mungkin akan kehilangan penghidupannya.

Jadi, tak elok pastinya jika industri otomotif hanya dikambing hitamkan untuk permasalahan kemacetan dan polusi di kota besar seperti Jakarta.

Alih-alih menyalahkan industri otomotif, hal yang paling penting untuk kita lakukan sekarang adalah terus mendesak agar pemerintah dapat memenuhi kewajibannya dalam menyediakan layanan transportasi umum massal yang nyaman, murah, andal dan efisien.

Baca Juga: Dilema Naik Transportasi Umum di Ibu Kota, Bantu Kurangi Macet tapi Dibikin Ribet

Sebab apabila transportasi umum massal dibuat nyaman, murah, andal dan efisien, pengguna mobil pribadi mungkin akan berpikir seribu kali untuk memakai kendaraanya itu ke tempat kerja.

Muaranya tentu saja berkurangnya kemacetan dan polusi.

Kutipan terkenal dari mantan wali kota Bogota Enrique Penalosa soal pentingnya ketersediaan transportasi umum massal di sebuah kota.
AZ Quotes
Kutipan terkenal dari mantan wali kota Bogota Enrique Penalosa soal pentingnya ketersediaan transportasi umum massal di sebuah kota.