JEO - News

Buka-bukaan
Biaya Caleg
demi Kursi di Senayan

Sabtu, 13 April 2019 | 12:28 WIB

Ini buka-bukaan ongkos para caleg meraih sebuah kursi di Senayan dan praktik politik uang yang terjadi di tengah sengitnya persaingan Pemilu 2019. Mau tahu?


SEBANYAK 7.968 orang calon anggota legislatif (caleg) bertarung memperebutkan 575 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Pemilu 2019. Artinya, hanya sekitar 7,2 persen caleg yang bisa melenggang ke Senayan.

Ini pun masih menafikan dulu aturan parliamentary treshold. Hanya caleg dari partai yang memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 4 persen total suara sah nasional yang sebenarnya dihitung perolehan suaranya dan bisa ke Senayan berdasarkan urutan suara terbanyak di dapil masing-masing.

Mereka akan berlomba meraih simpati warga. Berbagai cara digunakan.

Dengan asumsi murni perebutan kursi berdasarkan hitungan jumlah caleg dan kursi itu saja, pertarungan antar-caleg di 80 daerah pemilihan (dapil) di seluruh Indonesia sudah kasat mata sangat sengit. 

Mereka akan berlomba meraih simpati warga. Berbagai cara digunakan, mulai dari masif memasang alat peraga kampanye seperti billboard dan baliho, hingga menyebar brosur. Ada pula yang memilih untuk lebih mengintensifkan sosialisasi dengan berkunjung ke rumah warga.

Banyak jalan menuju Roma. Beragam cara bisa digunakan. Namun, semua cara itu memerlukan dana yang tidak sedikit.

Baca juga: JEO - Hal-hal yang Pemilih Pemilu 2019 Wajib Tahu

Serba-serbi Caleg DPR untuk Pemilu 2019 - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

JEO ini menukil cerita para caleg mengupayakan jalan menuju Senayan, terutama yang berkaitan dengan biaya dan pernak-perniknya. Konsekuensi yang membayangi, termasuk bayang-bayang korupsi setelah meraih kursi, melengkapinya pula. 

Untuk memudahkan navigasi, JEO disajikan dalam beberapa "bab", dengan urutan sebagai berikut:

PENGELUARAN CALEG

ONGKOS politik bagi caleg yang maju untuk tingkat DPR lebih besar dibandingkan mereka yang berlaga untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Selain wilayah kampanye yang lebih banyak, ada pula sejumlah faktor lain yang membuat ongkos caleg DPR membengkak.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz bahkan memperkirakan nilai ongkos seorang caleg untuk menjadi anggota DPR bisa mencapai belasan miliar rupiah.

Angka pasti total dana kampanye sangat sulit didapatkan apalagi dipastikan.

~Donal Fariz, ICW~

Angka pasti total dana kampanye, sebut Donal, sangat sulit didapatkan apalagi dipastikan.

“Kami tidak bisa dapatkan data riil, karena mereka tidak jujur,” ucap Donal kepada Kompas.com.

Laporan keuangan yang dibuat caleg pun tak bisa menjadi pegangan karena tidak menunjukkan situasi nyata di lapangan. 

Meski demikian, Kompas.com mewawancarai empat orang caleg yang bersaing dalam Pemilu 2019 kali ini. Mereka bersedia memaparkan pendanaannya selama menjadi caleg.

 

Cerita empat caleg

Keempat caleg itu adalah Arsul Sani (caleg PPP dapil Jawa Tengah X), Johan Budi (caleg PDI-P dapil Jawa Timur VII), Basri Mappaseng (caleg Gerindra dapil DKI Jakarta II), dan Dian Fatwa (caleg PAN dapil DKI Jakarta II).

Seperti apa cerita mereka? 

Profil Arsul Sani

Arsul Sani harus memperebutkan tujuh kursi di daerah pemilihannya. Dia memperkirakan harus meraih 230.000 suara untuk mengamankan satu kursi di Senayan. Karenanya, Arsul banyak mengerahkan jaringan tim dan relawannya ke seluruh pelosok dapil.

Arsul mengaku, selama lima bulan berkampanye, dana yang sudah dia keluarkan mencapai Rp 2,5 miliar. Pengeluaran terbesar, sebut dia, adalah untuk mengerahkan para relawan.

Menurut dia, para relawan ini bertugas mensosialisasikan Arsul ke berbagai kalangan dan juga membantu memasang atribut kampanyenya.

Sekretaris Jenderal PPP ini menuturkan ada 8.000-10.000 relawan yang bekerja di bawahnya. Satu relawan mendapatkan “uang lelah” di kisaran Rp 200.000 sampai Rp 500.000.

Selama lima bulan berkampanye, dana yang sudah Arsul keluarkan mencapai Rp 2,5 miliar.

“Kalau dia tinggal di perkotaan ya sekitar Rp 200.000-Rp 300.000. Kalau dia jauh di pegunungan ya kita beri Rp 500.000 karena dia butuh berkali-kali naik transport kalau harus ketemu saya,” ungkap Arsul.

Namun, seluruh relawan itu tidak sepenuhnya dibayar Arsul seorang. Arsul bekerja sama dengan caleg lain dari PPP di tingkat DPRD kota/kabupaten dan DPRD Provinsi. Sehingga, dia bisa berbagi ongkos dengan caleg lain itu untuk membiayai relawan.

Setelah untuk relawan, Arsul menuturkan pos anggaran kedua yang dia siapkan sebagai caleg adalah biaya atribut kampanye.

Menurut Arsul, biaya yang dia habiskan untuk alat kampanye sangat kecil, meski tidak menjabarkan angka rincinya. Dia mendapatkan banyak bantuan dari keluarga dan teman-temannya untuk mencetak atribut kampanye, mulai dari bendera hingga cenderamata.

“Kalau ada bantuan teman-teman, itu ada yang bikinin kaos sekian, cetakin bendera sekian. Ada yang kasih cenderemata. Centong, misalnya. Itu kan murah, harganya Rp 2.500 atau Rp 3.000. Bikin 5.000 saja, hanya Rp 12 juta-an,” ucap Arsul.

Sementara itu, untuk biaya saksi pada saat hari pemungutan nantinya, Arsul menuturkan PPP yang akan lebih banyak membantunya. Namun, dari pengalamannya pada Pemilu 2014, dia juga tetap harus mengeluarkan dana untuk saksi.

“Kita iuran sedikit-sedikit saja. Enggak sampai di atas Rp 500 juta-an,” ujar Arsul.

Arsul mengaku biaya kampanye ini sebagian besar berasal dari kantong pribadinya. Sebelum menjadi anggota DPR, dia berkarier sebagai pengacara perusahaan hingga akhirnya menjadi direktur di sebuah perusahaan asing selama 14 tahun.

Dia lalu menjadi komisaris di perusahaan itu hingga akhirnya memutuskan menyudahi karier swastanya dan bergabung dengan partai politik pada 2009.

“Saya duitnya masih banyak waktu itu karena kan baru pergi dari komisaris. Saya sekolah (di luar negeri) tanpa beasiswa saja masih kuat kok,” seloroh Arsul.

Profil Basri Mappaseng

Maju sebagai caleg untuk pertama kalinya membuat Basri Mappaseng mempersiapkan banyak hal, mulai dari tim hingga dana kampanye. Soal dana kampanye, Basri mengaku tak ingin jor-joran. Dia pun hanya mau menggunakan dana dari kocek pribadinya.

“Saya enggak mau membebani orang. Saya memang jujur, betul-betul murni memakai uang sendiri,” kata Basri yang belasan tahun bolak-balik Jakarta-Kuala Lumpur untuk mengurus bisnis dan pekerjaannya di sana dan di Jakarta.

Selama lima bulan berkampanye, Basri mengaku hanya mengeluarkan dana ratusan juta rupiah, tak sampai Rp 1 miliar.

“Saya enggak jor-joran. Mungkin kalau lihat di sekeliling Jakarta, utamanya kayak poster, baliho, banner, itu (saya) kurang, seperti caleg lain yang buat baliho yang besar sekali. Saya kira masyarkat sekarang bisa menilai, loh ini jor-joran nanti balikin uangnya bagaimana?” ucap Basri.

Basri mengaku hanya mengeluarkan dana ratusan juta rupiah, tak sampai Rp 1 miliar.

Basri mengaku, meski tak sebanyak caleg lain, proporsi biaya untuk alat peraga kampanye (APK) tetap yang paling menyita sumber dana kampanyenya. Setelah APK, Basri mengaku ongkos menjamu masyarakat saat dia bersosialisasi ke rumah-rumah juga cukup banyak menyita dana kampanye.

“Misalnya ada pengajian, majelis taklim, sosialisasi, PKK, pelatihan, kami-lah yang mengurus konsumsinya. Tapi konsumsinya pun murah. Ya buat beli kue, snack, segala macam,” ucap dia.

Setiap bertemu masyarakat, Basri juga kerap membagikan souvenir berupa pashmina bagi ibu-ibu. Awalnya, Basri berkampanye tanpa memberi cenderamata apa pun kepada masyarakat, tetapi dia khawatir dilupakan warga.

Sebagai caleg baru yang ditempatkan di nomor urut paling buncit, Basri harus bekerja keras mempopulerkan namanya. Dia pun berkeliling Jakarta setiap hari.

Dalam satu hari, dia memiliki jadwal lima kali bertemu warga. Di akhir pekan, jadwalnya semakin padat karena bisa mengunjungi enam sampai tujuh titik.

Basri menghitung, sejak pertama kali berkampanye, setidaknya sudah ada 300 titik di Jakarta yang dia kunjungi. Hal ini juga menyita ongkos. Selain konsumsi itu tadi, tentu juga biaya transportasi.

Sedangkan untuk pengerahan tim dan relawan, Basri mengaku tak memiliki anggaran khusus. Tim yang bekerja di bawahnya hanya dibayar ongkos transportasi pengganti.

Sementara tim yang mengurusi kampanyenya lewat media sosial ataupun menyiapkan materi promo adalah anak-anak buahnya di perusahaan teknologi informasi di Jakarta.

Profil Johan Budi

Dalam upaya perdananya mengincar kursi di Senayan, Johan Budi harus bersaing keras. Daerah pemilihan Jawa Timur VII bahkan dijuluki dapil neraka untuk memperebutkan 7 kursi.

Di sana ada caleg petahana dari Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), yang merupakan anak dari Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyno.

Ada pula rekan satu partai Johan, Budiman Sujatmiko, yang kembali maju menjadi caleg. Selain itu, ada pula Supriyanto yang merupakan caleg petahana dari Partai Gerindra.

Menurut Johan Budi, dia terbilang “santai” berkompetisi dalam pileg kali ini. Dia juga tak menggelontorkan dana “jor-joran”.

Dana kampanye yang disiapkan pun dia kontrol ketat. Tak ada pula tim sukses yang secara khusus dibentuk Johan di dapilnya.

“Makanya, mungkin Anda enggak percaya juga. Saya kalau ke daerah cuma berhubungan sama satu orang. Dia ini kadang jadi driver, pokoknya yang nganter-lah. Orang pada bingung timnya mana,” ucap Johan.

Johan mengaku sebagian besar dana kampanyenya berasal dari tabungan serta hasil menjual rumah beberapa bulan sebelum dia memutuskan menjadi caleg. Ada pula bantuan partai atau teman, tetapi dalam bentuk pencetakan alat peraga kampanye (APK).

Sudah ratusan juta rupiah dana yang Johan keluarkan. Namun, dia menolak secara rinci menyebut jumlah pasti.

Selama lima bulan berkampanye, Johan mengaku sudah ratusan juta rupiah dana yang dia keluarkan. Namun, dia menolak secara rinci menyebut jumlah pasti dana yang sudah dia rogoh setelah menjadi caleg.

Johan memaparkan banyaknya biaya yang dihabiskan seorang caleg tidak melulu terkait politik uang. Ada kebutuhan-kebutuhan selama kampanye yang butuh biaya tak sedikit.

Kebutuhan itu seperti pembuatan APK, tiket pesawat dari Jakarta menuju dapil, hingga sewa mobil saat berkampanye di daerah. Menurut dia, yang terbesar adalah dana untuk membuat APK.

“Ada biaya lagi ketika mengumpulkan orang. Nah saya enggak mau berikan uang saku. Uang transport gitu, gak mau saya. Tapi saya memang dengan tim saya membiayai kuenya, kopinya, konsumsinya,” ujar dia.

Profil Dian Fatwa

Dian Fatwa tak menyangka dana kampanye yang harus dia keluarkan ternyata sangat besar. Sebagai pendatang baru, dia dikagetkan banyak biaya tak terduga yang sebelumnya tidak diperhitungkan saat memutuskan maju sebagai caleg.

“Banyak sekali cost tak terduga yang muncul. Ini juga yang membuat saya kadang-kadang agak pening. Karena misalnya saya datang ke masjid, biasanya karpetnya perlu diganti, speaker-nya harus diganti, ibu-ibu minta kerudung. Itu menjadi very very classic isue,” ujar putri dari almarhum AM Fatwa itu.

Dian sudah menghabiskan lebih dari Rp 1 miliar.

Selama lima bulan berkampanye, Dian menuturkan dia sudah menghabiskan lebih dari Rp 1 miliar. Dia merasa itu adalah angka yang sangat besar. Namun, dia semakin kaget mengetahui angka itu terbilang kecil dibandingkan caleg-caleg lain. 

“Ternyata, it’s very significant uang atau cost politik yang harus dihabiskan. Kemarin saya termasuk yang cukup "pahe" ya, paket hemat,” seloroh wanita yang memutuskan berhenti sebagai Head of South East Asia di Australian Broadcasting Corporation (ABC) untuk menjadi caleg ini.

Dian mengungkapkan, pembuatan APK yang paling banyak menghabiskan dana kampanyenya. Dalam satu malam, dia pernah memasang 100 spanduk. Namun, keesokan harinya, 30 spanduk hilang.

Dia pun langsung menggantinya dengan yang baru. Anehnya, 30 spanduk Dian kembali hilang. Dian pun menyerah dan tak mau lagi menghabiskan uang untuk kembali mencetak spanduk.

“Bahkan baliho yang besar itu, bambunya, pakunya, dicabut, sehingga tidak bisa berdiri tegak. Nah, itu ongkos menaikkan baliho itu kan lumayan besar. Bukan sekadar balihonya sendiri. Ongkos menaikkan baliho itu besar,” imbuh Dian.

Dengan besarnya biaya kampanye itu, Dian pun berupaya menekan ongkos dengan cara kampanye tandem. Maksudnya, Dian kerap melakukan kampanye bersama caleg-caleg lain dari PAN. Dengan begitu, dia bisa saling berbagi biaya untuk konsumsi bagi warga yang hadir.

Menurut Dian, keputusannya maju sebagai caleg memang cukup gambling. Dia sama sekali tak ada niat untuk menjadi politisi, seperti ayahnya.

Namun, wasiat sebelum sang ayah wafat-lah yang membuat Dian nekat terjun ke dunia politik dan kembali ke Indonesia sekitar tujuh bulan lalu.

Begitu tiba di Indonesia, Dian belum memiliki jaringan yang kuat. Oleh karena itu, dana kampanye yang dimilikinya pun murni dari kantong pribadi. Dian merasa tidak percaya diri jika harus meminta sponsor untuk membiayai kampanyenya.

“Kalaupun saya mendatangi orang, orang akan bertanya, 'what the hell are you?' Begitu. Dan, 'what can you do for me?' Kan pertanyaan itu pasti wajar. Mereka juga pasti meragukan, kamu akan terpilih atau tidak? Pertanyaan yang sangat realistis. Tapi saya bismillah. Karena saya percaya, saya sedang melaksanakan wasiat Bapak. Saya tahu dalam wasiat itu ada berkah,” kata dia.

POLITIK UANG

DI LUAR dana-dana “wajib” yang keluar dari kantong caleg, ternyata ada pula biaya-biaya “tersembunyi” yang kerap harus mereka ongkosi. Dana-dana ini bahkan bisa jadi lebih besar dibandingkan dana kampanye yang dilaporkan ke publik.

Dana ini keluar sejak sebelum mereka ditetapkan sebagai caleg hingga di hari pemungutan suara. Dana-dana “siluman” ini yang kemudian disebut sebagai politik uang. Bentuknya dapat berupa jual beli suara maupun serangan fajar.

Jual beli suara

Dalih yang sering digunakan, praktik jual beli suara terjadi akibat ketatnya persaingan caleg untuk lolos ke Senayan.

Sengitnya Persaingan Menuju Senayan - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Bagi caleg yang tak mau berusaha keras, cara pintas seperti membeli suara pun dilakukan. Melihat peluang, para calo menggeliat setiap kali pelaksanaan pemilu.

Geliat praktik jual beli suara sempat dirasakan Basri Kinas Mappaseng, caleg Partai Gerindra dari daerah pemilihan DKI Jakarta II (Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Luar Negeri).

Dia mengaku berkali-kali ditawari calo yang menjamin bisa mengamankan puluhan ribu suara bagi dirinya. Tentu, ada tarif yang ditetapkan sang calo.

“Mereka (calo) betul-betul memperlihatkan bahwa kertas suara dipegang. Jadi ada yang (pasang harga) 15 ringgit, 25 ringgit (untuk) satu suara, suara untuk presiden dan caleg. Mereka bisa DP kok, kalau mau bayar setengah dulu, nanti dilihat setelah ditusuk, nanti setor sisanya,” ucap Basri yang menyebutkan para calo itu ada di Kuala Lumpur dan Jakarta.

Dari total 2,1 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) luar negeri, sebanyak 1,1 juta suara ada di Malaysia.

Basri awalnya tak menggubris tawaran itu. Namun, rupanya ada banyak pula praktik serupa yang dirasakan caleg lain. Dia pun memberanikan diri merekam percakapannya dengan sang calo tersebut sebagai bukti adanya praktik jual beli suara di Kuala Lumpur.

Setelah mendapat bukti rekaman itu, Basri melaporkannya secara resmi ke Badan Pengawaslu Pemilu (Bawaslu) pada 5 April 2019.

Di dalam rekaman itu, Basri mengungkap sang calo menyeret nama sejumlah caleg lain yang sudah menggunakan jasanya. Meski demikian, tidak diketahui pasti apakah itu hanya aksi sang calo mencatut nama atau tidak.

Menurut Basri, pertarungan meraih suara luar negeri terbilang cukup sengit dan sulit terpantau pengawas pemilu. Dari total 2,1 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) luar negeri, sebanyak 1,1 juta suara ada di Malaysia.

Kebanyakan para pemilik suara ini adalah pekerja Indonesia yang berada di perkebunan atau lokasi tambang, yang jauh dari pusat kota.

Tak lama setelah Basri melapor ke Bawaslu, publik kemudian dihebohkan dengan beredarnya sebuah video yang menunjukkan penggerebekan sebuah gedung yang menyimpan berkantong-kantong besar surat suara tercoblos.

Bawaslu sudah mengonfirmasi kebenaran video itu, meski menyatakan pula bahwa bersama KPU masih harus memeriksa apakah kertas suara yang ditemukan asli atau tidak. Saat naskah ini disusun, komisioner KPU dan Bawaslu sudah berada di Malaysia untuk melakukan investigasi.

Ilustrasi jual beli suara - (DOK KOMPAS/JITET)

Tak hanya Basri, Dian Fatwa, caleg PAN yang juga maju dari dapil DKI Jakarta II juga pernah ditawari calo untuk membeli suara. Dian tak menyebut persis di mana sang calo beraksi, tetapi dia mengamini bahwa praktik jual beli suara benar-benar terjadi.

“Saya, misalnya, bertemu dengan beberapa orang yang menawarkan banyak hal. Misalkan di satu daerah, saya misalkan bisa memberikan suara 18.000 tapi Ibu siapkan berapa miliar (rupiah) dan bocornya 40 persen. Hal itu banyak. Saya ditemui oleh banyak, semacam quote and quote itu ya makelar suara,” ungkap Dian.

Namun, Dian menolak tawaran itu meski dia adalah caleg pendatang baru yang sangat butuh mendulang suara dalam waktu singkat.

“Saya tidak mengenal mereka. Saya tidak pernah ke dapil mereka dan bagi saya juga akan membawa sebuah jebakan apakah mereka real membantu atau ternyata hanya memanfaatkan saya,” ungkap putri almarhum AM Fatwa ini.

Sementara itu, mantan anggota DPR dari Partai Golkar, Poempida Hidayatullah, juga punya pengalaman serupa. Pria yang sempat bertarung di daerah pemilihan Sumatera Barat I ini ditawari membeli suara.

Orang yang bertindak sebagai calo suara itu bahkan berasal dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah. Sang calo itu mengaku bisa mengamankan 10 suara di tiap TPS.

Ada pula beli suara dengan model mengubah hasil perhitungan suara. Pelakunya bisa merupakan anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

“Jadi mainnya di TPS. Katanya 10-an lah bisa. Kalau ada 1.000 TPS kan lumayan. Ada-lah kalau itu sih. Kalau ada yang protes bilang enggak ada, saya bawa tuh,” tukas Poempida.

Ada pula beli suara dengan model mengubah hasil perhitungan suara. Pelakunya bisa merupakan anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

“Banyak caleg yang di masa perhitungan itu deal-deal juga bisa. Kalau suaranya kurang, dia bisa. Kan masih ada surat suara kosong tuh. Itu yang dimainkan,” ujar dia.

Baik Poempida maupun Basri, mengakui praktik jual beli suara ini hanya terjadi di wilayah-wilayah yang sulit terpantau panitia pengawas pemilu.

“Di Sumatera Barat itu daerah yang rentan itu seperti Solok Selatan. Waduh, sudah jauh ke sananya. Dharmasraya juga. Tapi kalau di Kota Padang, ya bunuh diri. Kota Padang kayak di Jakarta lah, dilihat banyak orang,” ujar Poempida.

Serangan fajar

Politik uang yang kerap ada dalam setiap pemilihan juga terjadi dalam bentuk serangan fajar. Amplop-amplop berisi sejumlah uang ini diberikan kepada warga untuk memastikan seorang caleg benar-benar dipilih di hari pemungutan suara.

Contoh nyata adanya serangan fajar pada pelaksanaan Pemilu 2019 ini dapat dilihat dari kasus yang menimpa caleg petahana Partai Golkar, Bowo Sidik Pangarso. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bowo Sidik dalam operasi tangkap tangan.

Bowo diduga sudah menerima uang sebanyak enam kali dengan nilai mencapai Rp 221 juta dan 85.130 dollar AS (setara sekitar Rp 1,2 miliar, dengan kurs tengah Bank Indonesia Rp 14.153 per dollar AS pada 12 April 2019). Pemberi suap adalah Marketing Manager PT HTK Asty Winasti.

Dalam kasus Bowo ini, KPK juga menemukan 400.000 amplop yang dimasukkan ke dalam 84 kardus. Nilai uang yang ada di dalam amplop itu mencapai Rp 8 miliar. Amplop-amplop ini diduga ditujukan untuk serangan fajar jelang hari pemungutan suara pada 17 April.

Penyidik didampingi Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, menunjukkan barang bukti hasil operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat anggota Fraksi Golkar DPR, Bowo Sidik Pangarso, saat memberikan keterangan pers, di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Kamis (28/3/2019). Uang senilai Rp 8 miliar yang dibagi dalam 84 kardus atau 400 ribu amplop dengan pecahan Rp 20.000 dan Rp 50.000 tersebut diduga sebagai suap untuk pelaksanaan kerja sama Pengangkutan Bidang Pelayaran antara PT Pupuk Indonesia Logistik (PILOG) dan PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK), dan diduga digunakan untuk membantu biaya kampanye Pemilu 2019.
ANTARA FOTO/RENO ESNIR
Penyidik didampingi Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, menunjukkan barang bukti hasil operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat anggota Fraksi Golkar DPR, Bowo Sidik Pangarso, saat memberikan keterangan pers, di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Kamis (28/3/2019). Uang senilai Rp 8 miliar yang dibagi dalam 84 kardus atau 400 ribu amplop dengan pecahan Rp 20.000 dan Rp 50.000 tersebut diduga sebagai suap untuk pelaksanaan kerja sama Pengangkutan Bidang Pelayaran antara PT Pupuk Indonesia Logistik (PILOG) dan PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK), dan diduga digunakan untuk membantu biaya kampanye Pemilu 2019.

Selain itu, Arsul Sani yang menjadi caleg PPP dari dapil Jawa Tengah X juga mengakui politik uang berupa serangan fajar ini terjadi di banyak tempat. Namun, dia menyebut, penyebabnya tak melulu dari caleg, bisa juga dari warga yang justru meminta.

“Bayangkan kita bicara politik uang. Yang bagi amplop kan bukan cuma kita. Caleg lain kan bagi amplop juga. Wong untuk DPRD tingkat dua saja, bisa dia terima lima amplop, di satu pemilih. Tiga amplop dari caleg berbeda-beda,” ujar Arsul.

Maka dari itu, Arsul tidak sepakat dengan anggapan seorang caleg harus memiliki modal besar. Menurut dia, modal finansial penting, tapi bukan segalanya. Dia menganggap jaringan yang kuat lebih menjamin seseorang terpilih.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengungkapkan suburnya politik uang dalam pemilihan legislatif ini tak lepas dari sistem proporsional terbuka yang digunakan untuk menentukan lolos tidaknya caleg ke parlemen.

Politik uang dalam pemilihan legislatif ini tak lepas dari sistem proporsional terbuka yang digunakan untuk menentukan lolos tidaknya caleg ke parlemen.

~Donal Fariz, ICW~

“Proporsional terbuka menjadi salah satu penyubur lahirnya money politic di dalam pemilu. Karena, yang muncul adalah personal candidacy, bukan party candidacy. Berbeda ketika menggunakan (sistem) proporsional tertutup, kecenderungan money politic dan vote buying itu tidak marak dan signifikan,” ungkap Donal.

Dengan adanya sistem proporsional terbuka, peran parpol menjadi lebih minim karena tak lagi memiliki wewenang kuat untuk memilih caleg yang terpilih nantinya.

Sementara dalam sistem proporsional tertutup, partai akan membiayai para calegnya untuk berkampanye atas nama partai.

Parpol terkesan membiarkan kondisi ini terjadi untuk lepas dari tanggung jawab mendanai kampanye ribuan caleg.

Yang terjadi kini, sumber pemasukan parpol selama pemilu mayoritas berasal dari caleg. Jumlahnya sangat dominan.

Catatan KPU pada Pemilu 2014 menunjukkan caleg menjadi tulang punggung pembiayaan kampanye. Dari total  Rp 2,19 triliun  dana kampanye parpol, sumbangan caleg mencapai Rp 1,81 triliun atau setara  82,65 persen total penerimaan. 

Data ini berasal dari laporan 12 partai politik kepada KPU pada saat itu. Porsi dana dari caleg jauh melampaui sumber lain pemasukan parpol selama kampanye yang berasal dari perseorangan, dana partai, hingga perusahaan.

Parpol juga tutup mata manakala caleg kesulitan mendapat pendanaan untuk kampanye hingga akhirnya harus mencari dari cara-cara tidak halal.

KAMPANYE JOR-JORAN,
CELAH KORUPSI SAAT TERPILIH


KAMPANYE jor-joran yang dilakukan seorang caleg dengan dana fantastis bisa berefek panjang di kemudian hari.

Bagi caleg yang mengandalkan modal dari sponsor atau pihak ketiga, bisa jadi ada “kesepakatan” dari pihak pendonor yang harus dituruti sang caleg jika terpilih nanti. Tak ada makan siang yang gratis!

Bisa juga caleg terpilih nantinya justru sibuk mengembalikan harta kekayaannya yang terkuras selama pelaksanaan kampanye.

Data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarkat (LPEM) FE UI, memperkirakan besaran pengeluaran seorang caleg bervariasi antara Rp 1,18 miliar sampai Rp 4,6 miliar. Jumlah itu berdasarkan penelitian Pemilu 2014.

Besarnya ongkos politik selama kampanye menjadi salah satu faktor banyaknya politisi yang terjerat kasus korupsi.

~Febri Diansyah, Juru Bicara KPK~

Sedangkan pengeluaran di atas angka Rp 8 miliar dikategorikan tidak wajar, mengingat pendapatan seorang Anggota DPR dalam masa jabatan lima tahun sekitar Rp 5 miliar. Jika ada kekurangan gaji yang didapat dibandingkan ongkos saat menjadi caleg, bayang-bayang korupsi akan terus menghantui.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengungkapkan besarnya ongkos politik selama kampanye menjadi salah satu faktor banyaknya politisi yang terjerat kasus korupsi.

“Sangat mungkin akan mendorong atau menimbulkan efek domino korupsi ketika para pejabat ini menduduki jabatannya," kata dia dalam wawancara dengan Kompas.com.

Sepanjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri hingga saat ini, ada 166 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) dan 72 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terjerat kasus korupsi.

Jumlah ini menunjukkan bahwa praktik korupsi yang melibatkan anggota legislatif berlangsung secara masif.

Febri melihat ada persoalan di internal partai yang terjadi. Salah satunya terkait kaderisasi.

Partai belum tentu mengangkat kadernya yang memiliki rekam jejak panjang di partai untuk menjadi calon pemimpin. Sehingga, siapapun yang bermodal besar bisa menjadi caleg. Kader yang baik dari dalam parpol menjadi tidak bisa berkompetisi.

"Ada risiko jika pendanaan politik enggak dibereskan, orang yang punya uang yang tiba-tiba datang dan kemudian menguasai partai politik. Membeli partai politik dalam tanda kutip ya. Dan juga mungkin memengaruhi keputusan di partai politik," kata Febri.

Korupsi Politik dalam Angka - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Faktor lain yang membuat seorang caleg akhirnya korupsi begitu terpilih dan lolos ke Senayan adalah besarnya kewajiban mereka untuk menyokong pendanaan parpol.

Sebagian besar kebutuhan operasional kantor dibebankan kepada kadernya yang menduduki posisi-posisi di legislatif maupun eksekutif.

Ada iuran wajib yang harus disetorkan dengan jumlah cukup besar. Semakin tinggi level kedudukannya, akan semakin besar pula sumbangan wajib yang harus disetor ke kas partai.

Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, KPK pernah melakukan kajian terhadap perilaku korupsi anggota-anggota DPRD di sejumlah daerah. Sebagian besar mengeluhkan potongan besar yang dilakukan partai terhadap gaji para anggota DPRD.

Sumbangan wajib tiap bulan itu belum lagi ditambah dengan sumbangan acara-acara partai seperti musyawarah nasional (munas) dan rapat koordinasi (rakor).

"Sudah gajinya dipotong partai, kebutuhan konstituennya besar, gaya hidup makin tinggi karena dianggap Sinterklas."

~Pahala Nainggolan, Deputi Bidang Pencegahan KPK~

Tak hanya itu, anggota legislatif juga kerap dibebani oleh konstituennya. Ini juga menjadi persoalan serius.

Pahala menjelaskan, konstituen kerap kali meminta uang atau bantuan lainnya kepada anggota legislatif untuk kepentingan mereka. Biasanya permintaan itu disampaikan melalui proposal-proposal tertentu.

Suka atau tidak suka, anggota legislafif seringkali memenuhi permintaan konstituennya. Karena, kata Pahala, apabila tidak dilayani, kelompok konstituen bisa mengancam untuk tak lagi memilih yang bersangkutan jika mencalonkan diri kembali.

"Sudah gajinya dipotong partai, kebutuhan konstituennya besar, gaya hidup makin tinggi karena dianggap Sinterklas," kata Pahala.

Situasi itu yang kuat diduga menjadi salah satu pendorong anggota legislatif melakukan korupsi dengan menyalahgunakan wewenangnya.

Pahala memandang, praktik korupsi di DPRD itu tak jauh berbeda dengan yang terjadi di tingkat DPR.

"Ya (di DPR) mirip-mirip dalam skala lebih besar aja lah," ujar dia.

Mencegah korupsi

Sekitar 60 persen kasus korupsi yang ditangani KPK, melibatkan aktor politik. Sebagian besar diisi oleh anggota DPRD dan DPR. Dengan fakta ini, ada banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan bersama.

Febri memandang, perlu ada komitmen sungguh-sungguh dari semua pihak untuk mencegah korupsi di sektor legislatif.

KPK sudah memetakan masalah, menyusun kajian, hingga memberi rekomendasi untuk memperbaiki sistem politik di Indonesia.

KPK sudah memetakan masalah, menyusun kajian, hingga memberi rekomendasi untuk memperbaiki sistem politik di Indonesia. Namun, Febri menegaskan, kajian dan rekomendasi itu tak akan berguna apabila tak ada komitmen dari banyak pihak.

"Pencegahan ini kan enggak bisa jalan kalau tidak ada gayung bersambut, istilahnya jadi kalau menari itu ya harus berdua gitu kan, KPK enggak bisa sendiri. Pemetaan sudah dilakukan, rekomendasi sudah dilakukan, sudah disampaikan bahkan siapa yang melakukan rekomendasi itu. (Ke) pemerintah dan partai politik juga," ungkapnya.

Pertama, kata Febri, KPK sudah mendorong peningkatan bantuan dana partai politik oleh pemerintah, dari Rp 108 per partai politik menjadi Rp 1.000.

"Awalnya kan sangat kecil dan tidak rasional. Ditingkatkan menjadi Rp 1.000 melalui peraturan pemerintah. Target KPK itu bisa ditingkatkan sampai Rp 10.700 dalam hitung-hitungan kemarin ya dalam rentang waktu 5 tahun atau 10 tahun," ungkap dia. 

Bingung Pilih Caleg? - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Senada dengan Febri, Pahala menilai fokus peningkatan dana partai politik kepada biaya operasional dan pendidikan politik. Sebab, partai harus memenuhi amanat undang-undang sebagai lembaga yang melakukan pendidikan politik.

"Partai harus cukup keuangannya. Tapi ini bukan untuk kontestasi loh ya, (melainkan) buat pendidikan politik dan operasional partai. Jadi kalau tiba saatnya ada kontestasi, yang dimajuin kadernya gitu kan dengan biaya murah. Jadi enggak ada kewajiban juga kader nyari modal kembali. Karena partai bisa dorong kadernya dan kaderisasi bisa jalan," kata dia.

Sementara itu, Febri menjelaskan, KPK menekankan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas tata kelola keuangan di partai. Sebab, kenaikan bantuan dana partai bersumber dari uang rakyat.

"Sehingga kalau itu diberikan ke partai politik ada kewajiban untuk diaudit, ada kewajiban untuk terbuka, sama seperti instansi lain," ujarnya.

Dalam persoalan mahar, Febri mengungkapkan ada pernyataan terbuka dari partai bahwa mereka tidak menerapkan mahar politik. KPK berharap pernyataan tersebut tak sekadar ucapan, tetapi diiringi dengan langkah nyata.

"Kalau mahar politik dipangkas, itu bisa mengurangi beban kandidat untuk bisa mencalonkan, baik sebagai calon kepala daerah maupun calon anggota legislatif. Ini sebenarnya juga bisa menekan biaya politik," kata Febri.

Cara ini sekaligus menyelesaikan kebuntuan arus mandat antara masyarakat yang diwakili dengan pihak yang mewakili masyarakat. Ini akan mendorong sosok-sosok yang lebih tepat untuk diusung menjadi calon pemimpin di setiap wilayahnya.

Apakah bisa terwujud? Semoga....