JEO - Ekonomi





Buwas, Beras, dan Politik Pangan

Rabu, 6 Juni 2018 | 09:44 WIB

Beras begitu menentukannya dalam stabilitas politik nasional. Sehingga, pemerintah sangat berkepentingan mengamankan komoditas ini dari gejolak harga dan pasokan...

PERGANTIAN Dirut Bulog dari seorang profesional Djarot Kusumayakti ke Komjen (Purn) Budi Waseso (Buwas) seolah menegaskan bahwa beras merupakan komoditas yang tak hanya memiliki aspek ekonomi. Lebih dari itu, beras merupakan komoditas politik yang menentukan pasang surut kekuasaan.

Ya, beras begitu menentukannya dalam stabilitas politik nasional. Sehingga, pemerintah sangat berkepentingan mengamankan komoditas ini dari gejolak harga dan pasokan.

Mendesaknya urusan perut dalam hubungannya dengan kekuasaan bukan isu baru. Bahkan sejak era Mataram, beras memegang peran yang vital dalam menopang stabilitas politik negara.

Siapa pun yang berhasil mengendalikan perut rakyat, maka berhasil pula seorang penguasa menjalankan roda pemerintahan. Caranya, dengan mengontrol stabilitas harga dan pasokan beras.

Sebagaimana yang tertuang dalam buku Babad Tanah Jawi, bahwa penguasa Mataram selalu berusaha untuk mengontrol pasokan beras untuk menjaga stabilitas politik. Ki Ageng Pemanahan berhasil mendirikan kerajaan berkat kepiawaiannya mengolah tanah dari hutan menjadi lahan pertanian.

Raja Amangkurat I terguling karena munculnya krisis yang ada di kerajaan, yang diawali oleh masalah kekurangan pangan. Adapun Amangkurat II juga mengalami krisis politik, yang salah satunya gara-gara masalah beras.

Sultan Agung berhasil menghadirkan stabilitas politik di Mataram karena mampu menjaga pasokan beras.

Sementara itu, Sultan Agung berhasil menghadirkan stabilitas politik di Mataram karena mampu menjaga pasokan beras.

Sebaliknya, kekalahan Sultan Agung saat menyerang Batavia juga disebabkan karena habisnya pasokan beras. Belanda membakar persediaan logistik hingga para prajurit Mataram kelaparan. Akibatnya, serangan gagal.

Beranjak ke Orde Baru, kita bisa melihat bagaimana Soeharto berhasil menjaga kekuasaannya melalui stabilitas pasokan beras.

Soeharto sadar bahwa urusan perut rakyat menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam menopang kekuasaan. Karenanya setelah menduduki posisi sebagai Presiden, dia merombak Komando Logistik Nasional (Kolognas) menjadi Badan Urusan Logistik (Bulog) pada 1967.

Presiden Soeharto, Kamis (6/3) di Karang Agung, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, melakukan panen di sawah gambut pasang surut, yang luasnya sekitar 360.000 ha.
Dok Antara
Presiden Soeharto, Kamis (6/3) di Karang Agung, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, melakukan panen di sawah gambut pasang surut, yang luasnya sekitar 360.000 ha.

Hadirnya Bulog sebagai lembaga stabilisasi harga pangan memiliki arti khusus dalam menunjang keberhasilan Orde Baru sampai tercapainya swasembada beras tahun 1984. Dalam hal ini, Bulog memiliki fungsi sebagai penyangga pasokan (buffer stock holder) dan distribusi.

Terlepas dari represi yang dilakukan pemerintah Orde Baru, stabilnya harga pangan hingga tercapainya swasembada berhasil meredam riak-riak yang ada di masyarakat.

Ya, begitulah beras memegang peran sentral dalam kekuasaan di Indonesia. Pemerintah berupaya dengan segala cara agar pasokan dan harga tetap terjaga.

Bahkan, beberapa waktu lalu masyarakat juga bisa melihat bagaimana pemerintah tak segan-segan menggebuk perusahaan perdagangan beras yang dicurigai milik “kubu sebelah”.

Begitulah beras. Sebuah komoditas yang memiliki posisi sangat strategis dalam menunjang kekuasaan.

Ilustrasi beras di gudang Bulog
KOMPAS / HENDRA A SETYAWAN
Ilustrasi beras di gudang Bulog

 

Beras dan Buwas

Naiknya harga beras yang terjadi di awal 2018, bagaimana pun, cukup memusingkan pemerintah. Bagaimana pun, kenaikan harga komoditas tersebut tak hanya berdampak pada naiknya biaya hidup masyarakat. Lebih dari itu, kredibilitas pemerintah ikut menjadi taruhan.

Di sisi lain, kenaikan harga beras tersebut juga tak dinikmati petani. Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Jateng Agus Eko Cahyono mengatakan, petani tak punya kendali sedikit pun terhadap komoditas yang dihasilkannya. Sebagian besar keuntungan diambil pedagang perantara atau tengkulak.

Bahkan, disparitas harga dari produsen atau petani hingga ke konsumen bisa sampai 100 persen. Harga beras yang di tingkat petani Rp 6.000 per kg, sedangkan di pasar bisa mencapai Rp 11.000 per kg.

Naiknya harga beras medium tidak bakal terjadi jika peran Perum Bulog dalam stabilisasi harga beras tidak terbelenggu ketetapan harga eceran tertinggi (HET).

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57 Tahun 2017 tentang HET mengatur harga beras medium dan beras premium. Harga beras medium ditetapkan Rp 9.450 per kg, sedangkan harga beras premium Rp 12.500 per kg.

harga beras 1

“Untuk memenuhi kriteria harga itu, Bulog harus patuh pada kategori syarat beras, yakni derajat sosoh minimal 95 persen, kadar air maksimal 14 persen, dan butir patah maksimal 15 persen,” ujar Agus. (Harian Kompas, 14/01/2018)

Karena ketentuan tersebut, fungsi Bulog menyerap beras menjadi tak maksimal.

Ya, apa yang diungkapkan Agus Eko Cahyono tersebut menunjukkan betapa kompleks permasalahan dalam tata niaga beras. Ada banyak faktor yang turut memengaruhi harga beras menjadi naik. Dominannya peran pedagang dan tengkulak serta lemahnya Bulog menjadi beberapa faktor yang membuat harga komoditas ini melonjak.

Meskipun belum sampai merembet pada turunnya elektabilitas Presiden Jokowi, namun ketidakpuasan terhadap pemerintah terkait dengan naiknya harga beras, sayup-sayup mulai terdengar.

Menghadapi kondisi yang kompleks ini, pemerintah akhirnya memilih mengambil “jalan pintas”. Mengangkat Budi Waseso sebagai Dirut Perum Bulog. Harapannya satu, harga beras bisa terkendali dengan cara-cara yang mungkin out of the box.

Harapannya satu, harga beras bisa terkendali dengan cara-cara yang mungkin out of the box.

Budi Waseso selama ini dikenal sebagai orang yang nekad. Saat menjabat sebagai Kepala Bareskrim, dia “mengobrak-abrik” KPK dan menetapkan tersangka terhadap sejumlah pimpinan lembaga tersebut.

Di BNN, Buwas berhasil mengungkap kasus berton-ton sabu yang diselundupkan melalui perairan.

Sepak terjang itulah yang membuat pemerintah tertarik merekrut Buwas ke Bulog, yang tengah menghadapi sorotan karena melonjaknya harga beras. Bagaimanapun, harga beras menjadi salah satu pertaruhan popularitas pemerintah yang berkuasa.

Budi Waseso saat masih menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) memberikan keterangan pers saat gelar barang bukti pengungkapan penyelundupan narkotika jaringan internasional dari Tiongkok di gedung BNN, Jakarta Timur, Selasa (7/3/2017).
KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG
Budi Waseso saat masih menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) memberikan keterangan pers saat gelar barang bukti pengungkapan penyelundupan narkotika jaringan internasional dari Tiongkok di gedung BNN, Jakarta Timur, Selasa (7/3/2017).

Bukan “Mainan Baru”

Setelah resmi ditunjuk oleh Menteri BUMN Rini Soemarno untuk menduduki kursi Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Bulog pada 27 April 2018 lalu, Buwas sudah melakukan beberapa gebrakan.

Buwas buka-bukaan mengenai sejumlah regulasi yang melemahkan peran Bulog. Dia telah memetakan sejumlah permasalahan di lembaga ini semenjak menempati pucuk pimpinan. Salah satu permasalahannya yakni dari segi regulasi.

Karena itu, dia ingin ada regulasi yang mendukung tugas Bulog sebagai penanggung jawab sembilan bahan pokok sekaligus menjaga stabilitas harga.

Selain regulasi, Buwas juga menggagas penjualan beras dalam kemasan sachet. Melalui kemasan kecil-kecil, masyarakat diharapkan bisa membeli beras dengan harga yang lebih "bersahabat".

Untuk mengulik lebih jauh mengenai langkah-langkah stabilisasi harga beras, Kompas.com mewawancarai Buwas di kantornya, Kamis (31/5/2018).

Saat Kompas.com menyambangi kantor Bulog kawasan Jl Gatot Subroto Jakarta sekitar pukul 06.30 pagi, kantor tersebut masih terlihat sepi. Namun, Buwas sudah terlebih dulu tiba. Dia sampai di kantornya pukul 05.45.

Direktur Utama Perum Bulog Komjen (Purn) Budi Waseso menjawab pertanyaan saat wawancara khusus dengan Kompas.com di Kantor Pusat Perum Bulog, Jakarta, Kamis (31/5/2018).
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Direktur Utama Perum Bulog Komjen (Purn) Budi Waseso menjawab pertanyaan saat wawancara khusus dengan Kompas.com di Kantor Pusat Perum Bulog, Jakarta, Kamis (31/5/2018).

Kebiasaan tiba di kantor sepagi itu sudah dilakukannya sejak menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).

"Saya setelah subuh kalau bisa selalu langsung berangkat (ke kantor)," ujarnya memulai perbincangan, Kamis (31/5/2018).

Dirinya bercerita, saat pertama kali diberi mandat oleh Presiden Jokowi, dirinya sebagai abdi negara mau tidak mau harus siap dalam menjalankan tugas baru yang diberikan.

"Tidak ada yang tidak bisa. Saya pikir selama ini adalah tugas jadi tidak masalah. Toh selama ini saya bertugas berpikir dengan strategi, dan itu pasti bermanfaat," jelas dia.

Buwas mengaku, meskipun belum benar-benar menguasai isu pangan, dia memiliki cukup pemahaman mengenai praktik pertanian di Indonesia. Hal ini dikarenakan, latar belakang keluarga kakeknya berasal dari petani sawah.

Buwas juga memiliki petani binaan di wilayah Sumedang dan Jampang, Jawa Barat. Hal itu dimulai ketika dia menjabat Kabag Berburu Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Indonesia (Perbakin) Pusat.

Selama menduduki jabatan tersebut, Buwas memiliki program pengendalian hama di lahan pertanian. Hama yang dimaksud adalah babi hutan yang langganan menyasar padi-padian dan umbi-umbian yang ditanam petani.

Ilustrasi petani beras di Indonesia


Shutterstock
Ilustrasi petani beras di Indonesia

“Di situ juga hiburan saya. Kenapa? Babi hutan itu kan datang sendiri ke sawah. Saat musim tanam mulai berisi, serangan babi hutan terjadi. Ini karena aroma padi tercium dari hutan. Kami kan tinggal jagain aja, saya tembaki jeder... jeder... jeder...," kisah dia sembari terkekeh.

"Jadi saya pengalaman. Makanya saya kalau diajak cerita soal pertanian saya termasuk paham, jago tidak, tapi paham iya. Karena saya hidupnya sudah lama, jadi pemburu, serta pengurus Perbakin yang berkaitan dengan bidang berburu untuk pengendalian hama," lanjut dia.

Dari Bandar Narkoba ke Bandar Beras

Menurut Buwas, bertugas di Bulog tidak berbeda dengan tugas-tugas dia sebelumnya di Bareskrim Polri dan BNN.

"Tanggung jawabnya kan sama. Saya di kepolisian menegakkan hukum untuk negara. Di BNN untuk generasi bangsa, di Bulog mengurusi perut. Dulunya yang diurusi bandar narkoba sekarang bandar beras," kelakar dia.

Kepada rekan-rekan kerjanya di Bulog, Buwas menekankan pentingnya bertindak, bekerja, dan terjun ke lapangan.

Buwas mengandalkan jejaringnya yang begitu kuat hingga ke daerah-daerah untuk bisa mendapatkan informasi-informasi terkini terkait kondisi sawah dan pertanian.

Direktur Utama Perum Bulog Komjen (Purn) Budi Waseso berpose setelah wawancara khusus dengan Kompas.com di Kantor Pusat Perum Bulog, Jakarta, Kamis (31/5/2018).
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Direktur Utama Perum Bulog Komjen (Purn) Budi Waseso berpose setelah wawancara khusus dengan Kompas.com di Kantor Pusat Perum Bulog, Jakarta, Kamis (31/5/2018).

Menurut dia, Bulog sebagai stabilisator harga dan sebebagai penjaga stok pangan, seharusnya mampu menjalin hubungan yang baik dengan petani. Sehingga, seharusnya Bulog sebagai institusi besar dapat melaksanakan program serap gabah dengan baik.

"Makannya saya bilang ke Bulog, bodoh kalau kita nggak bisa menyerap gabah. Karena saya ini bukan orang Bulog tapi setiap 4 bulan saya menyerap gabah dengan sendirinya," jelas Buwas.

Bagaimanapun, Buwas akan punya gaya sendiri dalam memimpin Bulog. Dengan pendekatan yang berbeda sama sekali, dia akan berusaha menjaga agar pasokan pangan tetap aman. Tak hanya itu, melalui pangan pula, pemerintah sangat berharap agar kredibilitasnya tetap terjaga...