The world will not be destroyed by those who do evil, but by those who watch them without doing anything.
– Albert Einstein
TAHAPAN Pemilu 2019 sempat mengundang polemik terkait pencalonan para wakil rakyat. Itu karena eks koruptor dibolehkan mendaftar jadi calon legislatif (caleg).
Mereka yang pernah dipenjara karena kasus korupsi boleh mencalonkan diri setelah Mahkamah Agung (MA) menerbitkan putusan uji materi Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018).
KPU memutuskan, mantan koruptor boleh jadi caleg tetapi daftar namanya diumumkan ke publik.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merespons putusan tersebut. PKPU yang tadinya melarang eks koruptor mendaftar menjadi caleg direvisi sesuai putusan MA.
KPU memutuskan, mantan koruptor boleh jadi caleg tetapi daftar namanya diumumkan ke publik.
Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan, langkah KPU mengumumkan nama-nama caleg eks koruptor sesuai dengan salah satu pasal dalam UU Pemilu.
Awalnya atau pada 30 Januari 2019, terdapat 49 nama caleg DPRD dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diketahui sebagai mantan narapidana kasus korupsi.
Lalu, pada 19 Februari 2019, KPU mempublikasi 32 nama tambahan. Total, 81 nama dinyatakan pernah divonis sebagai koruptor.
Daftar itu memuat 23 caleg eks koruptor tingkat DPRD provinsi, 49 caleg eks koruptor tingkat DPRD kabupaten/kota, dan sembilan calon anggota DPD.
Dari 16 partai politik (parpol) nasional peserta Pemilu 2019, 14 partai tercatat mengajukan 72 caleg berlatar belakang mantan napi korupsi. Dua parpol yang tak mengajukan caleg eks koruptor adalah Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Dari 16 partai politik (parpol) peserta pemilu, 14 partai tercatat mengajukan caleg mantan napi korupsi.
Adapun Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) merupakan parpol yang terbanyak mengusung caleg eks koruptor. Sebanyak 11 nama eks koruptor dicalonkan partai yang sekarang dipimpin Oesman Sapta Odang.
Jauh-jauh hari sebelumnya, menanggapi polemik terkait pencalonan dan langkah KPU, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, mantan narapidana kasus korupsi punya hak untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif.
"Kalau saya, itu hak. Hak seseorang berpolitik," kata Jokowi di Jakarta, Selasa (29/5/2018).
Jokowi menegaskan, konstitusi sudah menjamin, memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk bagi mantan napi kasus korupsi.
Meski demikian, sejumlah kalangan mewanti-wanti bahwa fakta ini rentan menggerus harapan dan optimisme publik tentang pemberantasan korupsi.
PETINGGI partai politik (parpol) langsung merespons pengumuman KPU soal caleg eks napi kasus korupsi, terutama mereka yang kedapatan mengusung caleg dengan latar belakang koruptor tersebut.
Ada 14 parpol tercatat mengusung 72 caleg berlatar belakang eks napi koruptor. Lalu, ada 9 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan rekam jejak yang sama.
Siapa saja para caleg itu, dari parpol apa dan daerah pemilihan mana berikut nomor urut pencalonannya, serta nama para calon anggota DPD itu dapat disimak dalam infografik berikut ini:
Di antara para petinggi partai-partai ini, ada yang menyebut bahwa eks koruptor dicalonkan dengan pertimbangan suara.
Namun, ada juga yang berkilah mengaku kecolongan dengan majunya caleg bermasalah, seperti bekas koruptor.
Sejumlah petinggi dari dewan pimpinan pusat (DPP) parpol-parpol itu juga mengaku sudah memberikan sanksi, minimal memberikan teguran, kepada kepengurusan di daerah yang meloloskan caleg eks napi koruptor.
Ini kata mereka:
Dari 16 parpol, hanya Partai Nasdem dan PSI yang terdata tak mengusung caleg eks napi koruptor.
Dua parpol itu menyatakan ingin parlemen benar-benar diisi individu yang memiliki jejak rekam bersih.
PENELITI Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, jumlah eks koruptor yang ternyata bertambah membuat publik kian kesulitan untuk memilih wakil yang berkualitas.
Ini diperparah dengan sikap KPU yang memutuskan tidak mengumumkan nama caleg eks koruptor di tempat pemungutan suara (TPS) pada hari pemungutan suara.
Bertambahnya jumlah caleg mantan napi koruptor kian menggerus optimisme publik akan sosok wakil rakyat pada periode mendatang. Pesimisme makin kuat karena KPU tidak tuntas dalam mengumumkan nama-nama mereka di TPS.
- Lucius Karus, Formappi
"Bertambahnya jumlah caleg mantan napi koruptor kian menggerus optimisme publik akan sosok wakil rakyat pada periode mendatang. Pesimisme makin kuat karena KPU tidak tuntas dalam mengumumkan nama-nama mereka di TPS," ujar Lucius ketika dihubungi via telepon, Rabu (20/2/2019).
Dia menjelaskan, dengan penambahan daftar caleg eks koruptor, beban KPU kian berat karena harus memastikan nama-nama caleg itu terinformasikan kepada pemilih di daerah pemilihanya.
Menurut Lucius, cara efektif agar pemilih tidak memilih caleg eks koruptor adalah dengan mengumumkan nama-nama caleg tersebut di TPS.
"Bagaimanapun, KPU tidak bisa mengandalkan pengumuman terbuka saja karena ada faktor keterbatasan sumber informasi yang lengkap terkait caleg tersebut," ungkap Lucius.
Lucius berpendapat, masalah terkait masuknya nama-nama caleg berlatar belakang mantan pesakitan kasus korupsi pun semakin besar karena keterbatasan informasi kredibel, lengkap, dan valid.
"Apalagi, waktu pelaksanaan pemilu tinggal kurang dari dua bulan lagi, ditambah tensi pilpres, pileg makin tersingkirkan," imbuh Lucius.
Untuk itu, ia berharap KPU mengoordinasikan KPU daerah untuk menyosialisasikan nama-nama caleg eks koruptor beserta profilnya kepada masyarakat.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz berpendapat, pada akhirnya, semua pihak mesti belajar bahwa caleg yang bermasalah harus diantisipasi di awal.
Sepanjang orang bermasalah masih menguasai struktur partai atau mantan narapidana kasus korupsi menguasai struktur partai, masalah lanjutannya adalah dia mencalonkan diri atau mengusung orang yang bermasalah di pencalonan.- Donal Fariz, ICW
"Yang paling penting adalah imbauan dan membangun kesadaran untuk kita semua sebagai pemilih agar benar-benar memperhatikan siapa yang hendak dipilih," kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (19/2/2019).
Yang paling penting adalah imbauan dan membangun kesadaran untuk kita semua sebagai pemilih agar benar-benar memperhatikan siapa yang hendak dipilih.
- Febri Diansyah,
Juru Bicara KPK
Menurut Febri, jika masyarakat memilih calon yang pernah bermasalah atau karena politik uang, hal itu akan menghambat upaya mewujudkan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Febri mengingatkan, calon-calon yang dipilih nantinya akan mewakili masyarakat di DPR, DPRD, dan DPD. Lembaga-lembaga perwakilan ini harus bersih dari korupsi.
"Jadi, kita perlu jauh lebih hati-hati untuk memilih dan pilihlah orang orang yang punya rekam jejak atau latar belakang yang bisa dipertanggungjawabkan," kata dia.
KPK, lanjut Febri, mengapresiasi KPU yang mengumumkan nama-nama tambahan caleg eks koruptor tersebut.
Dalam diskusi dengan KPU, kata Febri, KPK menekankan pentingnya masyarakat selaku calon pemilih mendapatkan informasi yang cukup dalam menentukan pilihannya. Hal itu untuk mendorong Pemilu 2019 yang berintegritas.
Baca juga: KPK Apresiasi Langkah KPU Umumkan 32 Nama Tambahan Caleg Eks Koruptor
"Masyarakat harus punya amunisi yang lebih, informasi yang lebih, untuk menyaring dalam memilih para calonnya. Maka, apa yang dilakukan KPU itu kami pandang sebagai perwujudan atau upaya untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas," ujar Febri.