JEO - Peristiwa

Perempuan Petani Kopi yang Dihantam Krisis Iklim dan Melawan

Jumat, 25 April 2025 | 14:06 WIB

Lewat pertanian kopi, para perempuan membuktikan bahwa mereka tak hanya mampu, tapi juga layak didengar, didukung, dan diperlakukan setara.

Yulianti (44) atau akrab disapa Teh Lia melihat pohon kopinya telah menghasilkan buah berwarna merah pada Minggu (9/3/2025) siang. Perempuan petani kopi anggota kelompok Lady Farmer Coffee di Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, itu bersyukur panen tahun ini datang lebih awal, tapi hasilnya diyakini tetap tak sebaik pada 2021 akibat terdampak krisis iklim.
KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI
Yulianti (44) atau akrab disapa Teh Lia melihat pohon kopinya telah menghasilkan buah berwarna merah pada Minggu (9/3/2025) siang. Perempuan petani kopi anggota kelompok Lady Farmer Coffee di Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, itu bersyukur panen tahun ini datang lebih awal, tapi hasilnya diyakini tetap tak sebaik pada 2021 akibat terdampak krisis iklim.

Siang itu, Yulianti (44) sedang berada di kebun kopinya di Desa Ambal, Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah. Walau kebun itu berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), namun Matahari yang bersinar terik membuat merah wajahnya, dan melelehkan keringatnya.

Untuk melindungi kulitnya, ibu dua anak yang kerap dipanggil Lia itu mengenakan jaket dengan tudung di bagian kepala yang warna birunya sudah pudar, serta celana panjang yang ujungnya dimasukkan ke dalam sepatu karet kuning.

Lia sedang memeriksa buah di pohon-pohon kopinya ketika Farida Dwi Ermawati (31), memanggil-manggil namanya: “Teh Lia…Teh Lia!”

Mendengar namanya dipanggil, Lia menyahut dari balik pepohonan, dan Wiwik, sapaan akrab Farida, menyibak rerumputan, mendatangi petani asal Tasikmalaya, Jawa Barat itu.

Wiwik merupakan Koordinator Lady Farmer Coffee di Karangkobar. Dia ikut mengamati ceri kopi merah yang mulai muncul di beberapa pohon arabika yang ditanam sejak 2019. Melihat beberapa buah sudah matang, ia meminta Lia memetiknya agar bisa ditimbang.

Tahun ini, puncak musim panen tiba lebih awal, yakni pada April atau Mei.

Dalam empat tahun terakhir, mereka berhadapan dengan ketidakpastian masa panen karena cuaca. Kebanyakan mundur dari normalnya Juni atau Juli. Pada 2023, panen bahkan baru mulai pada bulan September.

Meski ada rasa gembira karena buah kopi mulai memerah, namun wajah Lia tetap menunjukkan raut kegundahan karena hasil panen sepertinya belum akan membaik.

"Kecil kemungkinan bisa sebanyak dulu," gumam Lia,  saat ditemui Minggu (9/3/2025). Padahal kopi di kebunnya disukai orang karena memiliki aroma lemon yang segar.

Iklim berubah, panen lesu

Benar saja, satu bulan berselang, dia mengabarkan hanya mengumpulkan sekitar 20 kilogram (kg) ceri kopi pada dua pekan pertama musim panen tahun ini.

Jumlah itu jauh menurun dibandingkan hasil panen sebelum 2022, yang bisa mencapai 50-60 kg setiap dua pekan.

“Pada panen pertama tahun 2020, hasilnya bagus sekali, termasuk saat 2021. Setelah itu, hasilnya tinggal sepertiganya,” kata Lia sambil menerawang, saat berbincang dengan Kompas.com pada Senin (14/4/2025).

Akibat 1.000 pohon tak lagi berbuah optimal, pendapatan keluarga pun ikut turun sejak 2022. Lia dan sang suami akhirnya lebih menggantungkan pendapatan pada tanaman jeruk lemon dan ternak kambing.

"Dampak cuaca tak menentu jelas nyata. Pada 2022, misal, hujan berkepanjangan yang disertai angin membuat bunga-bunga rontok sehingga tak jadi buah."

Pada satu titik, mereka sempat mempertimbangkan untuk menebang pohon-pohon kopi di kebun. Mereka menganggap tanaman itu tak seproduktif dulu karena pengaruh perubahan cuaca yang tak menentu.

Namun mereka batal melakukannya setelah Lia mempertimbangkan keanggotaan di Lady Farmer Coffee, kelompok yang jadi bagian penting dari perjuangannya sebagai petani perempuan.

Dia memutuskan tetap mempertahankan pohon kopinya sambil melakukan siasat penjarangan supaya tanaman jeruk lemon tidak terganggu.

”Dampak cuaca tak menentu jelas nyata. Pada 2022, misal, hujan berkepanjangan yang disertai angin membuat bunga-bunga rontok sehingga tak jadi buah. Kemudian pada 2023 dan 2024, meski pada musim kemarau, terkadang tetap ada hujan. Perubahan pola cuaca ini akhirnya juga menyebabkan serangan hama dan penyakit kian sulit dikendalikan hingga merusak hasil panen,” ucap Lia kesal.

Karat daun dan busuk buah kopi adalah penyakit tanaman kopi yang semakin sering dijumpai petani dari Lady Farmer Cofee Karangkobar.

Karat daun atau hemileia vastatrix ditandai dengan kemunculan bintik-bintik putih dan kekuningan di permukaan atas dan bawah daun. 

Penyakit ini bisa menurunkan kualitas dan kuantitas hasil panen kopi, bahkan dapat mematikan tanaman karena mengganggu fotosintesis.

Sedangkan busuk buah kopi adalah penyakit yang disebabkan jamur patogen.

“Kami juga menemukan ada banyak ceri berwarna hitam dengan kondisi biji di dalamnya sebagian telah membusuk atau rusak,” kata Lia.

Koordinator Lady Farmer Coffee di Karangkobar, Banjanegara, Farida Dwi Ermawati saat difoto pada Minggu (9/3/2025). Melalui kelompok yang ia dirikan sejak 2015 tersebut, Wiwik, sapaan akrab Farida Dwi, ingin mendorong para perempuan petani kopi lebih berdaya untuk tangguh melawan diskriminasi pasar dan krisis iklim. Sebagai hasil, para petani kopi di Karangkobar kini bukan hanya sanggup menjual hasil panen dalam bentuk ceri kopi, melainkan juga berupa green bean (biji kopi mentah), roasted beans (biji kopi sangrai), maupun bubuk kopi dalam kemasan.
KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI
Koordinator Lady Farmer Coffee di Karangkobar, Banjanegara, Farida Dwi Ermawati saat difoto pada Minggu (9/3/2025). Melalui kelompok yang ia dirikan sejak 2015 tersebut, Wiwik, sapaan akrab Farida Dwi, ingin mendorong para perempuan petani kopi lebih berdaya untuk tangguh melawan diskriminasi pasar dan krisis iklim. Sebagai hasil, para petani kopi di Karangkobar kini bukan hanya sanggup menjual hasil panen dalam bentuk ceri kopi, melainkan juga berupa green bean (biji kopi mentah), roasted beans (biji kopi sangrai), maupun bubuk kopi dalam kemasan.

Senada dengan Lia, Wiwik memperkirakan, panen kopi sepanjang tahun ini tak akan bisa sebaik 2020-2021 ketika cuaca masih mendukung.

Berkaca dari 2024, Wiwik memprediksi panen kopi tahun ini sekitar 4 ton ceri. Angka ini jauh menurun jika dibandingkan panen 2020 dan 2021, mencapai 11 ton dari 2.000 pohon kopi.

”Jadi, panen paling bagus memang terjadi 2020 dan 2021. Waktu itu, musimnya masih sesuai siklus. Ada musim penghujan dan kemarau secara normal,” katanya.

Wiwik meyakini betul, penurunan drastis hasil panen kopi karena perubahan iklim.

Sebelum cuaca ekstrem melanda, hasil panen dari satu pohon bisa mencapai 15–20 kg ceri kopi. Total, dia bisa panen sampai 11 ton dalam setahun.

“Bayangkan saja, satu pohon bisa menghasilkan 15-20 kg. Dengan 2.000 pohon, panen bisa sampai 11 ton. Saat itu, harga ceri kopi kisaran Rp 8.500-Rp 9.000 per kg. Saya bisa dapat hampir Rp 100 juta dalam setahun,” ujarnya.

Kondisi berubah drastis sejak 2022. Saat itu, hujan terjadi hampir setiap hari akibat puncak fenomena La Nina. Cahaya Matahari penuh baru muncul pada Agustus.

Dampaknya, satu pohon kopi hanya mampu menghasilkan 0,5-1 kg ceri. Total panen setahun hanya 1,2 ton atau turun lebih 80 persen dibandingkan dua tahun sebelumnya.

“Saya masih ingat, sepanjang 2022, hampir tidak ada jeda hujan hingga Juli di Karangkobar. Padahal,  dalam kondisi normal, tanaman kopi mulai berbunga sekitar akhir Februari atau awal Maret, saat musim hujan mulai mereda dan masuk ke kemarau. Matahari saat itu bahkan hanya muncul pada Agustus,” kata Wiwik, dengan mengernyitkan dahi.

"Saat iklim berubah, produksi bahkan bisa turun hingga 90 persen."

Menurut dia, hujan sepanjang tahun mengubah siklus bunga dan buah tanaman kopi. Dalam kondisi normal, tanaman kopi mulai berbunga akhir Februari atau awal Maret, saat hujan mulai reda menuju kemarau.

“Adanya hujan sepanjang tahun berdampak signifikan pada proses pembuahan kopi. Jadi, sebelum dan sesudah perubahan cuaca, hasil panen sangat berbeda. Saat iklim berubah, produksi bahkan bisa turun hingga 90 persen. Belakangan cuaca lebih bersahabat, tapi hasil panennya belum bisa seperti sedia kala,” katanya.

Meski harga kopi di pasaran sempat mengalami kenaikan karena produksi turun, kata Wiwik, pendapatan petani tetap belum seperti ketika panenan bagus.

”Harga ceri kopi sekarang memang naik jadi Rp 15.000–Rp 18.000 per kg, tapi hasil panen kan turun jadi 4 ton. Nominalnya, belum sebaik sebelum terdampak perubahan iklim.”

Saat Pemprosesan Kopi Terdampak iklim

Perubahan iklim turut mempengaruhi pemprosesan ceri kopi para petani perempuan Lady Farmer Coffee Karangkobar. Kelembapan tinggi dan hujan terus-menerus membuat proses pengeringan terganggu, terutama untuk metode natural dan honey.

Dua perempuan petani kopi anggota Lady Farmer Coffee tengah memilah biji kopi sesuai kualitas di sekretariat kelompok tersebut di Desa Ambal, Karangkobar, Banjarnegara pada Minggu (9/3/2025). Dengan hadirnya kelompok itu sejak 2015, sebagian perempuan petani kopi di Karangkobar menjadi bukan hanya menjual hasil panen berupa buah ceri kopi, melainkan juga produk pascapanen, termasuk green bean (biji kopi mentah), roasted beans (biji kopi sangrai), maupun bubuk kopi dalam kemasan.
KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI
Dua perempuan petani kopi anggota Lady Farmer Coffee tengah memilah biji kopi sesuai kualitas di sekretariat kelompok tersebut di Desa Ambal, Karangkobar, Banjarnegara pada Minggu (9/3/2025). Dengan hadirnya kelompok itu sejak 2015, sebagian perempuan petani kopi di Karangkobar menjadi bukan hanya menjual hasil panen berupa buah ceri kopi, melainkan juga produk pascapanen, termasuk green bean (biji kopi mentah), roasted beans (biji kopi sangrai), maupun bubuk kopi dalam kemasan.

”Kami benar-benar merasakan betapa lamanya proses mengubah buah kopi merah menjadi biji kopi hijau, terutama saat cuaca tak menentu,” ucap Wiwik.

Dia menjelaskan, dalam kondisi cuaca cerah, proses pencucian kopi biasanya memakan waktu sekitar 7-10 hari. Namun, saat hujan terus menerus turun, proses ini bisa mundur hingga tiga pekan.

Begitu pula untuk metode honey process. Dalam cuaca panas, proses ini bisa selesai dalam waktu sebulan. Tapi kalau hujan terus-menerus, durasinya bisa molor hingga dua bulan.

“Karena biji kopinya hanya terkena angin tanpa sinar matahari langsung,” katanya.

Pengeringan tidak merata bisa pula menyebabkan cacat biji, seperti biji pecah atau terlalu asam.

Kondisi lembap juga dapat meningkatkan risiko munculnya jamur pada biji kopi yang tengah diproses.

“Jamur bisa muncul karena kelembapan tinggi akibat hujan terus. Ini yang harus benar-benar kami waspadai selama proses pengolahan.”

Begitu juga, petani kini terpaksa harus waspada terhadap kehadiran hama gudang --seperti kumbang kopi-- karena cenderung lebih aktif pada suhu yang lebih hangat maupun lembap.

Pada gilirannya, kata Wiwik, para petani harus tambah beban karena biaya dan tenaga yang meningkat dalam pemprosesan ceri kopi akibat krisis iklim.

Lady Farmer Coffee berupaya membantu petani, salah satu dengan menginisiasi pemasangan panel surya untuk menunjang proses produksi para anggota. Setidaknya, untuk pengeringan, petani sudah terbantu dengan listrik energi terbarukan itu.

Ketua Masyarakat Peduli Indikasi Geografis (MPIG) Banjarnegara, Turno (53) saat difoto pada Kamis (27/3/2025). Petani kopi yang juga menjadi Ketua Koperasi Sikopel Mitreka Satata di Babadan, Pagentan tersebut mengaku selama bertahun-tahun harus menghadapi bagaimana musim mulai bergeser, cuaca semakin sulit diprediksi, dan pola tanam yang dulu bisa diandalkan tak lagi pasti akibat krisis iklim. Situasai itu akhirnya berdampak pada produktivitas petani, terlebih pada 2022 dan 2023.
KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI
Ketua Masyarakat Peduli Indikasi Geografis (MPIG) Banjarnegara, Turno (53) saat difoto pada Kamis (27/3/2025). Petani kopi yang juga menjadi Ketua Koperasi Sikopel Mitreka Satata di Babadan, Pagentan tersebut mengaku selama bertahun-tahun harus menghadapi bagaimana musim mulai bergeser, cuaca semakin sulit diprediksi, dan pola tanam yang dulu bisa diandalkan tak lagi pasti akibat krisis iklim. Situasai itu akhirnya berdampak pada produktivitas petani, terlebih pada 2022 dan 2023.

"Kalau petani di sini menyebutnya sekarang itu sering salah mangsa, yang seharusnya musim kemarau, tapi masih atau sudah hujan, maupun sebaliknya."

Petani kopi lain di Banjarnegara juga merasakan hal serupa. Ketua Masyarakat Peduli Indikasi Geografis (MPIG) Banjarnegara, Turno (53), mengatakan musim tidak stabil menyebabkan pergeseran masa panen kopi.

”Bukan hanya di Banjarnegara, petani kopi di daerah lain juga keluhkan masalah serupa. Kalau petani di sini menyebutnya sekarang itu sering salah mangsa, yang seharusnya musim kemarau, tapi masih atau sudah hujan, maupun sebaliknya,” katanya, Kamis (27/3/25).

Turno sudah menanam kopi arabika sejak 2011 di lahan seluas 2 hektar tak jauh dari rumah di Desa Babadan, Pagentan. Wilayahnya berada di ketinggian sekitar 1.200 mdpl, berjarak 40 menit dari Kawasan Dataran Tinggi Dieng.

”Kalau mau dikata, dampak perubahan iklim sebenarnya bukan baru dirasakan petani sekarang. Bahkan 10 tahun terakhir sudah ada banyak hal yang berubah!” ucap Turno dengan nada meninggi.

Selama bertahun-tahun, dia menghadapi bagaimana musim mulai bergeser, cuaca semakin sulit diprediksi, dan pola tanam yang dulu bisa diandalkan tak lagi pasti. Situasi itu akhirnya berdampak pada produktivitas petani, terlebih pada 2022 dan 2023.

Turno ingat betul, tiga tahun lalu, hujan berkepanjangan menimbulkan sejumlah kerugian, termasuk proses pembungaan dan pembuahan tanaman kopi jadi terganggu, lebih banyak buah kopi ditemukan busuk di pohon, hingga ancaman pembusukan akar.

Pada 2023, cuaca justu berbalik menjadi panas dalam waktu lama, membuat tanaman kopi mengalami stres dan kesulitan tumbuh dengan optimal. Daun-daun menguning, menggulung, atau bahkan rontok, serta mengganggu pula proses pembentukan bunga dan buah.

”Tahun 2022,  cuacanya ekstrem, hujan terus. Petani untuk tanaman buah yang kaitannya dengan bunga jelas mengeluh. Nah, tahun berikutnya malah kering banget. Tahun 2023, panasnya banter (ekstrem), hujan kurang. Jadi buahnya juga enggak banyak,” katanya.

Sedangkan pada 2024, kata Turno, cuaca terpantau relatif stabil. Panen kopi pun cukup menggembirakan. Produksi kopi Turno tahun itu melonjak tajam, mencapai 200–300 persen dibanding dengan dua tahun sebelumnya.

Meski begitu, jumlah itu tetap belum sebaik pada 2021 atau tahun sebelum-sebelumnya ketika cuaca masih lebih bersahabat.

”Panen 2024 itu baru sekitar 60-90 persen dari tahun-tahun sebelum 2022, seperti 2019, 2020, atau 2021. Tanaman kopi belum bisa lagi menghasilkan rata-rata 6-10 kg ceri kopi per pohon dalam sekali panen,” jelasnya.

Turno menyebut, perubahan iklim juga memberatkan upaya para petani kopi dalam melawan serangan hama dan penyakit tanaman. Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Koperasi Sikopel Mitreka Satata di Babadan itu mengatakan, perkembangan hama seperti uret (larva kumbang) dan penyakit karat daun semakin sulit dikendalikan.

"Petani alhasil harus lebih sering melakukan perawatan, termasuk pemupukan dan pemangkasan, agar tanaman tetap produktif.”

Selama ini, katanya,  ia telah beberapa kali mendiskusikan persoalan perubahan iklim dengan para petani lain. Para petani pada hakikatnya siap untuk melakukan langkah adaptasi dan bersama-sama melawan krisis iklim.

Turno juga memastikan MPIG maupun Koperasi Sikopel Mitreka Satata melibatkan para petani perempuan dalam aktivitas kelompok atau organisasi.

”Di kami itu, sekarang ya 60-70 persen pengolahan kopi berada di tangan ibu-ibu. Kami bagi tugas. Bapak-bapak lebih ke proses penanaman dan perawatan kebun. Sedangkan pekerjaan pemetikan, sortir, dan proses pascapanen lainnya ditangani ibu-ibu.”

Koperasi Sikopel Mitreka Satata tidak pernah membeda-bedakan asal kopi yang ditampung, baik dari petani laki-laki maupun perempuan. Penetapan harga buah kopi atau biji kopi murni sepenuhnya berdasarkan kualitas atau grade, bukan pada siapa yang menanam atau memanennya.

"Zaman sekarang sudah tidak relevan lagi melakukan praktik diskriminasi. Kita semua harus saling bekerja sama."

Justru, pelibatan perempuan dalam koperasi memberikan banyak manfaat. Salah satunya, koperasi dapat memenuhi persyaratan dari pembeli luar negeri yang secara spesifik menginginkan produk dari perusahaan yang mempekerjakan perempuan, serta memastikan mereka menerima upah di atas UMR.

”Kami kebetulan sudah sejak awal melibatkan petani perempuan dalam sistem kerja. Jadi, ketika ada buyer dari luar negeri yang mensyaratkan perusahaan harus mempekerjakan perempuan dan mengupah layak, kami tidak perlu repot menyesuaikan apalagi sampai mengada-ada. Kata saya, zaman sekarang sudah tidak relevan lagi melakukan praktik diskriminasi. Kita semua harus saling bekerja sama,” terang Turno.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjarnegara, Jawa Tengah, membenarkan iklim tak menentu dalam beberapa tahun terakhir telah berdampak signifikan terhadap produktivitas kopi para petani.

Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Ketahanan Pangan Kabupaten Banjarnegara, Firman Sapta Ady, mengungkapkan cuaca ekstrem seperti hujan berkepanjangan atau kekeringan pada 2022 dan 2023 dapat menurunkan hasil panen kopi hingga 30 persen.

Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Ketahanan Pangan Kabupaten Banjarnegara, Firman Sapta Ady, saat difoto di ruang kerjanya pada Senin (24/3/2024). Dalam kesempatan wawancara, ia mengungkapkan cuaca ekstrem seperti hujan berkepanjangan atau kekeringan pada 2022 dan 2023 dapat menurunkan hasil panen kopi hingga 30 persen. KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI
KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI
Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Ketahanan Pangan Kabupaten Banjarnegara, Firman Sapta Ady, saat difoto di ruang kerjanya pada Senin (24/3/2024). Dalam kesempatan wawancara, ia mengungkapkan cuaca ekstrem seperti hujan berkepanjangan atau kekeringan pada 2022 dan 2023 dapat menurunkan hasil panen kopi hingga 30 persen. KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI

”Kalau terlalu panas, daun kopi mengering dan meranggas. Sebaliknya, hujan berlebihan membuat buah dan bunga rontok. Ini berdampak pada penurunan produksi," katanya, saat ditemui di ruang kerjanya.

Dia menyebut, kebun kopi jenis arabika di Banjarnegara belakangan hanya menghasilkan rata-rata 0,7 ton per hektar per tahun. Sedangkan kebun kopi jenis robusta sekitar 0,5 ton per hektar per tahun.

Kalau tak terdampak perubahan iklim, dia meyakini panen bisa lebih tinggi. Misal, potensi panen kopi arabika bisa saja mencapai 1 ton per hektar per tahun.

Untungnya, kata Firman, harga kopi terpantau masih stabil tinggi di pasar lokal dalam empat tahun terakhir. Harga green bean kopi robusta masih kisaran Rp80.000-Rp95.000 per kg. Sementara green bean kopi arabika Rp115.000-Rp130.000 per kg.

Meski begitu, ketidakstabilan iklim tak boleh dibiarkan begitu saja. Perubahan iklim mengancam keberlanjutan usaha tani kopi terutama petani kecil yang mengandalkan hasil panen sebagai sumber utama penghidupan.

Dinas Pertanian telah melakukan sejumlah upaya mendukung para petani kopi menghadapi persoalan itu. Dia memastikan, para penyuluh pertanian di setiap kecamatan telah diminta terus memberikan pengetahuan dan keterampilan terbaru bagi petani untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.

Itu termasuk teknik pemangkasan, pemupukan organik, penggunaan tanaman penaung, hingga pengendalian hama atau penyakit yang kian mengancam.

Pemkab bersyukur telah menerima dukungan pelaksanaan proyek UPLAND dibiayai Islamic Development Bank (IsDB) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) Rp 99 miliar periode 2021–2026.

Lewat proyek itu, para petani kopi di Banjarnegara terbantu untuk bangun infrastruktur pendukung seperti jalan usaha tani, irigasi perpompaan, dan rumah pengolahan kopi. Dalam kegiatan ini juga disediakan bibit unggul dan pelatihan budidaya adaptif.

Proyek UPLAND di Banjarnegara fokus pengembangan integrasi tanaman kopi dan ternak (kambing dan ternak domba Batur) bagi para petani di Dataran Tinggi Kecamatan Kalibening, Batur, Pejawaran, dan Pagentan.

Meski tantangan iklim terus meningkat, kata Firman, Pemkab terus menjaga dan membagikan optimisme kepada para petani kopi. Dia menyebut, luas lahan kopi di Banjarnegara berhasil ditingkatkan dalam beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan data Badan Pusat Statustik (BPS) tahun 2022, luas kebun kopi di Banjarnegara pada 2021 mencapai 3.103,83 hektar. Pada 2023, kata Firman, bertambah jadi 3.500-an hektar dan pada 2024 jadi 4.200 hektar.

Meski demikian, angka ini masih terbilang sedikit ketimbang luas lahan non sawah yang mencapai 72.140 hektar. 

"Kami berkomitmen mendorong kopi sebagai komoditas berkelanjutan, bukan hanya untuk ekonomi, juga pelestarian lingkungan mengingat tanaman tersebut merupakan tanaman tahunan, bukan tanaman semusim," kata Firman.

Dia mengatakan, kopi Banjarnegara  berpotensi memasuki pasar internasional karena memiliki kualitas baik yang tidak kalah dengan daerah penghasil kopi lain seperti Gayo, Toraja Mandailing, Flores, Lampung, dan lain-lain.

Produk kopi dari Banjarnegara, baik arabika maupun robusta, nyatanya beberapa kali masuk dalam jajaran kopi berkualitas dalam berbagai kontes kopi nasional.

Menanam Pohon Peneduh, Meninggalkan Kimia

Krisis iklim berdampak nyata bagi para petani kopi, seperti yang terjadi di Banjanegara. Atas persoalan tersebut, Lady Farmer Coffe, sebagai kelompok para perempuan yang bergiat dalam pertanian kopi, tidak mau tinggal diam.

Mereka berupaya mencari cara untuk bisa menghadapi dan menyiasati dampak dari perubahan iklim ini.

Banyak upaya mereka telah lakukan, antara lain menyusun kebijakan untuk para anggota agar tak lagi memanfaatkan pupuk kimia.

Salah satu anggota Lady Farmer Coffee tengah memproses biji kopi hasil panen mereka di sekretariat kelompok tersebut di Desa Ambal, Karangkobar, Banjarnegara pada Minggu (9/3/2025). Dengan hadirnya kelompok itu sejak 2015, sebagian perempuan petani kopi di Karangkobar menjadi bukan hanya sanggup menjual hasil panen dalam wujud buah ceri kopi, melainkan juga produk pascapanen, termasuk green bean (biji kopi mentah), roasted beans (biji kopi sangrai), maupun bubuk kopi dalam kemasan.
KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI
Salah satu anggota Lady Farmer Coffee tengah memproses biji kopi hasil panen mereka di sekretariat kelompok tersebut di Desa Ambal, Karangkobar, Banjarnegara pada Minggu (9/3/2025). Dengan hadirnya kelompok itu sejak 2015, sebagian perempuan petani kopi di Karangkobar menjadi bukan hanya sanggup menjual hasil panen dalam wujud buah ceri kopi, melainkan juga produk pascapanen, termasuk green bean (biji kopi mentah), roasted beans (biji kopi sangrai), maupun bubuk kopi dalam kemasan.

”Terlalu sering memakai pupuk kimia bisa merusak kesuburan tanah alami. Akibatnya, petani jadi terus-menerus bergantung pada pupuk kimia, yang artinya penggunaan dan dampaknya makin besar,”  kata Farida Dwi Ermawati alias Wiwik, Koordinator Lady Farmer Coffee di Karangkobar.

Dia katakan, penggunaan pupuk kimia memang terbilang lebih praktis ketimbang pupuk organik atau pupuk kandang. Namun, Lady Farmer Coffee memandang, pemanfaatan pupuk kimia berdampak besar memicu krisis iklim.

Salah satu alasannya karena pupuk kimia, terutama yang mengandung nitrogen, dapat menyebabkan pelepasan gas rumah kaca bernama nitrous oxide (N₂O). Gas ini memiliki kekuatan pemanasan jauh lebih tinggi dibanding karbon dioksida (CO₂), sehingga turut mempercepat pemanasan global.

Selain itu, proses produksi pupuk kimia di pabrik juga menyumbang emisi karbon. Pupuk ini dibuat dengan menggunakan gas alam sebagai salah satu bentuk energi fosil. Selama prosesnya, banyak CO₂ dilepas ke atmosfer, menambah beban emisi gas rumah kaca dunia.

Kekhawatiran Lady Farmer Coffee tak berhenti di situ. Mereka juga melihat penggunaan pupuk kimia berdampak jangka panjang pada kesehatan tanah, tanaman, air, hingga manusia.

Penggunaan pupuk kimia terus-menerus, jelas Wiwik, dapat merusak kesuburan tanah alami karena mengganggu keseimbangan unsur hara seperti nitrogen, fosfor, kalium, hingga magnesium. Akibatnya, petani makin tergantung pada pupuk kimia, membentuk lingkaran yang sulit diputus.

Tak hanya mengurangi kesuburan tanah, Lady Farmer Coffee berpandangan, penggunaan pupuk kima bisa berdampak pada pencemaran air, pencemaran udara, serta memunculkan strain baru hama dan penyakit tanaman.

Mereka mencemaskan pupuk kimia dapat larut bersama air hujan dan mengalir menuju sungai hingga menyebabkan polusi dan mengganggu ekosistem di dalamnya.

”Jadi, sayang banget kalau kita ingin hasil kebun maksimal tapi ada yang harus dikorbankan. Kebun saya kebetulan juga ada yang dekat dengan sumber air. Jadi sedari awal tanam, saya memang tidak mau untuk memakai pupuk kimia meski ada subsidi,” katanya.

Lagi pula, Wiwik mendapati pemanfaatan pupuk kandang dan bukan pupuk pabrikan tetap menunjang hasil panen kopinya selama ini.

"Jika kita memilih menggunakan pupuk kimia, ya sama saja kita ikut menyumbang krisis iklim dan akhirnya kita juga yang rugi!"

Dia pun berharap semangat dari perempuan petani kopi yang tergabung dalam Lady Farmer Coffee Karangkobar ini bisa menular kapada petani kopi lain secara umum.

”Di kopi memang tidak ada perbedaan harga antara hasil pertanian organik atau anorganik. Kalau di beras, yang organik kan bisa lebih mahal ya? Meski begitu, kami tetap akan mendorong pemakaian pupuk organik ini demi kebaikan”.

Wiwik pernah pula mendiskusikan pentingnya pemakaian pupuk organik dan pestisida alami dengan petani kopi di luar Lady Farmer Coffee. Dia berharap,  para petani lain bisa berjuang bersama dalam upaya melawan krisis iklim.

”Saya sering mengatakan ke petani ’jika kita memilih menggunakan pupuk kimia, ya sama saja kita ikut menyumbang krisis iklim dan akhirnya kita juga yang rugi!’,” ucapnya.

Pengurus Lady Farmer Coffee juga sudah sering mengampanyekan pelestarian pohon peneduh dan pengelolaan air secara bijak sebagai upaya dalam menyiasasi perubahan iklim.

Menanam atau mempertahankan pohon peneduh di sekitar kebun kopi kini penting untuk mengimbangi intensitas hujan yang berlebihan dan penyinaran matahari yang terlalu tinggi. 

Di samping itu, pohon peneduh dianggap dapat membantu menjaga kelembaban tanah, mengurangi erosi, dan menciptakan mikroklimat yang lebih stabil. Hal ini dapat membantu menjaga hasil panen kopi secara berkelanjutan. 

Sementara pengelolaan air yang baik bisa membantu petani saat musim kemarau dan mencegah limpasan air saat hujan deras.

Beberapa anggota Lady Farmer Coffe pun kini telah menjalin kerja sama dengan Perhutani. Mereka mendapatkan izin untuk menanam pohon kopi di tengah-tengah pohon karet yang sudah lebih dulu tumbuh tinggi menjulang.

“Sekarang memang sebaiknya menanam kopi seperti ini,” ujar Wiwik sambil menunjukkan tanaman kopi yang tumbuh subur kepada Kompas.com.

Awal Maret lalu, tanaman kopi di salah satu lahan Perhutani terlihat sehat dan produktif. Buahnya tampak segar berwarna hijau cerah, tanpa tanda-tanda pembusukan. Daunnya pun relatif bersih, hanya sedikit yang rusak akibat hama.

Terasa langsung, pohon-pohon karet yang mengelilingi turut berperan dalam mengurangi terpaan angin langsung ke tanaman kopi dan membantu menciptakan iklim yang lebih sejuk dan terlindungi. Terik matahari lebih dulu menghantam daun, ranting, dan batang pohon karet yang tinggi.

Kerja Bersama Menghadapi Cuaca

Ahli hama dan penyakit tanaman dari Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Loekas Soesanto, menjelaskan setiap jenis tanaman memiliki kebutuhan iklim yang berbeda-beda agar dapat tumbuh optimal. Hal ini juga berlaku bagi tanaman kopi.

Menurut dia, kopi arabika idealnya tumbuh di daerah dengan ketinggian antara 1.000-2.000 mdpl dan membutuhkan suhu sejuk berkisar antara 15-24 derajat Celsius.

Sementara itu, kopi Robusta lebih cocok di daerah lebih rendah, pada ketinggian 200-900 mdpl, dengan suhu udara sedikit lebih hangat, sekitar 24-29 derajat Celsius.

Kesesuaian antara jenis tanaman kopi dan iklim tempat tumbuhnya sangat menentukan kualitas dan produktivitas kopi itu sendiri.

Kenaikan suhu dan pola hujan yang tidak menentu, katanya, dapat memengaruhi pertumbuhan, hasil panen, serta meningkatkan serangan hama dan penyakit pada kopi

"Jika suhu meningkat, fotosintesis terganggu, penguapan air lebih tinggi, dan tanaman menjadi lebih rentan layu," katanya.

Begitu pula curah hujan berlebih saat fase berbunga dapat menyebabkan bunga rontok, dan kelembaban tinggi bisa pula memicu perkembangan penyakit seperti karat daun dan antraknosa pada buah kopi.

"Buah yang seharusnya matang justru membusuk sebelum dipanen," jelas Loekas.

Bahkan, katanya, dengan perubahan iklim, terdapat perpindahan hama dan penyakit, yakni dari yang dulu di satu lingkungan tertentu tidak ada, lalu menjadi ada.

Perubahan iklim juga mengubah ekosistem dan ekologi. Perubahan suhu atau kelembapan misalnya dapat berpengaruh terhadap ekologi.

Sebagai contoh, perubahan hama dan penyakit yang ada belum dapat ditanggulangi dengan predator alami, karena predator pun belum siap meghadapi perubahan iklim tersebut.

Pada gilirannya, Loekas mengingatkan, berbagai hal itu tersebut bisa berakibat pada penurunan produksi biji kopi, baik dari segi ukuran maupun jumlah.

Dia pun menegaskan, perubahan iklim bukanlah persoalan satu pihak saja, melainkan tantangan bersama yang harus dihadapi secara kolektif.

“Perubahan iklim ini dampaknya nyata, terutama bagi sektor pertanian seperti kopi. Karena itu, kita semua pihak harus ambil bagian dalam menghadapinya. Kolaborasi adalah kunci untuk menjaga ketahanan pangan dan keberlanjutan produksi pertanian ke depan,” ujarnya.

Menurut Loekas, satu peran penting pemerintah adalah menyediakan teknologi tepat guna yang bisa membantu petani beradaptasi, seperti dalam hal pengairan, pemantauan cuaca, hingga pemilihan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan iklim.

Dengan dukungan teknologi dan kebijakan yang berpihak, petani kopi diharapkan bisa lebih siap menghadapi tantangan iklim, menjaga produktivitas, dan memastikan keberlanjutan usaha tani mereka. 

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, juga mengatakan, menghadapi dampak perubahan iklim membutuhkan kekuatan kolektif di tingkat akar rumput. Salah satu langkah strategis yang perlu diperkuat sekarang adalah pengorganisasian petani dalam kelompok atau organisasi tani.

“Ketika petani bergerak sendiri-sendiri, mereka akan lebih rentan terhadap risiko iklim, baik kekeringan berkepanjangan maupun curah hujan ekstrem. Tapi jika para petani tergabung dalam kelompok atau organisasi, mereka diharapkan bisa saling belajar, berbagi informasi, merumuskan strategi adaptasi bersama, bahkan memperkuat posisi tawar mereka terhadap pasar maupun kebijakan pemerintah,” ujar Dewi.

Melalui kelembagaan petani yang kuat, akses terhadap pelatihan, inovasi teknologi, serta program bantuan pemerintah maupun pihak lain bisa lebih merata dan tepat sasaran.

“Organisasi tani adalah wadah solidaritas sekaligus kekuatan politik rakyat desa untuk bertahan dan berdaulat di tengah krisis iklim yang makin kompleks”. 

Perempuan Menghadapi Diskriminasi Pasar

Sembari merawat alam demi masa depan pertanian yang lebih berkelanjutan, Lady Farmer Coffee juga tak melupakan akar perjuangan mereka dalam mendorong pemenuhan hak dan peran perempuan petani kopi.

Berkat gagasan Wiwik bersama sepupunya, Lady Farmer Coffee sendiri lahir pada 2015. Mereka ingin menjawab satu persoalan yang jarang disuarakan, yakni rendahnya posisi tawar petani perempuan dalam rantai pasok kopi.

Wiwik mulanya menemukan petani perempuan, sebagian besar adalah ibu-ibu dan lansia, kerap menjadi pihak yang paling dirugikan.

Ceri kopi yang mereka hasilkan seringkali dihargai tak layak, bahkan pernah hanya Rp3.000 per kg atau jauh dari harga pasar yang bisa Rp7.000 per kg, kala itu.

Kondisi serupa juga dialami para buruh pemetik kopi perempuan, hanya dibayar Rp1.000–Rp2.000 per kg buah yang mereka petik.

"Di daerah kami, petani perempuan, prosesor kopi perempuan, belum bisa diterima di masyarakat."

Wiwik menyaksikan langsung perempuan petani kopi sering menjadi korban penipuan dalam harga jual dan minimnya akses edukasi mengenai budidaya maupun proses pascapanen.

Dia resah dengan realitas perempuan masih dipandang sebelah mata dalam urusan pengolahan kopi.

"Di daerah kami, petani perempuan, prosesor kopi perempuan, belum bisa diterima di masyarakat. ’Apa perempuan sanggup ikut bermain di industri kopi?’ ucap Wiwik, mencoba menirukan perkataan dari petani kopi laki-laki yang pernah dia dengar sendiri.

Padahal, katanya, perempuan sebenarnya berperan penting dalam industri kopi. Persoalannya, masyarakatlah yang selama ini kurang menyadari kontribusi itu.

”Pemilik kebun kopi saja kerap menggunakan jasa perempuan saat proses pemetikan, penjemuran, dan sortasi. Jadi sebaiknya tidak mengecilkan peran perempuan,” ujarnya.

Lewat Lady Farmer Coffee, dia ingin menjadikan para perempuan petani kopi di Karangkobar,  memperkuat diri dan berdaya.

”Di kelompok, kami telah belajar banyak hal soal kopi secara bersama-sama. Kami memulai langkah dengan mendalami pemasaran kopi. Kami mencari tahu mengenai jenis kopi yang diminati pasar, standar kualitas, hingga sistem grading. Jadi kami coba menemukan tempat dulu untuk menampung atau menerima hasil panen kami,” jelas Wiwik.

Bahkan, mereka telah melakukan uji lab di Bandung untuk memastikan kualitas biji kopinya. "Kami juga sudah belajar mengolah dan menjual bubuk kopi siap seduh, hingga pemasaran online.”

Sementara para perempuan petani kopi di Lady Farmer Cofffe semakin berdikari, ada pihak lain yang dibuat ”waswas”. Wiwik menyebut, ada saja gesekan dengan para pembeli atau pengepul kopi karena petani perempuan tak lagi bisa diperdaya dengan harga beli murah.

Kondisi buah kopi di pohon yang ditanam oleh anggota Lady Farmer Coffee di lahan Perhutani yang telah lebih dulu diisi oleh pohon karet di Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah pada Minggu (9/3/2024). Pohon-pohon kopi di sana cenderung menghasilkan buah dengan kualitas baik. Pengurus Lady Farmer Coffee memang sudah sering mengampanyekan pelestarian pohon peneduh sebagai upaya dalam menyiasasi perubahan iklim. Menanam atau mempertahankan pohon peneduh di sekitar kebun kopi kini penting untuk mengurangi intensitas hujan yang berlebihan dan penyinaran matahari yang terlalu tinggi. Di samping itu, pohon peneduh dianggap dapat membantu menjaga kelembaban tanah, mengurangi erosi, dan menciptakan mikroklimat yang lebih stabil. Hal ini dapat membantu menjaga hasil panen kopi secara berkelanjutan.
KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI
Kondisi buah kopi di pohon yang ditanam oleh anggota Lady Farmer Coffee di lahan Perhutani yang telah lebih dulu diisi oleh pohon karet di Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah pada Minggu (9/3/2024). Pohon-pohon kopi di sana cenderung menghasilkan buah dengan kualitas baik. Pengurus Lady Farmer Coffee memang sudah sering mengampanyekan pelestarian pohon peneduh sebagai upaya dalam menyiasasi perubahan iklim. Menanam atau mempertahankan pohon peneduh di sekitar kebun kopi kini penting untuk mengurangi intensitas hujan yang berlebihan dan penyinaran matahari yang terlalu tinggi. Di samping itu, pohon peneduh dianggap dapat membantu menjaga kelembaban tanah, mengurangi erosi, dan menciptakan mikroklimat yang lebih stabil. Hal ini dapat membantu menjaga hasil panen kopi secara berkelanjutan.

"Pada bilang, ’sudahlah tinggal saja (petani lain), ngapain kamu mau kayak gitu (berkelompok), kamu tuh capek, kamu siapa kok berani-beraninya ngajarin, aku rugi," kenang Wiwik menirukan omongan  orang-orang yang menentang perjuangannya.

Kini, anggota Lady Farmer Coffee ada 20 orang. Melalui kelompok itu, para perempuan petani kopi di Karangkobar sekarang bukan hanya sanggup menjual hasil panen dalam bentuk ceri kopi, melainkan juga berupa green bean (biji kopi mentah), roasted beans (biji kopi sangrai), maupun bubuk kopi dalam kemasan.

Di samping menyuplai kebutuhan bahan baku kopi untuk kedai-kedai kopi di Banjarnagera dan daerah sekitar, Lady Farmer Coffee juga rutin menerima order dari perusahaan maupun lewat platform digital.

Dengan demikian, pesanan yang mereka terima kini tak lagi dalam hitungan kilogram, tetapi bisa kwintal atau ton-tonan per bulan.

Wiwik menyebut, Lady Farmer Cofffe sempat pula menerima pesanan untuk mengekspor biji kopi ke Singapura dan Australia. Sayangnya, mereka belum sanggup.

Para petani belum bisa mengimbangi permintaan pasar yang tinggi karena hasil panen kopi sedang menyusut akibat perubahan iklim.

Wiwik bercerita, Lady Farmer Coffee kini juga menyusun rencana matang untuk membangun coffee center, yakni pusat edukasi dan pengolahan kopi yang bisa diakses masyarakat luas di Karangkobar.

Rencana besar ini bukan hanya bertujuan untuk menyediakan tempat pascapanen, tetapi juga ruang belajar bagi siapa saja yang ingin memahami kopi dari hulu ke hilir.

Dia berharap di tempat itu siapa saja bisa belajar bersama cara mengolah kopi yang benar, termasuk teknik cupping dan roasting, hingga membuat pupuk organik dari limbah pertanian dan peternakan.

”Kami baru di tahap menyusun RAB (rencana anggaran biaya). Jadi, perjalanannya masih panjang untuk mendirikan coffee center ini. Tujuan atau harapan kami, coffee center nantinya bisa menjadi tempat tumbuhnya pengetahuan, pemberdayaan, dan kebermanfaatan yang lebih luas, melampaui batas kelompok,” kata Wiwik.

Dengan rencana pendirian coffee center, Lady Farmer Coffee ingin semakin membuktikan bahwa perempuan tak hanya mampu, tapi juga layak didengar, didukung, dan diperlakukan setara.

Mimpi mereka bukan semata soal menghadirkan kopi yang enak, melainkan juga mewujudkan keadilan, keberdayaan, dan masa depan lebih baik bagi para petani kopi perempuan.