Hidup segan, mati tak mau. Begitulah kondisi sebuah bangunan yang terletak di RW 007, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.
Bangunan itu sebenarnya memiliki tinggi 2,5 meter. Namun lumpur kering setebal hampir setengah meter menutupi seluruh ubin sehingga bangunan seolah perlahan ditelan bumi.
Dari luar, tembok tampak tidak dilapisi apapun. Batu bata telanjang yang semestinya berwarna oranye berubah kecokelatan. Sebagian malah berwarna hijau karena tertutup lumut.
Di tengah tembok, terdapat jendela kayu yang tertutup rapat. Di atasnya terpasang teralis berbahan sama.
Kondisinya tak kalah memprihatinkan. Warna cokelatnya sudah kusam. Bahkan, boleh jadi rayap telah habis memakan isinya.
Kesan bahwa rumah ini terbengkalai semakin kentara karena puing genteng dan kayu yang entah datang dari mana tertambat di sepanjang tembok.
Satu-satunya bagian bangunan yang mengizinkan kita berpikir bahwa rumah itu masih ditinggali manusia adalah atapnya yang berbahan asbes tampak masih kokoh.
Namun, rupanya asumsi itu pun salah.
“Rumah itu sudah ditinggal sama orangnya. Sudah capek dia kebanjiran terus,” tutur Maksum (61) saat Kompas.com menyambangi kawasan itu, Senin 14 Juni 2021.
Rawajati memang salah satu daerah langganan banjir di DKI Jakarta. Sebagian RT-nya terletak persis di bantaran Sungai Ciliwung.
Bila debit air sungai naik, air melimpas ke bantaran dan merendam apapun yang ada di sana. Bahkan, tak peduli apakah wilayah itu tengah diliputi hujan deras atau justru panas terik.
Patokannya ada di aliran sungai hulu. Maksum dan warga bantaran kali lainnya sudah ‘ngelotok’ soal itu.
Selain Rawajati, beberapa daerah tepi sungai lain di Ibu Kota juga bernasib sama. Antara lain Kampung Pulo, Cawang, Condet, Kali Angke dan Pesanggrahan.
Maka, kita tak akan sulit menemukan jejak banjir seperti bangunan yang ditunjuk Maksum di daerah-daerah itu.
Anda dapat membaca artikel ini secara runut atau memilih topik secara acak. Berikut ini pilihan menunya:
Bagian dari rutinitas ♦ Berharap dimanusiakan ♦ Hambatan Normalisasi ♦ Solusi untuk warga: Rusunawa ♦ Dari Transjakarta gratis hingga program pangan murah ♦ Video: Berjuang dan berdaya di rusunawa
Maksum tinggal di Rawajati sejak tahun 1985. Sementara banjir di kawasan tersebut sudah berlangsung jauh sebelum ia merantau ke sana.
Letak tempat tinggalnya hanya berjarak beberapa meter dari bibir sungai, tanpa penghalang. Tak heran ia menjadi salah satu korban banjir selama berpuluh tahun.
Baca juga: Penjelasan Lengkap Penyebab Banjir Jakarta, Curah Hujan Terekstrem hingga Sejarahnya
Maksum yang berprofesi sebagai penjual bubur ayam itu pun akhirnya turut merasakan seperti warga lainnya. Banjir menjadi bagian dari rutinitas kehidupan.
Meski sudah terbiasa, rutinitas itu cukup menjengkelkan. Bagaimana tidak, air bah yang datang setiap tahunnya merusak tempat ia dan keluarga berteduh.
Ia pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan setelah terjangan banjir.
“Mau gimana lagi? Ini rumah hasil jerih payah saya. Enggak ada tempat tinggal lain,” ujar Maksum saat ditanya mengapa tetap bertahan.
Sepengalamannya, banjir paling parah yang ia pernah rasakan adalah tahun 2007. Tinggi air di daerah permukimannya kala itu mencapai sembilan meter.
“Mau gimana lagi? Ini rumah hasil jerih payah saya. Enggak ada tempat tinggal lain,”
-Maksum-
Malang, ia tak sempat memindahkan perabotan di lantai satu rumahnya.
“Habis barang-barang semua keangkut air,” kenang Maksum.
Berkaca pada pengalaman itu, Maksum jadi enggan memiliki perabotan hingga saat ini, termasuk barang elektronik. Ia takut barang-barang tersebut menjadi cepat rusak karena banjir.
“Percuma juga, kena banjir. Punya kulkas juga percuma. Jadi, enggak punya barang elektronik kalau tinggal di sini. Kalau gerobak, ada,” ujar Maksum tertawa.
Saat pucuk kepemimpinan Ibu Kota berada di tangan Anies Baswedan, tepatnya akhir 2019, tanggul didirikan berjarak sekitar dua langkah saja dari rumahnya.
Namun, itu hanya tanggul sementara. Bahan dasarnya bukan semen atau beton, melainkan tumpukan karung berisi campuran pasir dan tanah.
Agar tumpukan karung berdiri kokoh, ditancapkan kayu untuk menahannya.
Tanggul sementara itu tentu tidak efektif menahan limpasan air bila debit air sungai di hulu naik. Keberadaannya hanya membantu untuk memfilter sampah berukuran besar agar tidak masuk ke kawasan permukiman.
Selebihnya, Maksum dan warga lain tetap kebanjiran.
Eni (39), eks warga bantaran Sungai Ciliwung di Kampung Melayu, Jakarta Timur, punya kenangan tak terlupakan saat banjir besar 2007 silam.
Bila saat itu Maksum tengah berduka lantaran barang elektroniknya hanyut terbawa banjir, Eni justru sedang berbahagia.
Saat itu, Eni adalah seorang calon pengantin wanita yang hendak dipersunting sang kekasih.
Ketika merancang acara pernikahan di rumahnya, sebenarnya ia telah mempertimbangkan bila banjir datang.
Baca juga: Demi Satukan Cinta, Resepsi Pernikahan Sejoli Ini Dilakukan di Tengah Banjir
Namun, atas pertimbangan biaya, Eni nekat menggelar acara pernikahan dengan segala risiko hidup di bantaran sungai.
Toh, menurut Eni sekeluarga, banjir adalah hal yang biasa. Kalaupun banjir tiba saat acara berlangsung, tidak terlalu banyak yang harus dibereskan.
Sebab, segala hal di rumah dua lantainya itu pada dasarnya telah didesain agar mudah dipindahkan.
“Banjirnya sepaha. Mana besan jauh dari Pekalongan, eh yang nyambut, banjir. Enggak terlupakan itu,”
-Eni-
Rupanya benar, banjir datang. Akhirnya, akad nikah beserta resepsinya tetap dilaksanakan dalam kondisi terendam.
“Banjirnya sepaha. Mana besan jauh dari Pekalongan, eh yang nyambut, banjir. Enggak terlupakan itu,” kenang Eni yang kini telah tinggal di rumah susun Pulogebang, Jakarta Timur.
“Dulu belum ada medsos sih. Jadi enggak terkenal,” lanjut dia tertawa.
Saking banjir sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, hampir seluruh warga di bantaran sungai memiliki rumah dua lantai.
Tujuannya, bila banjir tiba, mereka tinggal naik di lantai dua untuk berlindung. Perabotan yang sehari-hari diletakan di lantai bawah pun jadi memiliki tempat evakuasi sementara.
Bahkan, ada warga bantaran yang mendesain rumahnya antibanjir. Salah satunya warga yang bermukim di RW 004, Kelurahan Cipinang Melayu, Makasar, Jakarta Timur, tepatnya di bantaran Kali Sunter.
Di sana, banyak rumah yang memiliki desain panggung. Bahannya bervariasi. Ada yang menggunakan pondasi besi beton. Ada pula yang menggunakan kayu.
Zaenuddin (50) salah seorang warga mengatakan, rumahnya sengaja didesain panggung agar tidak perlu repot-repot memindahkan perabotan ketika banjir tiba.
“Untuk menghindari banjir sebenarnya. Jadi kami beberapa orang di sini masih rumah panggung,” kata Zaenuddin saat dijumpai Kompas.com di rumahnya, Rabu 16 Juni 2021.
Rumah panggung tempat tinggal Zaenuddin beserta keluarganya disangga tiang kayu. Untuk naik ke atas, disediakan tangga yang juga berbahan kayu.
Di dalam rumah, tak ada lagi barang elektronik yang diletakkan di lantai. Semuanya diletakkan di ‘tangkringan’, sebutan bagi rak kayu setinggi sekitar 50-60 sentimeter.
Selain barang elektronik, kasur lipat, pakaian dan beberapa perabotan lain juga diletakkan di ‘tangkringan’.
Zaenuddin juga tak memasang plafon di rumahnya. Bagian atap hanya ditutup tripleks. Sebab, ruang antara tripleks dengan atap itu digunakan untuk meletakkan dokumen-dokumen berharga.
“Kan biasanya ada plafon, nah ini kita itu untuk taruh surat-surat berharga biar enggak kena banjir,” tutur Zaenuddin.
Baca juga: Kisah Warga Kampung Pulo Saat Banjir, Pernah Terperosok hingga Menyusui di Atas Lemari
Meski sudah didesain sedemikian rupa, air bah tetap sulit ditaklukkan. Seiring waktu, jarak antara lantai rumah dengan permukaan tanah semakin menipis.
Belasan tahun lalu, jaraknya sekitar 1,2 meter. Namun, banjir datang membawa lumpur dan pasir.
Endapan lumpur lama-lama mengering sehingga memangkas jarak antara lantai rumah Zaenuddin dengan tanah menjadi sekitar 60 sentimeter saja.
“Harus dikeruk lagi kan ya karena banjir,” ungkap dia.
Bagi Maksum, Eni, Zaenuddin dan warga bantaran lainnya, solusi hidup tenteram-sekalipun bersifat sementara dan rapuh-sudah didapat. Selama belum ambruk, tidak ada persoalan.
Meski warga bantaran mengaku terbiasa, hidup dalam tradisi banjir sudah pasti bukan kemauan mereka. Terbebas dari banjir tetap menjadi angan-angan. Hanya saja, mereka tidak punya pilihan.
Maksum salah satunya. Sejujurnya, ia sudah lelah menghadapi banjir. Ia mendukung pemerintah untuk menanggulangi banjir.
Ia memastikan akan taat bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan normalisasi sungai dengan memindahkan manusia di atasnya ke tempat yang lebih baik.
Asalkan, program itu tidak merugikan dirinya dan warga lainnya.
“Kita namanya rakyat, nurut. Asalkan jangan dibuat susah. Kalau bisa dienakin, syukur. Harapannya ya dimanusiakanlah kita. Istilahnya ganti untung, bukan ganti rugi. Jadi hidup lebih baik,” ujar Maksum.
Baca juga: Tinggal di Bantaran Kali Ciliwung, Warga Siap Digusur Asal Diberi Ganti Rugi
“Kami mau minta kepastian. Dari tahun tahun yang lalu, kami selalu dibilangin, ada pembebasan ada pembebasan. Tapi enggak jadi jadi,”
-Sri-
Maksum sendiri pada tahun 2007 pernah mendapatkan tawaran dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar lahannya yang telah bersertifikat, dibebaskan.
“Tapi rencana itu hilang begitu saja. Rumah sudah diukur berkali-kali, tapi ya terus hilang. Beritanya muncul dan hilang. Kalau mau ditentukan, ya dilaksanakan saja,” tambah Maksum
Sri (61), tetangga Maksum juga menyatakan hal yang sama.
Program normalisasi sungai datang seperti banjir. Muncul beberapa saat, kemudian menghilang. Menyisakan tanda tanya bagi warga yang jenuh.
“Kami mau minta kepastian. Dari tahun tahun yang lalu, kami selalu dibilangin, ada pembebasan ada pembebasan. Tapi enggak jadi jadi,” ujar Sri.
Sementara itu, warga bantaran lain yang tinggal di Cipinang Melayu, Frangky (45), mengaku tak pernah punya pikiran untuk pindah meski selalu kelelahan melakukan evakuasi setiap kali banjir melanda.
Alasannya, ia khawatir akan kesulitan beradaptasi di lingkungan baru.
“Yang paling susah dari pindah rumah ke lingkungan baru itu adaptasinya kan. Itu loh yang butuh waktu. Di sini sudah enak sama warga sekitar enak,” tutur Frangky.
Namun bila pemerintah memang berencana menormalisasi sungai, ia pun tidak akan menolaknya.
Pemprov DKI Jakarta sepanjang sejarah sebenarnya tidak diam menghadapi banjir di daerah bantaran sungai.
Dari gubernur ke gubernur, sejumlah proyek dikerjakan, salah satunya menormalisasi sungai dan waduk.
Persoalannya tidak sesederhana itu. Di bantaran sungai, terdapat warga yang bermukim puluhan tahun lamanya.
Sebelum mengeruk dan memasang turap beton sekaligus tanggul sungai, pemerintah harus terlebih dahulu memindahkan manusia yang tinggal di sana.
Persoalan jadi tambah rumit karena Pemprov DKI secara hukum hanya diperbolehkan membebaskan lahan dengan cara ganti rugi pada lahan yang bersertifikat.
Baca juga: Anies Baswedan antara Janji Kampanye soal Penggusuran dan Urban Renewal
Sementara, warga yang tidak memiliki bukti kepemilikan, tidak bisa mendapatkan ganti rugi.
Tentu ini menimbulkan penolakan oleh warga, terutama mereka yang tidak memiliki bukti kepemilikan dan merasa sudah tinggal sejak lahir di sana.
Namun, nyatanya pada masa Gubernur Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, relokasi warga dari bantaran sungai ke rumah susun berhasil dilaksanakan.
Lihat saja wilayah Kampung Pulo dan Bukit Duri saat ini. Sungainya tertata rapih, meski belum seluruh alirannya.
Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Anies Baswedan berencana melanjutkan program normalisasi Sungai Ciliwung, Kali Sunter, dan Kali Angke pada tahun 2021.
Kepala Unit Pelayanan Pusat Data dan Informasi Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Roedito Setiawan mengatakan, normalisasi Sungai Ciliwung terbentang dari TB Simatupang sampai Cawang sepanjang 4,8 kilometer.
Rinciannya, masing-masing 1,1 kilometer di Kelurahan Rawajati, Kelurahan Kebon Baru, dan Gang Arus Kelurahan Cawang, serta 1,5 kilometer di Kelurahan Bidara Cina.
Sementara normalisasi Kali Sunter terbentang dari Kelurahan Cipinang Melayu sampai Kelurahan Pondok Bambu sepanjang 1,64 kilometer.
Kemudian, normalisasi Kali Angke akan dilakukan di Kelurahan Kembangan Utara sepanjang 26 meter dan Duri Kosambi sepanjang 180 meter.
Namun, sebagaimana yang telah disampaikan di atas, proyek normalisasi lagi-lagi terkendala rumitnya proses pembebasan lahan.
Baca juga: Diminta Jokowi Normalisasi Sungai, Anies: Kita Sama-sama supaya Komprehensif
Pemprov DKI Jakarta, kata Roedito, masih menunggu hasil appraisal (penaksiran nilai aset/harga lahan) yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Prosesnya itu sampai saat ini masih di BPN,” kata Roedito.
Bila hasil appraisal BPN sudah terbit dan Pemprov DKI Jakarta sudah membayar sesuai penilaian BPN, warga harus segera meninggalkan rumah mereka.
“Kalau sudah terima pembayaran, mereka harus segera pindah. Kami bongkar,” ucap dia.
Itu proses bagi warga bantaran yang memiliki bukti kepemilihan lahan. Lantas, bagaimana dengan warga yang tidak memilikinya?
Roedito menyebut, hal itu menjadi tugas pemerintah kota, bukan Dinas Sumber Daya Air.
Kalaupun mereka yang tidak memiliki bukti kepemilikan lahan mendapatkan tempat di rusun, prosesnya akan dikerjakan pemerintah kota yang berkoordinasi dengan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman.
Lambatnya proses pembebasan lahan untuk normalisasi sungai ini menuai kritik dari pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah.
Menurut Trubus, proses pembebasan lahan seharusnya tidak memakan waktu hitungan tahun bila Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memang benar-benar punya keinginan politik yang kuat.
"Kalau memang dia (Anies) punya political will, kemauan politik, mau membebaskan lahan-lahan itu untuk keperluan normalisasi sungai, saya rasa itu tidak butuh waktu bertahun-tahun. Dalam dua tiga bulan saja selesai," kata Trubus, Sabtu 19 Juni 2021.
Trubus melihat, Anies jarang turun langsung menemui warga untuk berdialog soal pembebasan lahan ini.
"Kalau memang dia (Anies) punya political will, kemauan politik, mau membebaskan lahan-lahan itu untuk keperluan normalisasi sungai, saya rasa itu tidak butuh waktu bertahun-tahun. Dalam dua tiga bulan saja selesai,"
-Trubus-
Padahal, hal tersebut penting guna memberikan pemahaman soal pentingnya proyek pengendali banjir, juga kesehatan dan keselamatan warga yang terancam jika terus menerus hidup di bantaran.
"Harusnya Pak Gubernur langsung turun. Gubernur, wakil gubernur, kepala dinasnya, semua turun menemui warga, melakukan dialog kepada warga agar warganya mau direlokasi," ucap Trubus.
Selain itu, Anies sebagai gubernur daerah khusus Ibu Kota mestinya mampu berkoordinasi dengan lembaga terkait untuk menyelesaikan persoalan semacam appraisal lahan bersertifikat milik warga yang tak kelar-kelar ini.
"Dia bisa berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait, misalnya dengan BPN. Ingat, Gubernur DKI ini punya kewenangan khusus yang beda dengan gubernur-gubernur lain," kata dia.
Bahkan, bila Anies memang mau menjalankan program normalisasi, ia bisa saja langsung mengeksekusi pembebasan lahan dan menjalankan proyek itu bersama Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC).
Anies dan jajarannya dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
"Pemprov bisa serahkan ke pengadilan uang penggantinya, tapi pembangunannya tetap jalan," kata Trubus.
"Jadi uangnya dititip di pengadilan sesuai UU Nomor 2 Tahun 2012 itu. Dijelaskan di situ, kalau ada warga keberatan, belum diganti rugi, tinggal uangnya dititip di pengadilan. Nanti pengadilan yang menyelesaikan. Tapi pembangunannya tetap jalan sesuai target," ujar Trubus.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Sarjoko mengatakan, warga terdampak program normalisasi sungai akan diprioritaskan untuk tinggal di rusunawa yang disediakan Pemprov DKI Jakarta.
Pihaknya sudah menyiapkan sejumlah rusunawa untuk warga terprogram, sebutan bagi warga yang harus direlokasi imbas proyek normalisasi sungai.
“Yang pertama ini kaitannya dengan penataan Kali Ciliwung, ada beberapa rusun yang memang dari awal diantisipasi untuk hunian warga terdampak,” kata Sarjoko, Rabu 16 Juni 2021.
Pertama, Rusunawa Pengadegan. Ada 90 unit yang siap digunakan sebagai hunian warga terdampak proyek normalisasi Ciliwung.
Kedua, Rusunawa Pasar Rumput. Rusunawa yang dikelola BUMD Perumda Pasar Jaya itu akan difungsikan sebagai tempat tinggal warga terdampak proyek normalisasi Ciliwung. Ada 1.940 unit hunian yang tersedia di Rusunawa Pasar Rumput.
Sarjoko berujar, rusunawa salah satunya memang disiapkan bagi warga terdampak penataan ruang dengan sewa murah untuk ukuran hunian di Ibu Kota.
Tarif sewa, atau disebut biaya retribusi, rusunawa diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 55 Tahun 2018 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan.
Berdasarkan pergub itu, warga yang terdampak relokasi hanya membayar sewa Rp 505.000 per bulan.
Tarif sewa rusunawa tipe blok (bukan tower) bahkan jauh lebih rendah, sekitar Rp 200.000-Rp 300.000 per bulan.
Selain untuk warga terdampak penataan ruang seperti normalisasi, Sarjoko bertutur, rusunawa juga bisa dihuni oleh warga Jakarta yang berpenghasilan rendah, kurang dari Rp 4 juta per bulan.
“Untuk bangunan tipe tower itu Rp 765.000 per bulan untuk kategori warga umum, ini yang secara sengaja memilih rusun sebagai alternatif hunian sementara mereka (bukan warga terdampak),” kata Sarjoko.
Namun, tarif sewa itu tak berlaku selama pandemi Covid-19. Sarjoko menuturkan, Pemprov DKI membebaskan biaya sewa bagi semua penghuni rusunawa selama masa pandemi Covid-19.
Baca juga: Dampak Covid-19, Penghuni Rusun di Jakarta Tak Mampu Bayar Sewa
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 61 Tahun 2020 tentang Pemberian Keringanan Retribusi Daerah dan/atau Penghapusan Sanksi Administratif kepada Wajib Retribusi yang Terdampak Bencana Nasional Covid-19.
“Masyarakat yang tinggal di rusunawa diberikan keringanan 100 persen dari biaya retribusi selama pandemi Covid-19. Jadi terhitung April 2020 sampai saat ini masih mendapatkan pembebasan biaya retribusi,” ujar Sarjoko.
Selain mematok tarif sewa murah, Pemprov DKI Jakarta juga menyiapkan sejumlah fasilitas bagi warga rusunawa.
Salah satunya transportasi gratis. Tiap rusunawa dilalui rute transjakarta sehingga warga bisa dengan mudah mengakses layanan transportasi gratis tersebut.
“Dari Dishub ini memfasilitasi penyediaan layanan transjakarta yang bisa diakses oleh warga rusun secara gratis,” tutur Sarjoko.
Baca juga: Ini Puluhan Fasilitas untuk Penghuni Rusun Jatinegara Barat
Selain itu, Pemprov DKI juga menyediakan program pangan murah bagi warga rusunawa.
Program pangan murah biasanya digelar di area rusunawa sehingga warga tak perlu jauh-jauh mengakses program tersebut.
Tak sampai di situ, Pemprov DKI Jakarta juga menggelar berbagai pelatihan untuk memberdayakan warga rusunawa.
“Salah satunya bagaimana memandirikan warga rusun punya kemandirian ekonomi, kecepatan untuk berusaha dan mendapat penghasilan,"
-Sarjoko-
Beragam pelatihan itu digelar atas kerja sama Dinas Perumahan dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lainnya, yakni Dinas Perindustrian dan UMKM; Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP); dan dinas lainnya.
“Bahkan mitra swasta juga mengambil peran di situ untuk membuat pelatihan. Dari beberapa lembaga ini memberikan banyak pelatihan yang masif, mulai dari pembuatan produk, packaging, sampai pemasaran,” ucap Sarjoko.
Baca juga: Ini Fasilitas bagi Warga Kalijodo di Rusun Pulogebang
Program stimulan itu bertujuan untuk kembali menumbuhkan perekonomian warga.
Sebab, tak jarang warga yang direlokasi ke rusunawa kehilangan mata pencaharian mereka.
Dengan berbagai pelatihan, Sarjoko berujar, warga diharapkan menjadi berdaya, bisa memenuhi kebutuhan mereka, dan tentunya membayar sewa rusun, meski sementara ini dihapuskan sementara karena pandemi.
“Salah satunya bagaimana memandirikan warga rusun punya kemandirian ekonomi, kecepatan untuk berusaha dan mendapat penghasilan. Di samping untuk kehidupan sehari-hari, juga untuk pembayaran retribusi tersebut,” ucap dia.
Setelah berdaya dan kondisi perekonomiannya terus membaik, kata Sarjoko, warga tak harus terus menerus tinggal di rusunawa. Mereka diharapkan bisa memiliki rumah sendiri.
Meninggalkan daerah bantaran kali dan hidup di rusunawa bukan perkara mudah bagi warga. Apalagi yang sudah puluhan tahun hidup di sana.
Mereka mesti meninggalkan kebiasaan lama dan memulai lembaran hidup baru dengan tradisi baru pula.
Belum lagi kekhawatiran tentang bagaimana keberlangsungan hidup keluarga mereka ke depan yang terus menghantui pikiran.
Tim JEO Kompas.com, beberapa waktu lalu, menemui beberapa warga bekas bantaran kali yang telah berhasil direlokasi ke sejumlah rusunawa.
Bagi mereka kini, pilihan sudah diambil. Sudah kadung nyemplung. Lagipula, hidup memang harus terus diperjuangkan, bukan?
Tidak ada pilihan lain selain menelan mentah-mentah segala ketakutan yang menghantui pikiran, sembari melangkahkan kaki berharap rezeki pada Ilahi.
Warga rusun Marunda bernama Entin (45) berbagi kisah pengalamannya.
Ketika direlokasi dari bantaran Waduk Pluit, perasaan takut menghantui Entin. Ia khawatir tidak mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak di tempat tinggal baru.
Perasaan yang sama juga menghantui Husin (55), eks warga Kampung Pulo yang tinggal di rusunawa Jatinegara Barat.
Atas kekhawatiran itu pula Husin menjadi salah seorang warga yang terdepan menolak penggusuran dan relokasi.
Sementara, Fitri (26) eks warga Kampung Pulo yang telah direlokasi ke rusunawa Jatinegara Barat ingat betul bagaimana mencekamnya suasana relokasi yang sempat membuat ia trauma.
Lantas, bagaimana nasib mereka kini?
Cerita perjuangan mereka selengkapnya dapat anda tonton di video berikut ini:
Cerita warga eks bantaran kali yang berdaya hidup di rusun juga datang dari Rusunawa Pulogebang, Jakarta Timur.
Adalah Ayu (39), eks warga bantaran Kalijodo, dan Eni yang pada bagian awal bercerita pengalamannya menikah di tengah banjir.
Keduanya kini merupakan tetangga di rusunawa Pulogebang dan bersama-sama di dalam perajin Komunitas Batik Rusun Pulogebang.
Tatkala berpindah dari bantaran kali ke rusunawa, tawaran pelatihan datang kepada mereka. Mulai dari menjahit, menenun, menyulam, hingga menata rias.
Eni dan Ayu selalu mengambil kesempatan itu demi hidup yang lebih baik.
Namun dari sederet pelatihan yang digelar di rusunnya, akhirnya mereka memilih batik tulis sebagai ladang berkarya.
Pilihan itu bukan tanpa alasan. Sejak 2018, pesanan batik terus menghampiri. Berbeda dengan pelatihan keterampilan lain yang sepi dari akses pasar.
Pesanan yang datang kebanyakan berupa kain panjang. Tetapi tak jarang pula berupa masker, tempat sendok atau aksesoris lain.
"Tapi mendingan kerjain kain dua meter. Lebih semangat. Capeknya sekalian, hasilnya ketahuan, duitnya juga ketahuan," ujar Ayu seraya tertawa.
Eni kemudian menimpali, "kalau kayak masker gini, palingan (gajinya) bisa buat beli mi ayam seorang. Kalau yang dua meter bisa buat beli mie ayam 10 orang lebih”. Keduanya terkekeh.
Pantas saja Eni dan Ayu lebih memilih mengerjakan kain panjang. Pasalnya, bila perajin mengerjakan satu kain berukuran besar dengan motif satu warna, bayarannya Rp 300.000.
Bila motifnya terdiri dari dua warna, ongkos kerja bisa mencapai Rp 600.000 per orang.
Para perajin semakin lega lantaran seluruh modal, mulai dari kain, canting, hingga cairan tekstil warna dan desain, sudah disediakan oleh pihak swasta yang menyelenggarakan pelatihan itu, yakni Jkt Creative.
Berkat Jkt Creative pula, kain hasil para perajin bisa tembus ke pasar internasional.
Ayu bercerita, kain batik tulisnya pernah diboyong hingga ke Jepang, negara yang ia tidak tahu letak pastinya di peta.
"Waktu tahu sudah dibawa ke Jepang, saya bilang dalam hati, jauh amat ya. Saya saja belum ke Jepang," ucap Ayu.
Pernah juga mereka lembur membuat kain batik untuk instalasi raksasa di Mal Central Park pada tahun 2020.
Seluruh pengalaman itu membanggakan, dan yang terpenting menghasilkan.
View this post on Instagram
Ini bukan cerita tentang orang-orang yang disingkirkan pembangunan. Mereka bukanlah orang-orang yang kalah.
Ini cerita tentang memanusiakan manusia. Memberikan pilihan bagi mereka yang kadung menganggap tidak memilikinya.
Ini cerita tentang orang-orang yang berjuang, berdaya dan menang.
Selamat hari ulang tahun ke-494 DKI Jakarta. Maju kotanya, bahagia warganya!