JEO - Tokoh

Detik-detik Terakhir Tan Malaka...

Selasa, 22 Februari 2022 | 12:04 WIB

“Tan Malaka adalah seorang pemimpin besar di Indonesia yang tidak pernah menikmati keenakan hidup di Republik ini. Dia menderita di mana-mana dan di penghujung hidupnya, ia juga harus menderita karena dibunuh oleh saudara sebangsanya sendiri,”

 Sejarawan, Anhar Gonggong ∼

GOUDLAND, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetapi, tanah keringat air mata maut, neraka untuk kaum proletar.

Begitu Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka menggambarkan Deli, dalam autobiografinya yang berjudul ‘Dari Penjara ke Penjara’.

Pria yang lebih populer dengan nama Tan Malaka ini pertama kali menjejakkan kakinya di sana pada Desember 1919.

Selepas bersekolah di Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV), Tan Malaka menerima tawaran dari direktur perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morowa, Deli, Sumatera Utara untuk mengajar bahasa melayu kepada anak-anak kuli.

Gambaran penderitaan masyarakat asli di Deli itu didasarkan pada pengamatan Tan sehari-hari.

Tuan kebun mendapat gaji F.200.000 setahun. F atau Florin adalah mata uang yang digunakan selama era pemerintahan Hindia Timur dan Hindia Belanda.

Sementara kuli kontrak-kelas yang disebut Tan membanting tulang dari dini hari sampai malam, bahkan kelas yang sewaktu-waktu bisa kehilangan istri dan anak gadis jika dikehendaki tuannya-mendapat gaji F.0,40 per hari.

Di antara ratusan kuli kontrak itu, hanya satu dua orang yang mendapatkan kesempatan naik pangkat. Tetapi gaji mereka tetap rendah, paling tinggi F.60 sebulan.

Padahal, banyak urusan teknis yang bisa dengan mudah ditangani oleh kaum melarat itu.

“Tuan VD insinyur listrik sudah kebingungan, karena mesin listriknya tak mau dijalankan. Semua kemungkinan dia pikirkan dan semua perintah untuk betulkan mesin itu sudah dilakukan. Konon, mesin listrik terus mogok. Kario, pengawas listrik bekas kuli kontrak, dipanggil. Kario masuk ke bawah mesin, memutar sekrupnya, dan mesin listrik berjalan seperti biasa,” tulis Tan yang kala itu masih berusia sekitar 22 tahun.

Ia hanya bertahan beberapa bulan saja menjadi guru di sana.

Setelah melihat penderitaan saudara sebangsanya dan sederet momen perselisihan dengan atasannya, Tan memutuskan berhenti dari profesi yang tidak pernah ia ambil gajinya itu.

Ilustrasi masa penjajahan kolonial di Indonesia.
Wikimedia Commons
Ilustrasi masa penjajahan kolonial di Indonesia.

Jejak Tan Malaka di tanah Deli merupakan periode yang tak bisa dilewatkan dalam rangkaian kisah perjuangannya demi Indonesia merdeka seratus persen.

Kemelaratan dan penderitaan rakyat Deli yang tampak di depan mata membuat jiwa revolusi Tan berkobar.

Semenjak dari sana, Tan mulai aktif di dalam pergerakan bawah tanah dalam memerdekakan bangsanya.

Tan Dalam Lintasan Waktu

Sepak terjang Tan tak bisa dilepaskan dari kampung halamannya di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat.

Di sana, putra Rasad Caniago dan Sinah Simabur ini belajar ilmu dasar, dan agama. Tan kecil yang banyak menghabiskan waktu di surau, khatam membaca Al-Quran sejak usia 10 tahun.

Memasuki remaja, Tan yang dikenal sebagai murid cerdas didaftarkan ke Kweekschool, salah satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi guru pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Sekolah berbahasa Belanda itu terletak di Fort de Kock atau kini bernama Kota Bukittinggi.

Benih jiwa revolusioner Tan baru muncul ketika ia melanjutkan sekolah di institusi pendidikan guru Rijkskweekschool, Harlem, Belanda pada Oktober 1913. 

Di sana, ia menyentuh berbagai ranah pemikiran politik, sosial dan filsafat melalui literatur dan diskusi aktif dengan mahasiswa mancanegara. Salah satu pemikiran yang menarik hati Tan, yakni pemikiran kritis Karl Marx.

Tan juga mulai mengenal sejumlah gerakan revolusioner negara-negara di dunia, di mana setelah kembali ke Tanah Air, ia pedomani sebagai jalan perjuangan memerdekakan bangsanya sendiri dari cengkeraman penjajahan kolonialisme.

Dalam konteks periode waktu kala itu, Tan percaya bahwa dunia sedang bergerak ke arah sosialisme.

Setelah menamatkan sekolah di Rijkskweekschool, Tan pulang ke Tanah Air. Ia direkrut oleh direktur perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morowa, Deli, Sumatera Utara bernama C.W Janssen untuk menjadi guru bagi anak-anak kuli perkebunan.

Sebagaimana tulisan pembuka artikel ini, pada masa inilah Tan melihat sendiri praktik ketidakadilan kolonialisme sehingga ia bertekad melepaskan bangsanya dari penjajahan melalui sosialisme. 

Hanya bertahan beberapa bulan di sekolah itu,Tan kemudian membuka sekolah sendiri di Semarang. Anak-anak sekolahnya selalu menyanyikan lagu Internasionale sebelum memulai pelajaran. 

Ia bertemu sejumlah tokoh pergerakan, antara lain HOS Tjokroaminoto hingga Agus Salim. Ia juga berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), meski pada waktu setelahnya, ia justru banyak berselisih dengan tokoh PKI.

Pada 1925, dua puluh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Tan menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia).

Di dalamnya, ia tak hanya mencanangkan Indonesia yang merdeka dari kolonialisme, tetapi sekaligus menyebut bahwa Indonesia yang merdeka kelak akan berbentuk republik.

‘Menuju Republik Indonesia’ Tan ditulis tujuh tahun lebih awal dari ‘Ke Arah Indonesia Merdeka’ yang ditulis Moh Hatta tahun 1932 dan delapan tahun lebih awal dari ‘Mentjapai Indonesia Merdeka’ yang ditulis Soekarno tahun 1933.

Atas karyanya yang visioner itu, tak heran bila Moh Yamin menjuluki Tan sebagai Bapak Republik Indonesia.

Karya lain Tan yang menjadi ‘bara’ bagi kalangan pergerakan kemerdekaan, antara lain Massa Aksi (1926), Madilog/Materialisme-Dialektika-Historis (1943), dan Merdeka 100 Persen (1945).

Bahkan, Soekarno sendiri mengakui sangat terpengaruh pada gagasan-gagasan Tan. Tulisan ‘Masa Aksi’ Tan dijadikan ilham untuk menyusun pleidoinya yang sangat tersohor, ‘Indonesia Menggugat’.

Sayang, aktivitasnya di gerakan bawah tanah menuju Indonesia merdeka membuat Belanda membuangnya ke luar negeri sejak Februari 1922. Tan dijemput di sekolahnya untuk langsung diadili.

“Tak sampai lima menit lamanya, maka pemeriksaan perkara saya sudah selesai. Dengan demikian, saya menghemat tenaga dan waktu Kanjeng Residen Hindia-Belanda salah satu hukuman terberat selain hukuman mati. Yaitu meninggalkan tempat kelahiran, masyarakat, pekerjaan, dan para teman yang dicintai, dan mengembara tak berketentuan di negeri asing,” tulis Tan dalam ‘Dari Penjara ke Penjara’.

Ia kemudian menjalani bertahun-tahun setelahnya jauh dari kampung halaman. Tercatat, Tan tak hanya tinggal di Belanda, melainkan juga berpetualang ke Jerman, Rusia, Filipina, China, Myanmar, Malaysia, hingga Singapura.

Di negara-negara itu, Tan memiliki banyak nama samaran. Di Jakarta, ia memperkenalkan diri sebagai Ilyah Husein. Di Filipina, ia adalah Ellias Fuentes, atau Estahislau Rivera, atau Alisio Rivera.

Di Hongkong, ia adalah Ong Song Lee. Di Myanmar, ia adalah Tan Ming Sion. Di Tiongkok, ia adalah Cheng Kuan Tat atau Howard Lee, dan di Singapura, ia adalah Hasan Gozali.

Tan baru pulang ke Tanah Air setelah Belanda ditekuk oleh balatentara Jepang. Saat keadaan dirasa aman, tepatnya pada tahun 1942, ia menyeberang dari Malaysia ke Sumatera menuju Jawa.

Ia pun kembali larut dalam gerakan bawah tanah menuju Indonesia merdeka.

Suasana saat pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta (sekarang Jalan Proklamasi Nomor 5, Jakarta Pusat) pada 17 Agustus 1945, sehari setelah peristiwa Rengasdengklok.
Arsip ANRI
Suasana saat pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta (sekarang Jalan Proklamasi Nomor 5, Jakarta Pusat) pada 17 Agustus 1945, sehari setelah peristiwa Rengasdengklok.

Sayangnya, meskipun beberapa kali tercatat bertemu dengan Soekarno di Jakarta, Tan tidak hadir dalam proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, lantaran keterlambatan informasi.

Ketidakhadirannya dalam momen proklamasi kemerdekaan disebut-sebut sebagai salah satu penyesalan paling berat di dalam hidup Tan. 

Tetapi, Tan berkontribusi besar atas suksesnya rapat raksasa di Lapangan Ikada mendukung proklamasi kemerdekaan pada 19 September 1945. Momen ini adalah pertama kalinya Tan tampil bersama Soekarno di hadapan publik.

Nahas, baru empat tahun mengecap masa kemerdekaan, Tan Malaka yang selama setahun terakhir mendirikan Partai Murba harus tewas di tangan saudara sebangsanya sendiri.

Pergolakan terjadi…

Pada lintasan waktu 1946 hingga 1949, pergolakan politik terjadi di Republik Indonesia yang usianya bahkan belum genap lima tahun.

Tan Malaka dan sejumlah tokoh berhaluan kiri, Islam dan nasionalis mengadakan pertemuan bertajuk ‘Hasrat Perjuangan Rakyat’ di Purwokerto, Jawa Tengah pada 4-5 Januari 1945.

Sekitar 300 orang yang berasal dari 141 organisasi, laskar, dan partai politik di Indonesia hadir di sana.

Pertemuan tersebut berujung pada pembentukan gerakan politik baru bernama Persatuan Perjuangan.

Pada pokoknya, mereka menentang kebijakan pemerintahan Indonesia di bawah Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang terkesan diplomatis dan kompromistis terhadap Belanda. Penentangan ini mendapat sambutan positif dari rakyat Indonesia.

Tetapi lama kelamaan, pemerintah menganggap organisasi ini bukan lagi sekadar protes atas kebijakan, tetapi sudah bergeser ke arah perebutan kekuasaan.

Atas alasan itu, sejumlah tokoh Persatuan Perjuangan, termasuk Tan, ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan pada Maret.

Setelah ditahan selama sekitar 2,5 tahun, Tan dan kawan-kawan dibebaskan 16 September 1948 oleh pemerintahan pengganti Sjahrir, yakni Mohammad Hatta.

Pembebasan Tan bukan tanpa sebab. Pemerintahan Hatta berharap, Tan dapat meredam gejolak politik lain yang dilancarkan oleh PKI di bawah pimpinan Musso.

Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, pada momen inilah sebenarnya posisi ideologi Tan Malaka relevan untuk ditafsirkan.

“Banyak orang mengidentikkan Tan dengan PKI, enggak benar juga. Karena justru dia seringkali berhadap-hadapan dengan PKI. Pada pemberontakan 1926-1927 (Sumatera dan Banten) , Tan adalah salah satu pimpinan PKI yang menolak melakukan pemberontakan itu,” ujar Anhar saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (20/2/2022).

Rupanya, manuver PKI tetap tak terbendung. Pecahlah pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948. Di kota tersebut, kelompok ini juga mendeklarasikan pembentukan Republik Soviet Indonesia.

Dalam pemberontakan itu, sejumlah tokoh politik, pejabat militer, hingga tokoh agama, dilaporkan tewas dibunuh.

Yanto Eko Cahyono, warga Kabupaten Bantul, Yogyakarta menunjuk nama kakeknya, Insp Pol Suparbak yang terukir di Monumen Kresek (Monumen kekejaman pembantaian PKI) yang berada di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Selasa (0/10/2019). Yanto bersama istrinya mencari keberadaan makam kakeknya, Insp Pol Suparbak yang menjadi korban pembantaian PKI tahun 1948 di Madiun.
KOMPAS.COM/MUHLIS AL ALAWI
Yanto Eko Cahyono, warga Kabupaten Bantul, Yogyakarta menunjuk nama kakeknya, Insp Pol Suparbak yang terukir di Monumen Kresek (Monumen kekejaman pembantaian PKI) yang berada di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Selasa (0/10/2019). Yanto bersama istrinya mencari keberadaan makam kakeknya, Insp Pol Suparbak yang menjadi korban pembantaian PKI tahun 1948 di Madiun.

Pemerintah kemudian bertindak tegas dengan mengirim pasukan penumpas di bawah komando Kolonel A.H Nasution.

Lantas, di mana posisi Tan Malaka pada saat itu?

Pascapembebasannya, Tan tetap memosisikan dirinya sebagai oposisi. Ia konsisten dalam menentang kebijakan pemerintah yang dinilai terlalu lembek terhadap Belanda.

Tan kemudian berupaya mengumpulkan pendukungnya di tanah Jawa dan mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948. Tetapi, Tan memilih tidak menjabat ketua partai tersebut.

“Jadi ada tiga faksi di dalam kelompok Marxis di Indonesia dan semuanya berhadap-hadapan. Faksi pertama ada PKI atau Marxis-Leninis, lalu kedua Marxis-Murba, yaitu Tan Malaka, dan Marxis Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sjahrir. Mereka ini sama, tetapi saling berkelahi,” ujar Anhar.

Dari tiga faksi tersebut, PKI merupakan kelompok paling lekat dengan pemberontakan di Madiun.

Sementara itu, kekacauan politik dalam negeri semakin menjadi-jadi usai ditambah dengan Belanda yang melancarkan agresi militer keduanya, 19 hingga 20 Desember 1948.

Agresi militer kedua Belanda ini bertujuan melumpuhkan pusat pemerintahan Indonesia yang kala itu berada di Yogyakarta. Dengan demikian, Belanda dapat menguasai Indonesia kembali. 

Upaya penguasaan Indonesia kembali ini juga dalam rangka merebut kekayaan alam demi menumbuhkan perekonomian Belanda yang hancur setelah kalah dalam Perang Dunia II. 

Dalam serangan ini, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka.

Sjafruddin Prawiranegara kemudian diamanatkan membentuk pemerintahan darurat di Bukittinggi dengan nama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sjafruddin menjabat sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara selama Soekarno-Hatta berada di pengasingan.

Di tengah gempuran Belanda, Tan dan pasukannya turut membantu menghalau Belanda yang merangsek di sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Jadi, sampai pada momen ini, ada dua persoalan. Kita merdeka, tetapi ada Belanda yang mau merebut lagi, dan pada saat yang bersamaan di antara golongan-golongan kita juga terjadi perbedaan pendapat soal bagaimana cara menghadapi Belanda. Ini pun melahirkan konflik,” ujar Anhar.

Pasukan Belanda menunggu keberangkatan dari Semarang ke Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda II
Nationaal Archief
Pasukan Belanda menunggu keberangkatan dari Semarang ke Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda II

Detik-detik Terakhir

Memasuki tahun 1949, gejolak politik di Indonesia tidak kunjung reda. Justru semakin hiruk pikuk.

Ahli Waris Tan Malaka, Hengky Novaron Arsil Datuk Tan Malaka mengatakan, setelah Soekarno-Hatta ditawan dalam agresi militer kedua Belanda, Tan di sela-sela gerilyanya menghantam Belanda hendak memperkenalkan diri ke publik sebagai penerus perjuangan.

“Tan membawa surat dari Presiden Soekarno yang berisi testamen politik, kalau ada apa-apa dengan dirinya (Soekarno), yang melanjutkan adalah Tan,” ujar Hengky saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (20/2/2022).

Menurut versi Hengky, manuver politik Tan itu tak disukai sejumlah kalangan di Indonesia. Kelompok-kelompok yang berseberangan menuding Tan hendak menggulingkan Soekarno. Inilah yang membuat Tan diburu.

Sejarawan Belanda, Harry A Poeze sebagaimana ditulis Kompas, Sabtu 28 Juli 2007, mengungkap cuplikan peristiwa ini dari kacamata berbeda.

Petinggi militer di Jawa Timur menilai, Tan telah menyerukan bahwa penahanan Soekarno-Hatta telah menciptakan kekosongan kepemimpinan. Mereka juga menyebut, Tan telah mempropagandakan bahwa elite militer enggan bergerilya menghadapi Belanda.

Seruan-seruan Tan yang tidak pernah dipastikan kebenarannya ini dianggap membahayakan stabilitas negara.

Oleh sebab itu, Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan komandan brigade-nya, Soerahmat pun memerintahkan agar Tan Malaka ditangkap.

Tan Malaka.
perpusnas.go.id
Tan Malaka.

Tan yang ketika itu baru saja selesai menggempur Belanda dihadang pasukan Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya di Desa Selo Panggung di kaki Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur pada 21 Februari 1949.

Di desa itulah, Tan dieksekusi. Dalam keadaan tangan terikat ke belakang, Tan disebut tetap membuka matanya ketika ditembak. 

"Dia (Tan) ditembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya, yang terakhir berpangkat brigadir jenderal dan pernah menjadi Wali Kota Surabaya. Data tersebut diperoleh dari kesaksian pelbagai pihak, seperti rekan gerilya Tan Malaka, anggota Batalyon Sikatan, keterangan warga desa dan tokoh- tokoh angkatan 1945," kata Poeze yang memulai riset Tan Malaka sejak tahun 1980 dengan menemui banyak tokoh nasional.

Setelah dieksekusi, jasad Tan dibuang begitu saja ke Sungai Brantas.

Tak ada pejabat militer yang dikenakan sanksi atas eksekusi tanpa peradilan tokoh gerakan bawah tanah yang memerangi penjajah tersebut. Karier para eksekutor langsung maupun tidak langsung tetap mulus hingga masa pensiun.

Sejarawan Anhar Gonggong menambahkan, situasi pada saat itu memang kacau balau. Antara satu kelompok dengan kelompok lain saling menaruh curiga. 

Posisi Tan Malaka sebagai pelopor Persatuan Perjuangan membuat dia sulit dielakkan dari perburuan penguasa saat itu. 

"Situasinya kacau, orang-orang tidak mengerti mana lawan, mana kawan. Kondisinya sangat semrawut antara satu pasukan satu dengan pasukan lain. Mereka saling curiga," ujar Anhar. 

"Apalagi ketika itu memang tentara Republik berhadapan dengan Persatuan Perjuangannya Tan Malaka juga. Jadi dalam pikirannya Sungkono, Tan itu pimpinan oposisi. Jadi begitu ketemu, ya tembak saja," lanjut dia. 

14 tahun berselang, tepatnya tanggal 28 Maret 1963, Soekarno yang mungkin memiliki kesan mendalam secara resmi mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional.

Sayang, kisah revolusioner Tan ditutup rapat-rapat setelah Orde Baru berkuasa. Namanya dihapus total dari buku sejarah.

Selubung kabut Tan perlahan tersingkap ketika Harry A Poeze bekerjasama dengan pemerintah Indonesia menggali makam di yang dipercayai sebagai makam Tan di Desa Selo Panggung, Kediri pada 2009.

Para aktifis dan Tan Malaka Institute saat ziarah ke makam Tan Malaka di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, (9/11/2017).
KOMPAS.com/M.Agus Fauzul Hakim
Para aktifis dan Tan Malaka Institute saat ziarah ke makam Tan Malaka di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, (9/11/2017).

Jasad yang ditemukan, secara antropologi forensik, sesuai dengan ciri fisik Tan. Yaitu seorang laki-laki, ras Mongoloid, tinggi badan 163-165 sentimeter, terdapat tanda patah tulang tidak jelas, posisinya miring menghadap ke barat dengan kedua lengan bawah tersilang ke belakang.

Di sekitar leher, tungkai, atau lengan tidak didapatkan tali maupun bahan pengikat lainnya. Kerangka dalam keadaan rapuh, sebagian besar tulang kecil sudah tidak ada lagi, tulang-tulang panjang hanya ada bagian tengahnya saja, rapuh, dan bagian sumsumnya berisi akar dan tanah.  

Merujuk pada data-data itu, para sejarawan beranggapan 90 persen jenazah itu memang Tan Malaka.

Sayang, tersisa keraguan. Sebab, hingga detik ini belum ada hasil tes DNA yang menyatakan bahwa tulang belulang itu seratus persen merupakan Tan Malaka. Hal itu disebabkan rusaknya sampel akibat terkontaminasi asam yang terlalu tinggi. 

"Sisa tulangnya itu hanya 0,25 persen. Sedikit sekali. Oleh sebab itu, tidak boleh sembarang orang untuk mengujinya. Kalau kita serahkan ke pihak tak berkompeten, sisa 0,25 persen itu hilang, ya selesai sudah," ujar Hengky. 

 

Terlepas dari kegemilangan gagasan, kontroversi manuver politik, hingga selubung kabut kematiannya, tak dipungkiri Tan Malaka adalah anak bangsa yang mengabdikan hidupnya bagi kemerdekaan saudara sebangsanya sendiri.

Meski hampir separuh hidupnya dihabiskan di pengasingan dan penjara, tetapi pemikirannya selalu menjejak di Indonesia dan menjadi bara bagi banyak pejuang kemerdekaan. 

Tetapi nahas, seorang bijak pernah berkata, ‘revolusi memakan anak kandungnya sendiri’, dan Tan adalah anak kandung revolusi itu.

Maka, apresiasi perjuangan Tan ke dalam taman sari khazanah intelektual bangsa Indonesia wajib dilakukan pada masa kini dan yang akan datang. 

Sebab, kenikmatan kemerdekaan yang telah kita kecap saat ini sesungguhnya merupakan hasil dari perjuangan Tan Malaka dan para pendiri bangsa yang lain. 

Kita berutang pada dia. Jangan lagi kita 'membunuh' Tan Malaka...

Barang siapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaannya sendiri. Siapa ingin merdeka, harus bersedia dipenjara.

Tan Malaka, Penjara Ponorogo, September 1947