JEO - Cerita Data

Di Balik Narasi "Ringannya Omicron"

Kamis, 3 Februari 2022 | 07:41 WIB

Badai Omicron mulai melanda Indonesia. Meski sejumlah penelitian menyebut varian ini lebih ringan, tetapi penularannya yang secepat kilat tetap bisa menyebabkan malapetaka. Ledakan kasus, diiringi peningkatan kasus rawat inap, hingga kasus kematian. 

 

VARIAN Omicron mendominasi kasus Covid-19 di dunia.

Sejak penemuannya pertama kali dilaporkan pada 24 November 2021 di Afrika Selatan, Omicron telah menyebar di lebih dari 150 negara, termasuk Indonesia hingga awal Februari 2022 ini.

Perhatikan sebaran varian Omicron di dunia melalui peta yang diunggah Newsnode.com berikut ini:

Tidak Lebih Mematikan

Menurut sejumlah penelitian, varian Omicron tidak lebih mematikan dibandingkan varian yang pernah ‘merajai’ dunia, yakni Alpha dan Delta. 

Penelitian yang dilakukan Brian J Willett dan kolega dari Universitas Glasgow, Inggris misalnya. Mereka menemukan, protein pada sel paru-paru, yakni TMPRSS2, yang biasanya memudahkan SARS-CoV-2 masuk ke sel paru-paru, kurang kuat terikat pada Omicron. Akibatnya, galur baru itu sulit menginfeksi sel paru-paru.

Di sisi lain, Omicron juga terkonsentrasi dalam jumlah banyak di saluran pernapasan bagian atas (bronkus).

Baca juga: WHO: Salah Jika Bilang Gejala Omicron Ringan

Diduga, karakteristik inilah yang menyebabkan gejala pasien terpapar Omicron lebih ringan secara umum dibandingkan varian sebelumnya.

 

Kasus di RSUP Persahabatan

Dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Erlina Burhan mengonfirmasi hal itu. Berdasarkan data pasien Omicron di RSUP Persahabatan per Januari 2022, sebagian besar mengalami gejala ringan.

Dari pasien bergejala ringan tersebut, sebagian besar mengalami batuk kering, sementara sisanya hanya berupa nyeri tenggorokan, dan demam.

”Infeksi virus SARS CoV-2 varian Omicron tidak terlalu banyak ditemukan di jaringan paru, tetapi di saluran napas. Oleh karena itu, gejala yang muncul lebih banyak berupa batuk kering dan nyeri tenggorokan,” kata Erlina Burhan, di Jakarta, dikutip dari Kompas, Senin (24/1/2022).

Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:

Kasus Omicron di RSUP Persahabatan

Kasus di RSUD Bogor

Ketua Tim Medis Penanganan Covid-19 RSUD Kota Bogor Dr. Koko Harnoko Sp.P, FISR juga mengungkapkan hal senada.

Saat JEO Kompas.com mewawancarai Koko pada 1 Februari 2022, ia menyebut, pasien Covid-19 mulai memenuhi ruang rawatnya setidaknya sejak dua pekan terakhir setelah sebelumnya kosong.

Baca juga: Pasien Covid-19 yang Dirawat di RSUP Persahabatan Naik, BOR Hampir 70 Persen

Per tanggal itu sendiri, ada 24 pasien yang sedang dirawat. Dari jumlah itu, hanya satu yang berada di ICU, sementara empat orang lainnya bergejala sedang hingga berat. Sisanya bergejala ringan.

“Ada yang meninggal satu orang. Tetapi dia memiliki riwayat penyakit stroke. Jadi bukan murni karena Covid-19. Rata-rata yang dirawat sekarang itu gejalanya aman ya,” ujar Koko.

Pasien yang bergejala berat, lanjut Koko, merupakan pasien koinsiden. Artinya, pasien itu datang bukan karena gejala Covid-19, melainkan penyakit atau kondisi kesehatan lainnya.

“Contohnya ada ibu mau melahirkan, pas dites PCR, ternyata positif. Atau ada pasien mau operasi, pas dites PCR, positif,” ujar Koko.

Awas, RS Bisa Kolaps!

Namun demikian, di balik narasi ringannya varian Omicron bagi orang yang terpapar, rupanya terdapat hal yang harus kita waspadai.

Sebab, Omicron membuat sistem pelayanan kesehatan beberapa negara maju, kewalahan. 

 

Menyebar secepat kilat

Virus ini menyebar secepat kilat. Sebagai gambaran, seorang penderita campak mampu menginfeksi 15 orang lain, sedangkan orang yang tertular Omicron bisa menginfeksi lima hingga enam orang lain.

Tetapi, persoalannya Omicron menular lebih cepat. Jika satu kasus campak menular ke 15 orang dalam 12 hari, maka kasus Omicron akan menular ke enam orang hanya dalam empat hari saja.

Artinya, ada 36 kasus Omicron dalam delapan hari dan menjadi 216 kasus dalam 12 hari apabila tidak ada pembatasan aktivitas.

Baca juga: Wagub DKI Sebut BOR Covid-19 Naik Lagi, Transmisi Lokal Omicron Meningkat

Laporan penelitian Fakultas Kedokteran Li Ka Shing, Universitas Hong Kong, dipimpin Michael Chan Chi-wai, yang belum ditinjau rekan sejawat, menunjukkan, Omicron menginfeksi dan bereplikasi 70 kali lebih cepat dibandingkan Delta dan SARS-CoV-2 asli di bronkus (saluran pernapasan dari trakea ke paru-paru).

”Omicron menyebar dengan laju yang belum pernah kita lihat pada galur (varian) sebelumnya,” kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengutip Kompas 10 Januari 2022.

Sifatnya yang cepat menular menyebabkan lonjakan kasus positif yang signifikan. Lonjakan kasus yang begitu tinggi itu bahkan terkesan menyeramkan. Hal inilah yang patut kita waspadai.

 

Kasus naik, pasien rawat inap otomatis terkerek naik

Edukator kesehatan publik dokter Adam Prabata mengungkapkan, meskipun secara umum Omicron tidak menyebabkan keparahan, tetapi sifatnya yang cepat menular menyebabkan ledakan kasus di sebuah negara.

Otomatis, jumlah pasien rawat inap ikut terkerek naik, diikuti dengan kasus pasien ICU dan meninggal dunia. 

“Meski risiko rawat inap pada pasien Omicron rendah, tapi yang dirawat bukan berarti nol kan? Tetap ada pasien yang dirawat inap dan masuk ICU, bahkan meninggal,” papar Adam saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu 31 Januari 2022.

“Jadi, karena kasusnya meroket, jumlah yang masuk rawat inap, ICU, bahkan meninggal juga akan tetap naik,” lanjut dia.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by dr. Adam Prabata (@adamprabata)

Kelompok yang paling rentan dalam skenario terburuk ini adalah pasien yang memiliki penyakit bawaan (komorbid), dan orang yang belum mendapatkan vaksin lengkap atau booster.  Termasuk anak-anak. 

Baca juga: Ini Strategi PERSI Hadapi Lonjakan Kasus Covid-19 Varian Omicron

Amerika Serikat adalah contoh nyata. Berdasarkan penelitian di AS, varian Omicron 53 persen lebih rendah dalam hal risiko rawat inap. Varian itu juga 74 persen lebih rendah dalam hal risiko masuk ICU. Bahkan risiko kematiannya 91 persen lebih rendah.

Tetapi, yang terjadi justru malapetaka. Khususnya bagi sistem pelayanan kesehatan di sana.

Lihat saja grafik berikut ini:

Merujuk data ourworldindata.org di atas, konfirmasi kasus positif (garis hijau) pada gelombang ketiga (Omicron) jauh lebih tinggi dibandingkan puncak gelombang kedua dan pertama. 

“Saya sandingkan dengan data terbaru dari CDC tanggal 28 Januari 2022 itu menyebutkan, rata-rata kasus pada gelombang Delta itu 164 ribu kasus. Kalau Omicron, 799 ribu. Sekitar lima kali lebih tinggi,” papar Adam.

Ledakan kasus baru itu otomatis mengerek kasus pasien masuk rumah sakit (garis biru).

“Kalau soal tingkat rawat inapnya, orang yang dirawat pada saat gelombang Omicron itu 1,8 kali lebih banyak dibandingkan gelombang Delta. Jumlah pada saat Delta itu 12 ribuan. Tetapi ketika Omicron bisa mencapai 22 ribu. Hampir dua kali lipatnya,” lanjut dia.

Kasus kematian akibat gelombang Omicron juga nyaris menyamai kasus kematian pada gelombang Delta.

Baca juga: Ini 4 Arahan Presiden Jokowi Saat Pimpin Evaluasi PPKM

Fenomena yang sama juga terjadi di Britania Raya. Konfirmasi kasus, dan tingkat rawat inap pada masa gelombang Omicron lebih tinggi dibandingkan gelombang Delta.

Lihat saja grafik berikut ini:

Adam menambahkan, fenomena terkereknya pasien rawat inap akibat ledakan kasus positif memang tidak terjadi di semua negara yang dilanda badai Omicron. Ada beberapa negara yang tingkat rawat inap pada gelombang Omicron lebih rendah dibandingkan gelombang sebelumnya.

“Tapi, bukan berarti itu final. Kalau dilihat grafiknya, mereka belum sampai ke sana saja. Artinya, mereka juga menuju ke sana, perlahan-lahan naik,” ujar Adam.

 

Fase awal badai Omicron

Di Indonesia sendiri, sejumlah pakar menyebut, badai Omicron baru memasuki fase awal.

Berikut ini grafik kasus Covid-19 sejak awal pandemi hingga akhir Januari 2022, termasuk awal badai Omicron:

Meski ujung grafik masih terpantau di bawah gelombang sebelumnya, tetapi apabila tidak ada kebijakan pembatasan ketat, maka Indonesia diprediksi bernasib sama seperti Amerika Serikat. 

Ahli epidemiologi Indonesia di Griffith University Dicky Budiman menyarankan, pemerintah perlu memperkuat sistem rujukan bagi pasien positif Covid-19.

Rumah sakit harus diprioritaskan bagi pasien bergejala sedang hingga berat. Sementara pasien bergejala ringan diarahkan untuk isolasi mandiri atau menjalani perawatan di pusat isolasi terpusat.

"Kita masih di awal, belum puncak, jangan sampai RS penuh duluan, maka perlu penguatan sistem rujukan selain tadi dideteksi ke komunitas, dan tentu di sini juga dropping dari APD dan pelayanan publik, obat termasuk oksigen perlu dipersiapkan," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Minggu, 30 Januari 2022.

Baca juga: Menkes: 5 Pasien Covid-19 Varian Omicron Meninggal Dunia 

 

Prediksi: Dua kali lipat dibandingkan Delta

Kekhawatiran Dicky beralasan, mengingat kecepatan penularan Omicron yang begitu tinggi.

Dicky menilai, kasus Covid-19 yang sudah menembus angka 11.000 dalam sehari merupakan fenomena puncak gunung es. Sebab, penularan Covid-19 varian Omicron lebih cepat dengan angka reproduksi di atas lima.

"Kalau Indonesia melaporkan 11 kasus bahkan 20 ribu sekaligus, itu fenomena puncak gunung es, kita harus sadari ini hitungan matematis yang sangat rasional (dari) pertumbuhan omicron ini yang masa inkubasinya singkat dan angka reproduksinya di atas lima," ujar dia.

Perkembangan spesifik kasus Omicron di Indonesia dapat dilihat di dalam grafik berikut ini:

Untuk diketahui, angka reproduksi adalah tingkat potensi penularan virus. Jika angkanya 1, berarti satu orang pasien bisa menularkan virus kepada satu orang lainnya. Jika disebutkan angka reproduksinya 5, maka satu orang pasien bisa menularkan virus ke 5 orang lainnya.

Baca juga: Kita Masih di Awal, Belum Puncak Omicron...Jangan Sampai RS Penuh Duluan

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyadari potensi malapetaka bagi sistem pelayanan kesehatan di Indonesia akibat badai Omicron.

Bahkan, melihat perkembangan Omicron di berbagai negara, jajarannya memprediksi kasus Omicron di Indonesia mencapai dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan puncak gelombang Delta.

"Jadi kalau dulu puncaknya 57.000 (kasus) per hari, kita mesti siap-siap, hati-hati, dan waspada tidak perlu kaget. Kalau lihat negara lain, itu bisa 2-3 kali di atas puncaknya, di mana puncaknya Delta di Indonesia 57.000 kasus per hari," ujar Budi dalam konferensi pers, Selasa, 1 Februari 2022.

Pemerintah pun memprediksi puncak gelombang Omicron di Indonesia terjadi pada akhir Februari.

 

RS untuk pasien bergejala sedang-berat

Sampai pada titik ini, mungkin kita bisa membayangkan akan seperti apa rumah sakit di seluruh Indonesia pada saat hari yang tidak diinginkan itu tiba.

Atas dasar kekhawatiran itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Abraham Wirotomo menyampaikan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, RS diperuntukan kepada mereka yang sakit sedang, berat, komorbid, dan lansia.

Baca juga: Pemerintah Proyeksi Puncak Kasus Omicron Akhir Februari Bisa 2-3 Kali Lipat

Sementara, bagi yang tanpa gejala atau OTG dan sakit ringan, diharapkan cukup melakukan isolasi mandiri atau isolasi terpusat apabila tempat tinggal tidak memadai untuk melakukan isoman.

"Per 30 Januari 2022, data dari 89 RS di Jakarta menunjukan 44 persen pasien yang dirawat di RS masih yang tanpa gejala dan bergejala ringan," kata Abraham, Selasa 1 Februari 2022.

"Kalo mau melewati pandemi ini dengan baik, prioritaskan RS untuk mereka yang betul-betul membutuhkan. Jangan terlalu panik, gejala sedikit langsung ke RS," lanjut dia.

Butuh Langkah Strategis

Melihat 'jurang' sudah di depan mata, pemerintah diharapkan mengambil sejumlah langkah intervensi agar rakyat tidak terperosok seperti yang pernah terjadi pada gelombang sebelumnya. 

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengatakan, pemerintah jangan sampai terlambat melakukan intervensi. Bila tidak, sistem pelayanan kesehatan akan kolaps. 

"Jika kasus terus meningkat dan tidak terkendali, maka ada kemungkinan sistem kesehatan Indonesia akan kewalahan," ujar Agus dalam konferensi pers, akhir Januari 2022 lalu.

"Oleh sebab itu, pemerintah serta masyarakat harus maksimal dalam melakukan upaya-upaya penanganan Covid-19 ini, terutama pada upaya pencegahan penularan," lanjut dia. 

Baca juga: Tidak Tarik Rem Darurat Saat Lonjakan Kasus, Pemerintah Pilih Ubah Aturan Karantina Hingga Ubah Label Level PPKM

PDPI pun mengeluarkan sejumlah rekomendasi bagi pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi gelombang Omicron. 

Berikut ini rangkumannya:

Rekomendasi PDPI

 

 

Kita pernah ada pada masa duka tanpa jeda. Jangan sampai kita terperosok lagi ke jurang yang sama.